Rambatannya begitu kacau. Kuku yang tak lagi terurus menembus kain, lantas membungkuk usai rasa sakit melanda. Dijambaknya rambut panjang nan kusut. "Aku menyuruhmu makan dengan tangan, bukan mulut!" Jemari tergantikan oleh kepala menempel di betis, menangis keras. "Kemaren tanganku membusuk, apa yang harus aku lakukan?" Arlan menendang dengan kasar. "Berapa kali aku katakan, tanganmu bahkan seluruh tubuhmu utuh! Kecuali otakmu yang makin hari tidak berfungsi!" Moza menatap suaminya, lantas tertawa. "Kau tahu dari mana jika otakku sudah rusak? Bisakah kau carikan aku otak baru?" Sindrom cotard namanya, seolah mengira satu atau lebih tubuhnya membusuk, bahkan parahnya kematian telah tiba sejak lama. Lantas apa yang membuat Moza menderita sindrom tersebut? Juga Arlan yang menggunakan berbagai cara untuk memperistri Moza, berakhir dengan menyakitinya? Mari kita temukan jawabannya pelan-pelan dengan mengikuti alur cerita.
View More“Sebelum kematian, tampaknya gadis berinisial A ini diambil organnya, dilihat dari jahitan yang masih sangat baru.”Moza menjatuhkan snack di pangkuannya, begitu mendengar berita di televisi. Lantas melirik Arlan yang fokus pada kerjaan di laptop. Tak bergeming meski suara pembawa berita cukup keras. Sudah banyak tetangga yang membicarakannya, namun sepertinya Arlan tidak peduli. Toh pagi kerja, pulang hampir tidak ada yang tau saking malamnya. Ingat betul bagaimana tukang sayur pun berubah profesi.“Sepertinya pak Arlan ini pembunuh neng Anisa.”“Malah mengambil organ dalam neng Anisa juga, tega banget, ya.”“Dengar-dengar, pak Arlan selingkuh sama si eneng, ketahuan sama istrinya,” tukang sayur mulai bergosip.“Pasti istrinya itu yang meminta pak Arlan melakukannya. Tidak menyangka, ternyata orang kaya itu semena-mena.&rdquo
Moza memasuki kamar setelah mengobati luka di tangan Arlan. Dikuncinya sangat rapat, bukan takut akan suaminya. Melainkan sesuatu yang disembunyikan. Ya, betul, segera duduk di ruang ganti. Penuh dengan baju, tas, perhiasan juga sepatu. Jangan tanya berapa harganya."Hallo, Sayang," sapa Moza begitu wajah yang tampan mulai terlihat di ponselnya."Bunda!"Moza menyeka air matanya yang jatuh. Inilah rahasia yang ia sembunyikan sangat rapat. Bahkan ayah sendiri yang hidup dengannya cukup lama tidak tahu. Tian Riandri namanya, mengikuti marga keluarganya. Jangan tanya siapa ayahnya, karena itu masa kelam yang menyakitkan."Bagaimana kabarmu, Tian?""Baik, Bun. Bunda gimana, kuliahnya lancar?""Kuliah bunda sangat lancar.""Terima kasih sama Bunda," bisik seorang wanita di samping Tian."Makasih, Bunda! Tian
Terbangun dari tidur yang tidak nyenyak. Bahkan lingkaran di bawah mata tampak sangat jelas. Mungkin efek menangis terus. Mbok Lidia datang dengan membawa sarapan dan pakaian kuliah. Moza hanya menatap."Sarapan dulu, Non.""Kenapa dibawa, Mbok? Kan biasanya jyga di meja makan.""Itu," Lidia tampak bingung."Apa Arlan tidak ingin makan denganku?"Tebakannya benar, Mbok Lidia mengangguk. "Tuan, ada tamu juga, Non."Moza membawa pakaian kuliahnya seraya tersenyum miris. "Sepertinya punya istri miskin sangat memalukan, sampai tidak ingin diperlihatkan."Moza menuruni tangga. Bukan pemandangan seperti yang Lidia katakan. Bukanlah tamu, melainkan penghuni kamar belakang. Pelayan yang dulu pernah mengantarnya ke kamar di hari pertama menikah, gadis yang cantik. Duduk di pangkuan Arlan tanpa merasa risih dengan tangan yang mengelus
Moza tak habis pikir. Sudah tahu tidak ada bahan makanan, juga fasilitas yang mencukupi. Arlan kekeh tak ingin meninggalkan villa. Murah, namun tak layak huni. Kini ia duduk di samping Arlan yang fokus menyetir. Bukan mencari hotel atau menikmati pemandangan, melainkan belanja kebutuhan pangan ke pasar. Cukup sesak untuk seorang Arlan."Masuk," titah Arlan."Kenapa tidak ikut saja?""Bau, lagi pula tidak ada yang sedap dipandang."Moza merasa kesal dengan tingkah suaminya. "Mau makan saja susah.""Kau sudah terbiasa dengan lingkungan kumuh, kan? Cepat belanja setelah itu pulang dan masak.""Aku tidak pandai memasak, apa telur kemarin belum cukup membuktikan?" Moza berkacak pinggang."Ini," kekeh Arlan menyerahkan atm padanya.Moza semakin tak habis pikir. "Kau kira pasar itu mall? Supermarket? Di sini pa
Tujuh jam perjalanan, hal yang melelahkan. Kini Moza hanya terdiam. Menatap tangan yang lihai menabur tersebut. Sangat terawat, bahkan rumput baru tumbuh pun tidak dibiarkan singgah. Inilah keluarga yang suaminya maksud. Sepertinya ia lebih baik, meski mempunyai ibu yang baru-baru ini ingat padanya, serta ayah yang selalu memukul dan meminta uang.Moza menepuk pundak suaminya. “Kau tidaklah sendiri. Masih ada aku di sini.”Arlan melirik singkat. “Keluargaku meninggal karena kecelakaan, tepatnya 15 tahun lalu. Saat aku kabur dari rumah, rasanya sangat menyesal.”Ini pertama kalinya. Arlan yang angkuh dan tegas, begitu lemah di hadapannya. Moza ikut menabur bunga di makan paling ujung. Ukurannya kecil, kemungkinan belum beranjak remaja. Arlan terpaku pada makam tersebut, mata mulai bergerak dan tersenyum sinis.“Maukah kau sering mengunjungi mereka bersamaku?
Sepekan sudah umur pernikahan. Mata melihat kebahagian yang terpancar dari tawanya, kemewahan turut hadir. Namun—semua itu hanya pandangan orang lain tentangnya. Juga tidaklah semanis bibir mengumbar kebaikan suaminya, ya, Moza telah belajar menjadi orang yang membanggakan pendamping meski ternyata buruk. Memang benar adanya.Bukan masalah tidak pernah satu kamar, hanya saja sikap Arlan semakin hari mengekangnya.Pernah sewaktu malam ketika bertemu kolega, hanya karena staff biasa menatap saja langsung marah. Memaksa untuk pulang dan berakhir dengan pertengkaran. Sama seperti sekarang. Moza memasuki ruang kerja tanpa izin saja membuatnya berdiri di depan Arlan yang tengah menyesap kopi, mata elang tersebut tak pernah lepas darinya.“Sudah tahu kesalahanmu?” tanya Arlan meletakkan cangkir.“Aku memasuki ruang kerja suamiku sendiri, apa itu salah? Kecuali kalau itu ruangan
Bukan hanya pernikahan, bahkan pergi kuliah saja mengundang perhatian. Bagaimana tidak? Dengan penampilan Moza yang berubah, ya berkat suaminya. Jangan lupakan mobil keluaran terbaru terjebak di antara puluhan tubuh yang saling desak.“Apakah kau tidak merasa bahwa sekarang aku seperti artis?” tanyanya dengan tangan bergerak gemulai.“Tidak,” jawab Hans singkat membuatnya cemberut.Ucapan Arlan tidaklah hanya kata yang tak kasat mata, buktinya Hans bahkan sudah keluar dari kemudi. Membuat kerumunan akhirnya mundur teratur, entah apa yang digumamkan oleh lelaki itu, mungkin mengusir, lantas membuka pintu untuknya. Sudah pantaskah ia dipanggil ratu? Moza tersenyum ceria seraya melambai pada semuanya. Beberapa orang memilih pergi, ada juga yang menggunjing tak sedap di belakang.“Moza!”Indri membelah para manusia yang
Eskalator membawa dua insan yang dihinggapi rasa gembira serta kebebasan. Dulu, penampilan buruk seorang Moza dipandang remeh oleh beberapa pengunjung. Kini terlihat memuja, dress bunga yang dibalut kain organza lembut makin menambah kesan cantik. Rambut panjang yang digerai, begitu sempurna di pelupuk mata. Dengan siapa ia pergi? Tentu saja Indri, sang sahabat karib.“Za,” panggil Indri.“Kenapa?”“Bagaimana rasanya?”“Menyenangkan sekali, bahkan ini pertama kalinya kita begitu santai.”Indri menepuk jidat. “Bukan itu, Moza! Aku tanya malam indah kalian.”Moza mendelik menatap sahabatnya yang memainkan kedua alis. “Tidak ada yang terjadi.”“Ah, masa. Pergi begitu cepat, meninggalkan para tamu, memangnya untuk apa selain ingin berdua saja.”
Terlalu cepat. Itulah kata yang tepat. Arlan jelas kaya raya, setelah ia meminta acara pernikahan dilaksanakan esok hari. Kini Moza telah berada di depan meja rias. Ditemani tiga penata rias dan dua pembawa gaun. Namun, rasa dongkol masih merajalela di hati, begitu diantar pulang netra menemukan ayahnya yang terbaring santai. Tiada satu goresan pun. Lantas leher siapa yang dimainkan oleh Arlan? Sang iblis yang dalam hitungan jam akan menjadi suaminya.“Moza!”Teriakan tersebut memang nyaring. Namun, membuyarkan amarah yang melanda. Moza segera berdiri dibantu penata rias. Senyumannya begitu merekah. Ya, Indri namanya, wanita berdarah campuran Jepang tersebut menepuk lengannya keras. Mengejutkan beberapa orang. Jikalau Arlan melihatnya, mungkin temannya sudah jadi pengganti lampu di plafon.“Sakit,” keluhnya sambil tertawa.“Ya, berani se
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments