Beranda / Romansa / Berbagi Luka / Terlalu Berisik

Share

Terlalu Berisik

Seorang gadis dengan seragam putih hijaunya berdiri di barisan paling belakang sembari kepalanya menunduk ke bawah. Sedari tadi, semenjak insiden di depan gerbang kampus itu, gadis itu belum juga mengangkat kepalanya. Ia bahkan tak tahu wajah para senior yang tadi sempat bertengkar kecil karenanya. Tak ada satu pun pikiran yang terlintas dalam kepalanya. Pikirannya hanya memberitahunya kalau hari ini akan berjalan sangat buruk.

Bahunya yang sempat bergetar tadi sudah cukup tenang kini. Meski tak juga berani untuk mengangkat kepalanya, menatap orang-orang yang mungkin akan menjadi teman-temannya nanti, gadis itu setidaknya sudah tak begitu merasa takut. Kondisi tengah sangat tenang sekarang. Mereka baru saja dirapikan oleh para senior yang bertugas sebagai panitia acara ospek.

“Selamat pagi, adik-adik semuanya...” sapa suara dengan aura cerianya dari area depan. Ah, acaranya akan benar-benar dimulai. Gadis itu tak menyukainya. Burukkah jika ia berharap bahwa masa sekarang ini lebih baik ditimpa virus mematikan, hingga menyebabkan kegiatan normal tak usah berjalan? Kalau bisa semuanya online, jadi tak perlu berhadapan dengan orang sebanyak kini.

“Pagi, kak!” balas kerumunan anak-anak mantan murid SMA yang sudah rapi berbaris. Jumlah mereka sangat banyak, bahkan sampai hampir mampu memenuhi halaman depan kampus atau universitas yang luasnya terhitung mengaggumkan.

“Waduh, semangat banget, ya, kayaknya. Aku jadi ikutan semangat, nih, Kak Davin!” Seorang wanita berambut hitam pendek bersuara. Ia tersenyum begitu cerah dengan microphone hitam di tangannya.

“Widih, widih, widih, aku juga, nih, Kak Inggrit. Adek-adek kita ini emang spirit-nya masih on fire banget ternyata. Saking on fire-nya, sampe nular, loh kek kita” sambung lelaki yang berdiri di sebelah wanita berambut pendek. Lelaki itu terlihat seimbang tingginya dengan si wanita. Siapa tadi namanya? Davin?

“Hahaha, iya, ya, emang luar biasa adek-adek kita ini. Oh, ngomong-ngomong, kalian semua udah siap, kan, untuk ospek hari ini? Coba, mana suaranya? Aku sama Kak Davin mau denger!”

“Siap!!!!”

No

Suara kembali terdengar ricuh. Semuanya tampak sangat bersemangat dengan segala tingkah yang tampak masih dipenuhi dengan energi anak-anak SMA.

“Wohoo!! Tuh, kan, aku jadi makin-makin-makin-makin semangat dengernya!”

“Waduh, makinnya banyak amat, tuh, Kak Inggrit, kayak robot kelebihan batre.” Kini, tawa keluar sebagai tanggapan. Candaan yang diucapkan oleh sosok bernama Davin itu mampu mengundang keceriaan dalam kerumunan manusia sekarang.

“Hahaha, maaf, maaf, habisnya gimana, dong? Itu tuh bukti kalo adek-adek kita ini emang beneran keren banget semangatnya! Iya, gak?!?!”

“WOOOO!!!”

“Oke, oke. Nah, sebelumnya, kita berdua mau ngenalin diri dulu. Ada yang udah tau siapa nama kita?”

“Kak Inggrit!!/Kak Davin!!” teriak kerumunan bersusul-susulan.

“Wih, ternyata kita terkenal, Kak Inggrit.”

“Heh, tadi, kan kita saling nyebut nama, gimana, sih? GR banget kamu, tuh.”

“Oh? Iya deng, ya, hehe...” Tawa kembali terdengar. Gadis itu akui, kedua pembawa acara yang bernama Inggrit dan Davin itu memang cukup menyenangkan dan interaktif. Meski tak begitu jelas bentuk dan rupa wajahnya, gadis itu seolah tahu kalau keduanya memiliki tampilan yang ramah senyum. Mengerti, kan, maksudnya?

“Haduh, emang dasar Kak Davin ini. Oke, sekarang ini, udahan dulu, deh, bercandanya. Nanti kalo bercanda terus, waktunya makin kebuang banyak.” – Inggrit

“Ah, iya, bener. Kita langsung move on ke rundown selanjutnya aja, ya. Nah, sebelum semua kegiatan ospek ini berjalan, kita tentu harus mengawali semuanya dengan berdoa, dong, ya?” – Davin

“Betul banget. Kita hidup di negara yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan itu gak boleh dilupain dalam setiap langkah kita.” – Inggrit

“True! Setuju banget, Kak Inggrit. Sekarang, mari temen-temen semua, kita siapkan hati dan pikiran kita untuk berdoa kepada Tuhan, menurut kepercayaan masing-masing.” Tampak kerumunan dan kumpulan kakak senior yang bertugas mulai menundukkan kepala mereka. Gadis yang berdiri di barisan paling belakang pun ikut melakukannya.

“Berdoa dimulai...” – Inggrit

“If You love me, make me disappear from this moment. Amen.”

Sekitar 15 detik suasana menghening. Orang-orang tampak begitu khusyuk dengan kepentingan ucapan permohonan mereka masking-masing. Entah apa yang mereka mohonkan, gadis itu tak tahu. Yang ia pikirkan sekarang hanyalah tentang waktu yang berjalan terlalu lama.

“Berdoa selesai.” Kepala-kepala yang tadinya menunduk mulai kembali terangkat. Jujur saja, pandangan si gadis terasa dipenuhi dengan warna biru kini.

“Baik, sekarang, kita akan mendengarkan ucapan sambutan dari Rektor kita, Bapak Susilo Yang Terhormat. Untuk Bapak Susilo, dipersilahkan untuk mengambil tempatnya,” ujar Davin sembari tersenyum dengan sangat sopan. Gelagatnya berubah dari menyenangkan menjadi berwibawa.

Kini, seorang lelaki tua mulai berjalan keluar dari barisan orang-orang tua (dosen dan beberapa pimpinan) di samping barisan para anggota himpunan. Sesaat setelah lelaki tua itu mulai bicara, gadis itu sudah bisa menebak kalau ia merupakan orang yang sangat tegas dan disiplin. Aura yang tadinya santai dan asyik, mendadak berubah menjadi mencekam. Sekuat itu kah kesan yang bapak rektor itu timbulkan?

Kata-kata sambutan yang bapak rektor itu sampaikan terhitung lumayan panjang. Ia memberikan sambutan singkat, kemudian dilanjutkan dengan wejangan-wejangan yang harus dan sebaiknya dilakukan oleh para calon mahasiswa baru selama dan setelah menjadi anggota tetap di universitas yang kini tengah ia pimpin.

Gadis itu bersyukur. Ia bersyukur karena penglihatannya tak terlalu baik, hingga ia tak perlu menyaksikan ekspresi yang tebakannya tampak tajam dari bapak rektor itu.

“Saya, Susilo Gunawan Setiadi, sebagai rektor Jakarta University, mengucapkan selamat mengikuti ospek tahun 2021!” Tepuk tangan mulai terdengar setelah beberapa saaat terdiam dilanda keheningan. Bapak rektor itu pun segera mengambil langkahnya untuk mundur, kembali ke dalam barisan tempatnya semula bernaung.

“Wah, terima kasih banyak, Bapak Susilo atas kata sambutannya yang sangat memotivasi. Tuh, adek-adek semua denger, kan? Kita harus semangat dalam belajar. Mungkin belajar itu bikin stres dan pusing, tapi kita harus inget kalo semua jerih payah itu pasti ada bayarannya,” ucap Davin menanggapi sambutan yang baru saja Pak Susilo, sang bapak rektor berikan.

“Amin! Nah, setelah bapak rektor kita yang terhormat, sekarang kita juga akan mendengarkan kata-kata sambutan dari ketua himpunan kita, nih. Wih, ketua himpunan kita ini ganteng, baik, terus ramah banget, lho. Yakin, deh aku, pasti banyak, nih adek-adek yang bakal suka. Kak ketua, siap-siap dapet surat cinta, ya!” Kerumunan yang sempat kembali terdiam dari suara tepuk tangannya itu kembali terdengar ricuh. Para gadis di sana mencoba untuk saling berbisik-bisik, pastinya tentang ketua himpunan yang baru saja disebut tampan itu. Hah, jujur saja, gadis itu tak begitu tertarik. Ia hanya ingin kembali ke apartemennya kini.

Tak beberapa lama kemudian, seorang lelaki dewasa dengan perawakannya yang menjulang tinggi mulai berjalan, keluar dari barisan himpunannya. Sesaat setelah ia keluar dan menampakkan diri, kerumunan yang berisik itu menjadi tambah berisik. Suara-suara melengking, berteriak bersusul-susulan. Gadis itu yang mendengarnya pun spontan menutup telinganya. Berisik.

“Waduh, waduh, waduh, kak ketua, gimana, nih? Kayaknya tebakan aku bener, deh. Siap-siap surat-surat cinta menuhin kamar kakak, ya!” goda Inggrit sembari tertawa kecil. Sang ketua himpunan yang digoda pun tampak juga tertawa seraya menutup mulutnya, karena malu.

Sesungguhnya, gadis itu lumayan penasaran dengan setampan apa wajah ketua himpunan yang saat ini sudah berdiri di atas panggung kecil yang letaknya di depan semua kerumunan. Mengapa sampai sekarang kerumanan masih berteriak-teriak tak jelas?

“Adek-adek, mohon tenang dulu, ya. Kita beri waktu untuk ketua himpunan kita ini untuk memberi kata-kata sambutan.” Davin yang sempat ikut tertawa itu pun mulai mengambil tindakan. Ia mulai memberi perintah untuk kerumunan agar kembali pada keadaan tenang mereka.

Sesaat setelah teriakan-teriakan mereda, lelaki tinggi dengan jabatan ketua umum himpunannya itu mulai bicara.

“Perkenalkan saya Justin Philemon. Saya menjabat sebagai ketua umum himpunan kampus kita, Jakarta University, salam kenal, ya...”

“Salam kenal, kak!!!”

“Woo!!!”

“Keren!!!”

Kerumunan kembali bersuara. Si gadis yang merasa bahwa itu menimbulkan suara yang terlalu bising pun spontan menutup telinganya untuk yang kesekian kalinya. Perasaan tak betah dalam dirinya dihantam dengan kebisingan yang membuatnya merasa terganggu.

“Selamat pagi, semuanya, bapak dan ibu pimpinan serta para dosen. Selamat pagi rekan-rekan saya. Dan selamat pagi adik-adik semuanya. Pertama-tama, saya ingin berterima kasih pada dua pembawa acara kita, Inggrit dan Davin, yang sudah memberi saya waktu dan kesempatan untuk bicara di sini, di depan adik-adik calon generasi penerus masa depan yang hebat. Nah, hari ini merupakan hari yang kami, para anggota himpunan, panitia-panitia, para bapak ibu pimpinan juga dosen-dosen sangat tunggu-tunggu. Hari ini merupakan hari pertama dari ospek yang telah kami siapkan dengan baik. Di hari pertama ini, kegiatannya akan cukup santai dan gak terlalu berat, seperti hari-hari yang akan datang. Jadi, saya berharap adik-adik semua bisa menikmati hari ini dengan baik. Banyak-banyak kenalan dengan sesama kalian. Jangan membuat rusuh dan merusak suasana ospek yang kami siapkan dengan matang. Lalu, pada akhirnya, saya sebagai ketua himpunan ingin mewakili rekan-rekan himpunan dan panitia untuk mengucapkan, selamat mengikuti ospek yang Jakarta University selenggarakan. Semoga dari ospek yang akan berjalan selama lima hari ini, kalian dan kami akan mendapat banyak pengalaman juga pelajaran berharga yang menyenangkan untuk diingat. Akhir kata, terima kasih banyak.” Ketua Himpunan dengan nama Justin Philemon itu membungkuk hormat, kemudian tepuk tangan dan teriakan-teriakan yang riuh kembali keluar begitu ramainya. Kali ini, karena gadis itu merasa diperhatikan, entah oleh siapa, ia akhirnya ikut bertepuk tangan, meski perasaan tak nyaman tengah menyelingkupinya.

Tepuk tangan mereda setelah sosok ketua himpunan itu undur diri dari atas panggung kecil di depan kerumunan. Ia kemudian terlihat kembali bergabung dengan rekan-rekan himpunannya yang lain. Kelompok dimana ketua himpunan itu bergabung mengenakan jas atau almamater putih, lalu kelompok lain dengan almamater hitam berdiri di sisi kanan, atau sebrang mereka.

Gadis itu tengah berandai, orang-orang itu hebat. Adakah di antara mereka semua yang memiliki perasaan mengganggu sepertinya? Adakah dari mereka yang pernah merasakan takut, hingga kesulitan bernapas? Semudah itukah berada dalam sebuah organisasi penting, dimana mereka semua diwajibkan untuk bisa bicara di depan umum dengan percaya diri? Jika saja gadis itu merupakan mereka, ia pasti akan sangat menikmati hidupnya.

“Wah, untuk ketua himpunan kita, terima kasih banyak. Nah, sekarang ini, kita akan mendengarkan tata tertib dan bagaimana ospek akan berjalan oleh Ibu Laras, Dekan Fakultas Administrasi Bisnis. Untuk Ibu Laras kami persilahkan tempat dan waktunya.”

Ah, sudah masuk ke dalam tahap tentang pelaksanaan ospek. Gadis itu kembali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Bahunya dalam waktu singkat kembali bergetar. Rasa takutnya kembali menyerang. Bagaimana sekarang? Bagaimana jika ia pada akhirnya nanti hanya akan mengacaukan semuanya?

Please, just this moment grant my prayer. Make me disappear.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status