Pov Author"Rika!Rika!" Teriak Sri mengejutkan sangat putri. Dengan berlari Rika menuju sumber suara.Rika kebingungan melihat Sri menangis tersedu di samping Wahyu. Apa Wahyu telah meninggal? Pertanyaan itu yang sempat hadir di benar gadis berambut sepunggung itu."Mas Wahyu kenapa, Bu?" tanya Wulan seraya menyentuh pergelangan tangan sang kakak. Dia memastikan apakah Wahyu masih hidup atau sudah meninggal. Masih terasa denyut nadi. Itu tandanya Wahyu belum dipanggil sang Maha Kuasa."Wahyu tidak bangun-bangun Rik. Ibu takut terjadi apa-apa dengannya. Tolong kamu panggilkan Masmu. Minta dia antarkan Wahyu ke rumah sakit." Rika mengangguk lalu segera menuju kamar untuk menelepon Rudi.Sri menangis melihat tubuh Wahyu yang kian kurus. Setelah menelepon Wulan beberapa minggu yang lalu, Wahyu semakin terpuruk. Rasa menyesal tertancap dalam di sanubari lelaki itu. Tak ada lagi semangat untuk sembuh. Dia terpukul mengetahui wanita yang ia cintai sudah memiliki tambatan hati lain."Semanga
"Apa ada yang bernama Wulan dan Diana?" Langkah Rudi terhenti mendengar pertanyaan sang dokter.Sri dan Rika pun saling pandang. Mereka sangat terkejut dengan perkataan dokter itu.Dari mana dokter tahu Wulan dan Diana?Pertanyaan yang sama muncul di pikiran keluarga Wahyu. Dari awal mereka menginjakkan kaki di rumah sakit, tak sekalipun menyebut nama mantan istri dan anak Wahyu."Pasien mengigau dan memanggil nama Wulan dan Diana. Apa mereka keluarga pasien?" jawab dokter seperti dapat membaca pikiran mereka.Semua terdiam, bingung harus menjawab apa? Ingin mengatakan iya tapi takut sang dokter bertanya lebih jauh lagi. Di mana istrinya mungkin? Dan itu akan membuka aib Wahyu."Mereka anak dan mantan istrinya, dok," jawab Sri pelan."Kalau bisa mereka diminta ke mari. Siapa tahu pasien akan cepat sembuh saat mereka datang."Sri hanya mengangguk hingga dokter itu kembali masuk ke ruang IGD.Semua terdiam, Rudi yang hendak mengurus administrasi justru diam di tempat. Seakan ada magne
Roda kehidupan memang tidak bisa diprediksi. Kemarin sedih sekarang bahagia atau justru sebaliknya. Seperti yang di rasakan Wulan. Penderitaan saat bersama Wahyu kini terganti dengan senyum bahagia. Bagus mampu menjadi suami serta ayah yang baik untuk Wulan dan anak-anaknya. Kini mereka hidup bahagia. Tak pernah ada pertengkaran di rumah tangga mereka. Sedikit cekcok karena perbedaan prinsip adalah hal biasa. "Mau ke mana, sayang?" tanya Bagus saat melihat Wulan sudah duduk di depan meja rias. Gamis soft pink dengan hijab berwarna senada kian menambah aura kecantikannya. Ya, walau tanpa riasan tebal di wajahnya. Wulan menghentikan gerakan tangan lalu menatap Bagus dari pantulan cermin di hadapannya. "Mau ke rumah Mas, pengen lihat laporan minggu ini. Mas mau ikut?""Boleh, tapi jangan ajak anak-anak ya! Sekali-kali jalan berdua," ucap Bagus seraya mengedipkan matanya. Wulan dan Bagus memang tak memiliki waktu banyak untuk berdua. Memiliki tiga anak membuat pasangan suami istri i
"Kita mau ke mana, bu?" tanya Diana. "Kita ke rumah ayah. Ayah kangen sama kamu, sayang." "Gak mau! Aku gak mau ketemu ayah!" Diana berlari masuk ke dalam rumah. Wulan dan Bagus saling pandang. Lalu Wulan meletakkan tas di kursi depan. Mengatur nafas yang terasa sesak. Bayangan Diana dipukul kembali menari-nari dalam angan. Dia sadar betul rasa trauma masih bersarang di hati putrinya, meski perlahan terkikis oleh kasih sayang Bagus. "Buar aku saja. Kamu di sini!" Langkah kaki Wulan terhenti mendengar perkataan sang suami. Walau sedikit ragu tapi ia menurut saja. Bagus berjalan cepat menuju kamar Diana yang ada di lantai atas. Perlahan membuka pintu yang tertutup rapat. Gadis kecil Wulan sedang menangis sesegukan di atas ranjang. Kejadian bersama Wahyu kembali berkeliaran di benaknya. Memori kelam yang berusaha ia lupakan. Meski tak bisa sama sekali untuk dihilangkan. Bagus segera duduk tepat di samping anak tirinya. Mengangkat kepala Diana lalu menghapus jejak air mata mengguna
Wulan membuka koper untuk mengambil pakaian ganti. Rasa lengket di tubuh membuatnya ingin segera mandi. Namun langkahnya terhenti saat Bagus masuk ke dalam kamar. Lelaki itu berjalan mendekat sambil menatap Wulan tak berkedip. Tatapan itu yang membuat jantung Wulan seketika berdetak dengan kencang. Tubuhnya terasa panas bagai tersengat aliran listrik. "Mas mau aku siapin pakaian ganti?" tanya Wulan sambil mengatur detak jantung yang kian kencang. Rasanya hampir terlepas dari singgasananya. Bagus hanya tersenyum lalu mengambil pakaian yang sudah berada di tangan Wulan. Baju itu diletakkan kembali di atas koper yang sudah dibuka. Mendadak rasa gugup singgah di hati Wulan. Ia tahu betul apa yang diinginkan suaminya. Bagus menuntut Wulan hingga berada di atas ranjang. Pandangan mereka mulai mengunci. Debaran hangat terasa di antara mereka berdua. Hingga akhirnya mereka menikmati indahnya surga dunia. ***Wulan, Bagus dan Diana sudah berdiri di lobi rumah sakit. Sengaja mereka hanya da
Terdengar suara motor berhenti di halaman rumah. Aku tahu betul itu suara motor milik suamiku, Mas Wahyu. Segera aku hentikan kegiatan jahit menjahitku.Tak ada kata salam setiap kali lelaki yang menikahiku tujuh tahun yang lalu itu masuk ke dalam rumah. Dia pikir rumah ini lapangan bola hingga kata salam tak perlu diucapkan. "Waalaikumsalam...," ucapku menyindir Mas Wahyu. "Apa sih kamu Lan, suami pulang bukannya disambut justru di ceramahin. Aku ini capek kerja. Jangan lagi kau pancing amarahku!" sungutnya. Selalu saja berkata seperti itu tiap kali kusindir tak mengucapkan salam atau hal yang lain. Kalau sudah begini lebih baik diam, dari pada semakin membuat rumah ini terasa panas. Ya Allah, kapan suamiku bisa berubah?Menjadi suami yang mengajak dalam kebaikan bukan sebaliknya. "Kamu mau diam seperti patung di situ?" ketusnya. AstagfirullahAku sampai lupa mencium tangan Mas Wahyu.Bahkan untuk menyiapkan minum hanya karena masalah salam. Sebenarnya ini bukan masalah sepele, s
Jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas. Namun Mas Wahyu belum juga pulang, bahkan pesan dan teleponku diabaikan begitu saja. Kemana dia? Selalu saja pergi bila tengah marah atau bertengkar. Apa semuanya bisa selesai jika dia pergi begitu saja? Kukunci pintu rapat-rapat. Terserah dia tidur di mana malam ini. Tidur di pos ronda juga bodo amat. Melangkahkan kaki menuju kamar Diana, kubaringkan tubuh ini di sebelahnya. Tanpa terasa aku pun terlelap karena kelelahan. Samar-samar terdengar azan subuh berkumandang. Membuka mataku perlahan,mengumpulkan nyawa yang belum sempurna. Aku membuka pintu kamar, tak ada Mas Wahyu. Apa benar dia tak pulang? Motor juga tak ada di tempatnya. Berarti benar, dia tak pulang semalam. Segera aku melangkah menuju dapur, membuat telur dadar dan sambal terasi.Karena hanya itu yang bisa kusajikan di atas meja. Gajian Mas Wahyu tiga hari lagi tapi isi dompet hanya tinggal lima puluh ribu. Sedang beras dan sayur di dalam kulkas sudah habis. Semoga saja
Aku duduk termenung di teras sambil menunggu kedatangan Mas Wahyu. Aku akan meminta penjelasan darinya. Untuk apa uang tiga juta yang ia pinjam? Sedang setiap bulan Mas Wahyu selalu mengantongi empat juta. Dan aku hanya di beri jatah delapan ratus ribu setiap bulannya.Kupijat pelipis yang terasa berdenyut. Untuk melanjutkan menjahit dengan hati penuh amarah rasanya aku tak sanggup. Aku tak ingin jahitanku tak bagus karena menjahit disaat hati di tutupi amarah.Ya Allah, sampai kapan aku harus berkorban untuk memenuhi kebutuhan sedang suamiku enak-enakan menikmati gajinya. Bahkan dia meminjam uang dan aku tak tahu untuk apa. Wanita mana yang bisa bertahan diperlakukan seperti ini. Sebenarnya dianggap apa diriku selama ini? Batu kah? Aku ini wanita yang memiliki perasaan,bukan patung yang bisa diperlakukan seenaknya. Astagfirullah ....Beristighfar berkali-kali, menenangkan hatiku yang sedang di selimuti amarah. Karena syaitan paling senang jika orang sedang diselimuti amarah."Bu, D