Sara mengatur napasnya yang tersengal lumayan hebat. Meski hanya sebentar dirinya dan sosok seniornya berlari tadi, rasanya seolah memakan waktu 1 tahun lamanya, karena rasa takut yang menghantui. Sara kini terduduk di sebuah meja di ujung sebuah rumah makan, yang tampaknya dikhususkan untuk makanan bernama 'kue balok'. Saat sore sudah menjemput seperti sekarang, rumah makan itu kelihatan lumayan ramai pengunjung. Sebenarnya masuk akal, karena makanan yang manis-manis itu lebih nikmat disantap di waktu-waktu redup, atau bahkan saat gelap. "Sara, mau minum apa?" Sara menoleh, mendapati sang senior kembali dari sisi depan rumah makan. "Sama kayak kakak aja," jawab Sara tak ambil pusing. Dirinya kini tengah lumayan berkeringat, hingga tak mau berpikir terlalu banyak. Intinya, keringkan dulu tubuh, baru bisa berpikir jernih. "Sama kayak gue? Oke, lo gak alergi sama monyet, kan?" tanya lelaki itu membuat Sara menautkan alisnya bingung. Apa yang akan le
Sara memasang raut wajahnya yang takjub saat kue balok coklat yang seniornya junjung tinggi tadi disajikan di hadapannya. Kue itu memiliki bentuk yang terhitung 'gendut', dengan coklat yang lumer keluar dari belahan tengah rotinya. Warnanya benar-benar coklat pekat, sehingga membuat mereka yang merupakan pecinta coklat ingin segera meraupnya habis. "Makasih, bang!" celetuk seniornya itu pada seorang pelayan yang baru saja menyajikan piring saji."Sama-sama, ko. Selamat menikmati..." Pelayan itu kemudian pergi setelah merekahkan senyum ramahnya pada Sara juga pada senior yang selalu dipanggil dengan panggilan 'koko' atau 'ko'. Sesaat setelahnya, Sara kembali memfokuskan diri pada tampilan kue balok di depannya. Sesungguhnya, tak hanya kue baloknya yang menggiurkan. Banana smoothies yang kelihatan dingin pun terlihat begitu menggugah selera. Porsinya kelihatan besar, dengan hiasan yang membuat minuman sehat itu terlihat cantik. "Ahaha, kuenya keliata
Sara menyalakan penghangat ruangan dalam kamarnya. Setelahnya, ia berjalan pelan menuju ke atas kasurnya yang empuk. Ah, hari ini berjalan lumayan panjang. Ada banyak hal yang Sara dapatkan selama seharian penuh. 09:00 PM Mata Sara bertemu pandang dengan jam digital di atas meja kecil samping kasurnya. Sudah malam rupanya, mandinya lumayan lama juga.HhhSara menarik napasnya dalam-dalam, lalu mengeluarkannya secara perlahan. Kalau sudah malam begini, Sara biasanya akan menangis, karena tubuh dan mentalnya yang kelelahan. Entah dimana pun ia berada, matanya yang cantik itu akan berujung dengan mengeluarkan buliran bening, tanda bahwa ia tengah mengeluarkan segala keburukan yang batin dan hatinya simpan selama seharian. "Leon, panggil aja Leon, atau Ko Leon." Sekitar pukul 7 kurang 15 menit, Sara sampai di apartemennya, dengan tentu saja diantar oleh sosok lelaki yang merupakan seniornya tadi. Permintaannya soal memanggilnya dengan em
06:30 WIB Kaki Sara melangkah cepat memasuki pintu gerbang besar milik kampusnya. Memang jam mulainya masih sekitar 30 menit lagi, namun rasanya perasaan terburu-buru seolah tengah menguntitnya. Pengalaman hari kemarin sangatlah buruk. Jangan sampai ia terkena semburan pedas dari para panitia penjaga lagi. Kalau hal itu sampai ia dapati, bisa-bisa dirinya pingsan di tempat. Rasa takut yang super mengganggu itu bisa mengambil alih seluruh fungsi organ tubuhnya melebihi dahsyatnya hari kemarin. Sara mendudukkan dirinya di atas kursi hijau panjang di pinggir lapangan. Di sana, hanya terdapat 2 orang perempuan yang tengah bercanda. Tampaknya mereka sudah saling kenal dan akrab. Mulut Sara terbungkam memperhatikan sekelilingnya dengan seksama. Kondisi Jakarta di pagi hari terasa lumayan sejuk, padahal rumornya Jakarta merupakan kota yang sangat pengap dan penuh polusi. Lingkungannya pun katanya sangat kotor. Faktanya, Sara tak dapat menampik bahwa kondisi Jaka
"Oke, semuanya siap-siap, ya! Pokoknya kelompok kita pasti bisa!" ujar Guntoro memberi semangat setelah nama kelompok anak-anak asuhnya dipanggil. "Sip, kak! Temen-temen, kalo nanti kalah gapapa. Jangan terlalu fokus sama kemenangan. Yang penting kita seneng-seneng bareng, ok?!" sambung Jonathan sebagai ketua kelompok. "Ok!!!" jawab para anggota dengan serempak. "Kelompok Kepompong dan Kelompok Dokter Ilmu Kejiwaan, dipersilahkan untuk masuk ke area tarik tambang." Suara keras dari mikrofon kembali berbunyi untuk yang kesekian kalinya. Dengan itu, dua kelompok yang dipanggil pun segera maju ke tempat yang MC maksudkan. Omong-omong, kegiatan hari ini seperti yang sudah dikatakan sebelumnya adalah berhubungan dengan olahraga. Karena kelompok yang terbentuk dalam acara ospek hitungannya banyak, maka mereka dibagi menjadi beberapa pos. Setiap satu pos terdapat 15 kelompok. Waktu masing-masing pos adalah 1 jam. Jika ada yang belum mengert
10:00 WIB Kelompok Sara kini baru saja berpindah ke pos berikutnya, yaitu pos 3 yang merupakan posko perlombaan basket. Kalau di pos ini, Sara dapat memprediksi bahwa yang akan kedapatan main nanti mungkin hanya sekitar 8 kelompok, atau bahkan buruknya hanya 4 kelompok. Entahlah, Sara sangat yakin tentang itu. Masalahnya, waktunya hanya 1 jam, panitia yang berjaga di setiap pos juga membutuhkan waktu untuk mengatur urutan main kelompok.Di ujung lapangan, terlihat para panitia penjaga yang tengah melakukan pemeriksaan terhadap daftar kelompok. Sepertinya sedang menimbang, kelompok mana yang akan bermain duluan. Jujur saja, Sara berharap kalau itu bukanlah kelompoknya. Pasalnya, Sara bukan seorang yang bisa bermain basket. Ia ingat sekali dulu, kalau nilai ujian praktek basketnya di SMA pernah menyentuh angka 0, saking buruknya ia dalam bermain. "Sara, menurut kamu kelompok kita bisa menang gak kali ini?" tanya Seren membuyarkan lamunan singkat Sara. Sara y
11:00 WIBKelompok Sara berpindah ke pos selanjutnya dengan senyum sumringah di wajah. Pada pos 3, yaitu pertandingan basket, mereka menang telak dengan skor 0:6, dimana 6 merupakan skor milik kelompok Sara. Meski ujungnya tak jadi dicemplungkan dalam lapangan, Sara ikut senang dengan kemenangan yang rekan-rekannya raih. "Manteb banget si Jonathan tadi. Bro, ubun-ubun lo baek-baek. Kasih minyak telon biar gak benjol," canda Guntoro dengan kekehan renyahnya. Mendengarnya, tawa menyusul sebagai tanggapan. Omong-omong, untuk sekedar cerita, kepala Jonathan tadi terbentur dengan ring basket saat tengah meloncat, menghalangi bola untuk masuk ke ring. Hal itu hitungannya sangat legendaris, karena setelahnya, kejadian itu terus dibawa-bawa oleh MC sebagai bahan komedi. Beruntung Jonathan tak masalah soal itu. Lelaki itu menanggapinya dengan baik, dan malah tertawa keras saat situasinya diungkit oleh pihak MC pada kelompok lain yang tengah bertanding. Pos
Sara menyandarkan punggungnya di salah satu pilar di lapangan tempatnya terduduk. Dirinya terus terdiam dengan pandangannya yang kosong. Omongan Tari masih menghantuinya, mengakibatnya tak bisa memikirkan hal-hal positif sedikit pun. Sedari tadi, Seren dan gadis-gadis lain selain Tari terus ada bersamanya. Mereka menemaninya sembari berusaha membicarakan banyak hal yang menyenangkan, berharap Sara dapat kembali dalam kondisinya yang baik-baik saja. Sesungguhnya Sara merasa tak enak dari 2 sisi. Sisi pertama adalah dari sisi rekan-rekannya. Mereka sudah mengusahakan yang terbaik untuk membuat hati Sara menjadi sedikit membaik.Namun, dalam waktu yang bersamaan, sisi dari dirinya merasakan perasaan yang tak nyaman. Saat seperti sekarang adalah saat-saat dimana Sara seharusnya berdiam diri dan merenung sendirian, membiarkan air matanya tumpah untuk mengeluarkan segala racun yang mengendap dalam batin. Omong-omong, kelompok Sara sudah selesai melakukan lomba lari
Sara terduduk di jok belakang - jok penumpang - di motor besar milik Leon. Gadis itu memakai helm berat milik Leon juga di kepalanya. Sedangkan Leon sendiri, si pemilik helm, lelaki itu tak memakainya. Katanya, keselamatan penumpang jauh lebih penting dibanding keselamatan pengemudi. Entah dari mana pembelajaran seperti itu Leon dapatkan, yang jelas Sara memilih untuk tak banyak bicara. Sara hanya berakhir dengan mengikuti segala perkataan Leon padanya. Angin malam kota Jakarta terasa sejuk dan dingin saat menerpa kulit. Sara memilih untuk tidak mengenakan jaketnya, karena kulitnya yang baru saja diolesi salep lagi. Rambut Sara yang panjang berterbangan diterpa oleh kencangnya tabrakan angin bagi dirinya. Omong-omong, tadi juga ia menggerai rambutnya, karena merasa bahwa kondisi sudah tak tengah panas lagi. Saat ini waktu menunjukkan pukul 19:00 pm. Bakso yang mereka tunggu itu akhirnya datang juga setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama. Sesudah menyantap habis bakso, Leon meng
"Kenapa?" Sara terkesiap ketika Leon tiba-tiba membuka matanya dari doanya. Lelaki itu terkekeh kecil saat mendapati Sara tengah memperhatikannya dengan segala pikirannya yang melayang kemana-mana. Cukup memalukan bagi Sara sebenarnya. Dirinya tak mau kalau Leon sampai salah sangka dengannya, atau pun merasa tak nyaman atas tingkahnya barusan. "Maaf, kak," ujar Sara kemudian. Leon lalu terlihat kembali terkekeh. Tangannya kini mulai bergerak untuk meraih mangkuk sekoteng hangatnya. "Dimakan, itu kalo dingin rasanya jadi aneh." Sara menurut. Ia mengikuti Leon, untuk segera juga meraih mangkuknya. Pikirnya, sekoteng merupakan minuman atau kuliner yang tak begitu populer di tempatnya berasal. Karenanya, untuk tahu cara menyantapnya, ia perlu memperhatikan dan mengikuti Leon terlebih dulu. Bisa saja imajinasinya mengatakan: sendokkan kuah bersamaan dengan sedikit isiannya, tetapi ternyata pada kenyataannya, seharusnya dicicip dahulu kuahnya. "Cara makannya bebas, kayak kue balok kemarin
18:00 WIB Sara terdiam bersama dengan Leon di sampingnya. Matanya sibuk memandangi indahnya langit sore yang mulai meredup. Di tengah itu, suasana yang sepi nan tenang menyapa, meninggalkan kesan yang sangat nyaman bagi Sara. Angin tempat dimana mereka, Sara dan Leon terduduk pun terasa sangat sejuk, sedikit dingin, namun tak sampai yang membunuh. Taman Kota Sudirman, di sana lah keduanya tengah berdiam. Dengan mulut yang terkatup rapat, netra keduanya sibuk menjelajah langit abu-abu gelap, simbol bahwa hari akan berganti malam. Suasana semacam sekarang merupakan suasana yang sungguh bersahabat dengan batin Sara yang riwuh. Bayangkan saja, kepala Sara sudah sangat berisik, pun batinnya. Kemudian, dirinya ditempatkan di tengah lautan manusia yang terus-menerus harus berteriak dengan otot - tentulah Sara merasa sangat hancur baik dari psikis maupun psikologis. Saat ini merupakan saat-saat healing baginya. Hhh Sara menarik napasnya dalam-dalam. Udara di sekitar Jakarta tempatnya tin
Mata Sara memaku memandangi sosok-sosok mahasiswa baru yang tengah menjalani hukuman dari para panitia keamanan. Ini sudah waktunya pulang, tetapi para mahasiswa tersebut masih harus menjalani hukuman akibat perbuatan mereka sebelumnya. Sara pikir hukuman hanya diperbolehkan untuk berjalan selama jam ospek belum berakhir, tapi ternyata tidak begitu. Diri Sara melamun dengan pikirannya yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Sebentar ke arah para mahasiswa yang sedang dihukum, sebentar ke arah kulitnya yang terasa sangat panas kini, sebentar lagi ke arah bahwa dirinya ingin menangis ditempat, kemudian sebentar ingin segera menginjakkan kaki di kamar apartemennya. Sara tengah terduduk di sebuah lapangan, dimana para mahasiswa baru atau para peserta ospek sedang berhamburan keluar menuju gerbang. Sara tak begitu peduli perihal itu. Pikirannya yang blank membuatnya menjadi seperti mayat yang dipaksakan untuk hidup; tidak mampu berpikir, tetapi juga memil
Sara memilih untuk pasrah saat gilirannya untuk maju tiba. Kulitnya yang terasa sakit itu sudah diabaikannya kini. Lelah sendiri jika harus memikirkan hal-hal yang memberatkan pikiran. Biar saja kulitnya itu menjerit kesakitan. Kalau pun harus pingsan, maka terjadilah. Atau, kalau pun harus terjadi kecelakaan, terjadilah juga. Bukankah kehidupan Sara tak jauh-jauh dari yang namanya kesialan? Untuk apa pula Sara mengharapkan hal baik terjadi? Takdir baginya ditulis untuk menderita, bukan untuk menikmati apa yang orang lain bisa nikmati.Setelah semua alat pengaman dan segala perlengkapan dipasangkan di tubuhnya, Sara menarik napasnya dalam. Kali ini, Sara melarang keras hatinya untuk mengucap permohonan pada Yang Kuasa. Ia tak hanya mengunci mulutnya, tetapi juga kebebasan batinnya untuk berseru pada Yang Lebih Tinggi. Tak ada gunanya. Malah akan seperti orang bodoh yang mengemis. "Sara, semangat!" Sara menoleh pelan ke arah rekan-rekannya yang berteriak menye
14:00 WIB Kulit Sara terasa terbakar. Sinar matahari siang ini sangat keterlaluan. Sara yang tak pernah sama sekali merasakan sengatnya, kini benar-benar merasakannya. Ingin sekali Sara berlari dari tempatnya berdiri, namun rasanya tak mungkin. Jika saja itu terjadi, maka masalah baru akan timbul nanti. Sara harus menghindari yang seperti itu, karena jam pulang semakin dekat. Drama adalah hal yang anti di jam-jam rawan seperti sekarang. Setelah melewati pos 5 yang sungguh menguras keringat tadi, kelompok Sara sudah berpindah ke pos 6, yaitu pos panjang tebing. Astaga, siang-siang terik begini panjat tebing, Sara tak bisa membayangkan, sebrutal apa matahari akan memanggang mereka semua nantinya. Rasanya tak akan kuat jika harus melakukannya. "Sara, menurut kamu, semuanya bakal kebagian panjat tebingnya, gak?" celetuk Seren. Sara yang mendengarnya pun menoleh sembari kepalanya sedikit menunduk. Bisakah Sara melepaskan ikat rambutnya saja sekarang? Ti
Dengan segala paksaan tenang dari Sara, Leon akhirnya benar-benar memakan jatah makan siang Sara setengahnya. Keduanya membagi dua porsi makan siang itu atas kehendak Sara. Jujur saja, selain mengenai porsi makan Sara yang tak begitu banyak, Sara juga tak enak jika hanya dirinya yang makan, sedangkan Leon sibuk memperhatikannya. "Habis ini kelompok lo dapet pos berapa?" tanya Leon setelah dirinya kembali dari membuang sampah bungkusan makanan. Mendengarnya, Sara tampak terdiam sejenak untuk berpikir. "Pos 5, kak," jawab Sara. Leon mengangguk paham."Udah tau pos 5 ngapain belum?" tanya Leon lagi. Lelaki itu seolah ingin membuat percakapan baru dengan Sara. Beruntung Sara sudah dalam kondisi pikirannya yang jernih, jadi tak perlu ia mengabaikan Leon. "Futsal?" Leon seketika mengangguk cepat dengan senyum di wajahnya. Kelihatannya lelaki itu akan segera menceritakan cerita baru untuk diperdengarkan pada Sara. Kini, Sara hanya bisa menunggu,
12:30 WIB Tangis Sara berangsur-angsur berhenti dari sesenggukannya. Gadis itu kini tengah mengelap bekas air matanya yang tersebar membasahi seluruh permukaan wajahnya, dengan sapu tangan yang Leon baru saja berikan padanya.Kepala Sara menunduk dalam diamnya. Rasanya sedikit lebih lega karena racun dalam batinnya yang sudah dikeluarkan lewat tangis. Sekarang, Sara tinggal menunggu kepalanya menjadi jernih kembali, sebelum akhirnya ia bisa berbicara pada sosok Leon di sampingnya. Sara tadi terus menangis dalam durasi waktu yang lumayan panjang, kira-kira 30 menit lamanya. Selama itu, Leon hening. Lelaki asing itu hanya diam sembari memainkan dan mencabuti rumput hijau yang tengah didudukinya. Sesekali, matanya memperhatikan Sara dengan pandangan yang tak dapat diartikan. Untuk itu, jelas Sara tidak tahu. Pasalnya, Sara terlalu sibuk dengan tangisnya yang tersedu. "Maaf, kak..." lirih Sara dengan suaranya yang terdengar serak. Perlahan, sosok Leon
Sara menyandarkan punggungnya di salah satu pilar di lapangan tempatnya terduduk. Dirinya terus terdiam dengan pandangannya yang kosong. Omongan Tari masih menghantuinya, mengakibatnya tak bisa memikirkan hal-hal positif sedikit pun. Sedari tadi, Seren dan gadis-gadis lain selain Tari terus ada bersamanya. Mereka menemaninya sembari berusaha membicarakan banyak hal yang menyenangkan, berharap Sara dapat kembali dalam kondisinya yang baik-baik saja. Sesungguhnya Sara merasa tak enak dari 2 sisi. Sisi pertama adalah dari sisi rekan-rekannya. Mereka sudah mengusahakan yang terbaik untuk membuat hati Sara menjadi sedikit membaik.Namun, dalam waktu yang bersamaan, sisi dari dirinya merasakan perasaan yang tak nyaman. Saat seperti sekarang adalah saat-saat dimana Sara seharusnya berdiam diri dan merenung sendirian, membiarkan air matanya tumpah untuk mengeluarkan segala racun yang mengendap dalam batin. Omong-omong, kelompok Sara sudah selesai melakukan lomba lari