Aku duduk termenung di teras sambil menunggu kedatangan Mas Wahyu. Aku akan meminta penjelasan darinya. Untuk apa uang tiga juta yang ia pinjam? Sedang setiap bulan Mas Wahyu selalu mengantongi empat juta. Dan aku hanya di beri jatah delapan ratus ribu setiap bulannya.
Kupijat pelipis yang terasa berdenyut. Untuk melanjutkan menjahit dengan hati penuh amarah rasanya aku tak sanggup. Aku tak ingin jahitanku tak bagus karena menjahit disaat hati di tutupi amarah.Ya Allah, sampai kapan aku harus berkorban untuk memenuhi kebutuhan sedang suamiku enak-enakan menikmati gajinya. Bahkan dia meminjam uang dan aku tak tahu untuk apa. Wanita mana yang bisa bertahan diperlakukan seperti ini. Sebenarnya dianggap apa diriku selama ini? Batu kah? Aku ini wanita yang memiliki perasaan,bukan patung yang bisa diperlakukan seenaknya. Astagfirullah ....Beristighfar berkali-kali, menenangkan hatiku yang sedang di selimuti amarah. Karena syaitan paling senang jika orang sedang diselimuti amarah."Bu, Diana pengen jajan di sana." Diana menunjuk warung Bu Ani yang letaknya di sebelah rumah.Bulir bening mengalir dari sudut netra kala menatap malaikat kecil yang tak pernah diperhatikan Mas Wahyu. Dia selalu asyik dengan dunianya sendiri. Setiap di rumah dia selalu memainkan benda pipih miliknya tanpa memperdulikan Diana, darah dagingnya sendiri. Bahkan dia tak tahu, kebutuhan apa yang Diana perlukan."Ibu kok nangis?" tanyanya polos."Terkena debu dek, jadi nangis," dustaku.Kugenggam jemari kecilnya menuju warung Bu Ani. Putri kecilku mengambil wafer dan susu kotak lalu memperlihatkannya padaku. Meminta izin apakah boleh membeli ini. Ya,dia memang seperti itu. Sangat penurut. Ku anggukan kepala. Bibir mungilnya tersenyum saat aku mengizinkan membeli keduanya.Apa selama ini kamu tahu berapa jajan putrimu setiap hari Mas?Apakah kamu pernah berfikir uang delapan ratus ribu cukup atau tidak?Tak, kamu tak pernah memikirkan betapa pusingnya diriku mengelola uang yang kamu berikan. Dan kamu selalu saja minta makan enak. Sebenarnya ada di mana pikiranmu?Jarum jam sudah menunjukkan pukul empat lebih lima belas menit. Itu tandanya sebentar lagi Mas Wahyu akan tiba di rumah.Aku menunggu penjelasan darimu Mas.Suara motor terdengar memasuki halaman rumah. Gegas aku berjalan keluar. Dan seperti biasanya tak ada salam yang terucap dari mulutnya.Untung saja Diana sedang asyik bermain di rumah tetangga jadi tidak akan mendengar pertengkaran yang sebentar lagi akan terjadi di rumah ini."Masak apa,Lan?" tanyanya saat masuk ke dalam rumah.Makan, makan terus yang ada dalam pikirannya. Mas Wahyu pikir aku tak tahu jika dia punya hutang."Aku tidak masak,Mas," ucapku santai. Mas Wahyu menatapku tajam seperti serigala yang sedang kelaparan."Kerjaan kamu ngapain saja? sampai suamimu terlantar seperti ini?" sungutnya.Sontak ibu-ibu yang lewat hendak berbelanja di warung Bu Ana berhenti tepat di depan rumah. Menatap kami sambil berbisik-bisik.Pintu depan memang tidak di tutup, sehingga membuat mereka leluasa melihat perdebatan kami. Aku yakin sebentar lagi aku akan menjadi tranding topik dikalangan ibu-ibu kampung.Segera ku tutup pintu rapat-rapat. Aku tak ingin aib keluargaku menjadi konsumsi publik."Kalau bicara tolong volumenya dikecilkan sedikit Mas.Malu bila sampai didengar tetangga."ucapku sambil menatap tajam ke arahnya."Biar saja mereka tahu kelakuan kamu seperti apa!" teriaknya lantang.Astagfirullah...Kuelus dadaku. Kenapa pikiran Mas Wahyu seperti ini? Dimana urat malunya?"Jadi kamu ingin para tetangga tahu jika uang belanja yang kamu berikan tak cukup memenuhi kebutuhan kita." Mas Wahyu melotot mendengar setiap kata yang keluar dari mulutku. Mungkin dikiranya aku hanya bisa diam dan menangis seperti yang sudah-sudah."Delapan ratus ribu rupiah satu bulan memangnya cukup untuk beli apa Mas?" kuperjelas nafkah yang selalu dia berikan padaku.Agar ibu-ibu yang masih di depan tahu berapa nafkah yang suamiku berikan padaku."Diam, jangan sampai orang lain tahu jika uang yang ku berikan hanya delapan ratus ribu." ucapnya pelan.Hahaha, aku tertawa mengejek ke arahnya. Malu dia bilang?Malu tapi saja memberi kami nafkah sedikit. Sedang gaji yang dia dapat lima juta."Aku tidak masak karena tidak memiliki uang Mas. Kamu pikir uang yang kamu berikan cukup? Tidak Mas. Dan Mas tak pernah mau tahu bukan? Aku harus pontang panting menutupi kekurangannya. Delapan ratus ribu satu bulan tidak cukup Mas." ucapku mengeluarkan beban yang selama ini ku pendam. Mas Wahyu diam membisu. Tak lagi menjawab semua yang aku katakan."Setiap bulan kamu pegang uang empat juta Mas, kemana saja uang itu kamu gunakan?" Kutatap tajam netranya.Mas Wahyu masih diam membisu. Mungkin sedang mencari alasan agar aku percaya."Ibu sakit Lan, jadi Mas kirim tiga juta lima ratus ribu setiap bulan untuk berobat." ucapnya sambil menunduk."Kenapa kamu tidak bilang jika ibu sakit Mas?" tanyaku sedikit melunak.Aku memang sudah tahu jika ibu mertuaku sakit-sakitan. Namun beliau selalu menolak jika ku ajak tinggal disini. Katanya beliau lebih nyaman tinggal di rumah sendiri.Rumah Ibu lumayan jauh dari tempat tinggal ku. Harus menempuh waktu empat jam jika ingin ke sana. Beliau memang tidak tinggal sendiri melainkan tinggal bersama Rika, adik Mas Wahyu.Sedangkan Mas Rudi,anak pertama ibu tinggal tak jauh dari rumahnya. Ya, suamiku memang tiga bersaudara. Sedang diriku hanya memiliki satu kakak lelaki yang tinggal di luar kota bersama keluarganya. Ayah dan ibuku sudah lama meninggal. Dan rumah ini merupakan peninggalan orang tuaku."Mas ...." Kupegang pundaknya. Mas Wahyu melonjak terkejut."Maafkan Mas tidak jujur padamu. Harusnya Mas katakan agar tidak terjadi kesalahpahaman.""Sudahlah,Mas, Wulan juga harus minta maaf sudah berfikir yang buruk tentang Mas. Harusnya Wulan percaya dengan suami. Bukan justru meragukanmu." Mas Wahyu memelukku. Mengelus pucuk kepalaku yang tertutup hijab."Terima kasih Lan, kamu mau mengerti keadaan Mas. Kamu memang istri yang sangat baik.""Apa ini alasan Mas meminjam uang kepada Mang Juki?"Mas Wahyu melepas pelukannya. Lalu membuang muka ke arah lain."Mas ...""Iya Lan, maafkan Mas ya." ucapnya mengiba."Iya Mas, tapi sekarang kita harus memikirkan cara membayar hutang Mang Juki.""Mas akan usahakan Lan, kamu tenang saja."Alhamdulillah, aku sedikit bernapas lega, setidaknya Mas Wahyu meminjam uang bukan untuk foya-foya atau memiliki wanita idaman lain seperti apa yang sempat terlintas dalam pikiranku.Ya, karena aku tak memberi ampun untuk lelaki yang tega berselingkuh di belakang istrinya. Dan Mas Wahyu sudah tahu akan itu.Berjalan menuju dapur, membuat kopi untuk Mas Wahyu. Semoga saja ini dapat mengurangi beban pikirannya.Selamat membaca, jangan lupa tinggalkan jejak. Like dan komen.Jarum jam sudah menunjukkan angka sembilan malam. Putri kecilku telah terlelap di kamarnya. Sedang Mas Wahyu masih asyik menonton televisi. Entah apa yang dia tonton aku juga tak tahu.Kubereskan gunting dan alat jahit ku yang lain. Sudah cukup kegiatan jahit menjahit ku hari ini. Badan sudah meminta haknya untuk istirahat.Kubaringkan tubuh tepat di sebelah Diana. Membaca doa sebelum tidur lalu mulai memejamkan mata. Aku terbangun saat tangan kekar melingkar di perutku. Ya, itu tangan Mas Wahyu. Aku tahu ia ingin meminta haknya malam ini.Berjalan beriringan memasuki kamar kami. Sebenarnya ingin sekali digendong, tapi sayang suamiku tidak sepeka itu. Mau meminta, takut ujung-ujungnya kena omel.Perlahan membaringkan tubuhku di atas ranjang. Ingin segera tidur karena lelah yang mendera. Dan tubuh ingin segera meminta haknya, istirahat. Tapi aku juga tak ingin menolak permintaan suamiku. Bukankah surga istri berada di telapak kaki suami? Aku juga tak ingin dilaknat malaikat hanya tak m
Aku duduk di teras rumah sambil menunggu tukang sayur lewat. Mang Tono nama penjualnya. Dan selalu mangkal di jalan depan rumah."Sayur ... sayur...." teriak Mang Tono memanggil pembeli. Mang Tono mematikan mesin motor tepat di jalan depan rumah.Berdiri sambil mengibaskan topi di udara. Mencari angin untuk menghilangkan rasa gerah di tubuhnya.Melangkahkan kakiku mendekati abang tukang sayur. Di susul ibu-ibu yang lainnya. Ya, karena hanya ini tukang sayur yang lewat di daerah sini. Meski harga tetap lebih murah di pasar.Memilih sayur, aku bingung juga mau memasak apa. Dilema emak-emak bukan hanya karena uang belanja yang kurang. Tapi juga menentukan harus memasak apa?Adakah yang sama? atau mungkin hanya diriku saja."Ibu-ibu, sudah tahu belum berita terpanas." ucap Bu Ambar, ratu gosip di lingkungan kami."Berita apa nih Bu?" sahut Bu Tika."Itu ibu-ibu, Pak Rt punya istri muda.""Yang benar Bu?""Dari mana ibu tahu?"Mereka saling besahutan,aku hanya diam enggan membalas ucapan at
"Besok kalau kamu libur, kita ke rumah ibu ya Mas." pancing ku.Aku ingin melihat bagaimana ekspresinya.Uhuuk... Uhuuk.Mas Wahyu terbantuk hingga kopi yang ada di dalam mulut di keluarkannya."Kamu kenapa Mas?" tanyaku pura-pura."Tidak apa-apa Lan,hanya kopinya terlalu panas." jawabnya gugup. Wajahnya terlihat pucat pasi.Aku tahu kamu sedang berbohong Mas, kopinya tidak terlalu panas. Mungkin kamu kaget karena aku mengajakmu ke rumah ibu. Kamu takut, jika kebohonganmu terbongkar kan?"Pelan-pelan dong Mas, seperti mau ditagih hutang saja." Mas Wahyu terlihat semakin gugup."Apa sih kamu! Aku sudah tidak punya hutang.Hutang Mang Juki sudah dibayar kan."ketusnya."Aku gak bilang Mas Wahyu punya hutang lho, aku cuman bilang Mas seperti ditagih hutang.Bukan punya hutang."kilahku.Sebenarnya hanya ingin mengetes Mas Wahyu. Dan aku rasa dia sedang menyembunyikan sesuatu padaku. Perlahan akan ku cari tahu apa yang kamu sembunyikan padaku."Terserah kamu saja Lan, capek ngomong sama kamu!
Sudah tiga hari Mas Wahyu tak mau makan di rumah hanya karena lauk seadanya. Dia lebih memilih makan di luar dibandingkan menambah uang belanjaku. Bukankah lebih baik menambah uang belanjaku, sehingga kamu bisa makan enak bersama. Bukan hanya dia saja! Apa dia tidak berpikir tentang kebahagiaan putrinya? Ya Allah, aku tak mengerti dengan pola pikirnya. Apa dia sengaja menyiksa diriku seperti ini? Kurang apa aku selama ini? Menghembuskan nafas perlahan, mengatur emosiku yang sudah di ubun-ubun. Ingin rasanya kumaki lelaki yang telah bersamaku selama tujuh tahun ini. Namun percuma, aku yang akan disalahkan bahkan mungkin tangannya akan mendarat lagi di pipi.Astagfirullah ... Beristighfar dalam hati kalau mengingat kelakuan Mas Wahyu satu tahun ini. Setan apa yang merasuki suamiku. Hingga kini dia begitu tega padaku dan Diana. Melanjutkan kegiatan mencuci piringku,meletakkan piring ke dalam rak. Lalu memasak nasi goreng untukku dan Diana. Sengaja, toh selama tiga hari ini dia tak p
" Wahyu ...!" suara lelaki yang sangat ku kenal. Mas Wahyu menghentikan tangannya yang hendak menamparku. Tak mungkin Mas Wahyu berani menyakitiku di hadapannya. Alhamdulillah. Aku bernafas lega, karena Allah memberiku pertolongan sehingga aku tak merasakan nyeri akibat tamparan Mas Wahyu lagi. Wajah Mas Wahyu langsung pucat pasi melihat Mas Rudi, kakak kandungnya. Ternyata Mas Wahyu masih punya rasa takut juga. Mas Rudi berjalan mendekat, gurat kemarahan tergambar jelas di wajahnya. Matanya, menatap tajam ke arah adik kandungnya itu. Baru kali ini aku melihat Mas Rudi semenakutkan itu. Lelaki yang biasanya bijaksana bisa begitu marah melihat Mas Wahyu hampir menamparku. Sedang Mas Wahyu hanya diam membisu. Dimana sikap semena-menanya tadi? Apakah menguap begitu saja. Nyalinya langsung menciut kala menatap Mas Rudi. "Apa-apaan kamu! Beraninya main tangan pada istri kamu sendiri. Apa ibu pernah mengajarimu berbuat kasar pada wanita?"teriak Mas Rudi. Mas Wahyu masih diam, enggan
"Benar katamu Lan, lebih baik kita telepon ibu untuk memastikan kebenarannya. Karena satu bulan Mas ditugaskan diluar kota, jadi tak tahu apakah ibu sakit atau tidak." Mas Rudi merogoh ponsel di saku celananya. Dia mengotak-atik benda pipihnya, lalu menempelkannya di telinga kanan.Kutatap Mas Wahyu, wajah angkuhnya kini berubah pucat pasi. Pasti dia takut jika Mas Rudi tahu yang sebenarnya. Sekarang saatnya kamu tunggu hukuman apa yang Mas Rudi berikan padamu."Assalamu'alaikum Bu ...." Suara lembut Mas Rudi kala menyapa ibu dari balik telepon.Beberapa menit Mas Rudi berbicara dengan ibu melalui sambungan telepon. Aku tak terlalu mendengarkan karena berada di dapur untuk membuatkan teh hangat untuk Mas Rudi dan Mbak Yuli.Ada rasa sungkan dan tak enak pada kakak iparku. Seharusnya tamu itu dimuliakan, dibuatkan minuman. Bukan justru disuguhi pertengkaran. Dan harus menjadi penengah di antara kami.Dua cangkir teh hangat telah berada di meja makan. Mas Rudi meminta kami duduk di tem
Satu minggu setelah sidang keluarga, Mas Wahyu semakin perhatian padaku. Sikapnya kembali sama seperti saat awal menikah dulu. Lembut dan penuh kasih sayang. Janji untuk menambah uang bulanan pun telah dipenuhi. Ya, meski hanya menambah lima ratus ribu untuk keperluan keluarga. Meski masih pas-pasan tapi tak apalah. Setidaknya suamiku sudah menepati janjinya. Suara mesin jahit memenuhi ruangan. Menciptakan irama tersendiri saat ditangkap indera pendengaran. Aku berkutat dengan kain dan benang dari pagi hingga hampir waktu adzan ashar berkumandang. Alhamdulillah setelah drama rumah tangga tempo hari, kini banyak orang menjahitkan pakaian di tempatku. Aku bahkan tak tahu kenapa bisa seperti ini. Mungkin ini hikmah setelah datangnya ujian dan cobaan padaku. TingSatu pesan masuk di aplikasi berwarna hijau ini. Mengambil benda pipih yang ada di atas meja. Satu pesan Bu Sinta, pelanggan setia yang selalu menjahitkan pakaian di tempatku. [Gamisnya saya ambil besok ya Mbak.][Baik Bu.]
"Kamu kenapa,Lan?""Pusing Mas.""Istirahat sana, biar nanti malam bisa ehem-ehem," godanya. Kuanggukan kepala. Berjalan perlahan ke kamar. Lalu merebahkan tubuh di atas kasur. Hingga tak terasa aku terlelap karena lelah dan pusing yang mendera. "Lan, bangun!" satu sentuhan di pundak membuat diriku terkejut bukan main. Kepalaku kembali terasa berputar-putar. "Masih pusing?" tanyanya. "Sedikit Mas." Duduk di bibir ranjang sambil mengumpulkan nyawa. "Sudah adzan, shalat dulu gih!" ucapnya. Menyatukan dua alis, bingung. Baru kali ini Mas Wahyu memintaku mengerjakan ibadah wajib. Biasanya dia selalu cuek dan masa bodoh. Atau jangan-jangan ini salah satu upaya untuk menutupi sebuah kebohongan. Seperti sebuah artikel yang sempat ku baca. Tanda seorang suami berselingkuh salah satunya bersikap lebih manis dari biasanya. Alasannya karena merasa bersalah telah mengkhianati cinta istrinya. Astagfirullah... Semoga yang kupikirkan tidak benar. Semoga ini hanya kekhawatiranku saja. "Wul