Gigi seperti tak merobek daging saja, sendok pun ikut digores, sampai terdengar bunyinya. Wajah Moza memang cantik, namun rasa ingin menelusupkan diri pada meja begitu besar. Tepatnya ketika mendapati seribu netra yang terperangkap kaca tertuju padanya, bahkan lebih, mungkin.
Tubuh yang biasanya diguyur keringat, usai berdesak demi memanjakan perut. Kini begitu lenggang, bahkan Moza tinggal duduk manis saja, kudapan telah tersaji. Juga kipas yang berputar di plafon terasa lebih dingin dari biasanya. Semua itu ulah pria gila yang menerobos rumahnya semalam. Arlan namanya, mengaku kaya raya. Ya mungkin benar adanya, sebab penghuni kantin diboyong oleh pengawal setelah kantong mereka sesak.
Moza meletakkan sendok amat kasar. “Bisa berhenti menatapku?”
“Sayangnya tidak bisa,” tutur Arlan dengan santai.
“Dan bisakah kamu mengusir semua orang di sana,” tunjuknya pada manusia yang berdesak di luar kantin.
“Bisa, selagi mereka tidak menatapmu.”
“Jelas-jelas mereka menatapku!”
Arlan menatap dengan seksama. “Sepertinya mereka sedang menatapku, dengan tatapan memuja.”
Moza menyeringai mendengar Arlan yang begitu percaya diri. “Dasar gila!”
Jelas tidak tahan dengan tingkah Arlan, membuatnya segera melangkahkan kaki. Meninggalkan kantin. Beberapa pengawal memberi jalan. Sepertinya enak menjadi orang kaya. Tapi, jika ingin memilih, Moza lebih baik hidup miskin daripada memandang manusia gila sepanjang hari.
“Aku sudah memesan cincin kemaren. Besok sudah jadi,” tutur Arlan yang menurutnya tidak penting.
“Gedung sudah dipesan, tinggal gaun pengantin saja. Nanti sore kita ke butik.”
Moza mendelik. “Kita?”
“Tentu saja. Kita akan menikah dan kau harus mengukur gaunnya agar pas.”
“Otakmu makin geser rupanya,” caci Moza.
Rasa syukur dipanjatkan olehnya, karena hanya pintu kelas saja yang berhasil menjauhkannya dari Arlan. Terlebih nanti ia harus berterima kasih pada dosen yang menelisik lelaki tersebut.
“Di sini bukan kantor, tapi tempat kuliah. Lebih baik tunggu di luar jika ada keperluan,” tutur lelaki berjenggot melihat stelan jas yang dikenakan Arlan.
“Aku menunggumu,” bisik Arlan begitu netra saling menyapa.
Moza bergidik. Lantas terpaku pada tatapan tajam seluruh kelas. Gosip memang seperti virus, menular juga menyebar cepat. “Apa? Apa yang kalian lihat!”
***
Ransel menimpa aspal, memanggil kaki tuk kembali. Hati tak sabar, membuat Moza berlari, menunggu taksi sama saja membiarkan goresan lain tercipta. Ia tidak ingin leher ayahnya disamakan dengan ayam. Mobil warna silver terus menguntit, sadar akan hal tersebut, Moza menghentikan kaki lantas berbalik.
“Brengsek!!”
“Mari, Nona.”
“Aku bersumpah akan membuat hidup tuanmu menderita!” ancam Moza seraya memasuki kemudi tersebut.
Hotel bintang lima kini dimasuki Moza dengan kasar. Melewati resepsionis yang tersenyum padanya, tiada niatan mengusir. Tombol lift dihajar oleh tangan. Hingga membawa tubuh semakin ke atas, berhenti di lantai 27. Neraka sebentar lagi menyapa, atau justru neraka yang akan mengelilingi Arlan. Semoga waktu membiarkannya menang.
Pintu terbuka. “Sudah datang, Sayang.”
“Cih. Tidak perlu basa-basi. Di mana ayahku?” Moza memasuki kamar tanpa berpikir panjang, kayu dengan ukiran rumit tersebut menutup.
“Kenapa? Takut?”
Moza mendelik. “Harusnya aku yang bertanya, apakah kau takut berada di kamar berdua saja, kau tidak takut aku membunuhmu!”
“Aku lebih suka kita meninggal bersama, dengan tatapan penuh cinta dan—”
Moza menjauhkan diri dari Arlan yang hendak menggenggam tangannya. Tatapannya tidak lagi nyalang. Helaan napas terdengar pasrah, membuat lelaki tersebut menyeringai.
“Kau bodoh sekali, datang sendirian,” bisik Arlan menghimpitnya ke dinding.
“Kau mau apa, hah?”
“Mencari jalan untuk memaksamu menikah denganku.” Moza berusaha mendorong Arlan yang hendak menciumnya.
“Kalau seperti ini, aku menarik kembali keputusanku yang menyetujuinya.”
“Menyetujui apa?” Moza menatap lelaki di depannya yang entah bodoh atau berpura.
“Aku punya syarat.”
Arlan tersenyum lantas mundur. “Apa saja, asalkan kita menikah.”
“Jangan menyakiti ayahku.”
“Tentu.”
“Tujuh puluh persen kekayaanmu milikku,” tutur Moza setelah berpikir.
“Tentu.”
Gamblang sekali kata itu terucap. Namun, Arlan segera menatapnya dan tersenyum cerah. Mungkin baru mengerti arah pembicaraan. Dipeluknya Moza dengan erat, bahkan jemari tersebut membelai rambutnya. Sungguh terasa nyaman.
“Terima kasih.”
“Kenapa kau bersikeras ingin menikahiku?” Akhirnya kata itu terucap, setelah rasa penasaran melanda selama berjam-jam.
Arlan bergeming sejenak. “Karena kau cantik.”
“Cantik? Jika ada wanita yang lebih cantik dariku, kau akan menikahinya juga?”
“Kenapa, cemburu?”
“Omong kosong.”
Arlan melepas pelukannya, menelisik wajah yang dirindukan—lima belas tahun lalu. Teringat sesuatu, lantas mencari sesuatu. “Kau melihat ponselku?”
“Aku bukan penjaga ponsel, jadi mana aku tahu.”
“Aku serius.” Wajah Arlan begitu lucu saat panik.
Pintu tak lagi diketuk, melainkan didobrak kasar. Beberapa kamera mulai menyorot adegan yang tak diinginkan. Ya betul, karena harapan mereka telah pupus, begitu menemukan Moza dan Arlan menciptakan jarak yang cukup jauh. Helaan napas terdengar dari lelaki tersebut.
“Kalian wartawan?” tanyanya tertegun.
“Mereka datang untuk memergoki kita.”
Moza terdiam dan menatap. “Memergoki?”
“Suruh siapa diajak menikah susah sekali.” Mendengarnya Moza mulai mengerti.
“Kau—”
“Saat pagi hari, berita dipenuhi oleh wajah kita, apalagi yang bisa kau lakukan selain menerima lamaranku.” Arlan berusaha menjelaskan.
“Kau sudah gila! Apa kau tidak memikirkan reputasiku, hah?”
“Sepertinya aku yang lebih dirugikan.” Arlan menaikkan alis. Benar, ia hanya seorang mahasiswa tak terkenal, miskin pula. Sedang Arlan, seorang miliarder yang otaknya sudah berpindah tempat.
“Berhenti memotret,” larang Arlan yang risih dengan flash kilat.
“Tapi, kami harus memasang di berita. Bisakah kalian lebih dekat sedikit?”
Arlan mendelik kesal. “Kami akan menikah, jadi untuk apa tetap memotret.”
“Oh. Tapi, Pak Arlan—”
Arlan menggerakan tangannya, ditanggapi oleh pengawal untuk menggiring para pencari informasi tersebut. Tak lupa pula mengisi kantong kering mereka. Moza berkacak pinggang, begitu cantikkah dirinya hingga lelaki tersebut tergila.
“Sekarang aku ingin tanya, kenapa kau setuju untuk menikah denganku setelah menolak dan parahnya lagi mencaci makiku.”
“Karena ayahku.”
“Lalu?” tanya Arlan berharap sesuatu.
“Harta.” Moza menjawab setelah terdiam dan teringat percakapan dua jam lalu.
Pernah terucap, kalau sore nanti akan mengukur badan. Nyatanya sudah terbingkai indah oleh mata, manekin terlilit kain yang Arlan sebut seratus juta. Kerlap-kerlip tercipta bahkan tanpa tersentuh. Tiada jarak antara mereka. Tile menindih lengan yang ditemani burkat, menjuntai hingga menyentuh lantai. Bagian leher yang transparant ditaburi mutiara kecil. Moza segera mendekat, menengok bagian belakang yang cukup panjang.
“Kau tahu debu dan sisa makanan yang tercecer pasti akan tersangkut,” komen Moza seraya menyibak-nyibak ekor gaunnya.
“Maaf Nona, tapi ini sudah dipesan oleh tuan Arlan, dan pasti akan sangat cocok dipakai, terlebih …,” Moza melangkah mundur mendengar ucapan pelayan tersebut sambil menatapi dirinya, “Nona sangat cantik.”
Sepertinya Moza telah tertular sifat calon suaminya. Ingin mengapresiasi mulut manis tersebut dengan uang. Moza hanya tersenyum, lantas berbalik begitu mendengar langkah yang mendekat. Arlan menggapai jemari dan menyematkan sesuatu yang mahal di sana. Permata tampak sendirian. Sangat pas, membuat Moza terkejut.
“Bagaimana kau tahu ukuran jariku?”
“Hanya dengan melihatnya saja aku tahu, jemari lentik milik bayi, sangat mudah.”
Moza mendelik. “Jemari lentik ini sangat cantik, dan jariku bukan ukuran bayi.”
“Setelah menikah, aku akan membuat jarimu lebih berisi nanti,” bisik Arlan seraya menyeringai.
“Mau transfer daging, hah? Jari sendiri saja kurus.”
Arlan tersenyum mendengar ucapannya. “Dasar.”
Ponselnya bergetar, segera netra memeriksa. Benar, ada pembaruan dari info yang diterima. Moza menggenggam erat, nama di sana terasa menyakitkan. Janji yang terucap menggebu, kini teringkari. Ditatapnya Arlan yang sibuk memandangi gaun pengantin.
“Jika kau menikahiku dengan tulus, aku sangat minta maaf karena telah memanfaatkanmu,” batinnya.
Mata terpejam. Mencoba mencari keyakinan yang entah tercecer ke mana. Puncak kepalanya dibelai amat lembut, terasa sangat nyaman. Arlan mengusap hidungnya dengan jari, lantas tersenyum.
"Kenapa melamun?"
"Arlan," panggilnya.
"Iya, Sayang." Arlan tersenyum.
Moza melirik lama. "Ada yang ingin aku bicarakan--soal pernikahan kita."
Arlan ikut menatap lama, kemudian tersenyum, lagi. "Bicaralah!"
Next part 3 ya.
Terlalu cepat. Itulah kata yang tepat. Arlan jelas kaya raya, setelah ia meminta acara pernikahan dilaksanakan esok hari. Kini Moza telah berada di depan meja rias. Ditemani tiga penata rias dan dua pembawa gaun. Namun, rasa dongkol masih merajalela di hati, begitu diantar pulang netra menemukan ayahnya yang terbaring santai. Tiada satu goresan pun. Lantas leher siapa yang dimainkan oleh Arlan? Sang iblis yang dalam hitungan jam akan menjadi suaminya.“Moza!”Teriakan tersebut memang nyaring. Namun, membuyarkan amarah yang melanda. Moza segera berdiri dibantu penata rias. Senyumannya begitu merekah. Ya, Indri namanya, wanita berdarah campuran Jepang tersebut menepuk lengannya keras. Mengejutkan beberapa orang. Jikalau Arlan melihatnya, mungkin temannya sudah jadi pengganti lampu di plafon.“Sakit,” keluhnya sambil tertawa.“Ya, berani se
Eskalator membawa dua insan yang dihinggapi rasa gembira serta kebebasan. Dulu, penampilan buruk seorang Moza dipandang remeh oleh beberapa pengunjung. Kini terlihat memuja, dress bunga yang dibalut kain organza lembut makin menambah kesan cantik. Rambut panjang yang digerai, begitu sempurna di pelupuk mata. Dengan siapa ia pergi? Tentu saja Indri, sang sahabat karib.“Za,” panggil Indri.“Kenapa?”“Bagaimana rasanya?”“Menyenangkan sekali, bahkan ini pertama kalinya kita begitu santai.”Indri menepuk jidat. “Bukan itu, Moza! Aku tanya malam indah kalian.”Moza mendelik menatap sahabatnya yang memainkan kedua alis. “Tidak ada yang terjadi.”“Ah, masa. Pergi begitu cepat, meninggalkan para tamu, memangnya untuk apa selain ingin berdua saja.”
Bukan hanya pernikahan, bahkan pergi kuliah saja mengundang perhatian. Bagaimana tidak? Dengan penampilan Moza yang berubah, ya berkat suaminya. Jangan lupakan mobil keluaran terbaru terjebak di antara puluhan tubuh yang saling desak.“Apakah kau tidak merasa bahwa sekarang aku seperti artis?” tanyanya dengan tangan bergerak gemulai.“Tidak,” jawab Hans singkat membuatnya cemberut.Ucapan Arlan tidaklah hanya kata yang tak kasat mata, buktinya Hans bahkan sudah keluar dari kemudi. Membuat kerumunan akhirnya mundur teratur, entah apa yang digumamkan oleh lelaki itu, mungkin mengusir, lantas membuka pintu untuknya. Sudah pantaskah ia dipanggil ratu? Moza tersenyum ceria seraya melambai pada semuanya. Beberapa orang memilih pergi, ada juga yang menggunjing tak sedap di belakang.“Moza!”Indri membelah para manusia yang
Sepekan sudah umur pernikahan. Mata melihat kebahagian yang terpancar dari tawanya, kemewahan turut hadir. Namun—semua itu hanya pandangan orang lain tentangnya. Juga tidaklah semanis bibir mengumbar kebaikan suaminya, ya, Moza telah belajar menjadi orang yang membanggakan pendamping meski ternyata buruk. Memang benar adanya.Bukan masalah tidak pernah satu kamar, hanya saja sikap Arlan semakin hari mengekangnya.Pernah sewaktu malam ketika bertemu kolega, hanya karena staff biasa menatap saja langsung marah. Memaksa untuk pulang dan berakhir dengan pertengkaran. Sama seperti sekarang. Moza memasuki ruang kerja tanpa izin saja membuatnya berdiri di depan Arlan yang tengah menyesap kopi, mata elang tersebut tak pernah lepas darinya.“Sudah tahu kesalahanmu?” tanya Arlan meletakkan cangkir.“Aku memasuki ruang kerja suamiku sendiri, apa itu salah? Kecuali kalau itu ruangan
Tujuh jam perjalanan, hal yang melelahkan. Kini Moza hanya terdiam. Menatap tangan yang lihai menabur tersebut. Sangat terawat, bahkan rumput baru tumbuh pun tidak dibiarkan singgah. Inilah keluarga yang suaminya maksud. Sepertinya ia lebih baik, meski mempunyai ibu yang baru-baru ini ingat padanya, serta ayah yang selalu memukul dan meminta uang.Moza menepuk pundak suaminya. “Kau tidaklah sendiri. Masih ada aku di sini.”Arlan melirik singkat. “Keluargaku meninggal karena kecelakaan, tepatnya 15 tahun lalu. Saat aku kabur dari rumah, rasanya sangat menyesal.”Ini pertama kalinya. Arlan yang angkuh dan tegas, begitu lemah di hadapannya. Moza ikut menabur bunga di makan paling ujung. Ukurannya kecil, kemungkinan belum beranjak remaja. Arlan terpaku pada makam tersebut, mata mulai bergerak dan tersenyum sinis.“Maukah kau sering mengunjungi mereka bersamaku?
Moza tak habis pikir. Sudah tahu tidak ada bahan makanan, juga fasilitas yang mencukupi. Arlan kekeh tak ingin meninggalkan villa. Murah, namun tak layak huni. Kini ia duduk di samping Arlan yang fokus menyetir. Bukan mencari hotel atau menikmati pemandangan, melainkan belanja kebutuhan pangan ke pasar. Cukup sesak untuk seorang Arlan."Masuk," titah Arlan."Kenapa tidak ikut saja?""Bau, lagi pula tidak ada yang sedap dipandang."Moza merasa kesal dengan tingkah suaminya. "Mau makan saja susah.""Kau sudah terbiasa dengan lingkungan kumuh, kan? Cepat belanja setelah itu pulang dan masak.""Aku tidak pandai memasak, apa telur kemarin belum cukup membuktikan?" Moza berkacak pinggang."Ini," kekeh Arlan menyerahkan atm padanya.Moza semakin tak habis pikir. "Kau kira pasar itu mall? Supermarket? Di sini pa
Terbangun dari tidur yang tidak nyenyak. Bahkan lingkaran di bawah mata tampak sangat jelas. Mungkin efek menangis terus. Mbok Lidia datang dengan membawa sarapan dan pakaian kuliah. Moza hanya menatap."Sarapan dulu, Non.""Kenapa dibawa, Mbok? Kan biasanya jyga di meja makan.""Itu," Lidia tampak bingung."Apa Arlan tidak ingin makan denganku?"Tebakannya benar, Mbok Lidia mengangguk. "Tuan, ada tamu juga, Non."Moza membawa pakaian kuliahnya seraya tersenyum miris. "Sepertinya punya istri miskin sangat memalukan, sampai tidak ingin diperlihatkan."Moza menuruni tangga. Bukan pemandangan seperti yang Lidia katakan. Bukanlah tamu, melainkan penghuni kamar belakang. Pelayan yang dulu pernah mengantarnya ke kamar di hari pertama menikah, gadis yang cantik. Duduk di pangkuan Arlan tanpa merasa risih dengan tangan yang mengelus
Moza memasuki kamar setelah mengobati luka di tangan Arlan. Dikuncinya sangat rapat, bukan takut akan suaminya. Melainkan sesuatu yang disembunyikan. Ya, betul, segera duduk di ruang ganti. Penuh dengan baju, tas, perhiasan juga sepatu. Jangan tanya berapa harganya."Hallo, Sayang," sapa Moza begitu wajah yang tampan mulai terlihat di ponselnya."Bunda!"Moza menyeka air matanya yang jatuh. Inilah rahasia yang ia sembunyikan sangat rapat. Bahkan ayah sendiri yang hidup dengannya cukup lama tidak tahu. Tian Riandri namanya, mengikuti marga keluarganya. Jangan tanya siapa ayahnya, karena itu masa kelam yang menyakitkan."Bagaimana kabarmu, Tian?""Baik, Bun. Bunda gimana, kuliahnya lancar?""Kuliah bunda sangat lancar.""Terima kasih sama Bunda," bisik seorang wanita di samping Tian."Makasih, Bunda! Tian