Beranda / Romansa / Behind The Scene / Mungkin Saja Aku Juga Hamil

Share

Mungkin Saja Aku Juga Hamil

Eskalator membawa dua insan yang dihinggapi rasa gembira serta kebebasan. Dulu, penampilan buruk seorang Moza dipandang remeh oleh beberapa pengunjung. Kini terlihat memuja, dress bunga yang dibalut kain organza lembut makin menambah kesan cantik. Rambut panjang yang digerai, begitu sempurna di pelupuk mata. Dengan siapa ia pergi? Tentu saja Indri, sang sahabat karib.

“Za,” panggil Indri.

“Kenapa?”

“Bagaimana rasanya?”

“Menyenangkan sekali, bahkan ini pertama kalinya kita begitu santai.”

Indri menepuk jidat. “Bukan itu, Moza! Aku tanya malam indah kalian.”

Moza mendelik menatap sahabatnya yang memainkan kedua alis. “Tidak ada yang terjadi.”

“Ah, masa. Pergi begitu cepat, meninggalkan para tamu, memangnya untuk apa selain ingin berdua saja.”

Moza menepuk lengan Indri beberapa kali, sampai mengaduh kesakitan. “Ya! Siapa yang berani mengotori pikiran sahabatku ini?”

“Pacarku.” Indri tersenyum misterius.

Moza memutar bola matanya. “Lee Min Ho.”

“Tepat sekali! Aku sangat ingin melihatnya langsung, memeluknya bahkan menciumnya!”

“Sepertinya kau harus sering membaca buku daripada melihat drama.”

Indri menyenggol tubuh Moza. “Justru aku harus menonton agar bisa mengajarimu caranya membuat Arlan betah, pasti semalam kalian tidak—”

“Berhenti mengoceh,” sergahnya cepat, pipinya rasanya terbakar sudah, membuat Indri tersenyum.

Sepertinya Indri sudah harus dikarantina dengan beribu buku agar pikiran tidak tercemar. Moza masih mencengkeram pintu, tidak ingin masuk. Mengikuti ajaran yang sesat. Pelayan pun beberapa kali mempersilakannya masuk, karena telah menghalangi pelanggan yang hendak masuk.

“Ayolah!” Indri menariknya dan berakhir di jejeran gaun kurang bahan dan tipis tersebut, lirengie nama kerennya.

“Jangan lama-lama.”

“Aku ke sini untukmu, jadi harus lama,” tutur Indri mengambil asal sambil mencocokan padanya, “lagian kau sudah menikah, untuk apa malu. Aku yang belum saja tidak malu.”

“Karena otakmu ketinggalan di rumah,” cibir Moza masih mengekor.

Indri melirik. “Lebih tepatnya, saat pembagian otak aku tidak hadir.”

Langkah terhenti, bahkan Moza mengembalikan baju tipis ke tempatnya lagi. Tatapan itu terasa begitu merindu, tepatnya saling. Indri yang memang tidak punya malu langsung mendekati pasangan yang dimadu kasih. Reni dan Angga, sang pujaan hati Moza yang menikah setelah dua hari putus dengannya.

“Ngapain ke sini Bunda?” tanya Indri terlihat menyindir.

“Bunda?” Reni mengernyitkan dahi.

“Cari pakaian dalam,” jawab Angga tak melepaskan tatapan padanya.

“Pakaian seksi juga,” sambung Reni tersenyum.

“Oh bukannya minggu ketiga masih rentan ya, sebaiknya beli mantel musim dingin saja.”

“Kau—” Reni tak terima.

Moza memberanikan diri untuk maju, serta mengubah wajahnya menjadi angkuh. “Maaf ya tidak bisa hadir ke pernikahan kalian, karena tepat sekali kemaren aku juga menikah.”

“Pernikahanmu sangat mewah, tidak baik membuat acara orang lain sepi,” sindir Reni dengan nada tertahan.

“Tentu saja mewah, bahkan suami Moza sangat kaya, satu hari pun cukup menggelar acara.” Indri sangat bangga.

“Pernikahan kalian terburu sekali, apa jangan-jangan kau sudah tidak—”

Angga mengintrupsi istrinya. “Reni.”

“Apa? Demi wanita murahan ini kau mau debat denganku?”

“Wanita murahan?” Moza menyeringai mendengarnya.

“Maaf juga karena kami tidak bisa hadir,” ucap Angga terlihat begitu ramah, dan—itulah yang menyakiti mata, “tapi kenapa kau menikah begitu cepat.”

“Ada singa di sampingmu, tentu saja aku harus segera mencari pendamping agar tidak dimangsa.” Reni geram mendengar ucapannya.

“Eh, harus sabar, kalau pendarahan bagaimana? Lantainnya kotor nanti.”

“Janinku sangat kuat!”

Moza tersenyum tipis, lantas menepuk pundak Angga pelan. “Jika kau bisa menikah dengan cepat kenapa aku tidak? Mungkin juga aku seperti Reni, hamil duluan.”

Reni menatap sekitar, karena ucapannya cukup lantang di akhir kata. “Jaga ucapanmu, ya! Aku memang hamil, tapi setidaknya aku tidak murahan seperti dirimu.”

Indri tertawa keras. “Hello Bunda! Wanita murahan itu bukannya kau sendiri.”

“Tidak masalah, sekarang wanita murahan yang kau sebut menyuruhmu pergi karena pakaian di toko ini sudah terjual habis.”

“Habis?” tanya Angga.

“Karena Moza membeli semuanya, dia istri orang kaya.” Indri tersenyum puas.

“Tidak mungkin!” Reni menghampiri pelayan yang hanya berdiri saja.

“Tanya saja,” tantang Indri.

Moza menyenggol seraya berbisik, “aku tidak yakin Arlan akan membiarkanku membeli semua produk di sini.”

“Maaf Nona, semua pakaian tidak kami jual,” tutur sang pelayan langsung, karena memang sedari tadi mendengarkan.

“Wanita murahan itu benar-benar membeli semuanya?”

“Kami tidak menjual tanpa izin Ibu Moza.”

Penghuni toko tersebut terkejut, bahkan pelayan yang tidak tahu asalnya dari mana saja mengenalinya. Indri menyenggolnya, dan mengatakan sepertinya Arlan telah berbuat sesuatu. Atau justru mengikuti mereka. Jika benar, Moza hanya bisa meneguk ludah saat menatap Angga.

“Kenapa?” lagi, Reni bertanya.

“Karena kami tidak bisa menjual jika Ibu Moza tidak mengizinkan. Beberapa toko di sini milik Pak Arlan Nasution.”

Indri melotot. “Kau tidak salah memilih pasangan.”

***

Begitu senangnya hati. Sampai melewati pintu utama saja sambil bernyanyi. Puas sekali Moza telah menyudutkan Angga dan Reni. Mungkin ia harus berterima kasih pada suaminya. Ya, berkat pria itu akhirnya hidupnya berubah drastis. Kata yang dirangkai lama buyar sudah saat mendapati Arlan duduk di sofa panjang dengan tangan terlipat di dada, menatapnya serius. Jelas sekali menunggu kepulangannya.

“Hebat sekali, ya, kau sekarang.”

Moza menghindari tatapan suaminya. “Siang begini sudah pulang, apa kau ada masalah?”

“Duduk,” titah Arlan tegas membuatnya menciut dan menurut.

“Ada apa?”

“Kau menemui mantan pacarmu?”

Moza melirik. “Tidak sengaja.”

“Aku tahu.”

“Sudah tahu kenapa bertanya,” cibirnya.

Arlan mendadak mendekat dan mendaratkan sesuatu di bibirnya, sangat lembut. Moza melotot, lantas mendorong tubuh tegap tersebut. Arlan tersenyum dan mengelus puncak rambutnya.

“Sudah menikah, tapi, kau sangat gugup.”

“Tidak bisakah kau bicara dulu sebelum melakukannya.” Moza menutupi bibirnya, melihatnya Arlan tertawa kecil.

“Memangnya kau mau?”

“Tentu tidak.”

“Itu hukumanmu karena sudah menemui mantan pacarmu.”

“Sudah kubilang tidak sengaja, kan,” kekehnya.

“Oke, tidak sengaja. Tapi, kau membuat toko pakaian dalam rugi, pelanggan yang menonton semuanya pergi.”

“Kenapa?”

“Pelayan berulang kali meminta maaf dan mengusir mereka, karena kau tidak mengizinkan untuk dijual.”

“Aku hanya melakukannya untuk Reni.”

“Kau—”

“Lagian sejak kapan kau begitu perhitungan,” cibirnya merasa kesal.

Arlan akhirnya terdiam. Membuatnya melirik tak enak hati. Bagaimana pun mencari uang sangatlah sulit, Moza mendekat dan memijit lengan suaminya pelan. Arlan menatap dengan terkejut, terlena juga mengingat masa lalu. Wajah yang sama, dan begitu dirindukan.

“Lain kali tidak boleh membuat usahaku rugi.”

“Aku mengerti, aku minta maaf.”

“Mulai besok Hans menjagamu, dia akan mengikutimu ke mana pun.”

“Sekarang kau berani membuntutiku secara terang-terangan, ya?”

Arlan menyeringai. “Aku takut istriku macam-macam, lagian dengan adanya Hans, kau akan tahu batasanmu.”

“Batasanku?” Moza tak percaya mendengarnya.

“Malam ini aku akan tidur di ruang kerja, banyak yang harus aku tangani.”

Moza terlihat girang. “Aku akan tidur nyenyak dan tidak mengganggumu.”

Arlan tersenyum meski sedikit sakit hati mendengarnya. “Aku lebih suka kau mengangguku.”

Makan malam kali ini berbeda, karena Moza tidaklah sendiri. Telah duduk suaminya di kursi paling ujung. Lehernya berulang kali bergerak, sedang mata mencari cela agar bisa menatap ketampanan Arlan. Salahkan saja bunga yang cukup besar terdiam di atas meja.

Arlan yang menyadarinya tersenyum sambil terus mengunyah. Lucu, mungkin dipikirnya. Tangan suaminya bergerak, hingga Hans datang dan menyingkirkan penghalang tersebut. Moza segera menunduk karenanya.

“Kenapa? Bunganya sudah pergi, tidak menatap lagi?”

“Hah? Justru karena bunganya dibawa pergi, makanya tidak lihat lagi.”

Arlan tersenyum. “Kalau begitu Hans letakkan lagi.”

“Jangan!”

Arlan justru tertawa, ini pertama kali sepertinya, mengundang beberapa pembantu yang bekerja akhirnya hening. “Kau semakin lucu saja.”

Moza cemberut mendengarnya. “Apakah kita sedang makan?”

“Menurutmu?” Arlan mengernyitkan dahi.

“Rasanya seperti tengah rapat. Kau di sana dan aku di sini, sangat jauh.”

“Kenapa? Tidak ingin jauh dariku?” goda suaminya.

“Bukan begitu,” tutur Moza, sedang Arlan menatapi dirinya yang membawa piring serta sendok mendekati kursi sebelah, “seperti ini namanya makan bersama.”

Arlan masih terpaku dengan tingkahnya. “Aku tidak terbiasa.”

“Di sini hanya ada kita berdua, sekalipun banyak orang, makan itu harus saling berdekatan. Lebih ramai dan seru. Kau juga sesekali harus membiarkan sendok berbunyi, karena makan itu bukan kuburan.”

“Sepertinya caramu makan denganku jauh berbeda.” Arlan melanjutkan makannya.

“Memang berbeda, karena aku miskin dan kau kaya. Tapi, menurutku cara orang kaya makan itu membosankan.”

“Itu hanya pemikiranmu saja.”

Moza kini memperhatikan cara Arlan makan. “Ada apa lagi?”

“Kau sungguh makan tanpa suara.”

Arlan tidak meladeni ocehannya yang tidak berguna. Memilih makan lagi. Moza tidak berhenti mengganggu, bahkan mulai mengikuti semua prilaku suaminya.

“Moza,” tegur Arlan.

“Ya.”

“Kau sedang apa?”

“Makan.”

“Maksudku kenapa kau terus menatapku.”

Moza menggeleng. “Aku tidak menatapmu, aku hanya menatap caramu makan.”

“Memangnya apa lagi yang beda selain tidak membuat suara saat makan?”

“Aku hanya ingin belajar cara makan orang kaya saja.” Moza tersenyum.

Arlan menghela napas panjang. Banyak sekali hal menyebalkan dan menyenangkan dalam dirinya. Ya, mungkin saatnya Arlan harus tahu bagaimana seorang Moza. Tatapan tersebut sangat serius. Ia tersentak ketika sendok dibanting ke meja. Tak berani menatap Arlan yang meninggalkannya, sepertinya marah besar.

“Hanya karena aku ingin belajar caramu makan saja apa tidak boleh?” cibir Moza mengayunkan sendok beberapa kali begitu Arlan tak terlihat, “aku ini mantan orang miskin, artinya sudah kaya, jadi harus belajar.”

Next part 5 ya

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status