"Ya ampun, Sara, kamu kalo geter terus gitu malah keliatan kayak bor tanah. Ayok, gak apa-apa, aku anterin ke klinik kampus." Teman Guntoro memutuskan untuk ambil tindakan. Ia kemudian berdiri dari posisi jongkoknya. Dibantunya Sara untuk juga ikut berdiri bersamanya. Sungguh, kakinya bahkan tengah gemetar.
"Kak, gue bantuin, ya?" ujar Jonathan menawarkan diri. Teman Guntoro yang melihatnya pun mengangguk setuju."Toro, lo urus anak-anak lo yang lain. Soal Sara Melody biar gue yang urus." Guntoro tampak mengangguk paham. Ia lalu membiarkan sosok kecil dan lemas Sara untuk dibawa ke klinik kampus oleh temannya dengan bantuan Jonathan, salah satu anak asuhnya.Kembali lagi pada Sara. Gadis itu kini tambah menundukkan kepalanya selagi dirinya berjalan pelan ke tempat kemana ia sedang dituntun. Pusat perhatian, seperti itulah yang tengah dirinya hadapi kini. Ia mampu merasakan mata-mata yang asing tengah menatapinya. Entah itu karena penasaran, tak suka atau apapun itu, Sara tidak begitu mengetahui rincinya. Tetapi, yang jelas tatapan-tatapan itu membuatnya tambah takut.Dimana klinik itu terletak? Mengapa rasanya jauh sekali? Jonathan dan teman Guntoro yang membantunya di dua sisi tak sama sekali bicara. Mereka hanya fokus pada jalanan setapak yang Sara pijak, takut-takut kalau ia terjatuh. Sungguh, Sara bahkan sudah tak mampu berpikir ke sana. Kabut gelap tengah menutupinya.Sara menggigit bibir bawahnya kuat, hingga kemungkinan besar akan beresiko robek. Seluruh perasaan tak karuan tengah sangat mengganggunya sekarang. Mengapa ia harus menghadapi semua ketakutan dan kekhawatiran menyiksa ini? Mengapa dunianya selalu dipenuhi dengan asap mengepul hitam nan pekat? Mengapa jalannya tak pernah bisa lurus? Mengapa semuanya selalu berakhir seperti sekarang? Siapa sebenarnya perancang takdir? Mengapa jahat sekali karena membiarkan ia jatuh pada takdir hidup yang menyakitkan dan menyiksa?Sakit sekali. Bahkan jalanan yang kini masih ia pijak, semuanya terasa dipenuhi dengan kabut roh, yang kemudian membawanya pada tangis tak berujung. Pertanyaan-pertanyaan dalam batinnya terus meronta-ronta. Bagaimana bisa gadis sepertinya memiliki begitu banyak perasaan tak terbendung? Hidup dalam kekhawatiran dan ketakutan, rasanya sangat tidak mengenakkan.CklekSebuah pintu kaca dibuka dengan perlahan. Jonathan dan teman Guntoro pun kembali menuntun Sara untuk masuk ke dalam secara perlahan-lahan. Akhirnya, perjalanan yang hanya memakan waktu beberapa menit itu selesai. Ketiganya kini sudah berada di dalam lingkungan klinik."Duduk di sini dulu," ujar teman Guntoro sembari membantu Sara untuk mendudukkan diri di atas kursi keras dalam klinik. Sara tak banyak bicara. Dengan sesenggukannya yang masih ada, ia hanya menurut.
Kepala Sara terus menunduk dalam. Rambutnya yang hitam panjang menutupi seluruh permukaan wajahnya dengan sempurna. Bahunya masih gemetaran dengan segala beban tak kasat mata yang terus ia tanggung. Rasa takut dan khawatirnya tak kunjung pergi darinya. Mereka terus membisikkan hal-hal buruk padanya, tak peduli mengenai bagaimana batinnya menjerit, memohon untuk berhenti.
"Sara, gue bikinin teh anget, ya?" tawar teman Guntoro kemudian. Sara yang mendengarnya pun hanya mampu mengangguk lemah. Dalam waktu yang bersamaan, bayangan tentang kejadian di depan gerbang kampus tadi terputar di kepalanya, menjadi tombak baru baginya. Padahal, saat waktu terjadinya, ia tak begitu memikirkannya.
"Gulanya mau yang less, medium, atau normal?"
"Het, kak, orang lagi sakit begini lo gituin!" tegur Jonathan. Lelaki itu tampak begitu peduli dengan keadaan Sara yang sudah tak karuan perasaannya. Sedari tadi, segala tindakan kecilnya untuk Sara terasa tulus. Namun, meski begitu Sara tak mampu memikirkannya sampai sana. Kembali lagi, keinginannya saat ini hanyalah tentang pulang ke apartemennya.
"Gue serius, woi. Siapa tau Sara punya riwayat diabetes, kan?" ucap teman Guntoro membela diri.
"Gue bikinin yang gulanya normal aja, ya? Lo beneran udah gak bisa ngomong kayaknya." Sesaat setelah mengatakannya, teman Guntoro itu melengos pergi. Entah kemana, Sara tak tahu, yang jelas tujuannya adalah untuk membuatkannya teh hangat.
Jonathan, teman satu kelompok Sara itu kini mendudukkan diri tepat di sampingnya. Sara tak ingin ambil pusing soal itu. Pikiran dan batinnya belum juga beralih pada masa tenang. Hanya itu fokusnya sekarang. Keinginannya soal pulang, ia tahu kalau keinginan itu pada akhirnya akan membawa bencana jika dibiarkan untuk terucap. Semua yang memenuhi batinnya haruslah dibersihkan sekarang. Meski tak menyukai Jakarta dan segala tentangnya, Sara tak bisa bertindak egois. Ia tak boleh menghambat atau membebani orang-orang kelompoknya.
"Sara, lo udah sarapan belum?" Suara Jonathan menyeruak masuk ke dalam telinganya. Sara yang mendengarnya pun tak bersuara. Ia hanya terdiam sembari kepalanya terus menunduk. Bibirnya itu terasa sulit sekali untuk digerakkan.
"Kalo misalnya lo belum sarapan, lo bisa makan bekal gue. Mama gue siapin pentol goreng sama nasi tadi pagi," tawar Jonathan dengan suaranya yang pelan. Untuk itu, Sara lagi-lagi terdiam. Ia tak mengerti dan tak tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan sosok Jonathan yang di matanya sempat menimbulkan kesan seorang lelaki periang saat mengenalkan dirinya tadi. Pun, segala yang tengah ia rasakan kini seolah menahan mulutnya untuk tak sama sekali bicara.
"Sebentar, nanti waktu Kak Fajar ke sini, gue minta izin buat ambil kotak bekal gue." Jonathan kembali berucap. Di balik nadanya yang terkesan begitu pelan itu, terdapat sebuah kilatan pengertian yang mampu Sara rasakan sekilas. Perasaan yang tengah Sara tenangkan itu kini mampu sedikit demi sedikit memikirkan tindakan baik Jonathan padanya.
Drap
Drap
Drap
"Sara, maaf kalo lama, ya. Ini teh angetnya, lo minum dulu." Sara mengangkat kepalanya pelan. Sesenggukan tersisa yang masih ia keluarkan itu kemudian berhenti sejenak. Beberapa rambutnya kini tertempel pada wajahnya yang basah. Hal itu lalu disadari oleh lagi, Jonathan teman satu kelompoknya. Lelaki itu dengan sopannya meminta izin pada Sara untuk membantunya menyingkirkan rambut-rambutnya dari sana agar ia bisa dengan mudah minum.
"Kak, gue izin ambil kotak bekal gue, ya? Sara belum sarapan."
Mata Sara menatap ke arah luar jalanan depan klinik tempatnya berdiam kini. Tadi, beberapa saat yang lalu Jonathan kembali masuk ke dalam kelompok, sembari meninggalkan kotak bekal hijau toscanya pada Sara. Di atas kotak bekal itu, Jonathan meninggalkan sebuah sticky notes kuning bertuliskan, Cepet sembuh, ya. Jonathan Vincentius. Hal seperti itu terhitung sederhana, tetapi cukup berarti bagi Sara yang masih dalam proses untuk masuk kedalam lingkupan suasana tenangannya. Mulut Sara tengah melakukan proses mastikasi terhadap bekal makan siang milik Jonathan. Sesungguhnya, ingin sekali Sara menolaknya. Bekal itu dibawakan oleh mama Jonathan dengan niatan baik pastinya. Mama Jonathan pasti tak ingin anak lelakinya kelaparan nanti. Namun, meski pikiran Sara mengatakan pada Sara seperti itu, mulut Sara tetap mengunci diri. Sara tak sanggup untuk sekedar berucap beberapa patah kata, bahkan untuk ungkapan terima kasih pun terasa kelu. Sendirian, Sara
12:30 WIB "Leon, lo dipanggil sama Justin." Yang merasa namanya disebut menoleh. Didapatinya sosok Galih yang tengah berjalan pelan ke arahnya. "Justin dimana, bang?" tanyanya kemudian. "Dalem ruang sekre," jawab Galih. Leon yang mendengarnya pun mengangguk paham. "Oke, makasih ya, bang!" "Yoi, ati-ati ntar kalo nginjek semut." Leon tertawa singkat sebelum akhirnya berjalan menuju ruangan tempat dimana Justin tengah berada. Kakinya melangkah dengan langkahan yang terlihat sedikit berlari. Saat ini merupakan waktu istirahat makan siang untuk seluruh peserta dan panitia. Leon tadi pun sebenarnya baru saja menerima kotak ayam sabananya. Tapi, tiba-tiba saja Galih, kakak senior dan rekan satu panitianya itu memanggilnya, memberitahunya bahwa Justin si ketua himpunan memanggilnya. Tok tok Ckrek "Wih, Leon apa kabar?" "Woo, koko China mau jualan ayam,
12:55 WIB Dapat Sara lihat sosok Seren yang berjalan memasuki klinik tempatnya mendekam dengan perlahan. Seren tampak tersenyum ramah pada Sara, hingga Sara yang mendapatinya pun mencoba untuk balas tersenyum. Sekian lama terisolasi dari ospek, Sara sudah berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki pikirannya. Hari ini setidaknya harus diselesaikan terlebih dahulu, jangan lagi jatuh seperti tadi, karena kembali lagi, meski tak menyukai Jakarta dan memiliki pemikiran buruk dengan para warganya, Sara tak ingin menjadi beban bagi mereka. Lagi pun, terjatuh seperti tadi tak hanya merepotkan orang lain, tetapi juga merepotkan dirinya sendiri. "Hai Sara, kamu udah sembuh?" sapa Seren sembari mendudukkan dirinya tepat di samping Sara. Sara yang mendengarnya pun mengangguk pelan. "Udah makan siang? Istirahatnya tinggal 5 menit lagi." Untuk pertanyaan tersebut, Sara jujur tak tahu harus bagaimana menjawab. Pasalnya, ia tadi memakan bekal milik Jonathan
Sara dan Seren akhirnya sampai pada kelompok mereka. Untung saja keduanya sampai tepat waktu, yaitu bersamaan dengan sirine yang berhenti dibunyikan. Kata Seren, sirine itu merupakan pertanda bagi para peserta ospek mengenai keterlambatan perpindahan sesi atau waktu. Selama sirine itu dibunyikan, maka para peserta ospek memiliki kewajiban untuk berlari secepat mungkin mencari kelompoknya, karena setiap kali dibunyikan, keadaan para peserta ospek pasti tengah terpisah-pisah dengan kelompok mereka. Kalau seandainya ada yang belum bergabung dengan kelompok saat sirine berhenti diperdengungkan, maka hukuman pasti akan diberlakukan karena dianggap terlambat. Napas Sara kini tersengal hebat. Setelah menabrak seseorang yang tinggi tadi, Seren menarik tangannya dengan lebih kencang, hingga Sara yang ditarik pun sampai kuwalahan sendiri. Tapi, meski begitu Sara sangat ingin berterima kasih pada Seren, pasalnya kalau tidak berlari menerobos kerumunan sekencang tadi, keduanya pa
Dokter Ilmu Kejiwaan, begitulah nama kelompok ospek dimana Sara bernaung. Kata Seren, nama itu diambil atas pendapat atau ide yang disampaikan oleh Miki. Filosofinya berasal dari bidang fokus setiap jurusan para anggota di dalamnya, yaitu jurusan kedokteran, ilmu komunikasi dan psikologi. Selama Sara masih mendekam dalam klinik tadi, ada banyak hal yang kelompoknya diskusikan, termasuk yel-yel yang akan ditampilkan mulai pada ospek di hari esok. Semuanya itu, Seren menceritakannya selagi mereka tengah dalam perjalanan untuk melakukan tur kampus. "Ini merupakan lab anak-anak pariwisata. Mereka biasanya buka cafe setiap hari Rabu dan Jumat. Kalian kalo mau mampir boleh banget, ya. Tenang, menu-menunya enak semua, kok. Habis itu harganya juga terjangkau." Sara sedikit berjinjit untuk melihat sisi dalam ruangan menyerupai cafe, yang kata kakak pemandu adalah lab bagi para mahasiswa program studi pariwisata. Mari kita sebut saja kalau itu memang merupakan cafe sungguh
15:15 WIB Kelompok Sara kini sudah terduduk di bawah pohon rindang, tempat yang sempat mereka duduki sebelumnya. Tampaknya, tempat tersebut sudah menjadi hak milik kelompoknya. Lihat saja Guntoro, sosok kakak pendamping dengan pribadi cerianya itu berlari paling kencang menuju bawah pohon rindang yang sejuk. Guntoro lalu tersenyum sambil berkecak pinggang, menunggu anak-anak asuhnya sampai ke tempat ia sampai. Sara menselonjorkan kakinya yang kecil. Rasanya sedikit pegal, karena dua jam suntuk dipakai untuk berjalan, mengitari seisi gedung kampus barunya yang sangat luas."Guys, abis ini kita bakal dapet tugas untuk tulis laporan sederhana tentang hal-hal apa aja yang kita dapet dari tur kampus tadi. Laporannya nanti bakalan dipake buat maju presentasi." Guntoro mulai menjelaskan kegiatan selanjutnya sembari tangannya bergerak untuk mengipas-ngipas diri yang tampak berkeringat. "Presentasi? Emangnya kuat bang sampe ntar jam 5 sore? Bukanny
Sara meremat jari-jarinya kasar. Betapa terkejutnya ia saat Tari mengatakan hal barusan. Ternyata apa yang ia pikirkan bukan sekedar perasaan jahatnya, tapi memang benar-benar terjadi, yaitu tentang dirinya yang sangat merepotkan. Kepala Sara menunduk dalam dengan batinnya yang kini tergores besar. Kata-kata Tari sangat membuatnya tersayat dan perlahan kembali pada rasa takutnya. Teman-teman Sara itu, apa hanya Tari yang berpikir bahwa Sara belum bekerja apapun? Apa yang lain juga berpikir bahwa Sara sangat tumpang tangan? Mengapa dugaan-dugaan seperti itu terasa menyakitkan? Sungguh, Sara kini berusaha begitu keras untuk tidak membiarkan bahunya kembali bergetar dan rasa takut kembali menguasai dirinya. "Sara, jangan kumat lagi!" Bak baru saja dihantam truk yang beratnya berton-ton, seluruh inci tubuh Sara melemas. Meski tak melihat bagaimana air muka Tari saat mengatakannya, Sara mampu mendengar dengan jelas nada suara yang Tari timbulkan dari peringatannya bar
17:30 WIB Sara menarik napasnya dalam. Langit kini sudah mulai beralih menjadi abu-abu. Kegiatan ospeknya baru saja dibubarkan. Mereka ternyata selesai sedikit terlambat, karena masalah pengaturan barisan yang sedikit lama. Pun juga, karena para kelompok yang presentasi ada beberapa yang melakukan presentasi dengan sangat detail, hingga kedua MC sedikit kesulitan menemukan celah untuk menyela. Omong-omong, kelompok Sara tadi tak mendapat kesempatan maju, jadi pekerjaan kelompoknya hanya berkahir dengan dikumpulkan. Sara kini mengenakan jaket merah muda kebesarannya yang ia simpan dalam ransel hitamnya, sebelum kegiatan ospeknya yang sesungguhnya benar-benar dimulai. Jaket itu memiliki tekstur kain yang lembut. Ketika memakainya, rasanya cukup sejuk, bahkan ketika Sara tak sama sekali mendapat angin dari udara di sekitarnya. "Sara, aku duluan, ya!" Sara mengangguk kecil pada sosok Seren yang baru saja berpamitan padanya. Senyumnya merekah tipis dengan tulu