Eskalator membawa dua insan yang dihinggapi rasa gembira serta kebebasan. Dulu, penampilan buruk seorang Moza dipandang remeh oleh beberapa pengunjung. Kini terlihat memuja, dress bunga yang dibalut kain organza lembut makin menambah kesan cantik. Rambut panjang yang digerai, begitu sempurna di pelupuk mata. Dengan siapa ia pergi? Tentu saja Indri, sang sahabat karib.
“Za,” panggil Indri.
“Kenapa?”
“Bagaimana rasanya?”
“Menyenangkan sekali, bahkan ini pertama kalinya kita begitu santai.”
Indri menepuk jidat. “Bukan itu, Moza! Aku tanya malam indah kalian.”
Moza mendelik menatap sahabatnya yang memainkan kedua alis. “Tidak ada yang terjadi.”
“Ah, masa. Pergi begitu cepat, meninggalkan para tamu, memangnya untuk apa selain ingin berdua saja.”
Moza menepuk lengan Indri beberapa kali, sampai mengaduh kesakitan. “Ya! Siapa yang berani mengotori pikiran sahabatku ini?”
“Pacarku.” Indri tersenyum misterius.
Moza memutar bola matanya. “Lee Min Ho.”
“Tepat sekali! Aku sangat ingin melihatnya langsung, memeluknya bahkan menciumnya!”
“Sepertinya kau harus sering membaca buku daripada melihat drama.”
Indri menyenggol tubuh Moza. “Justru aku harus menonton agar bisa mengajarimu caranya membuat Arlan betah, pasti semalam kalian tidak—”
“Berhenti mengoceh,” sergahnya cepat, pipinya rasanya terbakar sudah, membuat Indri tersenyum.
Sepertinya Indri sudah harus dikarantina dengan beribu buku agar pikiran tidak tercemar. Moza masih mencengkeram pintu, tidak ingin masuk. Mengikuti ajaran yang sesat. Pelayan pun beberapa kali mempersilakannya masuk, karena telah menghalangi pelanggan yang hendak masuk.
“Ayolah!” Indri menariknya dan berakhir di jejeran gaun kurang bahan dan tipis tersebut, lirengie nama kerennya.
“Jangan lama-lama.”
“Aku ke sini untukmu, jadi harus lama,” tutur Indri mengambil asal sambil mencocokan padanya, “lagian kau sudah menikah, untuk apa malu. Aku yang belum saja tidak malu.”
“Karena otakmu ketinggalan di rumah,” cibir Moza masih mengekor.
Indri melirik. “Lebih tepatnya, saat pembagian otak aku tidak hadir.”
Langkah terhenti, bahkan Moza mengembalikan baju tipis ke tempatnya lagi. Tatapan itu terasa begitu merindu, tepatnya saling. Indri yang memang tidak punya malu langsung mendekati pasangan yang dimadu kasih. Reni dan Angga, sang pujaan hati Moza yang menikah setelah dua hari putus dengannya.
“Ngapain ke sini Bunda?” tanya Indri terlihat menyindir.
“Bunda?” Reni mengernyitkan dahi.
“Cari pakaian dalam,” jawab Angga tak melepaskan tatapan padanya.
“Pakaian seksi juga,” sambung Reni tersenyum.
“Oh bukannya minggu ketiga masih rentan ya, sebaiknya beli mantel musim dingin saja.”
“Kau—” Reni tak terima.
Moza memberanikan diri untuk maju, serta mengubah wajahnya menjadi angkuh. “Maaf ya tidak bisa hadir ke pernikahan kalian, karena tepat sekali kemaren aku juga menikah.”
“Pernikahanmu sangat mewah, tidak baik membuat acara orang lain sepi,” sindir Reni dengan nada tertahan.
“Tentu saja mewah, bahkan suami Moza sangat kaya, satu hari pun cukup menggelar acara.” Indri sangat bangga.
“Pernikahan kalian terburu sekali, apa jangan-jangan kau sudah tidak—”
Angga mengintrupsi istrinya. “Reni.”
“Apa? Demi wanita murahan ini kau mau debat denganku?”
“Wanita murahan?” Moza menyeringai mendengarnya.
“Maaf juga karena kami tidak bisa hadir,” ucap Angga terlihat begitu ramah, dan—itulah yang menyakiti mata, “tapi kenapa kau menikah begitu cepat.”
“Ada singa di sampingmu, tentu saja aku harus segera mencari pendamping agar tidak dimangsa.” Reni geram mendengar ucapannya.
“Eh, harus sabar, kalau pendarahan bagaimana? Lantainnya kotor nanti.”
“Janinku sangat kuat!”
Moza tersenyum tipis, lantas menepuk pundak Angga pelan. “Jika kau bisa menikah dengan cepat kenapa aku tidak? Mungkin juga aku seperti Reni, hamil duluan.”
Reni menatap sekitar, karena ucapannya cukup lantang di akhir kata. “Jaga ucapanmu, ya! Aku memang hamil, tapi setidaknya aku tidak murahan seperti dirimu.”
Indri tertawa keras. “Hello Bunda! Wanita murahan itu bukannya kau sendiri.”
“Tidak masalah, sekarang wanita murahan yang kau sebut menyuruhmu pergi karena pakaian di toko ini sudah terjual habis.”
“Habis?” tanya Angga.
“Karena Moza membeli semuanya, dia istri orang kaya.” Indri tersenyum puas.
“Tidak mungkin!” Reni menghampiri pelayan yang hanya berdiri saja.
“Tanya saja,” tantang Indri.
Moza menyenggol seraya berbisik, “aku tidak yakin Arlan akan membiarkanku membeli semua produk di sini.”
“Maaf Nona, semua pakaian tidak kami jual,” tutur sang pelayan langsung, karena memang sedari tadi mendengarkan.
“Wanita murahan itu benar-benar membeli semuanya?”
“Kami tidak menjual tanpa izin Ibu Moza.”
Penghuni toko tersebut terkejut, bahkan pelayan yang tidak tahu asalnya dari mana saja mengenalinya. Indri menyenggolnya, dan mengatakan sepertinya Arlan telah berbuat sesuatu. Atau justru mengikuti mereka. Jika benar, Moza hanya bisa meneguk ludah saat menatap Angga.
“Kenapa?” lagi, Reni bertanya.
“Karena kami tidak bisa menjual jika Ibu Moza tidak mengizinkan. Beberapa toko di sini milik Pak Arlan Nasution.”
Indri melotot. “Kau tidak salah memilih pasangan.”
***
Begitu senangnya hati. Sampai melewati pintu utama saja sambil bernyanyi. Puas sekali Moza telah menyudutkan Angga dan Reni. Mungkin ia harus berterima kasih pada suaminya. Ya, berkat pria itu akhirnya hidupnya berubah drastis. Kata yang dirangkai lama buyar sudah saat mendapati Arlan duduk di sofa panjang dengan tangan terlipat di dada, menatapnya serius. Jelas sekali menunggu kepulangannya.
“Hebat sekali, ya, kau sekarang.”
Moza menghindari tatapan suaminya. “Siang begini sudah pulang, apa kau ada masalah?”
“Duduk,” titah Arlan tegas membuatnya menciut dan menurut.
“Ada apa?”
“Kau menemui mantan pacarmu?”
Moza melirik. “Tidak sengaja.”
“Aku tahu.”
“Sudah tahu kenapa bertanya,” cibirnya.
Arlan mendadak mendekat dan mendaratkan sesuatu di bibirnya, sangat lembut. Moza melotot, lantas mendorong tubuh tegap tersebut. Arlan tersenyum dan mengelus puncak rambutnya.
“Sudah menikah, tapi, kau sangat gugup.”
“Tidak bisakah kau bicara dulu sebelum melakukannya.” Moza menutupi bibirnya, melihatnya Arlan tertawa kecil.
“Memangnya kau mau?”
“Tentu tidak.”
“Itu hukumanmu karena sudah menemui mantan pacarmu.”
“Sudah kubilang tidak sengaja, kan,” kekehnya.
“Oke, tidak sengaja. Tapi, kau membuat toko pakaian dalam rugi, pelanggan yang menonton semuanya pergi.”
“Kenapa?”
“Pelayan berulang kali meminta maaf dan mengusir mereka, karena kau tidak mengizinkan untuk dijual.”
“Aku hanya melakukannya untuk Reni.”
“Kau—”
“Lagian sejak kapan kau begitu perhitungan,” cibirnya merasa kesal.
Arlan akhirnya terdiam. Membuatnya melirik tak enak hati. Bagaimana pun mencari uang sangatlah sulit, Moza mendekat dan memijit lengan suaminya pelan. Arlan menatap dengan terkejut, terlena juga mengingat masa lalu. Wajah yang sama, dan begitu dirindukan.
“Lain kali tidak boleh membuat usahaku rugi.”
“Aku mengerti, aku minta maaf.”
“Mulai besok Hans menjagamu, dia akan mengikutimu ke mana pun.”
“Sekarang kau berani membuntutiku secara terang-terangan, ya?”
Arlan menyeringai. “Aku takut istriku macam-macam, lagian dengan adanya Hans, kau akan tahu batasanmu.”
“Batasanku?” Moza tak percaya mendengarnya.
“Malam ini aku akan tidur di ruang kerja, banyak yang harus aku tangani.”
Moza terlihat girang. “Aku akan tidur nyenyak dan tidak mengganggumu.”
Arlan tersenyum meski sedikit sakit hati mendengarnya. “Aku lebih suka kau mengangguku.”
Makan malam kali ini berbeda, karena Moza tidaklah sendiri. Telah duduk suaminya di kursi paling ujung. Lehernya berulang kali bergerak, sedang mata mencari cela agar bisa menatap ketampanan Arlan. Salahkan saja bunga yang cukup besar terdiam di atas meja.
Arlan yang menyadarinya tersenyum sambil terus mengunyah. Lucu, mungkin dipikirnya. Tangan suaminya bergerak, hingga Hans datang dan menyingkirkan penghalang tersebut. Moza segera menunduk karenanya.
“Kenapa? Bunganya sudah pergi, tidak menatap lagi?”
“Hah? Justru karena bunganya dibawa pergi, makanya tidak lihat lagi.”
Arlan tersenyum. “Kalau begitu Hans letakkan lagi.”
“Jangan!”
Arlan justru tertawa, ini pertama kali sepertinya, mengundang beberapa pembantu yang bekerja akhirnya hening. “Kau semakin lucu saja.”
Moza cemberut mendengarnya. “Apakah kita sedang makan?”
“Menurutmu?” Arlan mengernyitkan dahi.
“Rasanya seperti tengah rapat. Kau di sana dan aku di sini, sangat jauh.”
“Kenapa? Tidak ingin jauh dariku?” goda suaminya.
“Bukan begitu,” tutur Moza, sedang Arlan menatapi dirinya yang membawa piring serta sendok mendekati kursi sebelah, “seperti ini namanya makan bersama.”
Arlan masih terpaku dengan tingkahnya. “Aku tidak terbiasa.”
“Di sini hanya ada kita berdua, sekalipun banyak orang, makan itu harus saling berdekatan. Lebih ramai dan seru. Kau juga sesekali harus membiarkan sendok berbunyi, karena makan itu bukan kuburan.”
“Sepertinya caramu makan denganku jauh berbeda.” Arlan melanjutkan makannya.
“Memang berbeda, karena aku miskin dan kau kaya. Tapi, menurutku cara orang kaya makan itu membosankan.”
“Itu hanya pemikiranmu saja.”
Moza kini memperhatikan cara Arlan makan. “Ada apa lagi?”
“Kau sungguh makan tanpa suara.”
Arlan tidak meladeni ocehannya yang tidak berguna. Memilih makan lagi. Moza tidak berhenti mengganggu, bahkan mulai mengikuti semua prilaku suaminya.
“Moza,” tegur Arlan.
“Ya.”
“Kau sedang apa?”
“Makan.”
“Maksudku kenapa kau terus menatapku.”
Moza menggeleng. “Aku tidak menatapmu, aku hanya menatap caramu makan.”
“Memangnya apa lagi yang beda selain tidak membuat suara saat makan?”
“Aku hanya ingin belajar cara makan orang kaya saja.” Moza tersenyum.
Arlan menghela napas panjang. Banyak sekali hal menyebalkan dan menyenangkan dalam dirinya. Ya, mungkin saatnya Arlan harus tahu bagaimana seorang Moza. Tatapan tersebut sangat serius. Ia tersentak ketika sendok dibanting ke meja. Tak berani menatap Arlan yang meninggalkannya, sepertinya marah besar.
“Hanya karena aku ingin belajar caramu makan saja apa tidak boleh?” cibir Moza mengayunkan sendok beberapa kali begitu Arlan tak terlihat, “aku ini mantan orang miskin, artinya sudah kaya, jadi harus belajar.”
Next part 5 ya
Bukan hanya pernikahan, bahkan pergi kuliah saja mengundang perhatian. Bagaimana tidak? Dengan penampilan Moza yang berubah, ya berkat suaminya. Jangan lupakan mobil keluaran terbaru terjebak di antara puluhan tubuh yang saling desak.“Apakah kau tidak merasa bahwa sekarang aku seperti artis?” tanyanya dengan tangan bergerak gemulai.“Tidak,” jawab Hans singkat membuatnya cemberut.Ucapan Arlan tidaklah hanya kata yang tak kasat mata, buktinya Hans bahkan sudah keluar dari kemudi. Membuat kerumunan akhirnya mundur teratur, entah apa yang digumamkan oleh lelaki itu, mungkin mengusir, lantas membuka pintu untuknya. Sudah pantaskah ia dipanggil ratu? Moza tersenyum ceria seraya melambai pada semuanya. Beberapa orang memilih pergi, ada juga yang menggunjing tak sedap di belakang.“Moza!”Indri membelah para manusia yang
Sepekan sudah umur pernikahan. Mata melihat kebahagian yang terpancar dari tawanya, kemewahan turut hadir. Namun—semua itu hanya pandangan orang lain tentangnya. Juga tidaklah semanis bibir mengumbar kebaikan suaminya, ya, Moza telah belajar menjadi orang yang membanggakan pendamping meski ternyata buruk. Memang benar adanya.Bukan masalah tidak pernah satu kamar, hanya saja sikap Arlan semakin hari mengekangnya.Pernah sewaktu malam ketika bertemu kolega, hanya karena staff biasa menatap saja langsung marah. Memaksa untuk pulang dan berakhir dengan pertengkaran. Sama seperti sekarang. Moza memasuki ruang kerja tanpa izin saja membuatnya berdiri di depan Arlan yang tengah menyesap kopi, mata elang tersebut tak pernah lepas darinya.“Sudah tahu kesalahanmu?” tanya Arlan meletakkan cangkir.“Aku memasuki ruang kerja suamiku sendiri, apa itu salah? Kecuali kalau itu ruangan
Tujuh jam perjalanan, hal yang melelahkan. Kini Moza hanya terdiam. Menatap tangan yang lihai menabur tersebut. Sangat terawat, bahkan rumput baru tumbuh pun tidak dibiarkan singgah. Inilah keluarga yang suaminya maksud. Sepertinya ia lebih baik, meski mempunyai ibu yang baru-baru ini ingat padanya, serta ayah yang selalu memukul dan meminta uang.Moza menepuk pundak suaminya. “Kau tidaklah sendiri. Masih ada aku di sini.”Arlan melirik singkat. “Keluargaku meninggal karena kecelakaan, tepatnya 15 tahun lalu. Saat aku kabur dari rumah, rasanya sangat menyesal.”Ini pertama kalinya. Arlan yang angkuh dan tegas, begitu lemah di hadapannya. Moza ikut menabur bunga di makan paling ujung. Ukurannya kecil, kemungkinan belum beranjak remaja. Arlan terpaku pada makam tersebut, mata mulai bergerak dan tersenyum sinis.“Maukah kau sering mengunjungi mereka bersamaku?
Moza tak habis pikir. Sudah tahu tidak ada bahan makanan, juga fasilitas yang mencukupi. Arlan kekeh tak ingin meninggalkan villa. Murah, namun tak layak huni. Kini ia duduk di samping Arlan yang fokus menyetir. Bukan mencari hotel atau menikmati pemandangan, melainkan belanja kebutuhan pangan ke pasar. Cukup sesak untuk seorang Arlan."Masuk," titah Arlan."Kenapa tidak ikut saja?""Bau, lagi pula tidak ada yang sedap dipandang."Moza merasa kesal dengan tingkah suaminya. "Mau makan saja susah.""Kau sudah terbiasa dengan lingkungan kumuh, kan? Cepat belanja setelah itu pulang dan masak.""Aku tidak pandai memasak, apa telur kemarin belum cukup membuktikan?" Moza berkacak pinggang."Ini," kekeh Arlan menyerahkan atm padanya.Moza semakin tak habis pikir. "Kau kira pasar itu mall? Supermarket? Di sini pa
Terbangun dari tidur yang tidak nyenyak. Bahkan lingkaran di bawah mata tampak sangat jelas. Mungkin efek menangis terus. Mbok Lidia datang dengan membawa sarapan dan pakaian kuliah. Moza hanya menatap."Sarapan dulu, Non.""Kenapa dibawa, Mbok? Kan biasanya jyga di meja makan.""Itu," Lidia tampak bingung."Apa Arlan tidak ingin makan denganku?"Tebakannya benar, Mbok Lidia mengangguk. "Tuan, ada tamu juga, Non."Moza membawa pakaian kuliahnya seraya tersenyum miris. "Sepertinya punya istri miskin sangat memalukan, sampai tidak ingin diperlihatkan."Moza menuruni tangga. Bukan pemandangan seperti yang Lidia katakan. Bukanlah tamu, melainkan penghuni kamar belakang. Pelayan yang dulu pernah mengantarnya ke kamar di hari pertama menikah, gadis yang cantik. Duduk di pangkuan Arlan tanpa merasa risih dengan tangan yang mengelus
Moza memasuki kamar setelah mengobati luka di tangan Arlan. Dikuncinya sangat rapat, bukan takut akan suaminya. Melainkan sesuatu yang disembunyikan. Ya, betul, segera duduk di ruang ganti. Penuh dengan baju, tas, perhiasan juga sepatu. Jangan tanya berapa harganya."Hallo, Sayang," sapa Moza begitu wajah yang tampan mulai terlihat di ponselnya."Bunda!"Moza menyeka air matanya yang jatuh. Inilah rahasia yang ia sembunyikan sangat rapat. Bahkan ayah sendiri yang hidup dengannya cukup lama tidak tahu. Tian Riandri namanya, mengikuti marga keluarganya. Jangan tanya siapa ayahnya, karena itu masa kelam yang menyakitkan."Bagaimana kabarmu, Tian?""Baik, Bun. Bunda gimana, kuliahnya lancar?""Kuliah bunda sangat lancar.""Terima kasih sama Bunda," bisik seorang wanita di samping Tian."Makasih, Bunda! Tian
“Sebelum kematian, tampaknya gadis berinisial A ini diambil organnya, dilihat dari jahitan yang masih sangat baru.”Moza menjatuhkan snack di pangkuannya, begitu mendengar berita di televisi. Lantas melirik Arlan yang fokus pada kerjaan di laptop. Tak bergeming meski suara pembawa berita cukup keras. Sudah banyak tetangga yang membicarakannya, namun sepertinya Arlan tidak peduli. Toh pagi kerja, pulang hampir tidak ada yang tau saking malamnya. Ingat betul bagaimana tukang sayur pun berubah profesi.“Sepertinya pak Arlan ini pembunuh neng Anisa.”“Malah mengambil organ dalam neng Anisa juga, tega banget, ya.”“Dengar-dengar, pak Arlan selingkuh sama si eneng, ketahuan sama istrinya,” tukang sayur mulai bergosip.“Pasti istrinya itu yang meminta pak Arlan melakukannya. Tidak menyangka, ternyata orang kaya itu semena-mena.&rdquo
Menyeringai. Sudah seperti kedipan mata bagi Arlan. Lirikkannya menegas, siap melahap para kumpulan tak berguna yang menyerahkan hidupnya pada kartu. Atau lebih tepatnya, sumber pangan mereka. Arlan melempar mata ke arah pria tua di ujung kanan. Terlihat bergetar, meneguk ludah pun terburu. Sesekali mengintai kartu dan uang di meja, membuat Arlan semakin tidak ingin mengalah. "Sepertinya kita sudah tahu siapa pemenangnya," ujar Arlan. Semua perhatian tertuju pada Arlan. Sedang, tangan tersebut menutup kartu. Kemudian, mengeluarkan beberapa dolar untuk tambahan. Dia telah siap merugi jika kalah. Tapi, keyakinan begitu membara. "Woah! Inilah yang membuat kami suka berhadapan denganmu, Ar." "Aku akan membuat kalian pulang dengan wajah mengenaskan." Arlan menyeringai. "Apakah hanya itu yang kau punya Tuan Arlan?" Arlan mendelik pria tua di ujung kanan tersebut. "Kau ingin rumahku? Mobilku? Akan aku berikan jik