Tujuh jam perjalanan, hal yang melelahkan. Kini Moza hanya terdiam. Menatap tangan yang lihai menabur tersebut. Sangat terawat, bahkan rumput baru tumbuh pun tidak dibiarkan singgah. Inilah keluarga yang suaminya maksud. Sepertinya ia lebih baik, meski mempunyai ibu yang baru-baru ini ingat padanya, serta ayah yang selalu memukul dan meminta uang.
Moza menepuk pundak suaminya. “Kau tidaklah sendiri. Masih ada aku di sini.”
Arlan melirik singkat. “Keluargaku meninggal karena kecelakaan, tepatnya 15 tahun lalu. Saat aku kabur dari rumah, rasanya sangat menyesal.”
Ini pertama kalinya. Arlan yang angkuh dan tegas, begitu lemah di hadapannya. Moza ikut menabur bunga di makan paling ujung. Ukurannya kecil, kemungkinan belum beranjak remaja. Arlan terpaku pada makam tersebut, mata mulai bergerak dan tersenyum sinis.
“Maukah kau sering mengunjungi mereka bersamaku?”
“Tidak masalah jika kau mau.”
Arlan masih betah menatapi Moza. “Kenapa kita baru bertemu sekarang.”
“Hah?”
“Jika dari dulu—aku tidak akan seperti ini.”
“Kesepian?” tebaknya dan Arlan mengangguk meski cukup lama terdiam.
Usai mengunjungi keluarga yang Arlan maksud. Kini mobil kembali membelah lalu lintas yang ramai, ikut menyumbang polusi. Ada rasa kesal ketika di butik, harusnya ia tidak memilih gaun yang elegan, jika tahu akan ke kuburan. Pantas saja Arlan memilih kemeja simpel warna putih.
“Aku heran dengan orang kaya. Mengunjungi kuburan saja harus beli pakaian ke butik,” gumamnya.
Arlan melirik. “karena kita di kampung, sepertinya besok baru kembali.”
“Kalau begitu kita cari hotel.” Moza memeriksa maps, mencari hotel terdekat. Menyadari Arlan yang terus menatap, membuatnya salah tingkah.
“Apa yang kau pikirkan?”
“Apa? Hotel tentu saja tempat untuk menginap, menurutmu apa lagi. Kau harus menyapu tiap hari, agar otakmu bersih.”
Arlan tersenyum ceria lantas fokus menyetir lagi. “Kita ke villa, dekat dari sini.”
“Aku tahu kau kaya, tapi lebih baik menyewa dua kamar hotel daripada villa.”
“Dua kamar?” keluh Arlan tidak suka.
“Iya, kamarmu dan aku.”
Arlan mendengus. “Punya istri tapi berasa single.”
“Ah, ada hotel yang cukup dekat. Tidak besar, sih, tapi lumayan murah.”
“Aku memilih tinggal di villa, daripada hotel.”
“Tapi—”
“Jika kau bersikeras tidur di hotel, silakan. Tapi bayar dan tinggal sendiri.” Moza merengut mendengarnya.
Sempat debat, tapi akhirnya ia terpaksa menurut. Begitu keluar dari mobil, jelas terlihat beberapa pohon menyapa netra. Pinus yang berjatuhan membuatnya berbinar. Kota tidak memilikinya. Udaranya masih sangat bersih. Moza berputar menikmati semuanya.
“Aku ingin tinggal di sini, selamanya!”
Arlan terpaku pada bangunan yang lama ditinggal. “Ayo.”
“Ayo!” Moza sangat bersemangat.
Sepasang suami-istri menyambut, gunting rumput dan sapu lidi masih betah di tangan. Tatapan itu tertuju ragu padanya, seolah tidak asing. Moza berkeliling, bangunannya terbuat dari kayu sepenuhnya. Tidak ada campur tangan semen. Sangat sederhana namun menjanjikan rasa nyaman. Interiornya pun biasa saja, seperti rumahnya dulu.
“Sebentar.”
Moza melirik Arlan yang mengekor, hendak ikut masuk kamar. Membuat suaminya tersenyum. “Hanya ada dua kamar, Sayang.”
“Kalau begitu tidak perlu mengantar sampai dalam, aku bisa masuk sendiri.”
Arlan mendahuluinya. “Dua kamar, pemilik villa dan kita berdua.”
Moza berkacak pinggang. “Oh, kau sengaja memilih villa yang cuma ada 2 kamar, hah?”
“Kau orang yang rela menyimpan uang daripada menghambur uang, aku hanya membantumu.”
***
Ranjang tidak begitu besar, selimut pun lebih kecil. Tarik-menarik hal yang wajar, terlebih Arlan bukanlah manusia pengertian. Moza yang kesal akhirnya memilih bangun, namun—tangan kekar itu menidurkannya lagi. Cengkraman yang cukup tegas. Moza siap memukul Arlan yang mendekatkan wajahnya.
“Moza.”
“Apa? Jika kau berani mencari kesempatan dalam kesempitan, aku akan memukulmu!”
Dengan sekuat tenaga Moza mendorong Arlan hingga terjatuh dari ranjang. Sudah gila memang. Sedang suaminya berdiri dengan kesal.
“Sebenarnya apa yang kau pikirkan, hah? Aku hanya lapar dan aku memintamu untuk masak.”
Moza mengubah ekspresi wajahnya, merapikan rambut. “Kenapa tidak bilang dari tadi.”
Arlan tertawa. “Apakah kau—”
“Kau mau makan apa?” Moza sengaja berteriak.
“Moza,” goda Arlan menggenggam tangan, namun Moza segera berlari keluar. Arlan tertawa.
Moza hendak mengetuk kamar kedua, namun dicegah oleh Arlan yang rupanya mengekor. Menggelang. Lantas membawanya ke dapur.
“Kenapa?”
“Mereka pasti sudah tidur.”
“Kau bilang lapar?” tanyanya tidak mengerti jalan pikir seorang Arlan.
“Bukankah kau ada di sini.”
“Aku kenapa? Memasakkan makanan untukmu? Jangan mimpi!”
Arlan tersenyum. “Aku membiayai hidupmu, Moza. Aku tidak meminta hakku, tugasmu pun hanya kuliah dan menikmati hidup. Masak untukku sekali saja tidak mau, untuk apa aku punya istri?”
Moza rasanya ingin memukul. “Apa kau sedang mengejekku? Aku ini tidak bisa memasak. Dulu aku selalu makan di luar, dan di rumahmu tinggal duduk manis.”
“Hanya nasi goreng, mie atau apapun yang kau bisa.”
“Masak air,” jawab Moza asal.
Tangan membuka lemari dapur satu persatu. Nyatanya hanya sarang laba-laba yang menghuni. Moza menatapi kulkas, Arlan segera bertindak namun terdiam begitu menemukan sebutir telur saja.
“Sepertinya cukup mengganjal perut.”
“Cukup untuk lambung, tapi tidak ususku,” keluh Arlan.
“Sudah baik masih ada telur.”
Arlan menunggunya yang memasak. Sesekali menatap cemas. Memang ini kali pertama bertempur dengan dapur. Cipratan minyak membuat Moza menghindar beberapa kali. Sempat lupa membalik, Arlan segera bertindak mematikan kompor.
“Makan,” titah Moza menggeser telur ceplok di piring.
Arlan membolak-balik dengan sendok. “Telur paling langka di dunia.”
Moza tersinggung. “Aku memang tidak pandai memasak.”
“Bawahnya gosong, atasnya malah masih mentah. Kau sungguh tidak berbakat.”
Moza merasa kesal. “Tidak usah dimakan!”
“Aku juga lebih baik kelaparan daripada besok mati.”
“Kau—”
“Apa!” bentak Arlan ikut kesal karena perut lapar.
Kuning telur berlarian bebas, setelah Arlan mengoyaknya dengan sendok. Sungguh malang, tinggal satu malah buruk pula rupanya. Moza menitipkan kepala di meja karena sangat mengantuk. Membiarkan Arlan yang masih terjaga dan terus menatapinya.
“Sebentar lagi,” gumam Arlan.
Moza tak habis pikir. Sudah tahu tidak ada bahan makanan, juga fasilitas yang mencukupi. Arlan kekeh tak ingin meninggalkan villa. Murah, namun tak layak huni. Kini ia duduk di samping Arlan yang fokus menyetir. Bukan mencari hotel atau menikmati pemandangan, melainkan belanja kebutuhan pangan ke pasar. Cukup sesak untuk seorang Arlan."Masuk," titah Arlan."Kenapa tidak ikut saja?""Bau, lagi pula tidak ada yang sedap dipandang."Moza merasa kesal dengan tingkah suaminya. "Mau makan saja susah.""Kau sudah terbiasa dengan lingkungan kumuh, kan? Cepat belanja setelah itu pulang dan masak.""Aku tidak pandai memasak, apa telur kemarin belum cukup membuktikan?" Moza berkacak pinggang."Ini," kekeh Arlan menyerahkan atm padanya.Moza semakin tak habis pikir. "Kau kira pasar itu mall? Supermarket? Di sini pa
Terbangun dari tidur yang tidak nyenyak. Bahkan lingkaran di bawah mata tampak sangat jelas. Mungkin efek menangis terus. Mbok Lidia datang dengan membawa sarapan dan pakaian kuliah. Moza hanya menatap."Sarapan dulu, Non.""Kenapa dibawa, Mbok? Kan biasanya jyga di meja makan.""Itu," Lidia tampak bingung."Apa Arlan tidak ingin makan denganku?"Tebakannya benar, Mbok Lidia mengangguk. "Tuan, ada tamu juga, Non."Moza membawa pakaian kuliahnya seraya tersenyum miris. "Sepertinya punya istri miskin sangat memalukan, sampai tidak ingin diperlihatkan."Moza menuruni tangga. Bukan pemandangan seperti yang Lidia katakan. Bukanlah tamu, melainkan penghuni kamar belakang. Pelayan yang dulu pernah mengantarnya ke kamar di hari pertama menikah, gadis yang cantik. Duduk di pangkuan Arlan tanpa merasa risih dengan tangan yang mengelus
Moza memasuki kamar setelah mengobati luka di tangan Arlan. Dikuncinya sangat rapat, bukan takut akan suaminya. Melainkan sesuatu yang disembunyikan. Ya, betul, segera duduk di ruang ganti. Penuh dengan baju, tas, perhiasan juga sepatu. Jangan tanya berapa harganya."Hallo, Sayang," sapa Moza begitu wajah yang tampan mulai terlihat di ponselnya."Bunda!"Moza menyeka air matanya yang jatuh. Inilah rahasia yang ia sembunyikan sangat rapat. Bahkan ayah sendiri yang hidup dengannya cukup lama tidak tahu. Tian Riandri namanya, mengikuti marga keluarganya. Jangan tanya siapa ayahnya, karena itu masa kelam yang menyakitkan."Bagaimana kabarmu, Tian?""Baik, Bun. Bunda gimana, kuliahnya lancar?""Kuliah bunda sangat lancar.""Terima kasih sama Bunda," bisik seorang wanita di samping Tian."Makasih, Bunda! Tian
“Sebelum kematian, tampaknya gadis berinisial A ini diambil organnya, dilihat dari jahitan yang masih sangat baru.”Moza menjatuhkan snack di pangkuannya, begitu mendengar berita di televisi. Lantas melirik Arlan yang fokus pada kerjaan di laptop. Tak bergeming meski suara pembawa berita cukup keras. Sudah banyak tetangga yang membicarakannya, namun sepertinya Arlan tidak peduli. Toh pagi kerja, pulang hampir tidak ada yang tau saking malamnya. Ingat betul bagaimana tukang sayur pun berubah profesi.“Sepertinya pak Arlan ini pembunuh neng Anisa.”“Malah mengambil organ dalam neng Anisa juga, tega banget, ya.”“Dengar-dengar, pak Arlan selingkuh sama si eneng, ketahuan sama istrinya,” tukang sayur mulai bergosip.“Pasti istrinya itu yang meminta pak Arlan melakukannya. Tidak menyangka, ternyata orang kaya itu semena-mena.&rdquo
Menyeringai. Sudah seperti kedipan mata bagi Arlan. Lirikkannya menegas, siap melahap para kumpulan tak berguna yang menyerahkan hidupnya pada kartu. Atau lebih tepatnya, sumber pangan mereka. Arlan melempar mata ke arah pria tua di ujung kanan. Terlihat bergetar, meneguk ludah pun terburu. Sesekali mengintai kartu dan uang di meja, membuat Arlan semakin tidak ingin mengalah. "Sepertinya kita sudah tahu siapa pemenangnya," ujar Arlan. Semua perhatian tertuju pada Arlan. Sedang, tangan tersebut menutup kartu. Kemudian, mengeluarkan beberapa dolar untuk tambahan. Dia telah siap merugi jika kalah. Tapi, keyakinan begitu membara. "Woah! Inilah yang membuat kami suka berhadapan denganmu, Ar." "Aku akan membuat kalian pulang dengan wajah mengenaskan." Arlan menyeringai. "Apakah hanya itu yang kau punya Tuan Arlan?" Arlan mendelik pria tua di ujung kanan tersebut. "Kau ingin rumahku? Mobilku? Akan aku berikan jik
Gigi seperti tak merobek daging saja, sendok pun ikut digores, sampai terdengar bunyinya. Wajah Moza memang cantik, namun rasa ingin menelusupkan diri pada meja begitu besar. Tepatnya ketika mendapati seribu netra yang terperangkap kaca tertuju padanya, bahkan lebih, mungkin. Tubuh yang biasanya diguyur keringat, usai berdesak demi memanjakan perut. Kini begitu lenggang, bahkan Moza tinggal duduk manis saja, kudapan telah tersaji. Juga kipas yang berputar di plafon terasa lebih dingin dari biasanya. Semua itu ulah pria gila yang menerobos rumahnya semalam. Arlan namanya, mengaku kaya raya. Ya mungkin benar adanya, sebab penghuni kantin diboyong oleh pengawal setelah kantong mereka sesak. Moza meletakkan sendok amat kasar. “Bisa berhenti menatapku?” “Sayangnya tidak bisa,” tutur Arlan dengan santai. “Dan bisakah kamu mengusir semua orang di sana,” tunjuknya pada manusia yang berdesak di luar kantin. “Bisa, se
Terlalu cepat. Itulah kata yang tepat. Arlan jelas kaya raya, setelah ia meminta acara pernikahan dilaksanakan esok hari. Kini Moza telah berada di depan meja rias. Ditemani tiga penata rias dan dua pembawa gaun. Namun, rasa dongkol masih merajalela di hati, begitu diantar pulang netra menemukan ayahnya yang terbaring santai. Tiada satu goresan pun. Lantas leher siapa yang dimainkan oleh Arlan? Sang iblis yang dalam hitungan jam akan menjadi suaminya.“Moza!”Teriakan tersebut memang nyaring. Namun, membuyarkan amarah yang melanda. Moza segera berdiri dibantu penata rias. Senyumannya begitu merekah. Ya, Indri namanya, wanita berdarah campuran Jepang tersebut menepuk lengannya keras. Mengejutkan beberapa orang. Jikalau Arlan melihatnya, mungkin temannya sudah jadi pengganti lampu di plafon.“Sakit,” keluhnya sambil tertawa.“Ya, berani se
Eskalator membawa dua insan yang dihinggapi rasa gembira serta kebebasan. Dulu, penampilan buruk seorang Moza dipandang remeh oleh beberapa pengunjung. Kini terlihat memuja, dress bunga yang dibalut kain organza lembut makin menambah kesan cantik. Rambut panjang yang digerai, begitu sempurna di pelupuk mata. Dengan siapa ia pergi? Tentu saja Indri, sang sahabat karib.“Za,” panggil Indri.“Kenapa?”“Bagaimana rasanya?”“Menyenangkan sekali, bahkan ini pertama kalinya kita begitu santai.”Indri menepuk jidat. “Bukan itu, Moza! Aku tanya malam indah kalian.”Moza mendelik menatap sahabatnya yang memainkan kedua alis. “Tidak ada yang terjadi.”“Ah, masa. Pergi begitu cepat, meninggalkan para tamu, memangnya untuk apa selain ingin berdua saja.”