Beranda / Romansa / Berbagi Luka / Batin yang Tergores

Share

Batin yang Tergores

"Sara Melody, deh. Lo kayaknya diem banget dari tadi."

DEG

Bak baru saja disengat lebah, Sara, si gadis yang namanya baru saja disebut itu pun terpaku di tempat. Aliran darahnya seketika terasa berhenti, macet di tengah saluran paru-parunya. Jika saja ada orang yang mau memegang tangannya, maka mereka akan merasakan betapa dinginnya tangannya bisa berubah dalam waktu sedetik.

Gilirannya? Kenapa harus ia? Sara spontan menunduk sembari memainkan jarinya kasar. Semua pikiran buruk dalam waktu angin mulai memenuhi isi kepalanya. Bagaimana jika ia menghancurkan suasana ceria yang baru saja Jonathan bangun? Bagaimana jika mereka semua itu yang memperhatikannya tidak menyukainya nanti? Bagaimana jika semuanya menjadi buruk? Akankah mereka membicarakannya di belakang? Akankah mereka menganggapnya sebagai gadis aneh?

"Sara, lo sakit?" ujar Guntoro yang kemudian segera membuyarkan lamunannya. Ia mendongakkan kepalanya, menatap sosok kakak pendamping kelompoknya dengan wajah yang super pucat.

"Eh, lo sakit beneran? Buset, ini spot kita kurang adem apa gimana? Lo kepanasan?" Guntoro tampak panik. Sara, gadis itu benar-benar terlihat ketakutan. Dirinya bahkan mulai merasakan getaran memenuhi bahunya yang sempit. Sungguh, dirinya tak bisa mengontrol semuanya. Dalam hitungan waktu angin, seluruh pikiran dan kendali dirinya hilang.

"Astaga, Sara lo sakit? Kak, ada tim kesehatan gitu gak? Kasian banget anak orang ini," sahut Jonathan dari seberang. Lelaki itu segera bangkit dari posisi duduknya yang nyaman. Ia lalu langsung mendekati sosok Sara yang sudah tak bisa lagi berkata-kata. Matanya terasa sangat panas. Ia ingin menangis, namun tak tahu apa alasannya harus menangis. Ketakutan, kah? Rasanya tidak masuk akal untuk disampaikan.

"Bentar, gue panggil panitia yang ngurus masalah kesehatan dulu." Guntoro bangkit dari duduknya. Ia kemudian segera berlari mencari tim yang ditempatkan khusus dalam bidang kesehatan. Untuk para anggota yang ditinggalnya, mereka semua menjadi sedikit ricuh, mencoba menenangkan Sara yang benar-benar terlihat bak mayat hidup.

"Sara, lo belom sarapan apa gimana? Gue bawa pentol goreng, lo mau gak?" tawar Jonathan sembari memegangi bahu Sara yang masih bergetar hebat. Sara tak kunjung menanggapinya. Kepalanya kembali menunduk dengan batinnya yang terus mengutuki diri sendiri. Mengapa seperti ini? Mengapa ia malah merepotkan orang lain?

"Heh, orang lagi sakit malah diajak bercanda!" tegur Vene yang langsung ditanggapi oleh mata yang membelak dari Jonathan. Ia tampak tak setuju dengan tuduhan yang Vene lemparkan padanya barusan.

"Lah? Gue beneran bawa pentol goreng, ya! Itu mama gue masak pagi-pagi buat bekal gue nanti siang. Ada nasinya juga, kok." Jonathan membela dirinya. Vene yang mendengarnya pun membulatkan mulutnya, karena tak tahu lagi harus berkata apa.

"Sara, kamu pucet banget. Bahu kamu juga sampe geter gitu. Kamu butuh apa? Bilang aja biar kita bisa bantu." Seren, begitulah nama si gadis yang baru saja bicara dengan intonasi lembutnya bercampur panik. Mendengarnya, Sara menoleh, menatap Seren dengan matanya yang mulai berair.

"Eh? Kamu nangis?" Tingkatan panik Seren naik menjadi lebih tinggi. Ia memandangi sosok Sara dengan terkejut. Dalam batin ia berandai, apa yang terjadi dengan Sara.

Perasaan bersalah dan rasa takut, dua perasaan itu tengah menggerogoti sosok Sara sekarang. Sara merasa bersalah karena dirinya, teman-teman kelompoknya menjadi ricuh. Padahal sebelum itu, mereka semua sedang berbahagia. Sungguh, Sara tak memiliki kendali atas perasaan tak karuan yang tengah memenuhinya kini. Ia tak ingin seperti sekarang, tetapi tiba-tiba menjadi seperti sekarang. Sara tak menyukainya. Julukan perusak suasana, apakah akan ia dapatkan suatu saat nanti?

Soal rasa takut, Sara memiliki ketakutan yang level manusiawinya sudah terlewat batas wajar. Sara tak bisa berlaku apapun untuk itu. Kian kali dihadapkan pada kelompok sosial yang jumlahnya lumayan banyak, dirinya selalu berakhir dengan kondisi seperti itu. Tiap ia ditunjuk atau diharuskan untuk bicara di depan umum, darahnya seolah tak suka, hingga tiba-tiba macet sirkulasinya. Dahulu, ia bahkan tak bisa melanjutkan SMP kelas 3-nya di sekolah. Ia diputuskan untuk diikutkan program home schooling atau sekolah privat, guna mengendalikan rasa takutnya yang tak logis. Kemudian, saat menginjakkan kaki di SMA kelas 3, orang tuanya memutuskan untuk kembali menaruhnya pada sekolah sungguhan. Jujur saja, Sara ketakutan setengah mati dan malah meningkat tingkat ketakutannya hingga menjadi seperti sekarang.

Sara tak suka Jakarta. Film-film juga buku-buku selama ini selalu mempresentasikan Jakarta sebagai kota yang sudah bejat. Ada banyak kemaksiatan terjadi di sana. Sara tak mau bergabung dengan mereka. Ia takut kalau ia akan menjadi sama seperti mereka. Ia takut kalau orang-orang Jakarta akan menjahatinya. Sara membenci semua pemikiran buruknya itu, namun tak bisa juga mengendalikannya.

Teman-teman kelompoknya sangat menyenangkan, tetapi pikirannya selalu mengatakan hal-hal buruk padanya tentang mereka. Bahkan untuk Jonathan dan Seren yang kelihatan paling khawatir akan kondisinya saat ini, Sara tetap berpikiran tentang mereka. Apa mereka melakukan semuanya itu hanya untuk sekedar formalitas? Apa mereka benar-benar khawatir?

"Ini, bro, liat, sampe pucet banget gitu. Lo tolong urus, dong." Suara Guntoro kembali datang. Ia membawa seorang teman lelakinya yang juga tampak tinggi perawakannya. Lelaki itu, ia lalu mendekati posisi Jonathan yang masih berada tepat di samping Sara untuk menenangkannya.

"Permisi sebentar, ya," ujar lelaki itu pada Jonathan yang langsung diangguki. Jonathan lalu menyingkir, memberikan ruang untuk lelaki itu memeriksa Sara.

Seketika sosok lelaki itu berada dekat dengannya, Sara makin ketakutan. Tangisnya pecah, karena dirinya yang tak mampu membendung semua pikiran jeleknya dalam kepalanya yang kecil. Ia menangis dengan tersedu, karena hatinya tergores untuk luka yang ia timbulkan sendiri.

Tidak masuk akal, tetapi begitulah perasaan yang Sara rasakan kini. Ia tak mau punya pikiran semacam itu, namun akal budinya tak mampu mengendalikan apa yang seharusnya menjadi miliknya. Ia pun sangat tak suka setiap kali kondisi semacam itu menyerangnya. Rasanya seolah seluruh waktunya terbuang hanya untuk menangis dan menangis.

"Waduh, kamu kenapa nangis, dek? Bro, ini lagi patah hati apa gimana?"

Bhug

"Serius itu, woy! Mukanya pucet banget!" tegur Guntoro sembari memukul pelan punggung temannya. Temannya yang mendapatinya pun hanya menggaruk tengkuknya pelan. Ia tampak bingung dengan kondisi yang Sara alami. Baginya tak pernah sekali pun ia menemui kondisi yang seperti Sara sekarang. Semuanya terlalu membingungkan.

"Kamu kenapa? Astaga, ini bahu kamu geter banget, dek. Ada suatu kondisi yang bikin kamu sakit, kah? Gimana? Kasih tau kak coba biar kakak tau harus ambil tindakan apa sama kamu," lirih lelaki itu pelan. Suaranya terdengar serak basah.

"Takut..." Sara, gadis itu membisikkan kata yang sangat mendeskripsikan perasaannya sekarang. Ia sungguh tak kuat lagi jika harus membendungnya sendirian. Ia pun tak mampu berbohong untuk membual soal penyakit yang dideritanya. Pilihan terakhir yang paling menyakitkan untuk diucapkan adalah itu, takut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status