DEG
Bak baru saja disengat lebah, Sara, si gadis yang namanya baru saja disebut itu pun terpaku di tempat. Aliran darahnya seketika terasa berhenti, macet di tengah saluran paru-parunya. Jika saja ada orang yang mau memegang tangannya, maka mereka akan merasakan betapa dinginnya tangannya bisa berubah dalam waktu sedetik.
Gilirannya? Kenapa harus ia? Sara spontan menunduk sembari memainkan jarinya kasar. Semua pikiran buruk dalam waktu angin mulai memenuhi isi kepalanya. Bagaimana jika ia menghancurkan suasana ceria yang baru saja Jonathan bangun? Bagaimana jika mereka semua itu yang memperhatikannya tidak menyukainya nanti? Bagaimana jika semuanya menjadi buruk? Akankah mereka membicarakannya di belakang? Akankah mereka menganggapnya sebagai gadis aneh?
"Sara, lo sakit?" ujar Guntoro yang kemudian segera membuyarkan lamunannya. Ia mendongakkan kepalanya, menatap sosok kakak pendamping kelompoknya dengan wajah yang super pucat.
"Eh, lo sakit beneran? Buset, ini spot kita kurang adem apa gimana? Lo kepanasan?" Guntoro tampak panik. Sara, gadis itu benar-benar terlihat ketakutan. Dirinya bahkan mulai merasakan getaran memenuhi bahunya yang sempit. Sungguh, dirinya tak bisa mengontrol semuanya. Dalam hitungan waktu angin, seluruh pikiran dan kendali dirinya hilang.
"Astaga, Sara lo sakit? Kak, ada tim kesehatan gitu gak? Kasian banget anak orang ini," sahut Jonathan dari seberang. Lelaki itu segera bangkit dari posisi duduknya yang nyaman. Ia lalu langsung mendekati sosok Sara yang sudah tak bisa lagi berkata-kata. Matanya terasa sangat panas. Ia ingin menangis, namun tak tahu apa alasannya harus menangis. Ketakutan, kah? Rasanya tidak masuk akal untuk disampaikan.
"Bentar, gue panggil panitia yang ngurus masalah kesehatan dulu." Guntoro bangkit dari duduknya. Ia kemudian segera berlari mencari tim yang ditempatkan khusus dalam bidang kesehatan. Untuk para anggota yang ditinggalnya, mereka semua menjadi sedikit ricuh, mencoba menenangkan Sara yang benar-benar terlihat bak mayat hidup.
"Sara, lo belom sarapan apa gimana? Gue bawa pentol goreng, lo mau gak?" tawar Jonathan sembari memegangi bahu Sara yang masih bergetar hebat. Sara tak kunjung menanggapinya. Kepalanya kembali menunduk dengan batinnya yang terus mengutuki diri sendiri. Mengapa seperti ini? Mengapa ia malah merepotkan orang lain?
"Heh, orang lagi sakit malah diajak bercanda!" tegur Vene yang langsung ditanggapi oleh mata yang membelak dari Jonathan. Ia tampak tak setuju dengan tuduhan yang Vene lemparkan padanya barusan.
"Lah? Gue beneran bawa pentol goreng, ya! Itu mama gue masak pagi-pagi buat bekal gue nanti siang. Ada nasinya juga, kok." Jonathan membela dirinya. Vene yang mendengarnya pun membulatkan mulutnya, karena tak tahu lagi harus berkata apa.
"Sara, kamu pucet banget. Bahu kamu juga sampe geter gitu. Kamu butuh apa? Bilang aja biar kita bisa bantu." Seren, begitulah nama si gadis yang baru saja bicara dengan intonasi lembutnya bercampur panik. Mendengarnya, Sara menoleh, menatap Seren dengan matanya yang mulai berair.
"Eh? Kamu nangis?" Tingkatan panik Seren naik menjadi lebih tinggi. Ia memandangi sosok Sara dengan terkejut. Dalam batin ia berandai, apa yang terjadi dengan Sara.
Perasaan bersalah dan rasa takut, dua perasaan itu tengah menggerogoti sosok Sara sekarang. Sara merasa bersalah karena dirinya, teman-teman kelompoknya menjadi ricuh. Padahal sebelum itu, mereka semua sedang berbahagia. Sungguh, Sara tak memiliki kendali atas perasaan tak karuan yang tengah memenuhinya kini. Ia tak ingin seperti sekarang, tetapi tiba-tiba menjadi seperti sekarang. Sara tak menyukainya. Julukan perusak suasana, apakah akan ia dapatkan suatu saat nanti?Soal rasa takut, Sara memiliki ketakutan yang level manusiawinya sudah terlewat batas wajar. Sara tak bisa berlaku apapun untuk itu. Kian kali dihadapkan pada kelompok sosial yang jumlahnya lumayan banyak, dirinya selalu berakhir dengan kondisi seperti itu. Tiap ia ditunjuk atau diharuskan untuk bicara di depan umum, darahnya seolah tak suka, hingga tiba-tiba macet sirkulasinya. Dahulu, ia bahkan tak bisa melanjutkan SMP kelas 3-nya di sekolah. Ia diputuskan untuk diikutkan program home schooling atau sekolah privat, guna mengendalikan rasa takutnya yang tak logis. Kemudian, saat menginjakkan kaki di SMA kelas 3, orang tuanya memutuskan untuk kembali menaruhnya pada sekolah sungguhan. Jujur saja, Sara ketakutan setengah mati dan malah meningkat tingkat ketakutannya hingga menjadi seperti sekarang.
Sara tak suka Jakarta. Film-film juga buku-buku selama ini selalu mempresentasikan Jakarta sebagai kota yang sudah bejat. Ada banyak kemaksiatan terjadi di sana. Sara tak mau bergabung dengan mereka. Ia takut kalau ia akan menjadi sama seperti mereka. Ia takut kalau orang-orang Jakarta akan menjahatinya. Sara membenci semua pemikiran buruknya itu, namun tak bisa juga mengendalikannya.
Teman-teman kelompoknya sangat menyenangkan, tetapi pikirannya selalu mengatakan hal-hal buruk padanya tentang mereka. Bahkan untuk Jonathan dan Seren yang kelihatan paling khawatir akan kondisinya saat ini, Sara tetap berpikiran tentang mereka. Apa mereka melakukan semuanya itu hanya untuk sekedar formalitas? Apa mereka benar-benar khawatir?
"Ini, bro, liat, sampe pucet banget gitu. Lo tolong urus, dong." Suara Guntoro kembali datang. Ia membawa seorang teman lelakinya yang juga tampak tinggi perawakannya. Lelaki itu, ia lalu mendekati posisi Jonathan yang masih berada tepat di samping Sara untuk menenangkannya.
"Permisi sebentar, ya," ujar lelaki itu pada Jonathan yang langsung diangguki. Jonathan lalu menyingkir, memberikan ruang untuk lelaki itu memeriksa Sara.
Seketika sosok lelaki itu berada dekat dengannya, Sara makin ketakutan. Tangisnya pecah, karena dirinya yang tak mampu membendung semua pikiran jeleknya dalam kepalanya yang kecil. Ia menangis dengan tersedu, karena hatinya tergores untuk luka yang ia timbulkan sendiri.Tidak masuk akal, tetapi begitulah perasaan yang Sara rasakan kini. Ia tak mau punya pikiran semacam itu, namun akal budinya tak mampu mengendalikan apa yang seharusnya menjadi miliknya. Ia pun sangat tak suka setiap kali kondisi semacam itu menyerangnya. Rasanya seolah seluruh waktunya terbuang hanya untuk menangis dan menangis.
"Waduh, kamu kenapa nangis, dek? Bro, ini lagi patah hati apa gimana?"
Bhug
"Serius itu, woy! Mukanya pucet banget!" tegur Guntoro sembari memukul pelan punggung temannya. Temannya yang mendapatinya pun hanya menggaruk tengkuknya pelan. Ia tampak bingung dengan kondisi yang Sara alami. Baginya tak pernah sekali pun ia menemui kondisi yang seperti Sara sekarang. Semuanya terlalu membingungkan.
"Kamu kenapa? Astaga, ini bahu kamu geter banget, dek. Ada suatu kondisi yang bikin kamu sakit, kah? Gimana? Kasih tau kak coba biar kakak tau harus ambil tindakan apa sama kamu," lirih lelaki itu pelan. Suaranya terdengar serak basah.
"Takut..." Sara, gadis itu membisikkan kata yang sangat mendeskripsikan perasaannya sekarang. Ia sungguh tak kuat lagi jika harus membendungnya sendirian. Ia pun tak mampu berbohong untuk membual soal penyakit yang dideritanya. Pilihan terakhir yang paling menyakitkan untuk diucapkan adalah itu, takut.
"Takut..." lirih Sara dengan suaranya yang sangat kecil. Lelaki itu, seorang teman yang Guntoro bawa padanya bahkan harus mencondongkan tubuhnya terlebih dahulu agar suaranya mampu terdengar. "Gimana?" "Takut..." ulang Sara penuh dengan penekanan dalam batinnya. Ia seolah tahu apa yang akan terjadi padanya ketika kata itu melengos keluar dari bibirnya. Kemungkinan paling besar yang akan ia alami adalah tentang bagaimana orang-orang di sekitarnya memandanganya sebagai seorang gadis aneh, yang bisa tiba-tiba merasa takut di tengah kondisi yang terhitung santai dan luwes. "Takut? Kamu takut apa?" tanya lelaki itu lagi. Sara yang mendengarnya pun tambah menangis. Ia menangis karena tekanannya terasa makin bertambah. Apa yang harus ia lakukan? Serinci itukah jawaban yang teman Guntoro itu perlukan? Jika saja dirinya bisa meminta maaf, maka pastilah ia akan melakukannya sekarang. Ia sadar kalau kondisinya membuat situasi kelompoknya menjadi ricuh. "Kak,
Mata Sara menatap ke arah luar jalanan depan klinik tempatnya berdiam kini. Tadi, beberapa saat yang lalu Jonathan kembali masuk ke dalam kelompok, sembari meninggalkan kotak bekal hijau toscanya pada Sara. Di atas kotak bekal itu, Jonathan meninggalkan sebuah sticky notes kuning bertuliskan, Cepet sembuh, ya. Jonathan Vincentius. Hal seperti itu terhitung sederhana, tetapi cukup berarti bagi Sara yang masih dalam proses untuk masuk kedalam lingkupan suasana tenangannya. Mulut Sara tengah melakukan proses mastikasi terhadap bekal makan siang milik Jonathan. Sesungguhnya, ingin sekali Sara menolaknya. Bekal itu dibawakan oleh mama Jonathan dengan niatan baik pastinya. Mama Jonathan pasti tak ingin anak lelakinya kelaparan nanti. Namun, meski pikiran Sara mengatakan pada Sara seperti itu, mulut Sara tetap mengunci diri. Sara tak sanggup untuk sekedar berucap beberapa patah kata, bahkan untuk ungkapan terima kasih pun terasa kelu. Sendirian, Sara
12:30 WIB "Leon, lo dipanggil sama Justin." Yang merasa namanya disebut menoleh. Didapatinya sosok Galih yang tengah berjalan pelan ke arahnya. "Justin dimana, bang?" tanyanya kemudian. "Dalem ruang sekre," jawab Galih. Leon yang mendengarnya pun mengangguk paham. "Oke, makasih ya, bang!" "Yoi, ati-ati ntar kalo nginjek semut." Leon tertawa singkat sebelum akhirnya berjalan menuju ruangan tempat dimana Justin tengah berada. Kakinya melangkah dengan langkahan yang terlihat sedikit berlari. Saat ini merupakan waktu istirahat makan siang untuk seluruh peserta dan panitia. Leon tadi pun sebenarnya baru saja menerima kotak ayam sabananya. Tapi, tiba-tiba saja Galih, kakak senior dan rekan satu panitianya itu memanggilnya, memberitahunya bahwa Justin si ketua himpunan memanggilnya. Tok tok Ckrek "Wih, Leon apa kabar?" "Woo, koko China mau jualan ayam,
12:55 WIB Dapat Sara lihat sosok Seren yang berjalan memasuki klinik tempatnya mendekam dengan perlahan. Seren tampak tersenyum ramah pada Sara, hingga Sara yang mendapatinya pun mencoba untuk balas tersenyum. Sekian lama terisolasi dari ospek, Sara sudah berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki pikirannya. Hari ini setidaknya harus diselesaikan terlebih dahulu, jangan lagi jatuh seperti tadi, karena kembali lagi, meski tak menyukai Jakarta dan memiliki pemikiran buruk dengan para warganya, Sara tak ingin menjadi beban bagi mereka. Lagi pun, terjatuh seperti tadi tak hanya merepotkan orang lain, tetapi juga merepotkan dirinya sendiri. "Hai Sara, kamu udah sembuh?" sapa Seren sembari mendudukkan dirinya tepat di samping Sara. Sara yang mendengarnya pun mengangguk pelan. "Udah makan siang? Istirahatnya tinggal 5 menit lagi." Untuk pertanyaan tersebut, Sara jujur tak tahu harus bagaimana menjawab. Pasalnya, ia tadi memakan bekal milik Jonathan
Sara dan Seren akhirnya sampai pada kelompok mereka. Untung saja keduanya sampai tepat waktu, yaitu bersamaan dengan sirine yang berhenti dibunyikan. Kata Seren, sirine itu merupakan pertanda bagi para peserta ospek mengenai keterlambatan perpindahan sesi atau waktu. Selama sirine itu dibunyikan, maka para peserta ospek memiliki kewajiban untuk berlari secepat mungkin mencari kelompoknya, karena setiap kali dibunyikan, keadaan para peserta ospek pasti tengah terpisah-pisah dengan kelompok mereka. Kalau seandainya ada yang belum bergabung dengan kelompok saat sirine berhenti diperdengungkan, maka hukuman pasti akan diberlakukan karena dianggap terlambat. Napas Sara kini tersengal hebat. Setelah menabrak seseorang yang tinggi tadi, Seren menarik tangannya dengan lebih kencang, hingga Sara yang ditarik pun sampai kuwalahan sendiri. Tapi, meski begitu Sara sangat ingin berterima kasih pada Seren, pasalnya kalau tidak berlari menerobos kerumunan sekencang tadi, keduanya pa
Dokter Ilmu Kejiwaan, begitulah nama kelompok ospek dimana Sara bernaung. Kata Seren, nama itu diambil atas pendapat atau ide yang disampaikan oleh Miki. Filosofinya berasal dari bidang fokus setiap jurusan para anggota di dalamnya, yaitu jurusan kedokteran, ilmu komunikasi dan psikologi. Selama Sara masih mendekam dalam klinik tadi, ada banyak hal yang kelompoknya diskusikan, termasuk yel-yel yang akan ditampilkan mulai pada ospek di hari esok. Semuanya itu, Seren menceritakannya selagi mereka tengah dalam perjalanan untuk melakukan tur kampus. "Ini merupakan lab anak-anak pariwisata. Mereka biasanya buka cafe setiap hari Rabu dan Jumat. Kalian kalo mau mampir boleh banget, ya. Tenang, menu-menunya enak semua, kok. Habis itu harganya juga terjangkau." Sara sedikit berjinjit untuk melihat sisi dalam ruangan menyerupai cafe, yang kata kakak pemandu adalah lab bagi para mahasiswa program studi pariwisata. Mari kita sebut saja kalau itu memang merupakan cafe sungguh
15:15 WIB Kelompok Sara kini sudah terduduk di bawah pohon rindang, tempat yang sempat mereka duduki sebelumnya. Tampaknya, tempat tersebut sudah menjadi hak milik kelompoknya. Lihat saja Guntoro, sosok kakak pendamping dengan pribadi cerianya itu berlari paling kencang menuju bawah pohon rindang yang sejuk. Guntoro lalu tersenyum sambil berkecak pinggang, menunggu anak-anak asuhnya sampai ke tempat ia sampai. Sara menselonjorkan kakinya yang kecil. Rasanya sedikit pegal, karena dua jam suntuk dipakai untuk berjalan, mengitari seisi gedung kampus barunya yang sangat luas."Guys, abis ini kita bakal dapet tugas untuk tulis laporan sederhana tentang hal-hal apa aja yang kita dapet dari tur kampus tadi. Laporannya nanti bakalan dipake buat maju presentasi." Guntoro mulai menjelaskan kegiatan selanjutnya sembari tangannya bergerak untuk mengipas-ngipas diri yang tampak berkeringat. "Presentasi? Emangnya kuat bang sampe ntar jam 5 sore? Bukanny
Sara meremat jari-jarinya kasar. Betapa terkejutnya ia saat Tari mengatakan hal barusan. Ternyata apa yang ia pikirkan bukan sekedar perasaan jahatnya, tapi memang benar-benar terjadi, yaitu tentang dirinya yang sangat merepotkan. Kepala Sara menunduk dalam dengan batinnya yang kini tergores besar. Kata-kata Tari sangat membuatnya tersayat dan perlahan kembali pada rasa takutnya. Teman-teman Sara itu, apa hanya Tari yang berpikir bahwa Sara belum bekerja apapun? Apa yang lain juga berpikir bahwa Sara sangat tumpang tangan? Mengapa dugaan-dugaan seperti itu terasa menyakitkan? Sungguh, Sara kini berusaha begitu keras untuk tidak membiarkan bahunya kembali bergetar dan rasa takut kembali menguasai dirinya. "Sara, jangan kumat lagi!" Bak baru saja dihantam truk yang beratnya berton-ton, seluruh inci tubuh Sara melemas. Meski tak melihat bagaimana air muka Tari saat mengatakannya, Sara mampu mendengar dengan jelas nada suara yang Tari timbulkan dari peringatannya bar