Home / Romansa / Berbagi Luka / Pemikiran dan Tangisan

Share

Pemikiran dan Tangisan

"Takut..." lirih Sara dengan suaranya yang sangat kecil. Lelaki itu, seorang teman yang Guntoro bawa padanya bahkan harus mencondongkan tubuhnya terlebih dahulu agar suaranya mampu terdengar.

"Gimana?"

"Takut..." ulang Sara penuh dengan penekanan dalam batinnya. Ia seolah tahu apa yang akan terjadi padanya ketika kata itu melengos keluar dari bibirnya. Kemungkinan paling besar yang akan ia alami adalah tentang bagaimana orang-orang di sekitarnya memandanganya sebagai seorang gadis aneh, yang bisa tiba-tiba merasa takut di tengah kondisi yang terhitung santai dan luwes.

"Takut? Kamu takut apa?" tanya lelaki itu lagi. Sara yang mendengarnya pun tambah menangis. Ia menangis karena tekanannya terasa makin bertambah. Apa yang harus ia lakukan? Serinci itukah jawaban yang teman Guntoro itu perlukan? Jika saja dirinya bisa meminta maaf, maka pastilah ia akan melakukannya sekarang. Ia sadar kalau kondisinya membuat situasi kelompoknya menjadi ricuh.

"Kak, Sara kasian banget sampe gak kuat ngomong gitu. Bisa minta tolong dibawa ke UKS atau tempat semacamnya gitu aja gak?" Jonathan kembali bersuara. Dalam pikiran Sara kini, ia seharusnya mampu beranggapan bahwa Jonathan itu merupakan seorang teman yang baik. Tetapi, karena rasa takut yang lumayan parah tengah mengkonsumsinya, ia kini tak bisa memikirkan hal lain selain ingin pulang. Ia benar-benar membuat orang lain dan dirinya sendiri kesusahan.

"Ya ampun, Sara, kamu kalo geter terus gitu malah keliatan kayak bor tanah. Ayok, gak apa-apa, aku anterin ke klinik kampus." Teman Guntoro memutuskan untuk ambil tindakan. Ia kemudian berdiri dari posisi jongkoknya. Dibantunya Sara untuk juga ikut berdiri bersamanya. Sungguh, kakinya bahkan tengah gemetar.

"Kak, gue bantuin, ya?" ujar Jonathan menawarkan diri. Teman Guntoro yang melihatnya pun mengangguk setuju.

"Toro, lo urus anak-anak lo yang lain. Soal Sara Melody biar gue yang urus." Guntoro tampak mengangguk paham. Ia lalu membiarkan sosok kecil dan lemas Sara untuk dibawa ke klinik kampus oleh temannya dengan bantuan Jonathan, salah satu anak asuhnya.

Kembali lagi pada Sara. Gadis itu kini tambah menundukkan kepalanya selagi dirinya berjalan pelan ke tempat kemana ia sedang dituntun. Pusat perhatian, seperti itulah yang tengah dirinya hadapi kini. Ia mampu merasakan mata-mata yang asing tengah menatapinya. Entah itu karena penasaran, tak suka atau apapun itu, Sara tidak begitu mengetahui rincinya. Tetapi, yang jelas tatapan-tatapan itu membuatnya tambah takut.

Dimana klinik itu terletak? Mengapa rasanya jauh sekali? Jonathan dan teman Guntoro yang membantunya di dua sisi tak sama sekali bicara. Mereka hanya fokus pada jalanan setapak yang Sara pijak, takut-takut kalau ia terjatuh. Sungguh, Sara bahkan sudah tak mampu berpikir ke sana. Kabut gelap tengah menutupinya.

Sara menggigit bibir bawahnya kuat, hingga kemungkinan besar akan beresiko robek. Seluruh perasaan tak karuan tengah sangat mengganggunya sekarang. Mengapa ia harus menghadapi semua ketakutan dan kekhawatiran menyiksa ini? Mengapa dunianya selalu dipenuhi dengan asap mengepul hitam nan pekat? Mengapa jalannya tak pernah bisa lurus? Mengapa semuanya selalu berakhir seperti sekarang? Siapa sebenarnya perancang takdir? Mengapa jahat sekali karena membiarkan ia jatuh pada takdir hidup yang menyakitkan dan menyiksa?

Sakit sekali. Bahkan jalanan yang kini masih ia pijak, semuanya terasa dipenuhi dengan kabut roh, yang kemudian membawanya pada tangis tak berujung. Pertanyaan-pertanyaan dalam batinnya terus meronta-ronta. Bagaimana bisa gadis sepertinya memiliki begitu banyak perasaan tak terbendung? Hidup dalam kekhawatiran dan ketakutan, rasanya sangat tidak mengenakkan.

Cklek

Sebuah pintu kaca dibuka dengan perlahan. Jonathan dan teman Guntoro pun kembali menuntun Sara untuk masuk ke dalam secara perlahan-lahan. Akhirnya, perjalanan yang hanya memakan waktu beberapa menit itu selesai. Ketiganya kini sudah berada di dalam lingkungan klinik. 

"Duduk di sini dulu," ujar teman Guntoro sembari membantu Sara untuk mendudukkan diri di atas kursi keras dalam klinik. Sara tak banyak bicara. Dengan sesenggukannya yang masih ada, ia hanya menurut. 

Kepala Sara terus menunduk dalam. Rambutnya yang hitam panjang menutupi seluruh permukaan wajahnya dengan sempurna. Bahunya masih gemetaran dengan segala beban tak kasat mata yang terus ia tanggung. Rasa takut dan khawatirnya tak kunjung pergi darinya. Mereka terus membisikkan hal-hal buruk padanya, tak peduli mengenai bagaimana batinnya menjerit, memohon untuk berhenti. 

"Sara, gue bikinin teh anget, ya?" tawar teman Guntoro kemudian. Sara yang mendengarnya pun hanya mampu mengangguk lemah. Dalam waktu yang bersamaan, bayangan tentang kejadian di depan gerbang kampus tadi terputar di kepalanya, menjadi tombak baru baginya. Padahal, saat waktu terjadinya, ia tak begitu memikirkannya. 

"Gulanya mau yang less, medium, atau normal?" 

"Het, kak, orang lagi sakit begini lo gituin!" tegur Jonathan. Lelaki itu tampak begitu peduli dengan keadaan Sara yang sudah tak karuan perasaannya. Sedari tadi, segala tindakan kecilnya untuk Sara terasa tulus. Namun, meski begitu Sara tak mampu memikirkannya sampai sana. Kembali lagi, keinginannya saat ini hanyalah tentang pulang ke apartemennya. 

"Gue serius, woi. Siapa tau Sara punya riwayat diabetes, kan?" ucap teman Guntoro membela diri. 

"Gue bikinin yang gulanya normal aja, ya? Lo beneran udah gak bisa ngomong kayaknya." Sesaat setelah mengatakannya, teman Guntoro itu melengos pergi. Entah kemana, Sara tak tahu, yang jelas tujuannya adalah untuk membuatkannya teh hangat. 

Jonathan, teman satu kelompok Sara itu kini mendudukkan diri tepat di sampingnya. Sara tak ingin ambil pusing soal itu. Pikiran dan batinnya belum juga beralih pada masa tenang. Hanya itu fokusnya sekarang. Keinginannya soal pulang, ia tahu kalau keinginan itu pada akhirnya akan membawa bencana jika dibiarkan untuk terucap. Semua yang memenuhi batinnya haruslah dibersihkan sekarang. Meski tak menyukai Jakarta dan segala tentangnya, Sara tak bisa bertindak egois. Ia tak boleh menghambat atau membebani orang-orang kelompoknya. 

"Sara, lo udah sarapan belum?" Suara Jonathan menyeruak masuk ke dalam telinganya. Sara yang mendengarnya pun tak bersuara. Ia hanya terdiam sembari kepalanya terus menunduk. Bibirnya itu terasa sulit sekali untuk digerakkan. 

"Kalo misalnya lo belum sarapan, lo bisa makan bekal gue. Mama gue siapin pentol goreng sama nasi tadi pagi," tawar Jonathan dengan suaranya yang pelan. Untuk itu, Sara lagi-lagi terdiam. Ia tak mengerti dan tak tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan sosok Jonathan yang di matanya sempat menimbulkan kesan seorang lelaki periang saat mengenalkan dirinya tadi. Pun, segala yang tengah ia rasakan kini seolah menahan mulutnya untuk tak sama sekali bicara. 

"Sebentar, nanti waktu Kak Fajar ke sini, gue minta izin buat ambil kotak bekal gue." Jonathan kembali berucap. Di balik nadanya yang terkesan begitu pelan itu, terdapat sebuah kilatan pengertian yang mampu Sara rasakan sekilas. Perasaan yang tengah Sara tenangkan itu kini mampu sedikit demi sedikit memikirkan tindakan baik Jonathan padanya. 

Drap 

Drap 

Drap 

"Sara, maaf kalo lama, ya. Ini teh angetnya, lo minum dulu." Sara mengangkat kepalanya pelan. Sesenggukan tersisa yang masih ia keluarkan itu kemudian berhenti sejenak. Beberapa rambutnya kini tertempel pada wajahnya yang basah. Hal itu lalu disadari oleh lagi, Jonathan teman satu kelompoknya. Lelaki itu dengan sopannya meminta izin pada Sara untuk membantunya menyingkirkan rambut-rambutnya dari sana agar ia bisa dengan mudah minum. 

"Kak, gue izin ambil kotak bekal gue, ya? Sara belum sarapan." 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status