Jarum jam sudah menunjukkan angka sembilan malam. Putri kecilku telah terlelap di kamarnya. Sedang Mas Wahyu masih asyik menonton televisi. Entah apa yang dia tonton aku juga tak tahu.
Kubereskan gunting dan alat jahit ku yang lain. Sudah cukup kegiatan jahit menjahit ku hari ini. Badan sudah meminta haknya untuk istirahat.Kubaringkan tubuh tepat di sebelah Diana. Membaca doa sebelum tidur lalu mulai memejamkan mata. Aku terbangun saat tangan kekar melingkar di perutku. Ya, itu tangan Mas Wahyu. Aku tahu ia ingin meminta haknya malam ini.Berjalan beriringan memasuki kamar kami. Sebenarnya ingin sekali digendong, tapi sayang suamiku tidak sepeka itu. Mau meminta, takut ujung-ujungnya kena omel.Perlahan membaringkan tubuhku di atas ranjang. Ingin segera tidur karena lelah yang mendera. Dan tubuh ingin segera meminta haknya, istirahat. Tapi aku juga tak ingin menolak permintaan suamiku. Bukankah surga istri berada di telapak kaki suami? Aku juga tak ingin dilaknat malaikat hanya tak memenuhi permintaan suamiku.Jika seorang suami mengajak istrinya untuk berhubungan, akan tetapi ia (istri) tidak memenuhi ajakan suami, hingga malam itu suaminya marah, maka ia (istri) mendapatkan laknat para Malaikat sampai subuh." (HR Muslim)."Terima kasih sayang." bisiknya di telinga setelah aku memenuhi kewajibanku sebagai istri.Peluh masih menempel, ingin mandi namun mataku tak bisa diajak kompromi."Mas ingin bicara dek...""Bicara apa Mas?" ucapku sambil menutup mulut karena menguap. Membenamkan kepala di dada bidang suamiku. Tangan Mas Wahyu mengelus-elus rambutku. Ini seperti magnet yang membuat mataku kian tertutup. Hingga aku terlelap dalam mimpi indah.Kriiingg...Bunyi alarm dari ponselku. Segera kumatikan lalu beranjak ke kamar mandi. Menguyur tubuh dengan air, membersihkan tubuh dari hadas besar.Menggoncang kan tubuhnya perlahan, membangunkan dia karena adzan subuh akan segera berkumandang."Mas bangun, sudah mau adzan subuh. Kamu kan harus mandi dulu." ucapku lembut.Mas Wahyu membuka mata, lalu bergegas ke kamar mandi. Aku sampai membuka mulut lebar-lebar. Serasa tak percaya dengan apa yang baru saja ku lihat. Mas Wahyu bangun sebelum subuh. Ya, karena suamiku paling susah dibangunkan pagi-pagi. Dia akan bangun pukul setengah enam meski aku sudah membangunkannya berkali-kali. Dan hari ini dengan sekali sentuhan dia bangun lalu bergegas mandi.Semoga doaku selama ini terkabul. Mas Wahyu berubah menjadi lelaki yang baik serta bertanggung jawab kepada keluarganya. Aamiin.****"Dek, yang Mas bicarakan semalam bagaimana?" tanyanya saat berada di ruang keluarga. Kebetulan ini hari minggu, Mas Wahyu libur kerja.Memang apa yang dibicarakan semalam? Bukankah Mas Wahyu tak berkata apapun ya? Atau mungkin aku sudah terlelap hingga tak mendengar ucapannya. Waduh bakalan kena semprot ini."Memangnya Mas Wahyu bicara apa? Maaf ya Mas, aku ketiduran. Habisnya capek banget kerja seharian Mas." ucapku ragu."Gak apa-apa kok sayang, Mas tahu kamu pasti sangat capek. Sudah jahit ngurusin aku dan Diana." tangannya mengelus pucuk kepalaku yang dibalut hijab.Tidak ada hujan, tidak ada halilintar. Kenapa suamiku tiba-tiba baik seperti ini? Atau jangan-jangan ada udang di balik bakwan lagi.Astagfirullah...Sadar Wulan, suami baik harusnya bersyukur bukan malah berburuk sangka seperti itu."Memangnya Mas Wahyu semalam mau ngomong apa?" tanyaku penasaran.Mas Wahyu menggenggam kedua tanganku, menatapku dalam-dalam.Membuatku semakin bertanya-tanya. Atau jangan-jangan Mas Wahyu mau izin nikah lagi?Ah, tidak, tidak. Aku tak akan mentolerir pengkhianatan. Lebih baik menjadi janda dari pada harus dimadu."Kamu mau nikah lagi Mas?" ketusku. Mas Wahyu justru tertawa terpingkal-pingkal.Memangnya ada yang lucu apa?"Ya Allah dek, mana mungkin Mas nikah lagi. Mas itu hanya cinta sama kamu. Sampai kapanpun Mas tidak akan menikah lagi. Cukup kamu di hati Mas." Mas Wahyu memegang pundakku, dan mengunci netraku.Seketika tubuhku melayang ke langit ke tujuh. Karena jarang-jarang suamiku ngegombal seperti itu."Biasanya di sinetron-sinetron gitu sih Mas. Baik-baikin istri tahu-tahu sudah kawin lagi."Mas Wahyu tiba-tiba diam, matanya tak lagi memandangku. Atau jangan-jangan memang benar dia punya simpanan hingga aku selalu diberi nafkah delapan ratus ribu saja."Mas...""Iya sayang.""Kok bengong?" tanyaku penuh selidik."Mas bingung gimana cara bayar hutangnya dek, Mas sudah gak punya uang. Kemarin kan Mas pinjem Mang Juki karena ibu masuk rumah sakit. Nah sekarang aku bingung bayarnya gimana?"ucapnya mengiba.Ya Allah, ibu masuk rumah sakit dan aku tak tahu. Tapi kenapa Rika tidak mengabariku?"Apa kamu punya tabungan dek? Mas janji akan menggantinya jika Mas sudah punya uang. Mas takut bunganya semakin membesar jika tidak segera dilunasi."Ah, benar juga kata Mas Wahyu. Bisa-bisa hutang itu menjadi ratusan juta hanya karena belum mampu membayar. Apa aku pinjamkan gelang emas yang aku punya saja ya?"Wulan tidak punya simpanan uang Mas."Mas Wahyu menundukkan kepala. Wajahnya terlihat sangat kecewa. Dan aku tak pernah tega melihatnya seperti itu."Tapi Wulan punya gelang emas sepuluh gram Mas."Raut wajah bahagia terpancar dari netranya. Ucapanku seperti angin surga bagi Mas Wahyu."Tidak usahlah dek, itukan emas kamu. Mas takut tidak bisa kembalikan.""Wulan ikhlas jika ini untuk membayar hutang Mas Juki. Hutang untuk membiayai pengobatan ibu." Mas Wahyu menggenggam kedua tanganku. Lalu menciumnya berkali-kali."Terima kasih ya dek. Mas sangat menyayangimu."******Samar-samar terdengar muadzin mengumandangkan adzan subuh. Perlahan menggerakkan tubuh. Mengumpulkan nyawa yang belum sempurna. Tak lupa ku guncang kan perlahan tubuh suamiku. Berharap bisa shalat berjamaah bersama."Mas bangun, sudah subuh."Hening, Mas Wahyu masih terlelap dalam tidurnya."Mas..."masih tah ada sahutan. Bukankah dua hari Mas Wahyu selalu bangun sebelum subuh. Tapi kenapa hari ini susah sekali dibangunkan."Mas..." ku guncang kan lebih keras."Kamu apa-apaan sih Lan. Ganggu orang tidur saja. Sana shalat sendiri!" sungutnya lalu kembali tidur.AstagfirullahKu elus dadaku yang terasa sesak. Tak menyangka Mas Wahyu akan berkata seperti itu padaku. Bukankah dua hari ini dia telah berubah. Apa jangan-jangan dia berubah karena ada maunya saja...?Ya Allah, kenapa suamiku seperti itu?Bukakanlah hatinya.Jangan lupa subscribe, like dan komen💕Aku duduk di teras rumah sambil menunggu tukang sayur lewat. Mang Tono nama penjualnya. Dan selalu mangkal di jalan depan rumah."Sayur ... sayur...." teriak Mang Tono memanggil pembeli. Mang Tono mematikan mesin motor tepat di jalan depan rumah.Berdiri sambil mengibaskan topi di udara. Mencari angin untuk menghilangkan rasa gerah di tubuhnya.Melangkahkan kakiku mendekati abang tukang sayur. Di susul ibu-ibu yang lainnya. Ya, karena hanya ini tukang sayur yang lewat di daerah sini. Meski harga tetap lebih murah di pasar.Memilih sayur, aku bingung juga mau memasak apa. Dilema emak-emak bukan hanya karena uang belanja yang kurang. Tapi juga menentukan harus memasak apa?Adakah yang sama? atau mungkin hanya diriku saja."Ibu-ibu, sudah tahu belum berita terpanas." ucap Bu Ambar, ratu gosip di lingkungan kami."Berita apa nih Bu?" sahut Bu Tika."Itu ibu-ibu, Pak Rt punya istri muda.""Yang benar Bu?""Dari mana ibu tahu?"Mereka saling besahutan,aku hanya diam enggan membalas ucapan at
"Besok kalau kamu libur, kita ke rumah ibu ya Mas." pancing ku.Aku ingin melihat bagaimana ekspresinya.Uhuuk... Uhuuk.Mas Wahyu terbantuk hingga kopi yang ada di dalam mulut di keluarkannya."Kamu kenapa Mas?" tanyaku pura-pura."Tidak apa-apa Lan,hanya kopinya terlalu panas." jawabnya gugup. Wajahnya terlihat pucat pasi.Aku tahu kamu sedang berbohong Mas, kopinya tidak terlalu panas. Mungkin kamu kaget karena aku mengajakmu ke rumah ibu. Kamu takut, jika kebohonganmu terbongkar kan?"Pelan-pelan dong Mas, seperti mau ditagih hutang saja." Mas Wahyu terlihat semakin gugup."Apa sih kamu! Aku sudah tidak punya hutang.Hutang Mang Juki sudah dibayar kan."ketusnya."Aku gak bilang Mas Wahyu punya hutang lho, aku cuman bilang Mas seperti ditagih hutang.Bukan punya hutang."kilahku.Sebenarnya hanya ingin mengetes Mas Wahyu. Dan aku rasa dia sedang menyembunyikan sesuatu padaku. Perlahan akan ku cari tahu apa yang kamu sembunyikan padaku."Terserah kamu saja Lan, capek ngomong sama kamu!
Sudah tiga hari Mas Wahyu tak mau makan di rumah hanya karena lauk seadanya. Dia lebih memilih makan di luar dibandingkan menambah uang belanjaku. Bukankah lebih baik menambah uang belanjaku, sehingga kamu bisa makan enak bersama. Bukan hanya dia saja! Apa dia tidak berpikir tentang kebahagiaan putrinya? Ya Allah, aku tak mengerti dengan pola pikirnya. Apa dia sengaja menyiksa diriku seperti ini? Kurang apa aku selama ini? Menghembuskan nafas perlahan, mengatur emosiku yang sudah di ubun-ubun. Ingin rasanya kumaki lelaki yang telah bersamaku selama tujuh tahun ini. Namun percuma, aku yang akan disalahkan bahkan mungkin tangannya akan mendarat lagi di pipi.Astagfirullah ... Beristighfar dalam hati kalau mengingat kelakuan Mas Wahyu satu tahun ini. Setan apa yang merasuki suamiku. Hingga kini dia begitu tega padaku dan Diana. Melanjutkan kegiatan mencuci piringku,meletakkan piring ke dalam rak. Lalu memasak nasi goreng untukku dan Diana. Sengaja, toh selama tiga hari ini dia tak p
" Wahyu ...!" suara lelaki yang sangat ku kenal. Mas Wahyu menghentikan tangannya yang hendak menamparku. Tak mungkin Mas Wahyu berani menyakitiku di hadapannya. Alhamdulillah. Aku bernafas lega, karena Allah memberiku pertolongan sehingga aku tak merasakan nyeri akibat tamparan Mas Wahyu lagi. Wajah Mas Wahyu langsung pucat pasi melihat Mas Rudi, kakak kandungnya. Ternyata Mas Wahyu masih punya rasa takut juga. Mas Rudi berjalan mendekat, gurat kemarahan tergambar jelas di wajahnya. Matanya, menatap tajam ke arah adik kandungnya itu. Baru kali ini aku melihat Mas Rudi semenakutkan itu. Lelaki yang biasanya bijaksana bisa begitu marah melihat Mas Wahyu hampir menamparku. Sedang Mas Wahyu hanya diam membisu. Dimana sikap semena-menanya tadi? Apakah menguap begitu saja. Nyalinya langsung menciut kala menatap Mas Rudi. "Apa-apaan kamu! Beraninya main tangan pada istri kamu sendiri. Apa ibu pernah mengajarimu berbuat kasar pada wanita?"teriak Mas Rudi. Mas Wahyu masih diam, enggan
"Benar katamu Lan, lebih baik kita telepon ibu untuk memastikan kebenarannya. Karena satu bulan Mas ditugaskan diluar kota, jadi tak tahu apakah ibu sakit atau tidak." Mas Rudi merogoh ponsel di saku celananya. Dia mengotak-atik benda pipihnya, lalu menempelkannya di telinga kanan.Kutatap Mas Wahyu, wajah angkuhnya kini berubah pucat pasi. Pasti dia takut jika Mas Rudi tahu yang sebenarnya. Sekarang saatnya kamu tunggu hukuman apa yang Mas Rudi berikan padamu."Assalamu'alaikum Bu ...." Suara lembut Mas Rudi kala menyapa ibu dari balik telepon.Beberapa menit Mas Rudi berbicara dengan ibu melalui sambungan telepon. Aku tak terlalu mendengarkan karena berada di dapur untuk membuatkan teh hangat untuk Mas Rudi dan Mbak Yuli.Ada rasa sungkan dan tak enak pada kakak iparku. Seharusnya tamu itu dimuliakan, dibuatkan minuman. Bukan justru disuguhi pertengkaran. Dan harus menjadi penengah di antara kami.Dua cangkir teh hangat telah berada di meja makan. Mas Rudi meminta kami duduk di tem
Satu minggu setelah sidang keluarga, Mas Wahyu semakin perhatian padaku. Sikapnya kembali sama seperti saat awal menikah dulu. Lembut dan penuh kasih sayang. Janji untuk menambah uang bulanan pun telah dipenuhi. Ya, meski hanya menambah lima ratus ribu untuk keperluan keluarga. Meski masih pas-pasan tapi tak apalah. Setidaknya suamiku sudah menepati janjinya. Suara mesin jahit memenuhi ruangan. Menciptakan irama tersendiri saat ditangkap indera pendengaran. Aku berkutat dengan kain dan benang dari pagi hingga hampir waktu adzan ashar berkumandang. Alhamdulillah setelah drama rumah tangga tempo hari, kini banyak orang menjahitkan pakaian di tempatku. Aku bahkan tak tahu kenapa bisa seperti ini. Mungkin ini hikmah setelah datangnya ujian dan cobaan padaku. TingSatu pesan masuk di aplikasi berwarna hijau ini. Mengambil benda pipih yang ada di atas meja. Satu pesan Bu Sinta, pelanggan setia yang selalu menjahitkan pakaian di tempatku. [Gamisnya saya ambil besok ya Mbak.][Baik Bu.]
"Kamu kenapa,Lan?""Pusing Mas.""Istirahat sana, biar nanti malam bisa ehem-ehem," godanya. Kuanggukan kepala. Berjalan perlahan ke kamar. Lalu merebahkan tubuh di atas kasur. Hingga tak terasa aku terlelap karena lelah dan pusing yang mendera. "Lan, bangun!" satu sentuhan di pundak membuat diriku terkejut bukan main. Kepalaku kembali terasa berputar-putar. "Masih pusing?" tanyanya. "Sedikit Mas." Duduk di bibir ranjang sambil mengumpulkan nyawa. "Sudah adzan, shalat dulu gih!" ucapnya. Menyatukan dua alis, bingung. Baru kali ini Mas Wahyu memintaku mengerjakan ibadah wajib. Biasanya dia selalu cuek dan masa bodoh. Atau jangan-jangan ini salah satu upaya untuk menutupi sebuah kebohongan. Seperti sebuah artikel yang sempat ku baca. Tanda seorang suami berselingkuh salah satunya bersikap lebih manis dari biasanya. Alasannya karena merasa bersalah telah mengkhianati cinta istrinya. Astagfirullah... Semoga yang kupikirkan tidak benar. Semoga ini hanya kekhawatiranku saja. "Wul
Sinar mentari mulai nampak di ufuk timur.Menampakkan sinar berwarana jingga.Memanjakan mata saat aku menatapnya. Kehangatan sinar mentari selalu di rindukan bagi setiap ciptaan Allah yang bernyawa. Duduk termenung di teras sambil melihat pemandangan nan indah dipagi hari. Namun perkataan Mas Wahyu semalam membuat gelap susana hatiku. Mengusik pikiran dan batinku. Membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada keluargaku. Apakah aku sanggup menerima hadiah seorang madu dari lelaki yang ku cintai? Rasanya itu terlalu berat. Ya Allah, kenapa hidupku penuh dengan teka-teki seperti ini? Dan jika benar Mas Wahyu telah membagi hati dan cintanya untuk wanita lain, lebih baik aku menyerah. Karena percuma bertahan di dalam kapal jika nahkodanya bingung harus berlabuh dimana? "Sarapannya sudah siap Lan?" Sentuhan lembut di pundak namun mampu membuatku terkejut. "I-iya Mas, ada apa?" tanyaku kebingungan. "Sarapannya sudah siap apa belum? Kenapa kamu kaget begitu? Lagi mikirin apa