Home / Romansa / Berbagi Luka / Jonathan Vincentius

Share

Jonathan Vincentius

last update Last Updated: 2022-03-07 17:01:16

Gadis itu terduduk di dalam kelompoknya yang beberapa waktu lalu diumumkan oleh para kakak tingkat dengan jabatan panitianya. Ia berada dalam kelompok yang jumlahnya ada 9 orang dengan dirinya. Kemudian jika ditambah lagi oleh kakak pendamping, yaitu kakak yang bertugas untuk mendampingi dan memberi arahan pada kelompoknya, maka jumlah mereka bertambah menjadi 10 orang.

Soal kakak pendamping, secara khusus penjelasannya begini; jadi, setiap kelompok akan memiliki seorang kakak senior yang mendampingi mereka jika ada aturan, tugas atau permainan baru yang harus disampaikan, yang mereka para calon mahasiswa-mahasiswi baru dalam kelompoknya harus pahami.

Kelompok yang terbentuk untuk ospek periode kali ini terhitung melampaui 60 kelompok, dengan jumlah anggotanya berjumlah rata-rata 9-12 orang. Kemudian, kalau ada yang ingin tahu, nama kakak pendamping dari kelompok gadis itu adalah Guntoro, seorang mahasiswa hukum yang baru menginjakkan kaki di semester 3.

“Nah, sekarang gue mau kenal sama lo semua satu-satu. Kita muter aja kali, ya? Kalian sebut nama, asal sekolah, hobi dan motivasi masuk ke Jakarta University ini. Tenang aja, kalian mau perkenalan panjang-panjang juga gapapa, kok. Waktu yang disediain untuk pendekatan kelompok ini lumayan lama soalnya, 1 jam,” ujar Guntoro dengan senyuman lebarnya. Guntoro tampak seperti seorang yang suka tertawa. Entah bagaimana ceritanya, gadis itu mampu melihatnya dari air mukanya yang tampak seolah tak ada beban.

“Waduh, dari gue aja kali ya, kak? Kalo terakhir-akhir ntar malah jadi grogi,” sahut salah satu dari kawan kelompok si gadis. Dari name tag-nya, dapat si gadis lihat kalau yang baru berbicara itu bernama Jonathan.

“Boleh boleh, berarti dari lo dulu, ya. Temen-temen semuanya perhatiin. Siapa tau nanti ada yang kepincut, kan lumayan, hahaha,”

“Wei, ngeri bos!” Tawa yang menggelegar seketika memenuhi kelompok si gadis yang tengah terduduk di bawah pohon beringin besar depan kampus. Sungguh spot yang sangat sejuk.

“Oke, halo semua, nama gue Jonathan Vincentius, biasa dipanggil Jonathan. Asal sekolah gue dari SMA Dermawan Bandung. Terus soal hobi, gue suka ngabuburit sambil ngecengin bolang-bolang yang ngantri beli bakwan deket rumah gue. –“ Belum Jonathan selesai dengan perkenalannya, gelagak tawa kembali tumpah begitu menggelegar memenuhi kelompok si gadis.

“AHAHAHA! Manteb banget lo, bro! Fix, kita serupa!” Tawa kembali menyusul. Kelompok itu kini terlihat tengah dalam keadaan asyiknya, hingga si gadis menjadi ketakutan sendiri. Ia takut kalau saatnya tiba nanti, ia malah akan merusak suasana. Kemudian juga, ah! Semuanya terasa sangat mengintimidasi sekarang. Gadis itu sungguh tak menyukai bagaimana cara batinnya menanggapi sesuatu.

“Yoilah! Oke, selanjutnya itu motivasi gue masuk Jakarta University. Sebelum itu, gue mau ngingetin kalo gue bakal story telling bentar. Kalo ada yang gak suka, mohon Anda yang keluar, karena saya sudah terlalu pw ngasoy di sini, sama-sama.” Jonathan kembali mengundang gelak tawa di tengah-tengah para insan yang tak saling mengenal itu. Lelaki itu tampak memiliki bakat untuk membuat suasana canggung menjadi nyaman. Tak ada sedikit pun ketakutan yang terpancar dari matanya. Jiwa yang bebas, terbang tinggi menembus langit yang ketujuh. Gadis itu ingin memiliki jiwa yang seperti itu.

“Jadi, sebenernya awalnya itu gue gak pengen ke Jakarta, karena menurut gue jauh banget dari kota tempat gue berasal, yaitu Bandung. Gue tuh udah merancangkan gimana masa depan gue bakal berjalan setelah lulu SMA. Intinya gue pengen stay di Bandung. Tapi, keadaan menuntut gue buat pergi dari Bandung.”

“Buset, berasa baca novel, nih gue. Melow banget kisah lo ninggalin Bandung, ye,” potong seorang gadis dengan name tag-nya yang bertuliskan nama, Venelia Agatha.

“Maklum, hobi gue dulu mungutin novel-novel bekas di rongsok.” Tak usah ada lagi yang heran jika tawa kembali mengalir. Jonathan dan caranya bicara terlalu menggelikan untuk diabaikan.

“Haha, gue lanjut, ya. Waktu itu gue lagi santai, menikmati cakrawala yang warnanya gelap. Kirain gue mau ujan, tapi ternyata gue lagi pake kacamata gayanya bapak gue, makanya langitnya item.”

“Lo gokil banget woi! Ntar kapan-kapan gue ajak nongkrong, deh.” Kali ini Guntoro yang memotongnya. Wajahnya sudah memerah, dengan matanya yang berair, karena terus saja tertawa sedari tadi.

Berbeda dengan suasana yang kian mengasyikkan bagi tiap-tiap insan dalam kelompok tersebut. Gadis itu, saat telinganya mendengar kata nongkrong, nyalinya seolah baru saja dilindas oleh mobil besar. Pikiran-pikiran buruk mulai menghantuinya, mengatakan bahwa mereka adalah kelompok orang-orang bejat yang hobinya hanya mabuk-mabukkan dan merokok. Orang kota, gadis itu tak menyukai pergaulan mereka.

“Oke, nah, waktu gue lagi duduk santai itu, tiba-tiba segerombolan bolang tukang antri bakwan yang gue sebut di awal cerita tadi datengin gue. Dengan syuriken lima ribuan yang mereka anggep senjata kematian di tangan mereka, mereka nantangin gue. Katanya gini, heh, mang! Gara-gara maneh tukang bawang tutup! Aing mau nantangin maneh! Sok, kadieu lawan aing! Kata gue, lah, tukang bakwan sama gue apa urusannya?” Jonathan benar-benar merupakan seorang lelaki berkepribadian ceria, jauh lebih ceria dibanding Guntoro. Nampaknya, lelaki itu akan mendapat banyak sekali teman nantinya.

“Terus lo tanggepin gak, bro?” tanya Guntoro seraya memegangi perutnya yang kelihatannya mulai keram karena terlalu banyak tertawa.

“Gue tanggepin dengan kepala yang dingin, kak. Gue tanyain mereka, tukang bakwannya tutup dari kapan. Terus mereka jawab tutup pas shalat Jumat. Langsung gue ngomong sama mereka, yah, itu tukang bakwannya mah mau ngikut shalat, kenapa jadi aing yang disalahin?! Kirain gue para bolang itu bakal ngerti, tapi ternyata gak. Mereka malah makin jadi. Mereka nantangin gue terus, sampe ada tuh yang masang ancang-ancang silatnya. Pas gue tanya itu silat jurus apaan, dia bilang kalo itu jurus aduk dodol, dapet dari sinetron Indosiar.”

“HAHAHAHA! Hidup lo penuh petualangan mengejutkan, ya!” Kini ganti seorang lelaki lain bernama Miki lain yang menanggapi. Lelaki itu sama seperti Guntoro, wajahnya memerah karena terlalu banyak tertawa.

“Yoi, dong! Terus singkat cerita aja, ya. Dikarenakan gue ini orangnya gak suka ribut, akhirnya gue menyarankan untuk adu suit aja. Mereka gak mau tuh awalnya, terus pas gue bilang kalo mereka menang gue beliin bakwan, mereka mulai tuh perundingan meja bundarnya. Gue mikirnya pasti diterima, lah. Eh, gak taunya mereka malah masang taruhan yang lebih tinggi. Sungguh, isi taruhannya sangat-sangat mengguncang hati nurani.” Jonathan memasang raut mukanya yang tampak seperti orang yang paling tersakiti di dunia.

“Apaan emang taruhannya?”

“Katanya gini, mang, kalo maneh menang, aing sama temen-temen aing pergi dari rumah maneh. Tapi, kalo aing sama temen-temen aing yang menang, maneh harus pergi dari Bandung. Lah, kenapa malah belahan jiwa gue disenggol?”

“Lo kalah abis itu, bro? Hahaha, ngakak banget gue!”

“Iya, gue kalah telak, kak. Kalah 5-0. Waktu itu gue gak terlalu mentingin gue yang kalah dari para bolang itu. Gue mikirnya, kan cuma mainan. Lagian juga mereka masih piyik, mana peduli sama yang gituan. Terus dalam waktu yang berdekatan, kira-kira 2 hari kemudian, papa kasih kabar kalo papa harus pindah dinas ke Jakarta, jadi satu keluarga ikut pindah semua. Saat itu, berpikirlah gue, ternyata bumi pun memperhitungkan keringat yang menitik dari dahi para bolang itu saat tengah berusaha untuk menang suit dari gue...”

“MELOW BANGET LO! AHAHAHAHA!” Venelia Agatha kembali bersuara dengan matanya yang menyipit dan tubuhnya yang bergerak tak bisa diam, karena tawanya yang terlalu mengambil alih kendali tubuhnya.

“Ahaha! Nah, jadi begitulah perkenalan gue yang cukup panjang,” final Jonathan pada akhirnya. Tepuk tangan yang meriah kemudian mulai memenuhi seisi kelompok itu. Mereka tampak sangat menyukai sosok Jonathan yang kelihatan friendly.

“Keren banget, bro! Gue suka yang kayak gini! Perjuangan lo berarti panjang juga, ya. Dari yang tadinya hobinya jailin bolang-bolang Bandung, tau-tau diusir dari Bandung dan itu mengakibatkan lo terdampar di Jakarta.”

“Betul, kak! Sungguh rangkuman yang nyelekit!”

“Makanya, baek-baek lo sama anak kecil. Mereka tuh masih bersih hatinya, makanya kalo tersakiti pasti ada balesan buat yang nyakitin.” Tari Mashandra, begitulah nama yang tertulis pada name tag-nya yang menggantung di lehernya.

“Yoi, saking bersihnya tuh hati, liat orang nyungsep bukannya ditolongin malah diketawain. Bah, indah sangat idupnya,” tanggap Jonathan tak setuju. Gadis itu, di tengah rasa takutnya, ia tahu kalau kelompoknya adalah kelompok yang paling ramai. Di bawah pohon beringin yang lebat daunnya, gadis itu sesekali tersenyum kaku, takut kalau-kalau ia tampil terlalu mencolok. Mungkin saja ia akan ditunjuk nanti. Jujur saja, sampai sekarang, ia masih berandai, kapan Sang Kuasa akan mengabulkan doanya tadi pagi? Kapan ia akan dibuat menghilang?

“Eh, gue jadi tertarik buat gak usah urut gitu, deh, perkenalannya. Gimana kalo yang abis perkenalan tunjuk salah satu temennya aja buat perkenalan selanjutnya?” usul Guntoro yang ditanggapi oleh anak lain dengan anggukan tanda setuju. Berbeda dengan teman-teman satu kelompoknya, gadis itu malah menundukkan wajahnya. Mengapa firasatnya jelek sekali?

“Boleh, kak. Oke, gue tunjuk, ya...”

1

2

3

“Sara Melody, deh! Lo kayaknya diem banget dari tadi.”

Related chapters

  • Berbagi Luka   Batin yang Tergores

    "Sara Melody, deh. Lo kayaknya diem banget dari tadi." DEG Bak baru saja disengat lebah, Sara, si gadis yang namanya baru saja disebut itu pun terpaku di tempat. Aliran darahnya seketika terasa berhenti, macet di tengah saluran paru-parunya. Jika saja ada orang yang mau memegang tangannya, maka mereka akan merasakan betapa dinginnya tangannya bisa berubah dalam waktu sedetik. Gilirannya? Kenapa harus ia? Sara spontan menunduk sembari memainkan jarinya kasar. Semua pikiran buruk dalam waktu angin mulai memenuhi isi kepalanya. Bagaimana jika ia menghancurkan suasana ceria yang baru saja Jonathan bangun? Bagaimana jika mereka semua itu yang memperhatikannya tidak menyukainya nanti? Bagaimana jika semuanya menjadi buruk? Akankah mereka membicarakannya di belakang? Akankah mereka menganggapnya sebagai gadis aneh? "Sara, lo sakit?" ujar Guntoro yang kemudian segera membuyarkan lamunannya. Ia mendongakkan kepalanya, menatap sosok kakak pendamping kelompo

    Last Updated : 2022-03-08
  • Berbagi Luka   Pemikiran dan Tangisan

    "Takut..." lirih Sara dengan suaranya yang sangat kecil. Lelaki itu, seorang teman yang Guntoro bawa padanya bahkan harus mencondongkan tubuhnya terlebih dahulu agar suaranya mampu terdengar. "Gimana?" "Takut..." ulang Sara penuh dengan penekanan dalam batinnya. Ia seolah tahu apa yang akan terjadi padanya ketika kata itu melengos keluar dari bibirnya. Kemungkinan paling besar yang akan ia alami adalah tentang bagaimana orang-orang di sekitarnya memandanganya sebagai seorang gadis aneh, yang bisa tiba-tiba merasa takut di tengah kondisi yang terhitung santai dan luwes. "Takut? Kamu takut apa?" tanya lelaki itu lagi. Sara yang mendengarnya pun tambah menangis. Ia menangis karena tekanannya terasa makin bertambah. Apa yang harus ia lakukan? Serinci itukah jawaban yang teman Guntoro itu perlukan? Jika saja dirinya bisa meminta maaf, maka pastilah ia akan melakukannya sekarang. Ia sadar kalau kondisinya membuat situasi kelompoknya menjadi ricuh. "Kak,

    Last Updated : 2022-03-09
  • Berbagi Luka   Menyelami Batin Sara

    Mata Sara menatap ke arah luar jalanan depan klinik tempatnya berdiam kini. Tadi, beberapa saat yang lalu Jonathan kembali masuk ke dalam kelompok, sembari meninggalkan kotak bekal hijau toscanya pada Sara. Di atas kotak bekal itu, Jonathan meninggalkan sebuah sticky notes kuning bertuliskan, Cepet sembuh, ya. Jonathan Vincentius. Hal seperti itu terhitung sederhana, tetapi cukup berarti bagi Sara yang masih dalam proses untuk masuk kedalam lingkupan suasana tenangannya. Mulut Sara tengah melakukan proses mastikasi terhadap bekal makan siang milik Jonathan. Sesungguhnya, ingin sekali Sara menolaknya. Bekal itu dibawakan oleh mama Jonathan dengan niatan baik pastinya. Mama Jonathan pasti tak ingin anak lelakinya kelaparan nanti. Namun, meski pikiran Sara mengatakan pada Sara seperti itu, mulut Sara tetap mengunci diri. Sara tak sanggup untuk sekedar berucap beberapa patah kata, bahkan untuk ungkapan terima kasih pun terasa kelu. Sendirian, Sara

    Last Updated : 2022-03-11
  • Berbagi Luka   Panggilan ke Ruang Sekretariat

    12:30 WIB "Leon, lo dipanggil sama Justin." Yang merasa namanya disebut menoleh. Didapatinya sosok Galih yang tengah berjalan pelan ke arahnya. "Justin dimana, bang?" tanyanya kemudian. "Dalem ruang sekre," jawab Galih. Leon yang mendengarnya pun mengangguk paham. "Oke, makasih ya, bang!" "Yoi, ati-ati ntar kalo nginjek semut." Leon tertawa singkat sebelum akhirnya berjalan menuju ruangan tempat dimana Justin tengah berada. Kakinya melangkah dengan langkahan yang terlihat sedikit berlari. Saat ini merupakan waktu istirahat makan siang untuk seluruh peserta dan panitia. Leon tadi pun sebenarnya baru saja menerima kotak ayam sabananya. Tapi, tiba-tiba saja Galih, kakak senior dan rekan satu panitianya itu memanggilnya, memberitahunya bahwa Justin si ketua himpunan memanggilnya. Tok tok Ckrek "Wih, Leon apa kabar?" "Woo, koko China mau jualan ayam,

    Last Updated : 2022-03-12
  • Berbagi Luka   Keinginan Untuk Sisa Hari Ini

    12:55 WIB Dapat Sara lihat sosok Seren yang berjalan memasuki klinik tempatnya mendekam dengan perlahan. Seren tampak tersenyum ramah pada Sara, hingga Sara yang mendapatinya pun mencoba untuk balas tersenyum. Sekian lama terisolasi dari ospek, Sara sudah berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki pikirannya. Hari ini setidaknya harus diselesaikan terlebih dahulu, jangan lagi jatuh seperti tadi, karena kembali lagi, meski tak menyukai Jakarta dan memiliki pemikiran buruk dengan para warganya, Sara tak ingin menjadi beban bagi mereka. Lagi pun, terjatuh seperti tadi tak hanya merepotkan orang lain, tetapi juga merepotkan dirinya sendiri. "Hai Sara, kamu udah sembuh?" sapa Seren sembari mendudukkan dirinya tepat di samping Sara. Sara yang mendengarnya pun mengangguk pelan. "Udah makan siang? Istirahatnya tinggal 5 menit lagi." Untuk pertanyaan tersebut, Sara jujur tak tahu harus bagaimana menjawab. Pasalnya, ia tadi memakan bekal milik Jonathan

    Last Updated : 2022-03-14
  • Berbagi Luka   Semangat

    Sara dan Seren akhirnya sampai pada kelompok mereka. Untung saja keduanya sampai tepat waktu, yaitu bersamaan dengan sirine yang berhenti dibunyikan. Kata Seren, sirine itu merupakan pertanda bagi para peserta ospek mengenai keterlambatan perpindahan sesi atau waktu. Selama sirine itu dibunyikan, maka para peserta ospek memiliki kewajiban untuk berlari secepat mungkin mencari kelompoknya, karena setiap kali dibunyikan, keadaan para peserta ospek pasti tengah terpisah-pisah dengan kelompok mereka. Kalau seandainya ada yang belum bergabung dengan kelompok saat sirine berhenti diperdengungkan, maka hukuman pasti akan diberlakukan karena dianggap terlambat. Napas Sara kini tersengal hebat. Setelah menabrak seseorang yang tinggi tadi, Seren menarik tangannya dengan lebih kencang, hingga Sara yang ditarik pun sampai kuwalahan sendiri. Tapi, meski begitu Sara sangat ingin berterima kasih pada Seren, pasalnya kalau tidak berlari menerobos kerumunan sekencang tadi, keduanya pa

    Last Updated : 2022-03-17
  • Berbagi Luka   Rasanya Memiliki Seorang Teman Dekat

    Dokter Ilmu Kejiwaan, begitulah nama kelompok ospek dimana Sara bernaung. Kata Seren, nama itu diambil atas pendapat atau ide yang disampaikan oleh Miki. Filosofinya berasal dari bidang fokus setiap jurusan para anggota di dalamnya, yaitu jurusan kedokteran, ilmu komunikasi dan psikologi. Selama Sara masih mendekam dalam klinik tadi, ada banyak hal yang kelompoknya diskusikan, termasuk yel-yel yang akan ditampilkan mulai pada ospek di hari esok. Semuanya itu, Seren menceritakannya selagi mereka tengah dalam perjalanan untuk melakukan tur kampus. "Ini merupakan lab anak-anak pariwisata. Mereka biasanya buka cafe setiap hari Rabu dan Jumat. Kalian kalo mau mampir boleh banget, ya. Tenang, menu-menunya enak semua, kok. Habis itu harganya juga terjangkau." Sara sedikit berjinjit untuk melihat sisi dalam ruangan menyerupai cafe, yang kata kakak pemandu adalah lab bagi para mahasiswa program studi pariwisata. Mari kita sebut saja kalau itu memang merupakan cafe sungguh

    Last Updated : 2022-03-19
  • Berbagi Luka   Perbaikan yang Berujung Cercaan

    15:15 WIB Kelompok Sara kini sudah terduduk di bawah pohon rindang, tempat yang sempat mereka duduki sebelumnya. Tampaknya, tempat tersebut sudah menjadi hak milik kelompoknya. Lihat saja Guntoro, sosok kakak pendamping dengan pribadi cerianya itu berlari paling kencang menuju bawah pohon rindang yang sejuk. Guntoro lalu tersenyum sambil berkecak pinggang, menunggu anak-anak asuhnya sampai ke tempat ia sampai. Sara menselonjorkan kakinya yang kecil. Rasanya sedikit pegal, karena dua jam suntuk dipakai untuk berjalan, mengitari seisi gedung kampus barunya yang sangat luas."Guys, abis ini kita bakal dapet tugas untuk tulis laporan sederhana tentang hal-hal apa aja yang kita dapet dari tur kampus tadi. Laporannya nanti bakalan dipake buat maju presentasi." Guntoro mulai menjelaskan kegiatan selanjutnya sembari tangannya bergerak untuk mengipas-ngipas diri yang tampak berkeringat. "Presentasi? Emangnya kuat bang sampe ntar jam 5 sore? Bukanny

    Last Updated : 2022-03-19

Latest chapter

  • Berbagi Luka   Pulang Ke Rumah

    Sara terduduk di jok belakang - jok penumpang - di motor besar milik Leon. Gadis itu memakai helm berat milik Leon juga di kepalanya. Sedangkan Leon sendiri, si pemilik helm, lelaki itu tak memakainya. Katanya, keselamatan penumpang jauh lebih penting dibanding keselamatan pengemudi. Entah dari mana pembelajaran seperti itu Leon dapatkan, yang jelas Sara memilih untuk tak banyak bicara. Sara hanya berakhir dengan mengikuti segala perkataan Leon padanya. Angin malam kota Jakarta terasa sejuk dan dingin saat menerpa kulit. Sara memilih untuk tidak mengenakan jaketnya, karena kulitnya yang baru saja diolesi salep lagi. Rambut Sara yang panjang berterbangan diterpa oleh kencangnya tabrakan angin bagi dirinya. Omong-omong, tadi juga ia menggerai rambutnya, karena merasa bahwa kondisi sudah tak tengah panas lagi. Saat ini waktu menunjukkan pukul 19:00 pm. Bakso yang mereka tunggu itu akhirnya datang juga setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama. Sesudah menyantap habis bakso, Leon meng

  • Berbagi Luka   Sekoteng dan Sate

    "Kenapa?" Sara terkesiap ketika Leon tiba-tiba membuka matanya dari doanya. Lelaki itu terkekeh kecil saat mendapati Sara tengah memperhatikannya dengan segala pikirannya yang melayang kemana-mana. Cukup memalukan bagi Sara sebenarnya. Dirinya tak mau kalau Leon sampai salah sangka dengannya, atau pun merasa tak nyaman atas tingkahnya barusan. "Maaf, kak," ujar Sara kemudian. Leon lalu terlihat kembali terkekeh. Tangannya kini mulai bergerak untuk meraih mangkuk sekoteng hangatnya. "Dimakan, itu kalo dingin rasanya jadi aneh." Sara menurut. Ia mengikuti Leon, untuk segera juga meraih mangkuknya. Pikirnya, sekoteng merupakan minuman atau kuliner yang tak begitu populer di tempatnya berasal. Karenanya, untuk tahu cara menyantapnya, ia perlu memperhatikan dan mengikuti Leon terlebih dulu. Bisa saja imajinasinya mengatakan: sendokkan kuah bersamaan dengan sedikit isiannya, tetapi ternyata pada kenyataannya, seharusnya dicicip dahulu kuahnya. "Cara makannya bebas, kayak kue balok kemarin

  • Berbagi Luka   Taman Kota

    18:00 WIB Sara terdiam bersama dengan Leon di sampingnya. Matanya sibuk memandangi indahnya langit sore yang mulai meredup. Di tengah itu, suasana yang sepi nan tenang menyapa, meninggalkan kesan yang sangat nyaman bagi Sara. Angin tempat dimana mereka, Sara dan Leon terduduk pun terasa sangat sejuk, sedikit dingin, namun tak sampai yang membunuh. Taman Kota Sudirman, di sana lah keduanya tengah berdiam. Dengan mulut yang terkatup rapat, netra keduanya sibuk menjelajah langit abu-abu gelap, simbol bahwa hari akan berganti malam. Suasana semacam sekarang merupakan suasana yang sungguh bersahabat dengan batin Sara yang riwuh. Bayangkan saja, kepala Sara sudah sangat berisik, pun batinnya. Kemudian, dirinya ditempatkan di tengah lautan manusia yang terus-menerus harus berteriak dengan otot - tentulah Sara merasa sangat hancur baik dari psikis maupun psikologis. Saat ini merupakan saat-saat healing baginya. Hhh Sara menarik napasnya dalam-dalam. Udara di sekitar Jakarta tempatnya tin

  • Berbagi Luka   17:10 WIB

    Mata Sara memaku memandangi sosok-sosok mahasiswa baru yang tengah menjalani hukuman dari para panitia keamanan. Ini sudah waktunya pulang, tetapi para mahasiswa tersebut masih harus menjalani hukuman akibat perbuatan mereka sebelumnya. Sara pikir hukuman hanya diperbolehkan untuk berjalan selama jam ospek belum berakhir, tapi ternyata tidak begitu. Diri Sara melamun dengan pikirannya yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Sebentar ke arah para mahasiswa yang sedang dihukum, sebentar ke arah kulitnya yang terasa sangat panas kini, sebentar lagi ke arah bahwa dirinya ingin menangis ditempat, kemudian sebentar ingin segera menginjakkan kaki di kamar apartemennya. Sara tengah terduduk di sebuah lapangan, dimana para mahasiswa baru atau para peserta ospek sedang berhamburan keluar menuju gerbang. Sara tak begitu peduli perihal itu. Pikirannya yang blank membuatnya menjadi seperti mayat yang dipaksakan untuk hidup; tidak mampu berpikir, tetapi juga memil

  • Berbagi Luka   Air Mata yang Tak Terlihat

    Sara memilih untuk pasrah saat gilirannya untuk maju tiba. Kulitnya yang terasa sakit itu sudah diabaikannya kini. Lelah sendiri jika harus memikirkan hal-hal yang memberatkan pikiran. Biar saja kulitnya itu menjerit kesakitan. Kalau pun harus pingsan, maka terjadilah. Atau, kalau pun harus terjadi kecelakaan, terjadilah juga. Bukankah kehidupan Sara tak jauh-jauh dari yang namanya kesialan? Untuk apa pula Sara mengharapkan hal baik terjadi? Takdir baginya ditulis untuk menderita, bukan untuk menikmati apa yang orang lain bisa nikmati.Setelah semua alat pengaman dan segala perlengkapan dipasangkan di tubuhnya, Sara menarik napasnya dalam. Kali ini, Sara melarang keras hatinya untuk mengucap permohonan pada Yang Kuasa. Ia tak hanya mengunci mulutnya, tetapi juga kebebasan batinnya untuk berseru pada Yang Lebih Tinggi. Tak ada gunanya. Malah akan seperti orang bodoh yang mengemis. "Sara, semangat!" Sara menoleh pelan ke arah rekan-rekannya yang berteriak menye

  • Berbagi Luka   Kekecewaan

    14:00 WIB Kulit Sara terasa terbakar. Sinar matahari siang ini sangat keterlaluan. Sara yang tak pernah sama sekali merasakan sengatnya, kini benar-benar merasakannya. Ingin sekali Sara berlari dari tempatnya berdiri, namun rasanya tak mungkin. Jika saja itu terjadi, maka masalah baru akan timbul nanti. Sara harus menghindari yang seperti itu, karena jam pulang semakin dekat. Drama adalah hal yang anti di jam-jam rawan seperti sekarang. Setelah melewati pos 5 yang sungguh menguras keringat tadi, kelompok Sara sudah berpindah ke pos 6, yaitu pos panjang tebing. Astaga, siang-siang terik begini panjat tebing, Sara tak bisa membayangkan, sebrutal apa matahari akan memanggang mereka semua nantinya. Rasanya tak akan kuat jika harus melakukannya. "Sara, menurut kamu, semuanya bakal kebagian panjat tebingnya, gak?" celetuk Seren. Sara yang mendengarnya pun menoleh sembari kepalanya sedikit menunduk. Bisakah Sara melepaskan ikat rambutnya saja sekarang? Ti

  • Berbagi Luka   Cerita dengan Leon

    Dengan segala paksaan tenang dari Sara, Leon akhirnya benar-benar memakan jatah makan siang Sara setengahnya. Keduanya membagi dua porsi makan siang itu atas kehendak Sara. Jujur saja, selain mengenai porsi makan Sara yang tak begitu banyak, Sara juga tak enak jika hanya dirinya yang makan, sedangkan Leon sibuk memperhatikannya. "Habis ini kelompok lo dapet pos berapa?" tanya Leon setelah dirinya kembali dari membuang sampah bungkusan makanan. Mendengarnya, Sara tampak terdiam sejenak untuk berpikir. "Pos 5, kak," jawab Sara. Leon mengangguk paham."Udah tau pos 5 ngapain belum?" tanya Leon lagi. Lelaki itu seolah ingin membuat percakapan baru dengan Sara. Beruntung Sara sudah dalam kondisi pikirannya yang jernih, jadi tak perlu ia mengabaikan Leon. "Futsal?" Leon seketika mengangguk cepat dengan senyum di wajahnya. Kelihatannya lelaki itu akan segera menceritakan cerita baru untuk diperdengarkan pada Sara. Kini, Sara hanya bisa menunggu,

  • Berbagi Luka   Leon dan Ceritanya

    12:30 WIB Tangis Sara berangsur-angsur berhenti dari sesenggukannya. Gadis itu kini tengah mengelap bekas air matanya yang tersebar membasahi seluruh permukaan wajahnya, dengan sapu tangan yang Leon baru saja berikan padanya.Kepala Sara menunduk dalam diamnya. Rasanya sedikit lebih lega karena racun dalam batinnya yang sudah dikeluarkan lewat tangis. Sekarang, Sara tinggal menunggu kepalanya menjadi jernih kembali, sebelum akhirnya ia bisa berbicara pada sosok Leon di sampingnya. Sara tadi terus menangis dalam durasi waktu yang lumayan panjang, kira-kira 30 menit lamanya. Selama itu, Leon hening. Lelaki asing itu hanya diam sembari memainkan dan mencabuti rumput hijau yang tengah didudukinya. Sesekali, matanya memperhatikan Sara dengan pandangan yang tak dapat diartikan. Untuk itu, jelas Sara tidak tahu. Pasalnya, Sara terlalu sibuk dengan tangisnya yang tersedu. "Maaf, kak..." lirih Sara dengan suaranya yang terdengar serak. Perlahan, sosok Leon

  • Berbagi Luka   Tidak Terduga

    Sara menyandarkan punggungnya di salah satu pilar di lapangan tempatnya terduduk. Dirinya terus terdiam dengan pandangannya yang kosong. Omongan Tari masih menghantuinya, mengakibatnya tak bisa memikirkan hal-hal positif sedikit pun. Sedari tadi, Seren dan gadis-gadis lain selain Tari terus ada bersamanya. Mereka menemaninya sembari berusaha membicarakan banyak hal yang menyenangkan, berharap Sara dapat kembali dalam kondisinya yang baik-baik saja. Sesungguhnya Sara merasa tak enak dari 2 sisi. Sisi pertama adalah dari sisi rekan-rekannya. Mereka sudah mengusahakan yang terbaik untuk membuat hati Sara menjadi sedikit membaik.Namun, dalam waktu yang bersamaan, sisi dari dirinya merasakan perasaan yang tak nyaman. Saat seperti sekarang adalah saat-saat dimana Sara seharusnya berdiam diri dan merenung sendirian, membiarkan air matanya tumpah untuk mengeluarkan segala racun yang mengendap dalam batin. Omong-omong, kelompok Sara sudah selesai melakukan lomba lari

DMCA.com Protection Status