12:55 WIB
Dapat Sara lihat sosok Seren yang berjalan memasuki klinik tempatnya mendekam dengan perlahan. Seren tampak tersenyum ramah pada Sara, hingga Sara yang mendapatinya pun mencoba untuk balas tersenyum. Sekian lama terisolasi dari ospek, Sara sudah berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki pikirannya. Hari ini setidaknya harus diselesaikan terlebih dahulu, jangan lagi jatuh seperti tadi, karena kembali lagi, meski tak menyukai Jakarta dan memiliki pemikiran buruk dengan para warganya, Sara tak ingin menjadi beban bagi mereka. Lagi pun, terjatuh seperti tadi tak hanya merepotkan orang lain, tetapi juga merepotkan dirinya sendiri.
"Hai Sara, kamu udah sembuh?" sapa Seren sembari mendudukkan dirinya tepat di samping Sara. Sara yang mendengarnya pun mengangguk pelan.
"Udah makan siang? Istirahatnya tinggal 5 menit lagi." Untuk pertanyaan tersebut, Sara jujur tak tahu harus bagaimana menjawab. Pasalnya, ia tadi memakan bekal milik Jonathan di pertengahan waktu pagi dan siang, jadi kalau begitu, hitungannya sudah makan siang belum?
"Aku gak tau udah makan siang atau belum, Seren," jawab Sara dengan suara kecilnya. Mendengarnya, Seren menautkan kedua alisnya bingung.
"Kok bisa gak tau?"
"Aku makan bekal punya Jonathan sekitar jam 10 pagi, jadi gak tau itu masuknya makan siang atau bukan," jelas Sara membuat Seren ber-oh ria. Kepalanya kemudian mengangguk-angguk tanda paham.
"Barusan, Kak Guntoro minta tolong sama aku untuk jemput kamu. Kalo seandainya kamu udah kuat, kamu bisa ikut ospek lagi." Sara kini terdiam sejenak. Ketika mendengarnya, bagian dalam dada Sara seolah baru saja ditinju oleh sesuatu dengan kuat. Memang, ia tadi sudah memikirkan dan memperbaiki batinnya agar tenang dan mau melanjutkan kegiatan ospek hari ini. Ia tak boleh merepotkan orang lain. Sara ingin setidaknya untuk tidak menghambat kegiatan kelompoknya. Tetapi tetap saja, saat ajakan mengenai kembali bergabung dalam kelompok itu diucapkan, Sara masih mampu merasakan ketakutan yang mulai mendatanginya kembali. Dalam situasi seperti sekarang, Sara memilih untuk menarik napasnya sedalam mungkin, berusaha untuk mentralisir kedamaian batinnya, supaya mampu keluar dan bertahan sampai akhir hari ini.
"Sara?" panggil Seren membuyarkan lamunan Sara.
"Ah, iya aku udah kuat. Aku minta maaf kalo aku menghambat kalian semua," ujar Sara dengan senyumnya yang terkesan kaku. Melihatnya, Seren pun terkekeh kecil.
"Tadi itu kita cuma milih ketua sama wakil ketua, kok. Terus habis itu kita main games sama kakak-kakak panitia dan himpunan, jadi kamu jangan khawatir," ucap Seren membuat Sara menghembuskan napasnya lega. Kalau begitu, selanjutnya benar-benar harus menjadi lebih baik. Dalam pikirannya yang sudah ia coba untuk tenangkan kini, ia mampu melihat kalau dalam kelompoknya itu ada setidaknya dua anggota yang sudah ia rasakan kebaikannya, yaitu Jonathan dan Seren. Sara seharusnya bisa untuk - tunggu, Seren itu, orang mana ia?
Sara kini memperhatikan sosok Seren yang masih terduduk tepat di sampinganya. Selagi matanya menatapi Seren lekat, batinnya mulai melayangkan banyak sekali pikiran yang mungkin saja akan kembali menghancurkannya nanti.
Dari mana asal Seren? Dari Jakarta kah ia? Kalau iya, akankah suatu saat ia berbalik mencaci Sara? Bukankah orang Jakarta suka memilih-milih dalam berteman? Bukankah mereka hanya akan menjadikan manusia seperti Sara sebagai bulan-bulanan?
"Sara? Kamu bengong lagi?" Suara Seren untuk yang kedua kalinya membuyarkan lamunan singkat Sara. Sara yang mendapatinya pun segera sadar dan kembali menundukkan kepalanya. Tidak boleh, Sara harus mengingat tekadnya barusan, yaitu menjalani sisa jam ospek hari ini dengan baik. Itu berarti Sara tak boleh membiarkan dugaan-dugaan busuk mengambil alih kendali hatinya.
"Ah, maaf Seren," ucap Sara kemudian dengan senyumnya yang terkesan masih kaku. Dapat Sara lihat Seren yang lalu kembali dengan kekehan kecilnya.
"Gak apa-apa, kok. Ngomong-ngomong, kamu beneran udah kuat, kan? Kalo udah kuat, yuk kita balik ke kelompok. Bentar lagi pasti dibunyiin sirinenya." Tanpa banyak berpikir, Sara mengiyakan ajakan Seren. Keduanya lalu berdiri secara bersamaan dengan Sara yang membawa kotak bekal milik Jonathan di tangannya. Sekali lagi sebelum benar-benar melangkah keluar dari klinik, Sara menarik napasnya dalam, berdoa pada Yang Kuasa, semoga saja kali ini Dia mendengarkan doanya, yaitu tentang biarkan Sara menjalankan sisa hari ini dengan setidaknya tanpa drama seperti tadi. Izinkan Sara untuk hidup normal meski hanya beberapa jam.
Seren kini menggaet lengan Sara bersamanya, kemudian berjalan bersama menuju luar klinik.
Swush
Seketika angin menerpa kulitnya, Sara memejamkan matanya sebentar. Apakah ia sudah terlalu lama berada di dalam ruangan, sehingga terpaan angin yang tak seberapa sensasinya pun mampu membuatnya merasa sedikit lebih segar? Entahlah, yang terpenting sekarang adalah tentang bagaimana Sara bisa membuat sisa jam ospeknya tak berjalan seperti yang sebelumnya.
"Ayo." Sara mengangguk saat Seren mulai menuntunnya berjalan menyusuri aspal abu-abu yang siang ini dipenuhi dengan cahaya matahari. Selagi melewatinya, kepala Sara terus menunduk ke bawah, tak berkehendak untuk mendongak barang sedikit ke atas. Bayangan tentang saat pertama kali dirinya dibawa ke klinik oleh Fajar dan Jonathan kini masih membekas dalam kepalanya. Sara tahu jelas kalau itu semua bukan hanya pemikiran buruknya, namun benar-benar murni pandangan-pandangan asing yang terasa sangat mengintimidasi, meski Sara sendiri tak melihat mereka semua secara langsung.
Akankah orang-orang mengingat sosoknya? Yah, kalau saja dipikir dengan logika orang normal, untuk apa pula orang-orang mengingat sosoknya yang tak penting? Maksudnya, memangnya Sara siapa sampai harus diingat?
Kembali lagi, semuanya itu hanya dimiliki oleh logika orang normal. Untuk logika milik Sara sekarang, ia tengah berpikir mengenai, bukankah orang-orang Jakarta itu suka membicarakan orang di belakang? Bukankah mereka mudah mengingat sesuatu yang mencolok, lalu membicarakannya sebagai topik panas yang menyenangkan? Apakah Sara tadi tampil seburuk itu sehingga rasanya omongan-omongan tentang dirinya mungkin saja keluar, menjadi tombak pagi punggungnya?
Tiutttt
"Sara, ayo kita lari! Sirinenya barusan dibunyiin!" Sara yang tengah sibuk kembali dengan lamunannya itu pun mendadak tersentak kaget. Pasalnya, Seren tanpa aba-aba menarik tangannya dengan kencang. Keduanya kini berlari cepat menerobos kerumunan yang juga tengah berlarian untuk masuk ke dalam barisan atau kelompok masing-masing.
Dhug
"Akh!"
"Sara!" Sara, tubuh gadis itu tiba-tiba menabrak seseorang dengan kencang, karena larinya dan Seren yang tanpa arah. Sungguh, Sara tak ingin bohong, tetapi tabrakan itu cukup mampu untuk membuatnya merasakan ngilu di bagian lengannya.
"Ah, kak maaf! Saya minta maaf!" ucap Seren cepat sembari membungkukkan tubuhnya berkali-kali. Sara yang masih meringis pun ikut membungkuk. Intinya sekarang, Sara tak boleh cari ulah.
"Oh, iya. Gue juga minta maaf," ujar orang yang baru saja Sara dan Seren tabrak. Orang itu merupakan lelaki tinggi. Entah bagaimana wajahnya, Sara tak melihatnya. Ia memilih untuk menundukkan kepalanya, menatap jalanan yang kini sudah berganti menjadi jalanan rumput.
"Ehm, saya sama temen saya duluan ya, kak!" Seren kembali membungkuk sebelum akhirnya kembali membawa Sara untuk kembali berlari pergi.
Drap
Drap
Drap
Bersamaan dengan langkah kaki Sara yang terseret oleh langkahan kilat Seren, Sara tak sengaja menyempatkan diri untuk menoleh ke belakang, ke arah tempat dimana si lelaki yang ditabraknya tadi masih berdiri. Wajahnya, lelaki itu kelihatan buram dari jarak Sara sekarang, tetapi satu yang Sara tahu, yaitu lelaki itu memliki perawakan yang tinggi dan... mengapa ia kelihatan seolah tengah sedang memperhatikannya?
Halo, temen-temen semua! Menurut kalian pemikiran Sara soal lingkungan sekitarnya gimana? Ngeselin gitu, ya? Ahahaha... Tapi jujur, orang yang punya penyakit kayak Sara itu pikirannya emang kadang atau bahkan dominan seburuk itu. Hehe, jadi selamat membaca, ya!!
Sara dan Seren akhirnya sampai pada kelompok mereka. Untung saja keduanya sampai tepat waktu, yaitu bersamaan dengan sirine yang berhenti dibunyikan. Kata Seren, sirine itu merupakan pertanda bagi para peserta ospek mengenai keterlambatan perpindahan sesi atau waktu. Selama sirine itu dibunyikan, maka para peserta ospek memiliki kewajiban untuk berlari secepat mungkin mencari kelompoknya, karena setiap kali dibunyikan, keadaan para peserta ospek pasti tengah terpisah-pisah dengan kelompok mereka. Kalau seandainya ada yang belum bergabung dengan kelompok saat sirine berhenti diperdengungkan, maka hukuman pasti akan diberlakukan karena dianggap terlambat. Napas Sara kini tersengal hebat. Setelah menabrak seseorang yang tinggi tadi, Seren menarik tangannya dengan lebih kencang, hingga Sara yang ditarik pun sampai kuwalahan sendiri. Tapi, meski begitu Sara sangat ingin berterima kasih pada Seren, pasalnya kalau tidak berlari menerobos kerumunan sekencang tadi, keduanya pa
Dokter Ilmu Kejiwaan, begitulah nama kelompok ospek dimana Sara bernaung. Kata Seren, nama itu diambil atas pendapat atau ide yang disampaikan oleh Miki. Filosofinya berasal dari bidang fokus setiap jurusan para anggota di dalamnya, yaitu jurusan kedokteran, ilmu komunikasi dan psikologi. Selama Sara masih mendekam dalam klinik tadi, ada banyak hal yang kelompoknya diskusikan, termasuk yel-yel yang akan ditampilkan mulai pada ospek di hari esok. Semuanya itu, Seren menceritakannya selagi mereka tengah dalam perjalanan untuk melakukan tur kampus. "Ini merupakan lab anak-anak pariwisata. Mereka biasanya buka cafe setiap hari Rabu dan Jumat. Kalian kalo mau mampir boleh banget, ya. Tenang, menu-menunya enak semua, kok. Habis itu harganya juga terjangkau." Sara sedikit berjinjit untuk melihat sisi dalam ruangan menyerupai cafe, yang kata kakak pemandu adalah lab bagi para mahasiswa program studi pariwisata. Mari kita sebut saja kalau itu memang merupakan cafe sungguh
15:15 WIB Kelompok Sara kini sudah terduduk di bawah pohon rindang, tempat yang sempat mereka duduki sebelumnya. Tampaknya, tempat tersebut sudah menjadi hak milik kelompoknya. Lihat saja Guntoro, sosok kakak pendamping dengan pribadi cerianya itu berlari paling kencang menuju bawah pohon rindang yang sejuk. Guntoro lalu tersenyum sambil berkecak pinggang, menunggu anak-anak asuhnya sampai ke tempat ia sampai. Sara menselonjorkan kakinya yang kecil. Rasanya sedikit pegal, karena dua jam suntuk dipakai untuk berjalan, mengitari seisi gedung kampus barunya yang sangat luas."Guys, abis ini kita bakal dapet tugas untuk tulis laporan sederhana tentang hal-hal apa aja yang kita dapet dari tur kampus tadi. Laporannya nanti bakalan dipake buat maju presentasi." Guntoro mulai menjelaskan kegiatan selanjutnya sembari tangannya bergerak untuk mengipas-ngipas diri yang tampak berkeringat. "Presentasi? Emangnya kuat bang sampe ntar jam 5 sore? Bukanny
Sara meremat jari-jarinya kasar. Betapa terkejutnya ia saat Tari mengatakan hal barusan. Ternyata apa yang ia pikirkan bukan sekedar perasaan jahatnya, tapi memang benar-benar terjadi, yaitu tentang dirinya yang sangat merepotkan. Kepala Sara menunduk dalam dengan batinnya yang kini tergores besar. Kata-kata Tari sangat membuatnya tersayat dan perlahan kembali pada rasa takutnya. Teman-teman Sara itu, apa hanya Tari yang berpikir bahwa Sara belum bekerja apapun? Apa yang lain juga berpikir bahwa Sara sangat tumpang tangan? Mengapa dugaan-dugaan seperti itu terasa menyakitkan? Sungguh, Sara kini berusaha begitu keras untuk tidak membiarkan bahunya kembali bergetar dan rasa takut kembali menguasai dirinya. "Sara, jangan kumat lagi!" Bak baru saja dihantam truk yang beratnya berton-ton, seluruh inci tubuh Sara melemas. Meski tak melihat bagaimana air muka Tari saat mengatakannya, Sara mampu mendengar dengan jelas nada suara yang Tari timbulkan dari peringatannya bar
17:30 WIB Sara menarik napasnya dalam. Langit kini sudah mulai beralih menjadi abu-abu. Kegiatan ospeknya baru saja dibubarkan. Mereka ternyata selesai sedikit terlambat, karena masalah pengaturan barisan yang sedikit lama. Pun juga, karena para kelompok yang presentasi ada beberapa yang melakukan presentasi dengan sangat detail, hingga kedua MC sedikit kesulitan menemukan celah untuk menyela. Omong-omong, kelompok Sara tadi tak mendapat kesempatan maju, jadi pekerjaan kelompoknya hanya berkahir dengan dikumpulkan. Sara kini mengenakan jaket merah muda kebesarannya yang ia simpan dalam ransel hitamnya, sebelum kegiatan ospeknya yang sesungguhnya benar-benar dimulai. Jaket itu memiliki tekstur kain yang lembut. Ketika memakainya, rasanya cukup sejuk, bahkan ketika Sara tak sama sekali mendapat angin dari udara di sekitarnya. "Sara, aku duluan, ya!" Sara mengangguk kecil pada sosok Seren yang baru saja berpamitan padanya. Senyumnya merekah tipis dengan tulu
Sara melangkahkan kakinya mengikuti sosok lelaki tinggi di hadapannya. Malangnya nasibnya. Pada akhirnya, Sara menurut tanpa perlawanan apapun juga. Bahunya yang sempit itu bahkan tak bisa lagi bergetar, karena sudah terasa lemas. Sara pikir ia sudah terlalu lelah hari ini. Ada begitu banyak hal yang menimpanya, hingga tubuhnya sendiri sampai tak bisa memberikan reaksi apapun terhadap ketakutan yang Sara tengah alami. Sara sesekali menatap lurus ke depan, memandang punggung lebar milik si lelaki tinggi. Dalam pikirannya, Sara berusaha menerka mengenai hal apa yang sekiranya akan menimpanya nanti. Jika lelaki itu benar merupakan orang jahat, bagaimana cara lelaki itu akan menjahatinya nanti? Mau dirampok? Disakiti? Atau hal-hal menajiskan lainnya? Entahlah, meski takut, Sara tak tahu kenapa matanya terus menatapi si lelaki dengan pandangan yang penuh dengan perandaian. Apakah parkiran kampus sejauh itu? Mengapa Sara merasa kalau keduanya tak kunjung sampai? Sedari
Sara mengatur napasnya yang tersengal lumayan hebat. Meski hanya sebentar dirinya dan sosok seniornya berlari tadi, rasanya seolah memakan waktu 1 tahun lamanya, karena rasa takut yang menghantui. Sara kini terduduk di sebuah meja di ujung sebuah rumah makan, yang tampaknya dikhususkan untuk makanan bernama 'kue balok'. Saat sore sudah menjemput seperti sekarang, rumah makan itu kelihatan lumayan ramai pengunjung. Sebenarnya masuk akal, karena makanan yang manis-manis itu lebih nikmat disantap di waktu-waktu redup, atau bahkan saat gelap. "Sara, mau minum apa?" Sara menoleh, mendapati sang senior kembali dari sisi depan rumah makan. "Sama kayak kakak aja," jawab Sara tak ambil pusing. Dirinya kini tengah lumayan berkeringat, hingga tak mau berpikir terlalu banyak. Intinya, keringkan dulu tubuh, baru bisa berpikir jernih. "Sama kayak gue? Oke, lo gak alergi sama monyet, kan?" tanya lelaki itu membuat Sara menautkan alisnya bingung. Apa yang akan le
Sara memasang raut wajahnya yang takjub saat kue balok coklat yang seniornya junjung tinggi tadi disajikan di hadapannya. Kue itu memiliki bentuk yang terhitung 'gendut', dengan coklat yang lumer keluar dari belahan tengah rotinya. Warnanya benar-benar coklat pekat, sehingga membuat mereka yang merupakan pecinta coklat ingin segera meraupnya habis. "Makasih, bang!" celetuk seniornya itu pada seorang pelayan yang baru saja menyajikan piring saji."Sama-sama, ko. Selamat menikmati..." Pelayan itu kemudian pergi setelah merekahkan senyum ramahnya pada Sara juga pada senior yang selalu dipanggil dengan panggilan 'koko' atau 'ko'. Sesaat setelahnya, Sara kembali memfokuskan diri pada tampilan kue balok di depannya. Sesungguhnya, tak hanya kue baloknya yang menggiurkan. Banana smoothies yang kelihatan dingin pun terlihat begitu menggugah selera. Porsinya kelihatan besar, dengan hiasan yang membuat minuman sehat itu terlihat cantik. "Ahaha, kuenya keliata