Sara menyandarkan punggungnya di salah satu pilar di lapangan tempatnya terduduk. Dirinya terus terdiam dengan pandangannya yang kosong. Omongan Tari masih menghantuinya, mengakibatnya tak bisa memikirkan hal-hal positif sedikit pun. Sedari tadi, Seren dan gadis-gadis lain selain Tari terus ada bersamanya. Mereka menemaninya sembari berusaha membicarakan banyak hal yang menyenangkan, berharap Sara dapat kembali dalam kondisinya yang baik-baik saja. Sesungguhnya Sara merasa tak enak dari 2 sisi. Sisi pertama adalah dari sisi rekan-rekannya. Mereka sudah mengusahakan yang terbaik untuk membuat hati Sara menjadi sedikit membaik.Namun, dalam waktu yang bersamaan, sisi dari dirinya merasakan perasaan yang tak nyaman. Saat seperti sekarang adalah saat-saat dimana Sara seharusnya berdiam diri dan merenung sendirian, membiarkan air matanya tumpah untuk mengeluarkan segala racun yang mengendap dalam batin. Omong-omong, kelompok Sara sudah selesai melakukan lomba lari
12:30 WIB Tangis Sara berangsur-angsur berhenti dari sesenggukannya. Gadis itu kini tengah mengelap bekas air matanya yang tersebar membasahi seluruh permukaan wajahnya, dengan sapu tangan yang Leon baru saja berikan padanya.Kepala Sara menunduk dalam diamnya. Rasanya sedikit lebih lega karena racun dalam batinnya yang sudah dikeluarkan lewat tangis. Sekarang, Sara tinggal menunggu kepalanya menjadi jernih kembali, sebelum akhirnya ia bisa berbicara pada sosok Leon di sampingnya. Sara tadi terus menangis dalam durasi waktu yang lumayan panjang, kira-kira 30 menit lamanya. Selama itu, Leon hening. Lelaki asing itu hanya diam sembari memainkan dan mencabuti rumput hijau yang tengah didudukinya. Sesekali, matanya memperhatikan Sara dengan pandangan yang tak dapat diartikan. Untuk itu, jelas Sara tidak tahu. Pasalnya, Sara terlalu sibuk dengan tangisnya yang tersedu. "Maaf, kak..." lirih Sara dengan suaranya yang terdengar serak. Perlahan, sosok Leon
Dengan segala paksaan tenang dari Sara, Leon akhirnya benar-benar memakan jatah makan siang Sara setengahnya. Keduanya membagi dua porsi makan siang itu atas kehendak Sara. Jujur saja, selain mengenai porsi makan Sara yang tak begitu banyak, Sara juga tak enak jika hanya dirinya yang makan, sedangkan Leon sibuk memperhatikannya. "Habis ini kelompok lo dapet pos berapa?" tanya Leon setelah dirinya kembali dari membuang sampah bungkusan makanan. Mendengarnya, Sara tampak terdiam sejenak untuk berpikir. "Pos 5, kak," jawab Sara. Leon mengangguk paham."Udah tau pos 5 ngapain belum?" tanya Leon lagi. Lelaki itu seolah ingin membuat percakapan baru dengan Sara. Beruntung Sara sudah dalam kondisi pikirannya yang jernih, jadi tak perlu ia mengabaikan Leon. "Futsal?" Leon seketika mengangguk cepat dengan senyum di wajahnya. Kelihatannya lelaki itu akan segera menceritakan cerita baru untuk diperdengarkan pada Sara. Kini, Sara hanya bisa menunggu,
14:00 WIB Kulit Sara terasa terbakar. Sinar matahari siang ini sangat keterlaluan. Sara yang tak pernah sama sekali merasakan sengatnya, kini benar-benar merasakannya. Ingin sekali Sara berlari dari tempatnya berdiri, namun rasanya tak mungkin. Jika saja itu terjadi, maka masalah baru akan timbul nanti. Sara harus menghindari yang seperti itu, karena jam pulang semakin dekat. Drama adalah hal yang anti di jam-jam rawan seperti sekarang. Setelah melewati pos 5 yang sungguh menguras keringat tadi, kelompok Sara sudah berpindah ke pos 6, yaitu pos panjang tebing. Astaga, siang-siang terik begini panjat tebing, Sara tak bisa membayangkan, sebrutal apa matahari akan memanggang mereka semua nantinya. Rasanya tak akan kuat jika harus melakukannya. "Sara, menurut kamu, semuanya bakal kebagian panjat tebingnya, gak?" celetuk Seren. Sara yang mendengarnya pun menoleh sembari kepalanya sedikit menunduk. Bisakah Sara melepaskan ikat rambutnya saja sekarang? Ti
Sara memilih untuk pasrah saat gilirannya untuk maju tiba. Kulitnya yang terasa sakit itu sudah diabaikannya kini. Lelah sendiri jika harus memikirkan hal-hal yang memberatkan pikiran. Biar saja kulitnya itu menjerit kesakitan. Kalau pun harus pingsan, maka terjadilah. Atau, kalau pun harus terjadi kecelakaan, terjadilah juga. Bukankah kehidupan Sara tak jauh-jauh dari yang namanya kesialan? Untuk apa pula Sara mengharapkan hal baik terjadi? Takdir baginya ditulis untuk menderita, bukan untuk menikmati apa yang orang lain bisa nikmati.Setelah semua alat pengaman dan segala perlengkapan dipasangkan di tubuhnya, Sara menarik napasnya dalam. Kali ini, Sara melarang keras hatinya untuk mengucap permohonan pada Yang Kuasa. Ia tak hanya mengunci mulutnya, tetapi juga kebebasan batinnya untuk berseru pada Yang Lebih Tinggi. Tak ada gunanya. Malah akan seperti orang bodoh yang mengemis. "Sara, semangat!" Sara menoleh pelan ke arah rekan-rekannya yang berteriak menye
Mata Sara memaku memandangi sosok-sosok mahasiswa baru yang tengah menjalani hukuman dari para panitia keamanan. Ini sudah waktunya pulang, tetapi para mahasiswa tersebut masih harus menjalani hukuman akibat perbuatan mereka sebelumnya. Sara pikir hukuman hanya diperbolehkan untuk berjalan selama jam ospek belum berakhir, tapi ternyata tidak begitu. Diri Sara melamun dengan pikirannya yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Sebentar ke arah para mahasiswa yang sedang dihukum, sebentar ke arah kulitnya yang terasa sangat panas kini, sebentar lagi ke arah bahwa dirinya ingin menangis ditempat, kemudian sebentar ingin segera menginjakkan kaki di kamar apartemennya. Sara tengah terduduk di sebuah lapangan, dimana para mahasiswa baru atau para peserta ospek sedang berhamburan keluar menuju gerbang. Sara tak begitu peduli perihal itu. Pikirannya yang blank membuatnya menjadi seperti mayat yang dipaksakan untuk hidup; tidak mampu berpikir, tetapi juga memil
18:00 WIB Sara terdiam bersama dengan Leon di sampingnya. Matanya sibuk memandangi indahnya langit sore yang mulai meredup. Di tengah itu, suasana yang sepi nan tenang menyapa, meninggalkan kesan yang sangat nyaman bagi Sara. Angin tempat dimana mereka, Sara dan Leon terduduk pun terasa sangat sejuk, sedikit dingin, namun tak sampai yang membunuh. Taman Kota Sudirman, di sana lah keduanya tengah berdiam. Dengan mulut yang terkatup rapat, netra keduanya sibuk menjelajah langit abu-abu gelap, simbol bahwa hari akan berganti malam. Suasana semacam sekarang merupakan suasana yang sungguh bersahabat dengan batin Sara yang riwuh. Bayangkan saja, kepala Sara sudah sangat berisik, pun batinnya. Kemudian, dirinya ditempatkan di tengah lautan manusia yang terus-menerus harus berteriak dengan otot - tentulah Sara merasa sangat hancur baik dari psikis maupun psikologis. Saat ini merupakan saat-saat healing baginya. Hhh Sara menarik napasnya dalam-dalam. Udara di sekitar Jakarta tempatnya tin
"Kenapa?" Sara terkesiap ketika Leon tiba-tiba membuka matanya dari doanya. Lelaki itu terkekeh kecil saat mendapati Sara tengah memperhatikannya dengan segala pikirannya yang melayang kemana-mana. Cukup memalukan bagi Sara sebenarnya. Dirinya tak mau kalau Leon sampai salah sangka dengannya, atau pun merasa tak nyaman atas tingkahnya barusan. "Maaf, kak," ujar Sara kemudian. Leon lalu terlihat kembali terkekeh. Tangannya kini mulai bergerak untuk meraih mangkuk sekoteng hangatnya. "Dimakan, itu kalo dingin rasanya jadi aneh." Sara menurut. Ia mengikuti Leon, untuk segera juga meraih mangkuknya. Pikirnya, sekoteng merupakan minuman atau kuliner yang tak begitu populer di tempatnya berasal. Karenanya, untuk tahu cara menyantapnya, ia perlu memperhatikan dan mengikuti Leon terlebih dulu. Bisa saja imajinasinya mengatakan: sendokkan kuah bersamaan dengan sedikit isiannya, tetapi ternyata pada kenyataannya, seharusnya dicicip dahulu kuahnya. "Cara makannya bebas, kayak kue balok kemarin