"Kamu kenapa,Lan?""Pusing Mas.""Istirahat sana, biar nanti malam bisa ehem-ehem," godanya. Kuanggukan kepala. Berjalan perlahan ke kamar. Lalu merebahkan tubuh di atas kasur. Hingga tak terasa aku terlelap karena lelah dan pusing yang mendera. "Lan, bangun!" satu sentuhan di pundak membuat diriku terkejut bukan main. Kepalaku kembali terasa berputar-putar. "Masih pusing?" tanyanya. "Sedikit Mas." Duduk di bibir ranjang sambil mengumpulkan nyawa. "Sudah adzan, shalat dulu gih!" ucapnya. Menyatukan dua alis, bingung. Baru kali ini Mas Wahyu memintaku mengerjakan ibadah wajib. Biasanya dia selalu cuek dan masa bodoh. Atau jangan-jangan ini salah satu upaya untuk menutupi sebuah kebohongan. Seperti sebuah artikel yang sempat ku baca. Tanda seorang suami berselingkuh salah satunya bersikap lebih manis dari biasanya. Alasannya karena merasa bersalah telah mengkhianati cinta istrinya. Astagfirullah... Semoga yang kupikirkan tidak benar. Semoga ini hanya kekhawatiranku saja. "Wul
Sinar mentari mulai nampak di ufuk timur.Menampakkan sinar berwarana jingga.Memanjakan mata saat aku menatapnya. Kehangatan sinar mentari selalu di rindukan bagi setiap ciptaan Allah yang bernyawa. Duduk termenung di teras sambil melihat pemandangan nan indah dipagi hari. Namun perkataan Mas Wahyu semalam membuat gelap susana hatiku. Mengusik pikiran dan batinku. Membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada keluargaku. Apakah aku sanggup menerima hadiah seorang madu dari lelaki yang ku cintai? Rasanya itu terlalu berat. Ya Allah, kenapa hidupku penuh dengan teka-teki seperti ini? Dan jika benar Mas Wahyu telah membagi hati dan cintanya untuk wanita lain, lebih baik aku menyerah. Karena percuma bertahan di dalam kapal jika nahkodanya bingung harus berlabuh dimana? "Sarapannya sudah siap Lan?" Sentuhan lembut di pundak namun mampu membuatku terkejut. "I-iya Mas, ada apa?" tanyaku kebingungan. "Sarapannya sudah siap apa belum? Kenapa kamu kaget begitu? Lagi mikirin apa
Melajukan kendaraan roda duaku dengan kecepatan tiga puluh kilometer perjam. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi,mengingat penghianatan suamiku. Hingga sesekali aku harus menepi karena mata berkabut dan pandangan mulai kabur. Biar hancur hatiku namun aku harus tetap fokus mengendarai sepeda motor. Masih ada Diana yang menunggu kepulanganku. Aku menepi di halaman sebuah toko mainan anak-anak. Melihat dari luar begitu banyak mainan yang berjajar rapi di sana. Teringat putri kecilku yang hanya memiliki mainan sedikit. Bisa dihitung dengan jari. Bulir bening dan hangat mengalir tanpa bisa kubendung. Dada terasa sesak mengingat perlakuan Mas Wahyu padaku dan Diana. Dia lebih memilih menyenangkan hati perempuan lain dari pada darah dagingnya sendiri. "Do'akan ibu ya nak, biar suatu saat bisa membelikan mainan untukmu," batinku. Beberapa pasang mata menatap ke arahku. Ada yang penuh tanda tanya, ada pula yang merasa iba dan lebih tepatnya banyak pasang mata yang melihatk
Bijaklah dalam membaca. Syok, satu kata yang mengungkapkan perasaanku saat ini. Bagaimana mungkin kakak kandungku sendiri meminta Wulan untuk bercerai denganku. Dimana hati dan pikirannya? Kalau bukan kakakku sudah ku hajar hingga terkapar. Bukankah harusnya dia membelaku, adik kandungnya sendiri. Dasar Mas Rudi tidak punya akhlak. Di situasi seperti ini, aku tak punya pilihan lain. Ya, mau tidak mau aku harus menyetujuhi permintaan Wulan untuk menambah jatah bulanan. Sialan! Aku harus putar otak untuk mencari uang lagi karena masih banyak hutang ku dengan tante Mona. Sabar Wahyu, ini hanya sementara sampai aku bisa merebut kepercayaan Wulan lagi. Setelah dia luluh, akan ku kurangi jatah bulanannya untuk membayar hutang. Aku memang memiliki hutang banyak akibat kalah judi. Dan mau tidak mau aku harus berhutang pada tante Mona. Meski aku sudah mengangsurnya, namun hutangku masih saja menggunung. Itu karena aku selalu menambah hutang untuk berjudi. Apakah Wulan tahu? Tentu saja t
Aku berdoa dalam hati meminta Allah menyelamatkan belahan jiwaku. Sebawelnya Wulan, aku sangat mencintainya. Sungguh tak bisa kubayangkan jika harus berpisah dengannyaTaksi online yang kunaiki berhenti tepat di depan bangunan bertingkat empat. "Sudah sampai,Pak," ucap driver taksi online. Segera kuberikan uang padanya. "Terima kasih,Pak, bisa tolong bukakan pintu." Driver itu mengangguk lalu segera keluar mobil untuk membukakan pintu belakang. Membopong tubuh langsing istriku menuju IGD, aku baru menyadari tubuh wanita yang menemaniku selama tujuh tahun ini semakin kurus. Apa dia tersiksa hidup denganku? Kubuang jauh-jauh prasangka ini. Lekas masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan bau obat-obatan,kutidurkan Wulan di atas brankar. Seorang suster dan seorang dokter dengan cepat berjalan mendekat. "Tolong istri saya,Dok!""Kenapa kepala istri anda bisa sampai bocor begini Pak?" tanyanya sambil memeriksa kepala Wulan. Kutelan saliva dengan susah payah. Mana mungkin aku bercerita
Pov WahyuTok... Tok... Tok .... Suara pintu di ketuk. Bergegas aku berjalan menuju pintu. Karena tak mungkin membiarkan Wulan membuka pintu dengan keadaan seperti itu. Bisa kena bully nantinya. Kubuka pintu dengan kasar. Heran siapa yang bertamu pagi-pagi begini. Dasar tidak punya sopan santun. Sepasang suami istri dan dua anak kecil berdiri tepat di depan pintu. Ku telan saliva dengan susah payah. Siapa yang meminta mereka datang kemari. Gawat...! "Mas Rohmad ...," ucapku terbata. "Assalamu'alaikum ...," ucap Mas Rohmad dan Mbak Lia serempak. "Waalaikumsalam Mas, Mbak,mari masuk." Tanpa menjawab Mas Rohmad masuk ke dalam rumah, diikuti istri dan kedua anaknya. Ada yang aneh dengan kedatangan kakak iparku. Raut tak bersahabat tergambar jelas di wajah mereka. Apa jangan-jangan Wulan sudah mengadu kepada mereka tentang perlakuanku selama ini? Masalah besar jika benar dugaanku. Bisa di tendang dari rumah ini. Ah, tidak-tidak, aku suaminya tak ada hak Mas Rohmad mengusirku dar
Sejak kejadian kemarin, sudah kuputuskan untuk menyerah dalam pernikahan ini. Kata orang, rumah tangga akan langgeng setelah melewati lima tahun pertama pernikahan. Namun nyatanya tidak bagiku. Kini semua kandas karena keegoisan suamiku. Aku lelah berjuang sendiri, lebih baik menyerah. Kulepas dia dengan kesenangannya. Biarlah aku berjuang sendiri untuk Diana. Duduk di atas ranjang sambil sesekali memijit kepalaku yang terasa berdenyut. Kenangan suka dan duka bersama Mas Wahyu menari-nari di pelupuk mata. Ingin kubuang jauh-jauh tapi nyatanya masih melekat dalam ingatan. Rasanya seperti mimpi. Bohong jika aku tak rapuh? Bohong jika aku tak menangis melapas lelaki yang ku cintai. Tapi lebih menyakitkan jika kita berjuang namun tak pernah di hargai. Ponsel di atas nakas menjerit-jerit menyentakku dari lamunan masa lalu. Kuambil,panggilan dari Rika. Bingung, antara menerima atau menolak panggilan itu. Saat ini aku tak sanggup menjawab rentetan pertanyaan yang akan di lontarkan ibu at
Aku duduk di warung makan lesehan di pinggir alun-alun. Melihat keasyikan Diana bersama kakak sepupunya. Putri kecilku begitu gembira. Senyum yang tak penah dia tunjukkan saat bersama Mas Wahyu kini tergambar lebar. Diana pasti tersenyum, hanya aku tak dapat melihatnya karena tertutup masker. "Yah, main ke alun-alun yuk. Naik odong-odong," ucap Diana"Ayah gak punya uang, pergi sama ibu sana!" bentaknya hingga Diana masuk ke dalam kamar sambil menangis. "Ibu ... Sini!"teriak Diana membangunkanku dari lamunan masa lalu. Tangan putri kecilku melambai, meminta diriku segera mendekat ke arahnya. Berjalan perlahan mendekat ke arah Diana yang sedang asyik naik odong-odong. Odong-odong dengan bentuk mobil berbagai warna berputar,diiringi musik khas anak-anak. Menjadi daya tarik tersendiri untuk anak-anak. Aku duduk di sebelah Mas Rohmad dengan kursi plastik yang berada dekat dengan odong-odong. Akbar dan Diana tak henti-hentinya melambaikan tangan ke arah kami. Sesekali mereka ikut meny
Wulan membuka koper untuk mengambil pakaian ganti. Rasa lengket di tubuh membuatnya ingin segera mandi. Namun langkahnya terhenti saat Bagus masuk ke dalam kamar. Lelaki itu berjalan mendekat sambil menatap Wulan tak berkedip. Tatapan itu yang membuat jantung Wulan seketika berdetak dengan kencang. Tubuhnya terasa panas bagai tersengat aliran listrik. "Mas mau aku siapin pakaian ganti?" tanya Wulan sambil mengatur detak jantung yang kian kencang. Rasanya hampir terlepas dari singgasananya. Bagus hanya tersenyum lalu mengambil pakaian yang sudah berada di tangan Wulan. Baju itu diletakkan kembali di atas koper yang sudah dibuka. Mendadak rasa gugup singgah di hati Wulan. Ia tahu betul apa yang diinginkan suaminya. Bagus menuntut Wulan hingga berada di atas ranjang. Pandangan mereka mulai mengunci. Debaran hangat terasa di antara mereka berdua. Hingga akhirnya mereka menikmati indahnya surga dunia. ***Wulan, Bagus dan Diana sudah berdiri di lobi rumah sakit. Sengaja mereka hanya da
"Kita mau ke mana, bu?" tanya Diana. "Kita ke rumah ayah. Ayah kangen sama kamu, sayang." "Gak mau! Aku gak mau ketemu ayah!" Diana berlari masuk ke dalam rumah. Wulan dan Bagus saling pandang. Lalu Wulan meletakkan tas di kursi depan. Mengatur nafas yang terasa sesak. Bayangan Diana dipukul kembali menari-nari dalam angan. Dia sadar betul rasa trauma masih bersarang di hati putrinya, meski perlahan terkikis oleh kasih sayang Bagus. "Buar aku saja. Kamu di sini!" Langkah kaki Wulan terhenti mendengar perkataan sang suami. Walau sedikit ragu tapi ia menurut saja. Bagus berjalan cepat menuju kamar Diana yang ada di lantai atas. Perlahan membuka pintu yang tertutup rapat. Gadis kecil Wulan sedang menangis sesegukan di atas ranjang. Kejadian bersama Wahyu kembali berkeliaran di benaknya. Memori kelam yang berusaha ia lupakan. Meski tak bisa sama sekali untuk dihilangkan. Bagus segera duduk tepat di samping anak tirinya. Mengangkat kepala Diana lalu menghapus jejak air mata mengguna
Roda kehidupan memang tidak bisa diprediksi. Kemarin sedih sekarang bahagia atau justru sebaliknya. Seperti yang di rasakan Wulan. Penderitaan saat bersama Wahyu kini terganti dengan senyum bahagia. Bagus mampu menjadi suami serta ayah yang baik untuk Wulan dan anak-anaknya. Kini mereka hidup bahagia. Tak pernah ada pertengkaran di rumah tangga mereka. Sedikit cekcok karena perbedaan prinsip adalah hal biasa. "Mau ke mana, sayang?" tanya Bagus saat melihat Wulan sudah duduk di depan meja rias. Gamis soft pink dengan hijab berwarna senada kian menambah aura kecantikannya. Ya, walau tanpa riasan tebal di wajahnya. Wulan menghentikan gerakan tangan lalu menatap Bagus dari pantulan cermin di hadapannya. "Mau ke rumah Mas, pengen lihat laporan minggu ini. Mas mau ikut?""Boleh, tapi jangan ajak anak-anak ya! Sekali-kali jalan berdua," ucap Bagus seraya mengedipkan matanya. Wulan dan Bagus memang tak memiliki waktu banyak untuk berdua. Memiliki tiga anak membuat pasangan suami istri i
"Apa ada yang bernama Wulan dan Diana?" Langkah Rudi terhenti mendengar pertanyaan sang dokter.Sri dan Rika pun saling pandang. Mereka sangat terkejut dengan perkataan dokter itu.Dari mana dokter tahu Wulan dan Diana?Pertanyaan yang sama muncul di pikiran keluarga Wahyu. Dari awal mereka menginjakkan kaki di rumah sakit, tak sekalipun menyebut nama mantan istri dan anak Wahyu."Pasien mengigau dan memanggil nama Wulan dan Diana. Apa mereka keluarga pasien?" jawab dokter seperti dapat membaca pikiran mereka.Semua terdiam, bingung harus menjawab apa? Ingin mengatakan iya tapi takut sang dokter bertanya lebih jauh lagi. Di mana istrinya mungkin? Dan itu akan membuka aib Wahyu."Mereka anak dan mantan istrinya, dok," jawab Sri pelan."Kalau bisa mereka diminta ke mari. Siapa tahu pasien akan cepat sembuh saat mereka datang."Sri hanya mengangguk hingga dokter itu kembali masuk ke ruang IGD.Semua terdiam, Rudi yang hendak mengurus administrasi justru diam di tempat. Seakan ada magne
Pov Author"Rika!Rika!" Teriak Sri mengejutkan sangat putri. Dengan berlari Rika menuju sumber suara.Rika kebingungan melihat Sri menangis tersedu di samping Wahyu. Apa Wahyu telah meninggal? Pertanyaan itu yang sempat hadir di benar gadis berambut sepunggung itu."Mas Wahyu kenapa, Bu?" tanya Wulan seraya menyentuh pergelangan tangan sang kakak. Dia memastikan apakah Wahyu masih hidup atau sudah meninggal. Masih terasa denyut nadi. Itu tandanya Wahyu belum dipanggil sang Maha Kuasa."Wahyu tidak bangun-bangun Rik. Ibu takut terjadi apa-apa dengannya. Tolong kamu panggilkan Masmu. Minta dia antarkan Wahyu ke rumah sakit." Rika mengangguk lalu segera menuju kamar untuk menelepon Rudi.Sri menangis melihat tubuh Wahyu yang kian kurus. Setelah menelepon Wulan beberapa minggu yang lalu, Wahyu semakin terpuruk. Rasa menyesal tertancap dalam di sanubari lelaki itu. Tak ada lagi semangat untuk sembuh. Dia terpukul mengetahui wanita yang ia cintai sudah memiliki tambatan hati lain."Semanga
Pov Wahyu"Ibu! Ibu!" Suara Mbak Yuli terdengar nyaring hingga menghancurkan gendang telinga. "Ibu!" Teriaknya lagi saat ibu tak kunjung menyahut. Kakak iparku itu memang tak memiliki sopan santun. Berteriak di rumah orang pagi-pagi begini. Kalau aku bisa jalan sudah ku tampar dia. Sayang, aku masih mengandalkan uang Mas Rudy untuk biaya berobat. Kalau aku sudah sembuh dia pasti tidak semena-mena kepada kami. Aku memilih diam dan pura-pura tidur saat mendengar teriakan Mbak Yuli. Melawan Mbak Yuli tak akan pernah ada habisnya. Dia selalu bersikap seolah-olah dia paling benar. Sungguh menyebalkan! BRAAKPintu kamar dibuka kasar dari luar. Mbak Yuli menatap nyalang seraya berkacak pinggang di depan pintu. Niat hati pura-pura tidur gagal karena Mbak Yuli lebih dahulu masuk ke kamar. "Ibu tidak ada, mbak. Mungkin sedang ke warung," jawabku asal karena aku tidak tahu ibu ke mana. Dari bangun tidur aku belum keluar kamar. Jangankan untuk keluar, tubuhku saja sudah tak ada tenaganya, l
Aku dan Mas Bagus diam, bingung harus menjawab apa. Kami hanya melihat Bu Handayani tadi setelah memberikan gaji pada karyawan Mas Rohmad. Setelah itu kami berada di rumah. Kami juga tidak mendengar jeritan orang minta tolong. "Saya sudah mencari ke sekitar rumah. Tapi tetap tidak ada." Pak Abdul menjatuhkan bobot di sofa ruang keluarga. Aku dan Mas Bagus berdiri, ingin duduk tapi tidak ada tempat. "Kita lapor polisi saja, Pak. Jangan pegang apa pun. Siapa tahu ini tindakan kriminal." Pak Abdul mengangguk lalu beranjak berdiri. Kami berjalan meninggalkan rumah Pak Abdul menuju mobil Mas Bagus yang masih terparkir di halaman rumah. Mas Bagus segera berlari ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil dan menitipkan anak-anak kepada Bik Lastri. "Sabar, Pak." Pak Abdul mengangguk dengan pandangan lurus ke depan. "Ayo masuk!" ucap Mas Bagus seraya berlari menuju mobil. Aku dan Pak Abdul segera mengekor. Suara mobil berhenti di jalan depan rumah terdengar saat aku hendak membuka pint
"Wulan! Akbar!" Sama-sama terdengar suara orang memanggil namaku dan Akbar bergantian. "Mas dengar orang panggil namaku gak?" Mas Bagus diam seraya mempertajam pendengarannya. Tak berapa lama lelaki itu justru tersenyum ke arahku. "Mas juga dengar," ucapnya seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku hanya memperhatikan sikapnya. "Berarti aku gak salah dengar kan, aku keluar dulu, Mas." Aku beranjak berdiri, sambil membungkukkan badan saat melewati Mas Bagus. "Mau ke mana?" Mas Bagus mencekal tangan kananku. Ku hentikan langkah seraya menatap bingung ke arahnya. "Mau ke depan, tadi ada yang manggil, Mas. Katanya Mas Bagus denger!""Mendekat!" Aku mengernyitkan dahi mendengar perintahnya. Ini aku mau melihat tamu tapi justru diminta mendekat. Namun aku tetap saja melakukannya. Entahlah, ucapan Mas Bagus seakan memiliki magnet hingga aku menurut saja. "Yang manggil itu di sini!" Mas Bagus menyentuh dadanya. Seketika wajahku menjadi merah merona. "Ya jadi merah pipinya, sudah s
"Aw ... Sakit!" teriak Handayani saat kakinya menginjak pecahan vas yang berserakan di atas lantai. Kaki tanpa alas mempermudah kaca itu masuk ke dalam kulitnya. Handayani meringis kesakitan. Darah segar keluar dari kaki kanannya. Seketika lantai keramik berwana putih itu berubah warna menjadi merah merona. Handayani berusaha mencabut pecahan kaca yang masuk ke dalam kulitnya. Satu cabutan membuat darah semakin mengalir banyak. Namun rasa sakit itu belum juga reda. Rupanya tidak hanya satu kaca yang masuk. Ada beberapa kaca kecil yang masuk lebih dalam. Mata tua Handayani tak bisa melihat lebih jelas di mana luka itu berada. "Abdul! Abdul!" Teriak Handayani. Handayani lupa jika suaminya sedang pergi. Dia terus saja berteriak. Namun sampai pita suaranya rusak pun Abdul tidak akan mendengar. Lelaki bertubuh tambun itu sedang menjemput tukang urut yang ada di kampung sebelah. Nahas, motor yang dikendarai Abdul mogok di jalan. Lelaki itu harus mencari bengkel yang letaknya lumayan ja