Melajukan kendaraan roda duaku dengan kecepatan tiga puluh kilometer perjam. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi,mengingat penghianatan suamiku. Hingga sesekali aku harus menepi karena mata berkabut dan pandangan mulai kabur. Biar hancur hatiku namun aku harus tetap fokus mengendarai sepeda motor. Masih ada Diana yang menunggu kepulanganku. Aku menepi di halaman sebuah toko mainan anak-anak. Melihat dari luar begitu banyak mainan yang berjajar rapi di sana. Teringat putri kecilku yang hanya memiliki mainan sedikit. Bisa dihitung dengan jari. Bulir bening dan hangat mengalir tanpa bisa kubendung. Dada terasa sesak mengingat perlakuan Mas Wahyu padaku dan Diana. Dia lebih memilih menyenangkan hati perempuan lain dari pada darah dagingnya sendiri. "Do'akan ibu ya nak, biar suatu saat bisa membelikan mainan untukmu," batinku. Beberapa pasang mata menatap ke arahku. Ada yang penuh tanda tanya, ada pula yang merasa iba dan lebih tepatnya banyak pasang mata yang melihatk
Bijaklah dalam membaca. Syok, satu kata yang mengungkapkan perasaanku saat ini. Bagaimana mungkin kakak kandungku sendiri meminta Wulan untuk bercerai denganku. Dimana hati dan pikirannya? Kalau bukan kakakku sudah ku hajar hingga terkapar. Bukankah harusnya dia membelaku, adik kandungnya sendiri. Dasar Mas Rudi tidak punya akhlak. Di situasi seperti ini, aku tak punya pilihan lain. Ya, mau tidak mau aku harus menyetujuhi permintaan Wulan untuk menambah jatah bulanan. Sialan! Aku harus putar otak untuk mencari uang lagi karena masih banyak hutang ku dengan tante Mona. Sabar Wahyu, ini hanya sementara sampai aku bisa merebut kepercayaan Wulan lagi. Setelah dia luluh, akan ku kurangi jatah bulanannya untuk membayar hutang. Aku memang memiliki hutang banyak akibat kalah judi. Dan mau tidak mau aku harus berhutang pada tante Mona. Meski aku sudah mengangsurnya, namun hutangku masih saja menggunung. Itu karena aku selalu menambah hutang untuk berjudi. Apakah Wulan tahu? Tentu saja t
Aku berdoa dalam hati meminta Allah menyelamatkan belahan jiwaku. Sebawelnya Wulan, aku sangat mencintainya. Sungguh tak bisa kubayangkan jika harus berpisah dengannyaTaksi online yang kunaiki berhenti tepat di depan bangunan bertingkat empat. "Sudah sampai,Pak," ucap driver taksi online. Segera kuberikan uang padanya. "Terima kasih,Pak, bisa tolong bukakan pintu." Driver itu mengangguk lalu segera keluar mobil untuk membukakan pintu belakang. Membopong tubuh langsing istriku menuju IGD, aku baru menyadari tubuh wanita yang menemaniku selama tujuh tahun ini semakin kurus. Apa dia tersiksa hidup denganku? Kubuang jauh-jauh prasangka ini. Lekas masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan bau obat-obatan,kutidurkan Wulan di atas brankar. Seorang suster dan seorang dokter dengan cepat berjalan mendekat. "Tolong istri saya,Dok!""Kenapa kepala istri anda bisa sampai bocor begini Pak?" tanyanya sambil memeriksa kepala Wulan. Kutelan saliva dengan susah payah. Mana mungkin aku bercerita
Pov WahyuTok... Tok... Tok .... Suara pintu di ketuk. Bergegas aku berjalan menuju pintu. Karena tak mungkin membiarkan Wulan membuka pintu dengan keadaan seperti itu. Bisa kena bully nantinya. Kubuka pintu dengan kasar. Heran siapa yang bertamu pagi-pagi begini. Dasar tidak punya sopan santun. Sepasang suami istri dan dua anak kecil berdiri tepat di depan pintu. Ku telan saliva dengan susah payah. Siapa yang meminta mereka datang kemari. Gawat...! "Mas Rohmad ...," ucapku terbata. "Assalamu'alaikum ...," ucap Mas Rohmad dan Mbak Lia serempak. "Waalaikumsalam Mas, Mbak,mari masuk." Tanpa menjawab Mas Rohmad masuk ke dalam rumah, diikuti istri dan kedua anaknya. Ada yang aneh dengan kedatangan kakak iparku. Raut tak bersahabat tergambar jelas di wajah mereka. Apa jangan-jangan Wulan sudah mengadu kepada mereka tentang perlakuanku selama ini? Masalah besar jika benar dugaanku. Bisa di tendang dari rumah ini. Ah, tidak-tidak, aku suaminya tak ada hak Mas Rohmad mengusirku dar
Sejak kejadian kemarin, sudah kuputuskan untuk menyerah dalam pernikahan ini. Kata orang, rumah tangga akan langgeng setelah melewati lima tahun pertama pernikahan. Namun nyatanya tidak bagiku. Kini semua kandas karena keegoisan suamiku. Aku lelah berjuang sendiri, lebih baik menyerah. Kulepas dia dengan kesenangannya. Biarlah aku berjuang sendiri untuk Diana. Duduk di atas ranjang sambil sesekali memijit kepalaku yang terasa berdenyut. Kenangan suka dan duka bersama Mas Wahyu menari-nari di pelupuk mata. Ingin kubuang jauh-jauh tapi nyatanya masih melekat dalam ingatan. Rasanya seperti mimpi. Bohong jika aku tak rapuh? Bohong jika aku tak menangis melapas lelaki yang ku cintai. Tapi lebih menyakitkan jika kita berjuang namun tak pernah di hargai. Ponsel di atas nakas menjerit-jerit menyentakku dari lamunan masa lalu. Kuambil,panggilan dari Rika. Bingung, antara menerima atau menolak panggilan itu. Saat ini aku tak sanggup menjawab rentetan pertanyaan yang akan di lontarkan ibu at
Aku duduk di warung makan lesehan di pinggir alun-alun. Melihat keasyikan Diana bersama kakak sepupunya. Putri kecilku begitu gembira. Senyum yang tak penah dia tunjukkan saat bersama Mas Wahyu kini tergambar lebar. Diana pasti tersenyum, hanya aku tak dapat melihatnya karena tertutup masker. "Yah, main ke alun-alun yuk. Naik odong-odong," ucap Diana"Ayah gak punya uang, pergi sama ibu sana!" bentaknya hingga Diana masuk ke dalam kamar sambil menangis. "Ibu ... Sini!"teriak Diana membangunkanku dari lamunan masa lalu. Tangan putri kecilku melambai, meminta diriku segera mendekat ke arahnya. Berjalan perlahan mendekat ke arah Diana yang sedang asyik naik odong-odong. Odong-odong dengan bentuk mobil berbagai warna berputar,diiringi musik khas anak-anak. Menjadi daya tarik tersendiri untuk anak-anak. Aku duduk di sebelah Mas Rohmad dengan kursi plastik yang berada dekat dengan odong-odong. Akbar dan Diana tak henti-hentinya melambaikan tangan ke arah kami. Sesekali mereka ikut meny
Sudah hampir sepuluh hari Rohmad dan keluarganya tinggal di rumah masa kecilnya. Rumah yang selalu dia rindukan. Meski sekarang rumah kedua orang tuanya telah diberikan kepada adik kandungnya, Wulan.Tak menyangka kedatangannya kali ini membuka kebusukan Wahyu yang mati-matian ditutupi oleh Wulan. Untung saja Nilam menceritakan pada Rohmad prahara rumah tangga adiknya itu. Dari awal Rohmad memang tak menyukai Wahyu namun Wulan justru memperjuangkan lelaki yang tidak bertanggung jawab itu hingga membuat Rohmad luluh dan merestui hubungan mereka. Seberapa besar Rohmad menyesali namun nasi telah menjadi bubur. Tak mungkin bisa mengulang masa lalu. Yang terpenting baginya saat ini,Wulan dan Diana tidak menderita lagi. Samar-samar terdengar adzan magrib berkumandang. Rohmad segera beranjak dari duduknya. Berjalan ke belakang untuk berwudhu. "Akbar sudah siap?" tanya Rohmad di depan pintu kamarnya. Lelaki yang sudah memakai baju koko berserta sarung itu tengah menanti sangat buah hati
Pov Wahyu"Kok tidak jadi beli martabak manis,Yah?" tanya Diana saat kami baru sampai di depan rumah kontrakanku. Gara-gara Wulan dan kakaknya tempo hari terpaksa aku harus menambah daftar hutang pada tante Mona.Padahal baru beberapa hari yang lalu aku menukar tubuhku untuk membayar hutang setengahnya. Ini justru bertambah lagi. Semua ini gara-gara Wulan. Dasar istri tidak tahu diri. Awas setelah ini kamu akan menangis darah dan memohon padaku untuk kembali. "Yah, kapan beli martabak manisnya? Nanti keburu tutup lho!" ucap Diana memancing emosiku. Ibu dan anak sama saja. Tidak berguna! "Bisa diam tidak!" bentakku, seketika wajah Diana terihat pias. Dia diam tanpa berani meminta martabak manis yang tadi ku janjikan. Dasar anak bo**h tidak tahu jika tadi aku hanya berbohong supaya dia mau ikut denganku. Mana sudi aku membelikannya martabak manis yang harganya lumayan. Lebih baik belik rokok dari pada martabak. "Ayo masuk, jangan hanya diam di situ!" Kutarik dengan kasar tangan mun