Home / Romansa / Behind The Scene / Rasa Sakit dan Dendam

Share

Rasa Sakit dan Dendam

Terlalu cepat. Itulah kata yang tepat. Arlan jelas kaya raya, setelah ia meminta acara pernikahan dilaksanakan esok hari. Kini Moza telah berada di depan meja rias. Ditemani tiga penata rias dan dua pembawa gaun. Namun, rasa dongkol masih merajalela di hati, begitu diantar pulang netra menemukan ayahnya yang terbaring santai. Tiada satu goresan pun. Lantas leher siapa yang dimainkan oleh Arlan? Sang iblis yang dalam hitungan jam akan menjadi suaminya.

“Moza!” 

Teriakan tersebut memang nyaring. Namun, membuyarkan amarah yang melanda. Moza segera berdiri dibantu penata rias. Senyumannya begitu merekah. Ya, Indri namanya, wanita berdarah campuran Jepang tersebut menepuk lengannya keras. Mengejutkan beberapa orang. Jikalau Arlan melihatnya, mungkin temannya sudah jadi pengganti lampu di plafon.

“Sakit,” keluhnya sambil tertawa.

“Ya, berani sekali kau menikah tanpa bicara dulu denganku!”

“Tapi, setidaknya aku tetap mengundangmu, Sayang.” Moza menepuk jidat Indri.

“Itu suatu keharusan kau tahu! Mana calon suamimu? Aku harus melihatnya, akan aku depak jika dia tidak layak untukmu.” Indri yang begitu antusias membuatnya terkekeh.

“Mari dilanjut, Nona.” Penata rias membantunya duduk kembali.

“Nona?” Indri memiringkan leher, menatapnya heran.

“Aku akan menikah dengan orang kaya, tampan dan ya lumayan baik. Kau tidak perlu cemas.” Moza sedikit berbohong saat menyebut Arlan baik, karena nyatanya tidak.

Indri memutar bola matanya, lantas menduduki sofa panjang. Letaknya tepat di belakang Moza. Sangat cantik, bukan hanya sang pengguna, tapi gaunnya pun super mewah. Indri mengangguk, merasa paham betapa kayanya calon suami Moza.

“Oh iya,” tutur Indri seraya mengeluarkan ponsel dari tasnya, “sesuai rencanamu, tempat resepsi mereka sepertinya hanya dihadiri keluarga dan beberapa tetangga saja.”

Moza tersenyum sendu. “Apa teman di kampus hadir ke pernikahanku?”

“Bukan hanya teman, tapi hampir seluruh penghuni kampus! Kau tahu, gedungnya sangat luas dan besar, dekorasinya juga begitu mewah, tentu saja mereka penasaran dengan pernikahanmu yang mendadak tapi begitu uwaw.”

Berharap rasa sakit terbayarkan, nyatanya tetap sama. Moza menatap cermin, wajah cantik yang menyimpan dendam. Haruskah tetap dilanjutkan? Sedang hatinya beribu kali bertanya dan meragu.

Akhirnya Moza keluar ditemani dua orang yang mengangkat ekor gaunnya, serta Indri begitu setia menuntunnya. Tampak Arlan sudah duduk di depan penghulu, tatapan itu—bibir Arlan menyeringai. Sepertinya bukan pertanda baik. Moza telah duduk di samping calon suaminya, sedikit senyuman didapatkannya.

“Saya terima nikahnya Moza Riandri binti Riandri dengan mas kawin emas sebesar 2.000 gram, mobil dan apartemen tunai.”

Tiada keraguan dalam tiap ucapan Arlan. Netranya terus menatap Ayahnya yang berulang kali menghindar. Ingat betul bagaimana bibir Rian lihai merayunya. Dan termakan olehnya.

“Dia sebentar lagi menikah, apa lagi yang kamu harapkan?”

“Kami sudah putus, Ayah! Tidak perlu diungkit lagi.”

“Ayah dengan calon istrinya dari keluarga William, yang selalu menghinamu, kini pacarmu justru—”

“Mantan,” ralat Moza.

Rian menatapnya. “Terima saja Arlan, dia lebih kaya dan bisa membalaskan rasa sakitmu.”

***

Moza yang tidak menemukan suaminya memutuskan untuk mencari. Di sudut pilar—luar gedung. Arlan mengelap leher, membuatnya segera mendekat dan membuka kerah kemeja terbalut tuxedo. Lelaki tersebut menyeringai, lantas menarik tubuhnya agar lebih dekat.

“Lepaskan!”

“Sudah tertangkap,” tutur Arlan tersenyum.

Moza mendorong kuat dan menjauh. “Jadi itu lehermu.”

“Tentu saja leherku,” ucap Arlan menunjuk, “kau kira aku meminjamnya dari orang lain, Sayang?”

Moza melengos mendengarnya. “Bukan itu maksudku. Foto yang kau kirimkan kemarin bukan leher ayahku.”

“Memangnya aku bilang itu ayahmu? Aku hanya mengancam akan membunuh. Sepertinya kau salah paham.”

“Kau—”

Moza yang merasa kesal hendak pergi, namun suaminya menariknya ke dalam pelukan dan berbisik. “Kau hutang penjelasan padaku.”

“Penjelasan apa?” Mona mendongkak dan tatapan mereka bertemu.

“Kau kira aku bodoh, hah? Aku bahkan tahu namanya, apalagi cerita miris kalian.”

“Jika sudah tahu, kenapa harus tetap kuceritakan.”

Moza sesekali tersenyum pada beberapa temannya yang memilih pulang duluan. Mungkin kenyang menyantap sajian yang tertata rapi dari ujung sampai ujung gedung. Arlan membelai rambutnya dan mundur perlahan.

“Aku lebih suka mulutmu yang menjelaskannya.” Arlan menatapinya dengan serius.

“Dia mantan pacarku.” Moza makin mundur.

“Yang dua hari putus langsung menikah? Ah, bukan hanya dia, tapi istriku juga.”

“Kau—”

“Aku benar.” Arlan tersenyum, sangat palsu.

“Ya, kau memang benar. Alasanku setuju dan mempercepat pernikahan karena hari ini mereka menikah, aku ingin resepsi mereka sepi, lalu merasa iri denganku yang menikah di gedung mewah juga dihadiri oleh ribuan orang!” teriaknya hampir menangis.

Arlan langsung merengkuh tubuhnya. “Tidak masalah kau memanfaatkan namaku atau hartaku, aku mendukungmu jika ingin membalas mereka perlahan.”

“Benarkah?”

“Hanya saja untuk cintaku, jangan kau manfaatkan. Karena—aku tulus.”

Moza mendongkak dan menemukan Arlan seperti menyebut nama, namun tak terdengar. Tubuhnya terangkat, ulah Arlan. Segera ia rapatkan kedua tangan ke leher suaminya. Membawanya ke mobil dan membiarkan acara resepsi tetap berjalan tanpa mempelai.

“Kita mau ke mana?”

“Pulang, aku mengantuk.”

***

Moza terbangun, netranya begitu takjub pada tirai yang terbuka tanpa campur tangan manusia. Lalu ditemukannya seorang wanita tua berpakaian pembantu tengah berlutut. Rasa panik menjalar, barangkali sudah tidak bernapas. Segera ditariknya, namun begitu kuat, seolah memberontak. Hingga suara terdengar membuatnya sedikit lega.

“Maaf telah membangunkan, Non.”

Moza menatap heran. “Aku bangun sendiri, kok. Terus ngapain Ibu berlutut seperti ini, ayo aku bantu.”

Pembantu tersebut berdiri terburu, membuat tangannya menggantung. “Jangan panggil saya ibu, Non.”

“Lalu apa?”

“Sembok saja, Non.”

“Ah, dan Sembok jangan pakai saya ya, pakai aku saja. Aku kan lebih muda dari Sembok, jadi rasanya aneh.”

Wanita yang bernama Lidia tersebut berpikir cukup lama, lantas mengangguk. Mengundang satu lengkungan tipis di bibirnya. Mata Moza melacak keberadaan suaminya yang sejak semalam tidak di kamar. Jangankan melaksanakan rutinitas malam pertama, yang mengantarnya ke kamar saja pembantu seusianya, cantik pula.

“Arlan ke mana, Mbok?”

“Tuan sudah berangkat ke kantor, Non.”

“Kantor perdagangan tubuh manusia?”

Lidia hendak berlutut lagi, tapi segera dicekalnya tangan keriput tersebut. “Aku bercanda, ya ampun, Mbok.”

“Saat di depan tuan, harap berhati dalam bicara, Non. Sembok hanya berpesan itu saja.”

Moza melirik Lidia yang serius dengan ucapannya. “Baiklah. Jadi, kerja apa Arlan itu, Mbok?”

Lidia menggaruk leher meski tak gatal. “Sembok kira Non sudah tahu.”

“Belum, Mbok. Mana berani aku bertanya, kalau beneran kantor—” Moza tak melanjutkan ucapannya, teringat pesan Lidia.

“Kantor itu loh Non, penyedia gedung-gedung, terus restoran, hotel, komputer gitu.”

Moza terlihat berpikir. “Bidang properti, ya? Tapi menyediakan komputer juga?”

“Sembok juga kurang tahu Non. Mending Non tanya langsung saja.”

Moza berkeliling rumah milik suaminya, ya seharusnya tidak disebut demikian, karena lebih mirip istana. Jarak antara lantai dengan langit-langit saja bagai samudera. Terdiam dua anak tangga yang menghubungkan satu lantai, mencuri pasti lebih mudah, dikejar dan lari saling berlawanan. Masih ada lantai paling atas, tempat berjejernya kamar tidur utama, termasuk miliknya. Pantas saja Arlan menambahkan atap tiap lantainya, jika tidak maka mata akan takut saat turun tangga.

Aroma harum yang beragam menyapa hidung. Asalnya dari dapur. Beberapa pelayan menyiapkan sarapan di meja makan, juga banyak yang mondar-mandir ke dapur. Moza penasaran berapa banyak penghuni rumah besar tersebut. Apakah menampung anak-buyut juga.

“Mari saya bantu, Non.”

Seorang pemuda yang tampan menarik kursi untuknya. “Ke mana semua orang?”

“Hanya ada Non yang sarapan,” jawab pelayan tersebut mengerti arah bicaranya.

Sebentar, hanya dirinya? Moza menggelengkan kepala. “Tuanmu itu suka sekali menghamburkan uang.”

“Tuan hanya takut Non tidak suka menu sarapan hari ini, jadi meminta para koki memasak semuanya.”

“Aku bahkan bisa memakan hidangan 2 hari lalu, jadi tidak masalah makan apa saja.”

Moza masih memikirkan para koki yang disebutkan. Pasti banyak. “Siapa namamu?”

“Hans, Non.”

“Umur?”

“21 tahun.”

“Wah kita seumuran.” Moza begitu antusias sampai memukul lengan Hans.

“Maaf, Non. Jangan seperti ini.”

Moza menyantap roti rasa susu dengan santai. Baginya tiada status tinggi dan rendah, seperti tuan dan pembantu. Ia pernah berada di posisi itu, rasanya menyakitkan. Moza menangkap bayangan seseorang yang sepertinya sengaja menguping, membuat Hans segera pamit dan berjalan ke arah dapur.

Mulutnya menggigit roti makin pelan. “Sepertinya aku harus mendengarkan ucapan Sembok.”

Next Bab 4

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status