Mata Sara menatap ke arah luar jalanan depan klinik tempatnya berdiam kini. Tadi, beberapa saat yang lalu Jonathan kembali masuk ke dalam kelompok, sembari meninggalkan kotak bekal hijau toscanya pada Sara. Di atas kotak bekal itu, Jonathan meninggalkan sebuah sticky notes kuning bertuliskan, Cepet sembuh, ya. Jonathan Vincentius. Hal seperti itu terhitung sederhana, tetapi cukup berarti bagi Sara yang masih dalam proses untuk masuk kedalam lingkupan suasana tenangannya.
Mulut Sara tengah melakukan proses mastikasi terhadap bekal makan siang milik Jonathan. Sesungguhnya, ingin sekali Sara menolaknya. Bekal itu dibawakan oleh mama Jonathan dengan niatan baik pastinya. Mama Jonathan pasti tak ingin anak lelakinya kelaparan nanti. Namun, meski pikiran Sara mengatakan pada Sara seperti itu, mulut Sara tetap mengunci diri. Sara tak sanggup untuk sekedar berucap beberapa patah kata, bahkan untuk ungkapan terima kasih pun terasa kelu.
Sendirian, Sara kini tengah sendirian dalam gedung klinik kampusnya yang kecil. Teman Guntoro yang kata Jonathan bernama Fajar tadi sudah pergi, bergabung kembali dengan para kawannya untuk ikut menjaga jika ada lagi yang jatuh sakit. Sungguh, suasana seperti ini sangat menenangkan bagi Sara, yang baru saja menghadapi kondisi hancurnya.
Sesekali, Sara memperhatikan sticky notes kuning yang Jonathan tempelkan pada tutup kotak bekalnya. Jika dipikirkan baik-baik, maka pesan dalam sticky notes tersebut lumayan sendu harapannya. Cepat sembuh, ya? Entahlah, Sara sendiri sudah pupus harapan soal sembuh. Jonathan mungkin mengira sakitnya kini merupakan sakit fisik, namun tidak, semuanya jauh lebih kompleks dibanding sakit fisik.
Hari pertama ospek di Jakarta, kota besar milik Indonesia dengan begitu banyak rumor buruk yang mengikutinya. Sara, gadis itu tak suka kota tempatnya berpijak sekarang. Segala rasa takutnya memberitahunya bahwa Jakarta hanya akan membawanya ke dalam jurang yang lebih dalam. Bukankah anak-anak di Jakarta menyukai dunia malam? Bukankah mereka semua tak tahu apa itu sopan santun? Bukankah hanya anak-anak kaya saja yang bisa bergaul dengan bebas?
Sara kini menghela napasnya berat. Sebenarnya, ia pun termasuk dalam kelompok orang terpandang dalam status sosial, tetapi kalau sudah masuk ke wilayah Jakarta, akankah statusnya itu masih berguna? Bukankah anak-anak di kota tempatnya berada sekarang sangat pilih-pilih dalam berteman? Baru membayangkan kebejatan-kebejatan milik Jakarta saja ia sudah merasa takut, apalagi jika sampai benar-benar bergaul dengan mereka. Besar kemungkinan ia akan dijadikan bulan-bulanan, karena tak bisa sama sekali membaur. Hari ini bahkan berjalan sesuai dengan prediksinya, yaitu penuh dengan masalah. Yah, walaupun semua masalah itu datangnya dari dirinya sendiri.
4 tahun, 4 tahun lamanya Sara akan tinggal dalam kondisi yang seperti sekarang. Ia harus menjalani masa kuliahnya dalam waktu selama itu. Oh, tidak bisakah hari ini juga ia dikembalikan ke tempat asalnya saja? Atmosfer Jakarta membuat paru-parunya mengempis. Ia tak mampu menghadapinya terlalu lama.
"Kamu harus latihan."
Sara tak menyukai kata-kata itu. Apa itu masih bisa dikatakan sebagai sebuah latihan jika ia sendiri bahkan berada pada persimpangan ambang nyawanya? Latihan macam apa yang saat dijalani rasanya bak bunuh diri secara perlahan? Mengapa orang-orang masa kini hanya sibuk memikirkan perubahan, tanpa mau menelaah cara untuk mewujudkannya? Mengapa dunia masa kini penuh dengan hal-hal yang membuatnya ingin hilang saja?
Naifkah jika Sara katakan bahwa ia kadang berpikir, sebenarnya yang salah di sini dunia atau dirinya? Ia kadang merenung dalam lamunan malamnya, bertanya pada nuraninya yang terdalam mengenai, apakah dunia benar sejahat itu hingga pantas untuk disalahkan? Ataukah sesungguhnya orang-orangnya lah yang aneh, hingga tanah tempat mereka berpijak pun ikut disalahkan. Atau sebenarnya bagaimana? Apakah itu dirinya sendiri yang terlalu busuk pikirannya?
Kapan Sara pernah memiliki hal positif dalam dirinya? Jika Sara mampu menghitungnya, maka semuanya itu mungkin hanya berjumlah sekitar 4 kali dalam satu tahun. Kira-kira seburuk itulah cara kepala Sara bersuara, selalu mengenai hal jahat yang merobek batinnya menjadi lebur.
“Kalo kita kena hukuman gimana?"
Buliran bening mulai kembali menetes dari mata Sara. Bibirnya yang berwarna merah muda kini menekuk ke bawah. Kejadian di gerbang depan kampus tadi mulai menghantuinya dengan tiba-tiba. Akankah para kakak seniornya itu benar-benar dikenai hukuman karenanya nanti? Lalu saat masa ospek selesai, akankah ketiganya bersikap sinis padanya? Akankah mereka memandang Sara sebagai seorang gadis yang menyebalkan, lalu juga tidak sopan? Begitu bukan kata kakak senior perempuan yang tadi membentaknya?
Sara tak bisa bohong. Saat dimana ia sampai di area sekitar kampus, ia tahu kalau ia pasti akan dimarahi karena alasan terlambat. Untuk itu, pikiran Sara kemudian melayang, tentang bagaimana ia akan diberi berbagai macam hukuman dan dipersulit masa ospeknya. Hal busuk tersebut kemudian menguasai nyalinya yang hanya dan selalu sekecil tubuh semut merah.
"Hei, saya tanya, dijawab!"
Ingatan tentang bagaimana jantungnya terasa seolah mau melonccat keluar dari tempatnya menggantung masih membekas jelas dalam batinnya. Tadi, Sara tak berani bicara karena takut dimarahi, namun justru saat ia tak bicara, ia malah berakhir dengan dimarahi. Dalam pikirannya, ia takut kalau ia akan ditanyai macam-macam sampai kepada alasan mengapa ia bisa telat. Jika sudah ditanyai yang itu, Sara tak akan tahu bagaimana caranya menjawab. Tak mungkin kalau ia mengatakan yang sejujurnya mengenai kondisinya yang mudah jatuh dalam lembah ketakutan. Tak semua orang yang mendengarnya bisa dan mau mengerti. Pada akhirnya, yang mereka katakan hanyalah, "Kenapa takut? Udah gede masa takut?"
Hah, dunia sudah terlalu hancur, hingga rasa takut dan penyakit mental pun memiliki batas usia untuk penderitanya.
Leon, benarkah itu nama kakak senior yang tadi mengizinkannya masuk tanpa sanksi? Sependengarannya tadi, kakak senior yang bernama Leon itu berucap dengan nada yang begitu terdengar tenang. Di tengah ketakutannya tadi, Sara mampu menangkap dengan jelas kalau Leon membelanya dengan tulus.
Katakan saja Sara aneh, tetapi seperti itulah yang kiranya ia rasakan. Sesaat setelah kejadian itu terjadi, Sara tak memikirkannya dengan rinci, karena suasana di sekitarnya yang sangat berisik dan ricuh. Kini, saat semuanya menjadi tenang, entah mengapa kejadian itu terputar jelas di kepalanya.
Seperti apa ketiga wajah kakak senior yang sempat bertengkar kecil tentangnya tadi? Sungguh, Sara tak sama sekali tahu soal itu. Kepalanya terus menunduk, selagi batinnya menjerit ketakutan. Jangankan untuk melihat wajah ketiga senior itu - untuk sekedar mengangkat kepalanya saja ia tidak memiliki keberanian.
Leon mengatakan bahwa dirinya yang akan menanggung hukuman atau sanksi yang diberikan bukan? Sara yang mengingat perkataannya itu menjadi semakin bersedih hati sekarang. Lihat, betapa merepotkan dan terkutuknya kehadirannya di sekitar banyak orang. Bahkan untuk orang baik seperti sosok Leon yang tak Sara ketahui wajahnya, hanya ada kesialan yang akan menimpa lelaki senior itu nanti.
Tangis Sara saat ini berbeda dengan tangis yang sebelumnya. Kali ini, lebih terkesan sangat tenang tanpa suara. Saat-saat merenung adalah saat-saat ia memikirkan segala kebodohan yang sisi dirinya miliki. Ia kini tak memiliki kemampuan apapun untuk membantu sosok Leon keluar dari hukumannya, tetapi setidaknya ada satu hal yang bisa ia lakukan, yaitu dengan mengucap doa pada pertolongan baiknya tadi. Kemudian - oh, Jonathan pula. Lelaki itu tak kalah baiknya dengan Leon. Lagi pun, Jonathan berasal Bandung, kota yang penuh dengan kisah romansanya yang menggelitik.
Bicara tentang Jonathan, lelaki itu sungguh memiliki kepribadian yang hangat. Sara kini memiliki perkiraan bahwa siapa pun yang berada di sekitarnya pasti akan merasa nyaman. Lelaki itu tahu waktu saat tengah bertindak, kapan waktunya untuk bergurau, kapan waktunya untuk serius, kapan waktunya untuk menjadi tenang dan kapan waktunya untuk menjadi dewasa.
Terlalu cepatkah Sara dalam mengambil kesimpulan mengenai pribadi Jonathan? Tidak tahu, Sara tak ingin ambil pusing soal itu. Jika melihat latar belakang tempatnya sebelumnya tinggal, maka rasanya sangat masuk akal Jonathan memiliki kepribadian yang hangat dan pengertian.
Sara tahu, Sara tahu kalau tak semua orang yang berasal dari Bandung itu berkepribadian hangat, tetapi setidaknya seperti itulah yang novel-novvel romansa katakan. Kemudian, saat melihat Jonathan, Jonathan cukup untuk membuktikan bahwa lelaki itu memang mempresentasikan orang-orang Bandung dalam novel dengan baik.
Akankah Sara memiliki teman nanti? Tidak, Sara tahu ia tidak akan punya teman nantinya. Megapa? Itu, tentu saja karena ia tak mau. Kembali lagi pada pemikiran Sara sebelumnya, yaitu tentang orang-orang Jakarta yang sudah tercemar. Sara tidak mau bergabung dan menjadi sama dengan mereka semua. Rasanya akan mencari mati. Lagi pun, dengan penyakit yang tengah dideritanya sekarang, Sara hanya akan berakhir dengan dijadikan bahan lucu-lucuan.
Bagi Sara, Jakarta berbahaya, ia sangat anti dengannya. Kemudian Bandung, Sara sesungguhnya memiliki impian untuk menetap di Bandung, karena suasana hangat yang ditimbulkannya dalam setiap tulisan sastra.
12:30 WIB "Leon, lo dipanggil sama Justin." Yang merasa namanya disebut menoleh. Didapatinya sosok Galih yang tengah berjalan pelan ke arahnya. "Justin dimana, bang?" tanyanya kemudian. "Dalem ruang sekre," jawab Galih. Leon yang mendengarnya pun mengangguk paham. "Oke, makasih ya, bang!" "Yoi, ati-ati ntar kalo nginjek semut." Leon tertawa singkat sebelum akhirnya berjalan menuju ruangan tempat dimana Justin tengah berada. Kakinya melangkah dengan langkahan yang terlihat sedikit berlari. Saat ini merupakan waktu istirahat makan siang untuk seluruh peserta dan panitia. Leon tadi pun sebenarnya baru saja menerima kotak ayam sabananya. Tapi, tiba-tiba saja Galih, kakak senior dan rekan satu panitianya itu memanggilnya, memberitahunya bahwa Justin si ketua himpunan memanggilnya. Tok tok Ckrek "Wih, Leon apa kabar?" "Woo, koko China mau jualan ayam,
12:55 WIB Dapat Sara lihat sosok Seren yang berjalan memasuki klinik tempatnya mendekam dengan perlahan. Seren tampak tersenyum ramah pada Sara, hingga Sara yang mendapatinya pun mencoba untuk balas tersenyum. Sekian lama terisolasi dari ospek, Sara sudah berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki pikirannya. Hari ini setidaknya harus diselesaikan terlebih dahulu, jangan lagi jatuh seperti tadi, karena kembali lagi, meski tak menyukai Jakarta dan memiliki pemikiran buruk dengan para warganya, Sara tak ingin menjadi beban bagi mereka. Lagi pun, terjatuh seperti tadi tak hanya merepotkan orang lain, tetapi juga merepotkan dirinya sendiri. "Hai Sara, kamu udah sembuh?" sapa Seren sembari mendudukkan dirinya tepat di samping Sara. Sara yang mendengarnya pun mengangguk pelan. "Udah makan siang? Istirahatnya tinggal 5 menit lagi." Untuk pertanyaan tersebut, Sara jujur tak tahu harus bagaimana menjawab. Pasalnya, ia tadi memakan bekal milik Jonathan
Sara dan Seren akhirnya sampai pada kelompok mereka. Untung saja keduanya sampai tepat waktu, yaitu bersamaan dengan sirine yang berhenti dibunyikan. Kata Seren, sirine itu merupakan pertanda bagi para peserta ospek mengenai keterlambatan perpindahan sesi atau waktu. Selama sirine itu dibunyikan, maka para peserta ospek memiliki kewajiban untuk berlari secepat mungkin mencari kelompoknya, karena setiap kali dibunyikan, keadaan para peserta ospek pasti tengah terpisah-pisah dengan kelompok mereka. Kalau seandainya ada yang belum bergabung dengan kelompok saat sirine berhenti diperdengungkan, maka hukuman pasti akan diberlakukan karena dianggap terlambat. Napas Sara kini tersengal hebat. Setelah menabrak seseorang yang tinggi tadi, Seren menarik tangannya dengan lebih kencang, hingga Sara yang ditarik pun sampai kuwalahan sendiri. Tapi, meski begitu Sara sangat ingin berterima kasih pada Seren, pasalnya kalau tidak berlari menerobos kerumunan sekencang tadi, keduanya pa
Dokter Ilmu Kejiwaan, begitulah nama kelompok ospek dimana Sara bernaung. Kata Seren, nama itu diambil atas pendapat atau ide yang disampaikan oleh Miki. Filosofinya berasal dari bidang fokus setiap jurusan para anggota di dalamnya, yaitu jurusan kedokteran, ilmu komunikasi dan psikologi. Selama Sara masih mendekam dalam klinik tadi, ada banyak hal yang kelompoknya diskusikan, termasuk yel-yel yang akan ditampilkan mulai pada ospek di hari esok. Semuanya itu, Seren menceritakannya selagi mereka tengah dalam perjalanan untuk melakukan tur kampus. "Ini merupakan lab anak-anak pariwisata. Mereka biasanya buka cafe setiap hari Rabu dan Jumat. Kalian kalo mau mampir boleh banget, ya. Tenang, menu-menunya enak semua, kok. Habis itu harganya juga terjangkau." Sara sedikit berjinjit untuk melihat sisi dalam ruangan menyerupai cafe, yang kata kakak pemandu adalah lab bagi para mahasiswa program studi pariwisata. Mari kita sebut saja kalau itu memang merupakan cafe sungguh
15:15 WIB Kelompok Sara kini sudah terduduk di bawah pohon rindang, tempat yang sempat mereka duduki sebelumnya. Tampaknya, tempat tersebut sudah menjadi hak milik kelompoknya. Lihat saja Guntoro, sosok kakak pendamping dengan pribadi cerianya itu berlari paling kencang menuju bawah pohon rindang yang sejuk. Guntoro lalu tersenyum sambil berkecak pinggang, menunggu anak-anak asuhnya sampai ke tempat ia sampai. Sara menselonjorkan kakinya yang kecil. Rasanya sedikit pegal, karena dua jam suntuk dipakai untuk berjalan, mengitari seisi gedung kampus barunya yang sangat luas."Guys, abis ini kita bakal dapet tugas untuk tulis laporan sederhana tentang hal-hal apa aja yang kita dapet dari tur kampus tadi. Laporannya nanti bakalan dipake buat maju presentasi." Guntoro mulai menjelaskan kegiatan selanjutnya sembari tangannya bergerak untuk mengipas-ngipas diri yang tampak berkeringat. "Presentasi? Emangnya kuat bang sampe ntar jam 5 sore? Bukanny
Sara meremat jari-jarinya kasar. Betapa terkejutnya ia saat Tari mengatakan hal barusan. Ternyata apa yang ia pikirkan bukan sekedar perasaan jahatnya, tapi memang benar-benar terjadi, yaitu tentang dirinya yang sangat merepotkan. Kepala Sara menunduk dalam dengan batinnya yang kini tergores besar. Kata-kata Tari sangat membuatnya tersayat dan perlahan kembali pada rasa takutnya. Teman-teman Sara itu, apa hanya Tari yang berpikir bahwa Sara belum bekerja apapun? Apa yang lain juga berpikir bahwa Sara sangat tumpang tangan? Mengapa dugaan-dugaan seperti itu terasa menyakitkan? Sungguh, Sara kini berusaha begitu keras untuk tidak membiarkan bahunya kembali bergetar dan rasa takut kembali menguasai dirinya. "Sara, jangan kumat lagi!" Bak baru saja dihantam truk yang beratnya berton-ton, seluruh inci tubuh Sara melemas. Meski tak melihat bagaimana air muka Tari saat mengatakannya, Sara mampu mendengar dengan jelas nada suara yang Tari timbulkan dari peringatannya bar
17:30 WIB Sara menarik napasnya dalam. Langit kini sudah mulai beralih menjadi abu-abu. Kegiatan ospeknya baru saja dibubarkan. Mereka ternyata selesai sedikit terlambat, karena masalah pengaturan barisan yang sedikit lama. Pun juga, karena para kelompok yang presentasi ada beberapa yang melakukan presentasi dengan sangat detail, hingga kedua MC sedikit kesulitan menemukan celah untuk menyela. Omong-omong, kelompok Sara tadi tak mendapat kesempatan maju, jadi pekerjaan kelompoknya hanya berkahir dengan dikumpulkan. Sara kini mengenakan jaket merah muda kebesarannya yang ia simpan dalam ransel hitamnya, sebelum kegiatan ospeknya yang sesungguhnya benar-benar dimulai. Jaket itu memiliki tekstur kain yang lembut. Ketika memakainya, rasanya cukup sejuk, bahkan ketika Sara tak sama sekali mendapat angin dari udara di sekitarnya. "Sara, aku duluan, ya!" Sara mengangguk kecil pada sosok Seren yang baru saja berpamitan padanya. Senyumnya merekah tipis dengan tulu
Sara melangkahkan kakinya mengikuti sosok lelaki tinggi di hadapannya. Malangnya nasibnya. Pada akhirnya, Sara menurut tanpa perlawanan apapun juga. Bahunya yang sempit itu bahkan tak bisa lagi bergetar, karena sudah terasa lemas. Sara pikir ia sudah terlalu lelah hari ini. Ada begitu banyak hal yang menimpanya, hingga tubuhnya sendiri sampai tak bisa memberikan reaksi apapun terhadap ketakutan yang Sara tengah alami. Sara sesekali menatap lurus ke depan, memandang punggung lebar milik si lelaki tinggi. Dalam pikirannya, Sara berusaha menerka mengenai hal apa yang sekiranya akan menimpanya nanti. Jika lelaki itu benar merupakan orang jahat, bagaimana cara lelaki itu akan menjahatinya nanti? Mau dirampok? Disakiti? Atau hal-hal menajiskan lainnya? Entahlah, meski takut, Sara tak tahu kenapa matanya terus menatapi si lelaki dengan pandangan yang penuh dengan perandaian. Apakah parkiran kampus sejauh itu? Mengapa Sara merasa kalau keduanya tak kunjung sampai? Sedari
Sara terduduk di jok belakang - jok penumpang - di motor besar milik Leon. Gadis itu memakai helm berat milik Leon juga di kepalanya. Sedangkan Leon sendiri, si pemilik helm, lelaki itu tak memakainya. Katanya, keselamatan penumpang jauh lebih penting dibanding keselamatan pengemudi. Entah dari mana pembelajaran seperti itu Leon dapatkan, yang jelas Sara memilih untuk tak banyak bicara. Sara hanya berakhir dengan mengikuti segala perkataan Leon padanya. Angin malam kota Jakarta terasa sejuk dan dingin saat menerpa kulit. Sara memilih untuk tidak mengenakan jaketnya, karena kulitnya yang baru saja diolesi salep lagi. Rambut Sara yang panjang berterbangan diterpa oleh kencangnya tabrakan angin bagi dirinya. Omong-omong, tadi juga ia menggerai rambutnya, karena merasa bahwa kondisi sudah tak tengah panas lagi. Saat ini waktu menunjukkan pukul 19:00 pm. Bakso yang mereka tunggu itu akhirnya datang juga setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama. Sesudah menyantap habis bakso, Leon meng
"Kenapa?" Sara terkesiap ketika Leon tiba-tiba membuka matanya dari doanya. Lelaki itu terkekeh kecil saat mendapati Sara tengah memperhatikannya dengan segala pikirannya yang melayang kemana-mana. Cukup memalukan bagi Sara sebenarnya. Dirinya tak mau kalau Leon sampai salah sangka dengannya, atau pun merasa tak nyaman atas tingkahnya barusan. "Maaf, kak," ujar Sara kemudian. Leon lalu terlihat kembali terkekeh. Tangannya kini mulai bergerak untuk meraih mangkuk sekoteng hangatnya. "Dimakan, itu kalo dingin rasanya jadi aneh." Sara menurut. Ia mengikuti Leon, untuk segera juga meraih mangkuknya. Pikirnya, sekoteng merupakan minuman atau kuliner yang tak begitu populer di tempatnya berasal. Karenanya, untuk tahu cara menyantapnya, ia perlu memperhatikan dan mengikuti Leon terlebih dulu. Bisa saja imajinasinya mengatakan: sendokkan kuah bersamaan dengan sedikit isiannya, tetapi ternyata pada kenyataannya, seharusnya dicicip dahulu kuahnya. "Cara makannya bebas, kayak kue balok kemarin
18:00 WIB Sara terdiam bersama dengan Leon di sampingnya. Matanya sibuk memandangi indahnya langit sore yang mulai meredup. Di tengah itu, suasana yang sepi nan tenang menyapa, meninggalkan kesan yang sangat nyaman bagi Sara. Angin tempat dimana mereka, Sara dan Leon terduduk pun terasa sangat sejuk, sedikit dingin, namun tak sampai yang membunuh. Taman Kota Sudirman, di sana lah keduanya tengah berdiam. Dengan mulut yang terkatup rapat, netra keduanya sibuk menjelajah langit abu-abu gelap, simbol bahwa hari akan berganti malam. Suasana semacam sekarang merupakan suasana yang sungguh bersahabat dengan batin Sara yang riwuh. Bayangkan saja, kepala Sara sudah sangat berisik, pun batinnya. Kemudian, dirinya ditempatkan di tengah lautan manusia yang terus-menerus harus berteriak dengan otot - tentulah Sara merasa sangat hancur baik dari psikis maupun psikologis. Saat ini merupakan saat-saat healing baginya. Hhh Sara menarik napasnya dalam-dalam. Udara di sekitar Jakarta tempatnya tin
Mata Sara memaku memandangi sosok-sosok mahasiswa baru yang tengah menjalani hukuman dari para panitia keamanan. Ini sudah waktunya pulang, tetapi para mahasiswa tersebut masih harus menjalani hukuman akibat perbuatan mereka sebelumnya. Sara pikir hukuman hanya diperbolehkan untuk berjalan selama jam ospek belum berakhir, tapi ternyata tidak begitu. Diri Sara melamun dengan pikirannya yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Sebentar ke arah para mahasiswa yang sedang dihukum, sebentar ke arah kulitnya yang terasa sangat panas kini, sebentar lagi ke arah bahwa dirinya ingin menangis ditempat, kemudian sebentar ingin segera menginjakkan kaki di kamar apartemennya. Sara tengah terduduk di sebuah lapangan, dimana para mahasiswa baru atau para peserta ospek sedang berhamburan keluar menuju gerbang. Sara tak begitu peduli perihal itu. Pikirannya yang blank membuatnya menjadi seperti mayat yang dipaksakan untuk hidup; tidak mampu berpikir, tetapi juga memil
Sara memilih untuk pasrah saat gilirannya untuk maju tiba. Kulitnya yang terasa sakit itu sudah diabaikannya kini. Lelah sendiri jika harus memikirkan hal-hal yang memberatkan pikiran. Biar saja kulitnya itu menjerit kesakitan. Kalau pun harus pingsan, maka terjadilah. Atau, kalau pun harus terjadi kecelakaan, terjadilah juga. Bukankah kehidupan Sara tak jauh-jauh dari yang namanya kesialan? Untuk apa pula Sara mengharapkan hal baik terjadi? Takdir baginya ditulis untuk menderita, bukan untuk menikmati apa yang orang lain bisa nikmati.Setelah semua alat pengaman dan segala perlengkapan dipasangkan di tubuhnya, Sara menarik napasnya dalam. Kali ini, Sara melarang keras hatinya untuk mengucap permohonan pada Yang Kuasa. Ia tak hanya mengunci mulutnya, tetapi juga kebebasan batinnya untuk berseru pada Yang Lebih Tinggi. Tak ada gunanya. Malah akan seperti orang bodoh yang mengemis. "Sara, semangat!" Sara menoleh pelan ke arah rekan-rekannya yang berteriak menye
14:00 WIB Kulit Sara terasa terbakar. Sinar matahari siang ini sangat keterlaluan. Sara yang tak pernah sama sekali merasakan sengatnya, kini benar-benar merasakannya. Ingin sekali Sara berlari dari tempatnya berdiri, namun rasanya tak mungkin. Jika saja itu terjadi, maka masalah baru akan timbul nanti. Sara harus menghindari yang seperti itu, karena jam pulang semakin dekat. Drama adalah hal yang anti di jam-jam rawan seperti sekarang. Setelah melewati pos 5 yang sungguh menguras keringat tadi, kelompok Sara sudah berpindah ke pos 6, yaitu pos panjang tebing. Astaga, siang-siang terik begini panjat tebing, Sara tak bisa membayangkan, sebrutal apa matahari akan memanggang mereka semua nantinya. Rasanya tak akan kuat jika harus melakukannya. "Sara, menurut kamu, semuanya bakal kebagian panjat tebingnya, gak?" celetuk Seren. Sara yang mendengarnya pun menoleh sembari kepalanya sedikit menunduk. Bisakah Sara melepaskan ikat rambutnya saja sekarang? Ti
Dengan segala paksaan tenang dari Sara, Leon akhirnya benar-benar memakan jatah makan siang Sara setengahnya. Keduanya membagi dua porsi makan siang itu atas kehendak Sara. Jujur saja, selain mengenai porsi makan Sara yang tak begitu banyak, Sara juga tak enak jika hanya dirinya yang makan, sedangkan Leon sibuk memperhatikannya. "Habis ini kelompok lo dapet pos berapa?" tanya Leon setelah dirinya kembali dari membuang sampah bungkusan makanan. Mendengarnya, Sara tampak terdiam sejenak untuk berpikir. "Pos 5, kak," jawab Sara. Leon mengangguk paham."Udah tau pos 5 ngapain belum?" tanya Leon lagi. Lelaki itu seolah ingin membuat percakapan baru dengan Sara. Beruntung Sara sudah dalam kondisi pikirannya yang jernih, jadi tak perlu ia mengabaikan Leon. "Futsal?" Leon seketika mengangguk cepat dengan senyum di wajahnya. Kelihatannya lelaki itu akan segera menceritakan cerita baru untuk diperdengarkan pada Sara. Kini, Sara hanya bisa menunggu,
12:30 WIB Tangis Sara berangsur-angsur berhenti dari sesenggukannya. Gadis itu kini tengah mengelap bekas air matanya yang tersebar membasahi seluruh permukaan wajahnya, dengan sapu tangan yang Leon baru saja berikan padanya.Kepala Sara menunduk dalam diamnya. Rasanya sedikit lebih lega karena racun dalam batinnya yang sudah dikeluarkan lewat tangis. Sekarang, Sara tinggal menunggu kepalanya menjadi jernih kembali, sebelum akhirnya ia bisa berbicara pada sosok Leon di sampingnya. Sara tadi terus menangis dalam durasi waktu yang lumayan panjang, kira-kira 30 menit lamanya. Selama itu, Leon hening. Lelaki asing itu hanya diam sembari memainkan dan mencabuti rumput hijau yang tengah didudukinya. Sesekali, matanya memperhatikan Sara dengan pandangan yang tak dapat diartikan. Untuk itu, jelas Sara tidak tahu. Pasalnya, Sara terlalu sibuk dengan tangisnya yang tersedu. "Maaf, kak..." lirih Sara dengan suaranya yang terdengar serak. Perlahan, sosok Leon
Sara menyandarkan punggungnya di salah satu pilar di lapangan tempatnya terduduk. Dirinya terus terdiam dengan pandangannya yang kosong. Omongan Tari masih menghantuinya, mengakibatnya tak bisa memikirkan hal-hal positif sedikit pun. Sedari tadi, Seren dan gadis-gadis lain selain Tari terus ada bersamanya. Mereka menemaninya sembari berusaha membicarakan banyak hal yang menyenangkan, berharap Sara dapat kembali dalam kondisinya yang baik-baik saja. Sesungguhnya Sara merasa tak enak dari 2 sisi. Sisi pertama adalah dari sisi rekan-rekannya. Mereka sudah mengusahakan yang terbaik untuk membuat hati Sara menjadi sedikit membaik.Namun, dalam waktu yang bersamaan, sisi dari dirinya merasakan perasaan yang tak nyaman. Saat seperti sekarang adalah saat-saat dimana Sara seharusnya berdiam diri dan merenung sendirian, membiarkan air matanya tumpah untuk mengeluarkan segala racun yang mengendap dalam batin. Omong-omong, kelompok Sara sudah selesai melakukan lomba lari