Aku duduk di warung makan lesehan di pinggir alun-alun. Melihat keasyikan Diana bersama kakak sepupunya. Putri kecilku begitu gembira. Senyum yang tak penah dia tunjukkan saat bersama Mas Wahyu kini tergambar lebar. Diana pasti tersenyum, hanya aku tak dapat melihatnya karena tertutup masker. "Yah, main ke alun-alun yuk. Naik odong-odong," ucap Diana"Ayah gak punya uang, pergi sama ibu sana!" bentaknya hingga Diana masuk ke dalam kamar sambil menangis. "Ibu ... Sini!"teriak Diana membangunkanku dari lamunan masa lalu. Tangan putri kecilku melambai, meminta diriku segera mendekat ke arahnya. Berjalan perlahan mendekat ke arah Diana yang sedang asyik naik odong-odong. Odong-odong dengan bentuk mobil berbagai warna berputar,diiringi musik khas anak-anak. Menjadi daya tarik tersendiri untuk anak-anak. Aku duduk di sebelah Mas Rohmad dengan kursi plastik yang berada dekat dengan odong-odong. Akbar dan Diana tak henti-hentinya melambaikan tangan ke arah kami. Sesekali mereka ikut meny
Sudah hampir sepuluh hari Rohmad dan keluarganya tinggal di rumah masa kecilnya. Rumah yang selalu dia rindukan. Meski sekarang rumah kedua orang tuanya telah diberikan kepada adik kandungnya, Wulan.Tak menyangka kedatangannya kali ini membuka kebusukan Wahyu yang mati-matian ditutupi oleh Wulan. Untung saja Nilam menceritakan pada Rohmad prahara rumah tangga adiknya itu. Dari awal Rohmad memang tak menyukai Wahyu namun Wulan justru memperjuangkan lelaki yang tidak bertanggung jawab itu hingga membuat Rohmad luluh dan merestui hubungan mereka. Seberapa besar Rohmad menyesali namun nasi telah menjadi bubur. Tak mungkin bisa mengulang masa lalu. Yang terpenting baginya saat ini,Wulan dan Diana tidak menderita lagi. Samar-samar terdengar adzan magrib berkumandang. Rohmad segera beranjak dari duduknya. Berjalan ke belakang untuk berwudhu. "Akbar sudah siap?" tanya Rohmad di depan pintu kamarnya. Lelaki yang sudah memakai baju koko berserta sarung itu tengah menanti sangat buah hati
Pov Wahyu"Kok tidak jadi beli martabak manis,Yah?" tanya Diana saat kami baru sampai di depan rumah kontrakanku. Gara-gara Wulan dan kakaknya tempo hari terpaksa aku harus menambah daftar hutang pada tante Mona.Padahal baru beberapa hari yang lalu aku menukar tubuhku untuk membayar hutang setengahnya. Ini justru bertambah lagi. Semua ini gara-gara Wulan. Dasar istri tidak tahu diri. Awas setelah ini kamu akan menangis darah dan memohon padaku untuk kembali. "Yah, kapan beli martabak manisnya? Nanti keburu tutup lho!" ucap Diana memancing emosiku. Ibu dan anak sama saja. Tidak berguna! "Bisa diam tidak!" bentakku, seketika wajah Diana terihat pias. Dia diam tanpa berani meminta martabak manis yang tadi ku janjikan. Dasar anak bo**h tidak tahu jika tadi aku hanya berbohong supaya dia mau ikut denganku. Mana sudi aku membelikannya martabak manis yang harganya lumayan. Lebih baik belik rokok dari pada martabak. "Ayo masuk, jangan hanya diam di situ!" Kutarik dengan kasar tangan mun
Malam mulai menjelang, samar-samar terdengar azan magrib berkumandang. Wulan masih saja terpaku duduk di teras. Matanya lurus menatap jalan. Pandangan kosong dengan bulir bening menetes membasahi pipi putihnya. Hati ibu mana yang tak sakit dan bingung saat buah hatinya entah ada di mana. Begitu pula Wulan, hatinya kalang kabut tidak menentu saat tahu Diana bersama suaminya, Wahyu. Dia memang ayah kandung namun sikapnya selalu kasar dan menakutkan. Itu yang mebuat Wulan semakin takut. Beberapa kali dia menyentuh layar benda pipih miliknya. Mencoba menghubungi Rohamd. Namun sang kakak tak kunjung mengangkat panggilannya. Hingga membuat wanita berhijab toska itu semakin kebingungan. Wahyu hanya memberikan waktu dau hari untuk berpikir,lusa dia harus memberikan jawaban. Bagaimana Wulan bisa menjawab sedang pikirannya kacau balau. Lia berdiri beberapa saat di balik pintu. Menatap iba adik iparnya. Sebagai seorang ibu, dia tahu apa yang tengah Wulan rasakan. Bahkan jika berada dalam pos
Panas terik matahari mulai terasa di kulit Wahyu.Benar saja karena jarum jam sudah menunjukkan angka satu. Di tambah lelaki dengan tubuh tegap itu hanya mengenakan kaos oblong warna abu. Ia berdiri di tepi jalan dengan mata awas menatap setiap penjuru. Mencari putri kecilnya yang hilang begitu saja. Rasa lelah mendorongnya untuk berhenti sejenak. Menepi duduk di bawah pohon beringin sambil memesan es kelapa muda yang ada tak jauh dari tempatnya duduk. Wahyu memijit kepala yang terasa berdenyut. Lagi, dia mengingat kapan terakhir kali bersama dengan Diana. Seingat lelaki itu, dia meninggalkan Diana ke kamar mandi untuk buang air besar. Kamar mandi memang terletak terpisah dengan rumah. Hanya berjarak tiga meter saja. Rasa kantuk membuatnya enggan mengantar Diana ke kamar mandi. Hingga dia terbangun dan mendapati putrinya sudah tak ada di kamar mandi. Di rumah pun tak ada sosok kecil yang dijadikannya alasan untuk tetap mengikat Wulan dalam ikatan pernikahan. Bodoh, dia merutuki dir
Wulan menanti kata yang keluar dari mulut Wahyu dengan perasaan tak menentu. Ia yakin putrinya tidak tidak baik-baik saja. Diamnya lelaki di sambungan telepon meyakinkan hatinya jika putri kecilnya kini tak bersama Wahyu. "Kenapa diam Mas? Dimana Diana?" Bentak Wulan karena Wahyu hanya diam membisu. Hening, Wahyu tak kunjung menjawab pertanyaan Wulan. Dia masih berpikir bagaimana caranya agar Wulan tan marah jika dia berkata jujur"Mas Wahyu ...!" Bentak Wulan lagi. "Maaf Lan, Diana ... Diana hilang." Ucap Wahyu terbata. "Kamu apakan anakku Mas? Bahkan dia memilih kabur dari pada tinggal bersama ayah kandungnya. Ayah macam apa kamu?hiks ... Hiks ...."Ucap Wulan diiringi tangis. Wanita yang memakai hijab warna ungu itu tak bisa lagi membendung air mata. Dadanya terasa sesak kala membayangkan Wahyu bertindak kejam pada putrinya. Dalam hati ,tak ada lagi rasa cinta dan hormat untuk lelaki yang masih menyandang gelar suami. Kini bagi Wulan, suaminya telah mati. Rasa benci dan kecewa
Pov WulanAssalamu'alaikum ...," sapaku sedikit ragu. "Waalaikumsalam, maaf apa benar ini nomor ibu Wulan?" tanya seorang pria di seberang sana. Entah siapa aku tak tahu. Karena ini pun nomor baru. "Iya, ini siapa ya?"tanyaku penasaran. "Maaf Bu, putri ibu ada di rumah saya,"ucapnya. Mataku membola,mencubit tangan barang kali aku salah mendengar atau apa. Aku tak ingin terbawa suasana hingga dengan mudah orang lain membohongiku bahkan menipun. Sekarang banyak orang melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan uang, tidak perduli itu halal atau haram. "Maaf dengan siapa,ya? Dari mana anda tahu jika saya sedang mencari putri saya? Dari mana anda mendapatkan nomor saya?" Kuberondong dengan berbagai pertanyaan. Sejenak dia diam, aku semakin penasaran dengan kata yang akan dia ucapkan padaku. Ya Allah, semoga saja Diana benar ada di sana. Aku tak tahu harus mencari kemana lagi. "Hallo ...," ucapku lagi. "Di loudspeaker,Lan!" perintah Mas Rohmad dengan berbisik. Kuanggukan kepal
Aku menata beberapa pakaian Diana ke dalam tas besar. Ya, hanya pakaian yang masih terlihat bagus yang aku masukkan karena sudah lama Diana tidak kubelikan pakaian. Bagaimana mau membelikan baju sedang untuk makan saja sudah pas-pasan. Mas Wahyu bahkan tak memperdulikan semua itu. Hanya kesenangan sendiri yang ia pikirkan. Dadaku terasa sesak kalau mengigat semuanya. Foto kopi akta dan kartu keluarga sudah kumasukkan ke dalam tas bagian depan. Ya, karena rencananya Diana akan sekolah di Cilacap bersama Mas Rohmad dan Mbak Lia. Sesekali ku hapus bulir bening yang menempel di pipi. Rasanya begitu berat harus berpisah dengan putriku. "Untuk sementara biar Diana tinggal bersama kami, Lan. Mas akan sekolahkan dia bersama Akbar. Mereka berdua pasti senang. Kalau di sini, aku khawatir Wahyu melakukan hal gila pada Diana. Dia begitu nekad dan egois.""Kamu lihat tubuh Diana, penuh dengan luka lebam akibat ulah Wahyu. Tolong, untuk saat ini nurut sama Mas. Kami akan menjaga putrimu dengan