Jarum jam sudah menunjukkan angka sembilan malam. Putri kecilku telah terlelap di kamarnya. Sedang Mas Wahyu masih asyik menonton televisi. Entah apa yang dia tonton aku juga tak tahu.
Kubereskan gunting dan alat jahit ku yang lain. Sudah cukup kegiatan jahit menjahit ku hari ini. Badan sudah meminta haknya untuk istirahat.Kubaringkan tubuh tepat di sebelah Diana. Membaca doa sebelum tidur lalu mulai memejamkan mata. Aku terbangun saat tangan kekar melingkar di perutku. Ya, itu tangan Mas Wahyu. Aku tahu ia ingin meminta haknya malam ini.Berjalan beriringan memasuki kamar kami. Sebenarnya ingin sekali digendong, tapi sayang suamiku tidak sepeka itu. Mau meminta, takut ujung-ujungnya kena omel.Perlahan membaringkan tubuhku di atas ranjang. Ingin segera tidur karena lelah yang mendera. Dan tubuh ingin segera meminta haknya, istirahat. Tapi aku juga tak ingin menolak permintaan suamiku. Bukankah surga istri berada di telapak kaki suami? Aku juga tak ingin dilaknat malaikat hanya tak memenuhi permintaan suamiku.Jika seorang suami mengajak istrinya untuk berhubungan, akan tetapi ia (istri) tidak memenuhi ajakan suami, hingga malam itu suaminya marah, maka ia (istri) mendapatkan laknat para Malaikat sampai subuh." (HR Muslim)."Terima kasih sayang." bisiknya di telinga setelah aku memenuhi kewajibanku sebagai istri.Peluh masih menempel, ingin mandi namun mataku tak bisa diajak kompromi."Mas ingin bicara dek...""Bicara apa Mas?" ucapku sambil menutup mulut karena menguap. Membenamkan kepala di dada bidang suamiku. Tangan Mas Wahyu mengelus-elus rambutku. Ini seperti magnet yang membuat mataku kian tertutup. Hingga aku terlelap dalam mimpi indah.Kriiingg...Bunyi alarm dari ponselku. Segera kumatikan lalu beranjak ke kamar mandi. Menguyur tubuh dengan air, membersihkan tubuh dari hadas besar.Menggoncang kan tubuhnya perlahan, membangunkan dia karena adzan subuh akan segera berkumandang."Mas bangun, sudah mau adzan subuh. Kamu kan harus mandi dulu." ucapku lembut.Mas Wahyu membuka mata, lalu bergegas ke kamar mandi. Aku sampai membuka mulut lebar-lebar. Serasa tak percaya dengan apa yang baru saja ku lihat. Mas Wahyu bangun sebelum subuh. Ya, karena suamiku paling susah dibangunkan pagi-pagi. Dia akan bangun pukul setengah enam meski aku sudah membangunkannya berkali-kali. Dan hari ini dengan sekali sentuhan dia bangun lalu bergegas mandi.Semoga doaku selama ini terkabul. Mas Wahyu berubah menjadi lelaki yang baik serta bertanggung jawab kepada keluarganya. Aamiin.****"Dek, yang Mas bicarakan semalam bagaimana?" tanyanya saat berada di ruang keluarga. Kebetulan ini hari minggu, Mas Wahyu libur kerja.Memang apa yang dibicarakan semalam? Bukankah Mas Wahyu tak berkata apapun ya? Atau mungkin aku sudah terlelap hingga tak mendengar ucapannya. Waduh bakalan kena semprot ini."Memangnya Mas Wahyu bicara apa? Maaf ya Mas, aku ketiduran. Habisnya capek banget kerja seharian Mas." ucapku ragu."Gak apa-apa kok sayang, Mas tahu kamu pasti sangat capek. Sudah jahit ngurusin aku dan Diana." tangannya mengelus pucuk kepalaku yang dibalut hijab.Tidak ada hujan, tidak ada halilintar. Kenapa suamiku tiba-tiba baik seperti ini? Atau jangan-jangan ada udang di balik bakwan lagi.Astagfirullah...Sadar Wulan, suami baik harusnya bersyukur bukan malah berburuk sangka seperti itu."Memangnya Mas Wahyu semalam mau ngomong apa?" tanyaku penasaran.Mas Wahyu menggenggam kedua tanganku, menatapku dalam-dalam.Membuatku semakin bertanya-tanya. Atau jangan-jangan Mas Wahyu mau izin nikah lagi?Ah, tidak, tidak. Aku tak akan mentolerir pengkhianatan. Lebih baik menjadi janda dari pada harus dimadu."Kamu mau nikah lagi Mas?" ketusku. Mas Wahyu justru tertawa terpingkal-pingkal.Memangnya ada yang lucu apa?"Ya Allah dek, mana mungkin Mas nikah lagi. Mas itu hanya cinta sama kamu. Sampai kapanpun Mas tidak akan menikah lagi. Cukup kamu di hati Mas." Mas Wahyu memegang pundakku, dan mengunci netraku.Seketika tubuhku melayang ke langit ke tujuh. Karena jarang-jarang suamiku ngegombal seperti itu."Biasanya di sinetron-sinetron gitu sih Mas. Baik-baikin istri tahu-tahu sudah kawin lagi."Mas Wahyu tiba-tiba diam, matanya tak lagi memandangku. Atau jangan-jangan memang benar dia punya simpanan hingga aku selalu diberi nafkah delapan ratus ribu saja."Mas...""Iya sayang.""Kok bengong?" tanyaku penuh selidik."Mas bingung gimana cara bayar hutangnya dek, Mas sudah gak punya uang. Kemarin kan Mas pinjem Mang Juki karena ibu masuk rumah sakit. Nah sekarang aku bingung bayarnya gimana?"ucapnya mengiba.Ya Allah, ibu masuk rumah sakit dan aku tak tahu. Tapi kenapa Rika tidak mengabariku?"Apa kamu punya tabungan dek? Mas janji akan menggantinya jika Mas sudah punya uang. Mas takut bunganya semakin membesar jika tidak segera dilunasi."Ah, benar juga kata Mas Wahyu. Bisa-bisa hutang itu menjadi ratusan juta hanya karena belum mampu membayar. Apa aku pinjamkan gelang emas yang aku punya saja ya?"Wulan tidak punya simpanan uang Mas."Mas Wahyu menundukkan kepala. Wajahnya terlihat sangat kecewa. Dan aku tak pernah tega melihatnya seperti itu."Tapi Wulan punya gelang emas sepuluh gram Mas."Raut wajah bahagia terpancar dari netranya. Ucapanku seperti angin surga bagi Mas Wahyu."Tidak usahlah dek, itukan emas kamu. Mas takut tidak bisa kembalikan.""Wulan ikhlas jika ini untuk membayar hutang Mas Juki. Hutang untuk membiayai pengobatan ibu." Mas Wahyu menggenggam kedua tanganku. Lalu menciumnya berkali-kali."Terima kasih ya dek. Mas sangat menyayangimu."******Samar-samar terdengar muadzin mengumandangkan adzan subuh. Perlahan menggerakkan tubuh. Mengumpulkan nyawa yang belum sempurna. Tak lupa ku guncang kan perlahan tubuh suamiku. Berharap bisa shalat berjamaah bersama."Mas bangun, sudah subuh."Hening, Mas Wahyu masih terlelap dalam tidurnya."Mas..."masih tah ada sahutan. Bukankah dua hari Mas Wahyu selalu bangun sebelum subuh. Tapi kenapa hari ini susah sekali dibangunkan."Mas..." ku guncang kan lebih keras."Kamu apa-apaan sih Lan. Ganggu orang tidur saja. Sana shalat sendiri!" sungutnya lalu kembali tidur.AstagfirullahKu elus dadaku yang terasa sesak. Tak menyangka Mas Wahyu akan berkata seperti itu padaku. Bukankah dua hari ini dia telah berubah. Apa jangan-jangan dia berubah karena ada maunya saja...?Ya Allah, kenapa suamiku seperti itu?Bukakanlah hatinya.Jangan lupa subscribe, like dan komen💕Aku duduk di teras rumah sambil menunggu tukang sayur lewat. Mang Tono nama penjualnya. Dan selalu mangkal di jalan depan rumah."Sayur ... sayur...." teriak Mang Tono memanggil pembeli. Mang Tono mematikan mesin motor tepat di jalan depan rumah.Berdiri sambil mengibaskan topi di udara. Mencari angin untuk menghilangkan rasa gerah di tubuhnya.Melangkahkan kakiku mendekati abang tukang sayur. Di susul ibu-ibu yang lainnya. Ya, karena hanya ini tukang sayur yang lewat di daerah sini. Meski harga tetap lebih murah di pasar.Memilih sayur, aku bingung juga mau memasak apa. Dilema emak-emak bukan hanya karena uang belanja yang kurang. Tapi juga menentukan harus memasak apa?Adakah yang sama? atau mungkin hanya diriku saja."Ibu-ibu, sudah tahu belum berita terpanas." ucap Bu Ambar, ratu gosip di lingkungan kami."Berita apa nih Bu?" sahut Bu Tika."Itu ibu-ibu, Pak Rt punya istri muda.""Yang benar Bu?""Dari mana ibu tahu?"Mereka saling besahutan,aku hanya diam enggan membalas ucapan at
"Besok kalau kamu libur, kita ke rumah ibu ya Mas." pancing ku.Aku ingin melihat bagaimana ekspresinya.Uhuuk... Uhuuk.Mas Wahyu terbantuk hingga kopi yang ada di dalam mulut di keluarkannya."Kamu kenapa Mas?" tanyaku pura-pura."Tidak apa-apa Lan,hanya kopinya terlalu panas." jawabnya gugup. Wajahnya terlihat pucat pasi.Aku tahu kamu sedang berbohong Mas, kopinya tidak terlalu panas. Mungkin kamu kaget karena aku mengajakmu ke rumah ibu. Kamu takut, jika kebohonganmu terbongkar kan?"Pelan-pelan dong Mas, seperti mau ditagih hutang saja." Mas Wahyu terlihat semakin gugup."Apa sih kamu! Aku sudah tidak punya hutang.Hutang Mang Juki sudah dibayar kan."ketusnya."Aku gak bilang Mas Wahyu punya hutang lho, aku cuman bilang Mas seperti ditagih hutang.Bukan punya hutang."kilahku.Sebenarnya hanya ingin mengetes Mas Wahyu. Dan aku rasa dia sedang menyembunyikan sesuatu padaku. Perlahan akan ku cari tahu apa yang kamu sembunyikan padaku."Terserah kamu saja Lan, capek ngomong sama kamu!
Sudah tiga hari Mas Wahyu tak mau makan di rumah hanya karena lauk seadanya. Dia lebih memilih makan di luar dibandingkan menambah uang belanjaku. Bukankah lebih baik menambah uang belanjaku, sehingga kamu bisa makan enak bersama. Bukan hanya dia saja! Apa dia tidak berpikir tentang kebahagiaan putrinya? Ya Allah, aku tak mengerti dengan pola pikirnya. Apa dia sengaja menyiksa diriku seperti ini? Kurang apa aku selama ini? Menghembuskan nafas perlahan, mengatur emosiku yang sudah di ubun-ubun. Ingin rasanya kumaki lelaki yang telah bersamaku selama tujuh tahun ini. Namun percuma, aku yang akan disalahkan bahkan mungkin tangannya akan mendarat lagi di pipi.Astagfirullah ... Beristighfar dalam hati kalau mengingat kelakuan Mas Wahyu satu tahun ini. Setan apa yang merasuki suamiku. Hingga kini dia begitu tega padaku dan Diana. Melanjutkan kegiatan mencuci piringku,meletakkan piring ke dalam rak. Lalu memasak nasi goreng untukku dan Diana. Sengaja, toh selama tiga hari ini dia tak p
" Wahyu ...!" suara lelaki yang sangat ku kenal. Mas Wahyu menghentikan tangannya yang hendak menamparku. Tak mungkin Mas Wahyu berani menyakitiku di hadapannya. Alhamdulillah. Aku bernafas lega, karena Allah memberiku pertolongan sehingga aku tak merasakan nyeri akibat tamparan Mas Wahyu lagi. Wajah Mas Wahyu langsung pucat pasi melihat Mas Rudi, kakak kandungnya. Ternyata Mas Wahyu masih punya rasa takut juga. Mas Rudi berjalan mendekat, gurat kemarahan tergambar jelas di wajahnya. Matanya, menatap tajam ke arah adik kandungnya itu. Baru kali ini aku melihat Mas Rudi semenakutkan itu. Lelaki yang biasanya bijaksana bisa begitu marah melihat Mas Wahyu hampir menamparku. Sedang Mas Wahyu hanya diam membisu. Dimana sikap semena-menanya tadi? Apakah menguap begitu saja. Nyalinya langsung menciut kala menatap Mas Rudi. "Apa-apaan kamu! Beraninya main tangan pada istri kamu sendiri. Apa ibu pernah mengajarimu berbuat kasar pada wanita?"teriak Mas Rudi. Mas Wahyu masih diam, enggan
"Benar katamu Lan, lebih baik kita telepon ibu untuk memastikan kebenarannya. Karena satu bulan Mas ditugaskan diluar kota, jadi tak tahu apakah ibu sakit atau tidak." Mas Rudi merogoh ponsel di saku celananya. Dia mengotak-atik benda pipihnya, lalu menempelkannya di telinga kanan.Kutatap Mas Wahyu, wajah angkuhnya kini berubah pucat pasi. Pasti dia takut jika Mas Rudi tahu yang sebenarnya. Sekarang saatnya kamu tunggu hukuman apa yang Mas Rudi berikan padamu."Assalamu'alaikum Bu ...." Suara lembut Mas Rudi kala menyapa ibu dari balik telepon.Beberapa menit Mas Rudi berbicara dengan ibu melalui sambungan telepon. Aku tak terlalu mendengarkan karena berada di dapur untuk membuatkan teh hangat untuk Mas Rudi dan Mbak Yuli.Ada rasa sungkan dan tak enak pada kakak iparku. Seharusnya tamu itu dimuliakan, dibuatkan minuman. Bukan justru disuguhi pertengkaran. Dan harus menjadi penengah di antara kami.Dua cangkir teh hangat telah berada di meja makan. Mas Rudi meminta kami duduk di tem
Satu minggu setelah sidang keluarga, Mas Wahyu semakin perhatian padaku. Sikapnya kembali sama seperti saat awal menikah dulu. Lembut dan penuh kasih sayang. Janji untuk menambah uang bulanan pun telah dipenuhi. Ya, meski hanya menambah lima ratus ribu untuk keperluan keluarga. Meski masih pas-pasan tapi tak apalah. Setidaknya suamiku sudah menepati janjinya. Suara mesin jahit memenuhi ruangan. Menciptakan irama tersendiri saat ditangkap indera pendengaran. Aku berkutat dengan kain dan benang dari pagi hingga hampir waktu adzan ashar berkumandang. Alhamdulillah setelah drama rumah tangga tempo hari, kini banyak orang menjahitkan pakaian di tempatku. Aku bahkan tak tahu kenapa bisa seperti ini. Mungkin ini hikmah setelah datangnya ujian dan cobaan padaku. TingSatu pesan masuk di aplikasi berwarna hijau ini. Mengambil benda pipih yang ada di atas meja. Satu pesan Bu Sinta, pelanggan setia yang selalu menjahitkan pakaian di tempatku. [Gamisnya saya ambil besok ya Mbak.][Baik Bu.]
"Kamu kenapa,Lan?""Pusing Mas.""Istirahat sana, biar nanti malam bisa ehem-ehem," godanya. Kuanggukan kepala. Berjalan perlahan ke kamar. Lalu merebahkan tubuh di atas kasur. Hingga tak terasa aku terlelap karena lelah dan pusing yang mendera. "Lan, bangun!" satu sentuhan di pundak membuat diriku terkejut bukan main. Kepalaku kembali terasa berputar-putar. "Masih pusing?" tanyanya. "Sedikit Mas." Duduk di bibir ranjang sambil mengumpulkan nyawa. "Sudah adzan, shalat dulu gih!" ucapnya. Menyatukan dua alis, bingung. Baru kali ini Mas Wahyu memintaku mengerjakan ibadah wajib. Biasanya dia selalu cuek dan masa bodoh. Atau jangan-jangan ini salah satu upaya untuk menutupi sebuah kebohongan. Seperti sebuah artikel yang sempat ku baca. Tanda seorang suami berselingkuh salah satunya bersikap lebih manis dari biasanya. Alasannya karena merasa bersalah telah mengkhianati cinta istrinya. Astagfirullah... Semoga yang kupikirkan tidak benar. Semoga ini hanya kekhawatiranku saja. "Wul
Sinar mentari mulai nampak di ufuk timur.Menampakkan sinar berwarana jingga.Memanjakan mata saat aku menatapnya. Kehangatan sinar mentari selalu di rindukan bagi setiap ciptaan Allah yang bernyawa. Duduk termenung di teras sambil melihat pemandangan nan indah dipagi hari. Namun perkataan Mas Wahyu semalam membuat gelap susana hatiku. Mengusik pikiran dan batinku. Membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada keluargaku. Apakah aku sanggup menerima hadiah seorang madu dari lelaki yang ku cintai? Rasanya itu terlalu berat. Ya Allah, kenapa hidupku penuh dengan teka-teki seperti ini? Dan jika benar Mas Wahyu telah membagi hati dan cintanya untuk wanita lain, lebih baik aku menyerah. Karena percuma bertahan di dalam kapal jika nahkodanya bingung harus berlabuh dimana? "Sarapannya sudah siap Lan?" Sentuhan lembut di pundak namun mampu membuatku terkejut. "I-iya Mas, ada apa?" tanyaku kebingungan. "Sarapannya sudah siap apa belum? Kenapa kamu kaget begitu? Lagi mikirin apa
Wulan membuka koper untuk mengambil pakaian ganti. Rasa lengket di tubuh membuatnya ingin segera mandi. Namun langkahnya terhenti saat Bagus masuk ke dalam kamar. Lelaki itu berjalan mendekat sambil menatap Wulan tak berkedip. Tatapan itu yang membuat jantung Wulan seketika berdetak dengan kencang. Tubuhnya terasa panas bagai tersengat aliran listrik. "Mas mau aku siapin pakaian ganti?" tanya Wulan sambil mengatur detak jantung yang kian kencang. Rasanya hampir terlepas dari singgasananya. Bagus hanya tersenyum lalu mengambil pakaian yang sudah berada di tangan Wulan. Baju itu diletakkan kembali di atas koper yang sudah dibuka. Mendadak rasa gugup singgah di hati Wulan. Ia tahu betul apa yang diinginkan suaminya. Bagus menuntut Wulan hingga berada di atas ranjang. Pandangan mereka mulai mengunci. Debaran hangat terasa di antara mereka berdua. Hingga akhirnya mereka menikmati indahnya surga dunia. ***Wulan, Bagus dan Diana sudah berdiri di lobi rumah sakit. Sengaja mereka hanya da
"Kita mau ke mana, bu?" tanya Diana. "Kita ke rumah ayah. Ayah kangen sama kamu, sayang." "Gak mau! Aku gak mau ketemu ayah!" Diana berlari masuk ke dalam rumah. Wulan dan Bagus saling pandang. Lalu Wulan meletakkan tas di kursi depan. Mengatur nafas yang terasa sesak. Bayangan Diana dipukul kembali menari-nari dalam angan. Dia sadar betul rasa trauma masih bersarang di hati putrinya, meski perlahan terkikis oleh kasih sayang Bagus. "Buar aku saja. Kamu di sini!" Langkah kaki Wulan terhenti mendengar perkataan sang suami. Walau sedikit ragu tapi ia menurut saja. Bagus berjalan cepat menuju kamar Diana yang ada di lantai atas. Perlahan membuka pintu yang tertutup rapat. Gadis kecil Wulan sedang menangis sesegukan di atas ranjang. Kejadian bersama Wahyu kembali berkeliaran di benaknya. Memori kelam yang berusaha ia lupakan. Meski tak bisa sama sekali untuk dihilangkan. Bagus segera duduk tepat di samping anak tirinya. Mengangkat kepala Diana lalu menghapus jejak air mata mengguna
Roda kehidupan memang tidak bisa diprediksi. Kemarin sedih sekarang bahagia atau justru sebaliknya. Seperti yang di rasakan Wulan. Penderitaan saat bersama Wahyu kini terganti dengan senyum bahagia. Bagus mampu menjadi suami serta ayah yang baik untuk Wulan dan anak-anaknya. Kini mereka hidup bahagia. Tak pernah ada pertengkaran di rumah tangga mereka. Sedikit cekcok karena perbedaan prinsip adalah hal biasa. "Mau ke mana, sayang?" tanya Bagus saat melihat Wulan sudah duduk di depan meja rias. Gamis soft pink dengan hijab berwarna senada kian menambah aura kecantikannya. Ya, walau tanpa riasan tebal di wajahnya. Wulan menghentikan gerakan tangan lalu menatap Bagus dari pantulan cermin di hadapannya. "Mau ke rumah Mas, pengen lihat laporan minggu ini. Mas mau ikut?""Boleh, tapi jangan ajak anak-anak ya! Sekali-kali jalan berdua," ucap Bagus seraya mengedipkan matanya. Wulan dan Bagus memang tak memiliki waktu banyak untuk berdua. Memiliki tiga anak membuat pasangan suami istri i
"Apa ada yang bernama Wulan dan Diana?" Langkah Rudi terhenti mendengar pertanyaan sang dokter.Sri dan Rika pun saling pandang. Mereka sangat terkejut dengan perkataan dokter itu.Dari mana dokter tahu Wulan dan Diana?Pertanyaan yang sama muncul di pikiran keluarga Wahyu. Dari awal mereka menginjakkan kaki di rumah sakit, tak sekalipun menyebut nama mantan istri dan anak Wahyu."Pasien mengigau dan memanggil nama Wulan dan Diana. Apa mereka keluarga pasien?" jawab dokter seperti dapat membaca pikiran mereka.Semua terdiam, bingung harus menjawab apa? Ingin mengatakan iya tapi takut sang dokter bertanya lebih jauh lagi. Di mana istrinya mungkin? Dan itu akan membuka aib Wahyu."Mereka anak dan mantan istrinya, dok," jawab Sri pelan."Kalau bisa mereka diminta ke mari. Siapa tahu pasien akan cepat sembuh saat mereka datang."Sri hanya mengangguk hingga dokter itu kembali masuk ke ruang IGD.Semua terdiam, Rudi yang hendak mengurus administrasi justru diam di tempat. Seakan ada magne
Pov Author"Rika!Rika!" Teriak Sri mengejutkan sangat putri. Dengan berlari Rika menuju sumber suara.Rika kebingungan melihat Sri menangis tersedu di samping Wahyu. Apa Wahyu telah meninggal? Pertanyaan itu yang sempat hadir di benar gadis berambut sepunggung itu."Mas Wahyu kenapa, Bu?" tanya Wulan seraya menyentuh pergelangan tangan sang kakak. Dia memastikan apakah Wahyu masih hidup atau sudah meninggal. Masih terasa denyut nadi. Itu tandanya Wahyu belum dipanggil sang Maha Kuasa."Wahyu tidak bangun-bangun Rik. Ibu takut terjadi apa-apa dengannya. Tolong kamu panggilkan Masmu. Minta dia antarkan Wahyu ke rumah sakit." Rika mengangguk lalu segera menuju kamar untuk menelepon Rudi.Sri menangis melihat tubuh Wahyu yang kian kurus. Setelah menelepon Wulan beberapa minggu yang lalu, Wahyu semakin terpuruk. Rasa menyesal tertancap dalam di sanubari lelaki itu. Tak ada lagi semangat untuk sembuh. Dia terpukul mengetahui wanita yang ia cintai sudah memiliki tambatan hati lain."Semanga
Pov Wahyu"Ibu! Ibu!" Suara Mbak Yuli terdengar nyaring hingga menghancurkan gendang telinga. "Ibu!" Teriaknya lagi saat ibu tak kunjung menyahut. Kakak iparku itu memang tak memiliki sopan santun. Berteriak di rumah orang pagi-pagi begini. Kalau aku bisa jalan sudah ku tampar dia. Sayang, aku masih mengandalkan uang Mas Rudy untuk biaya berobat. Kalau aku sudah sembuh dia pasti tidak semena-mena kepada kami. Aku memilih diam dan pura-pura tidur saat mendengar teriakan Mbak Yuli. Melawan Mbak Yuli tak akan pernah ada habisnya. Dia selalu bersikap seolah-olah dia paling benar. Sungguh menyebalkan! BRAAKPintu kamar dibuka kasar dari luar. Mbak Yuli menatap nyalang seraya berkacak pinggang di depan pintu. Niat hati pura-pura tidur gagal karena Mbak Yuli lebih dahulu masuk ke kamar. "Ibu tidak ada, mbak. Mungkin sedang ke warung," jawabku asal karena aku tidak tahu ibu ke mana. Dari bangun tidur aku belum keluar kamar. Jangankan untuk keluar, tubuhku saja sudah tak ada tenaganya, l
Aku dan Mas Bagus diam, bingung harus menjawab apa. Kami hanya melihat Bu Handayani tadi setelah memberikan gaji pada karyawan Mas Rohmad. Setelah itu kami berada di rumah. Kami juga tidak mendengar jeritan orang minta tolong. "Saya sudah mencari ke sekitar rumah. Tapi tetap tidak ada." Pak Abdul menjatuhkan bobot di sofa ruang keluarga. Aku dan Mas Bagus berdiri, ingin duduk tapi tidak ada tempat. "Kita lapor polisi saja, Pak. Jangan pegang apa pun. Siapa tahu ini tindakan kriminal." Pak Abdul mengangguk lalu beranjak berdiri. Kami berjalan meninggalkan rumah Pak Abdul menuju mobil Mas Bagus yang masih terparkir di halaman rumah. Mas Bagus segera berlari ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil dan menitipkan anak-anak kepada Bik Lastri. "Sabar, Pak." Pak Abdul mengangguk dengan pandangan lurus ke depan. "Ayo masuk!" ucap Mas Bagus seraya berlari menuju mobil. Aku dan Pak Abdul segera mengekor. Suara mobil berhenti di jalan depan rumah terdengar saat aku hendak membuka pint
"Wulan! Akbar!" Sama-sama terdengar suara orang memanggil namaku dan Akbar bergantian. "Mas dengar orang panggil namaku gak?" Mas Bagus diam seraya mempertajam pendengarannya. Tak berapa lama lelaki itu justru tersenyum ke arahku. "Mas juga dengar," ucapnya seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku hanya memperhatikan sikapnya. "Berarti aku gak salah dengar kan, aku keluar dulu, Mas." Aku beranjak berdiri, sambil membungkukkan badan saat melewati Mas Bagus. "Mau ke mana?" Mas Bagus mencekal tangan kananku. Ku hentikan langkah seraya menatap bingung ke arahnya. "Mau ke depan, tadi ada yang manggil, Mas. Katanya Mas Bagus denger!""Mendekat!" Aku mengernyitkan dahi mendengar perintahnya. Ini aku mau melihat tamu tapi justru diminta mendekat. Namun aku tetap saja melakukannya. Entahlah, ucapan Mas Bagus seakan memiliki magnet hingga aku menurut saja. "Yang manggil itu di sini!" Mas Bagus menyentuh dadanya. Seketika wajahku menjadi merah merona. "Ya jadi merah pipinya, sudah s
"Aw ... Sakit!" teriak Handayani saat kakinya menginjak pecahan vas yang berserakan di atas lantai. Kaki tanpa alas mempermudah kaca itu masuk ke dalam kulitnya. Handayani meringis kesakitan. Darah segar keluar dari kaki kanannya. Seketika lantai keramik berwana putih itu berubah warna menjadi merah merona. Handayani berusaha mencabut pecahan kaca yang masuk ke dalam kulitnya. Satu cabutan membuat darah semakin mengalir banyak. Namun rasa sakit itu belum juga reda. Rupanya tidak hanya satu kaca yang masuk. Ada beberapa kaca kecil yang masuk lebih dalam. Mata tua Handayani tak bisa melihat lebih jelas di mana luka itu berada. "Abdul! Abdul!" Teriak Handayani. Handayani lupa jika suaminya sedang pergi. Dia terus saja berteriak. Namun sampai pita suaranya rusak pun Abdul tidak akan mendengar. Lelaki bertubuh tambun itu sedang menjemput tukang urut yang ada di kampung sebelah. Nahas, motor yang dikendarai Abdul mogok di jalan. Lelaki itu harus mencari bengkel yang letaknya lumayan ja