Wulan menanti kata yang keluar dari mulut Wahyu dengan perasaan tak menentu. Ia yakin putrinya tidak tidak baik-baik saja. Diamnya lelaki di sambungan telepon meyakinkan hatinya jika putri kecilnya kini tak bersama Wahyu. "Kenapa diam Mas? Dimana Diana?" Bentak Wulan karena Wahyu hanya diam membisu. Hening, Wahyu tak kunjung menjawab pertanyaan Wulan. Dia masih berpikir bagaimana caranya agar Wulan tan marah jika dia berkata jujur"Mas Wahyu ...!" Bentak Wulan lagi. "Maaf Lan, Diana ... Diana hilang." Ucap Wahyu terbata. "Kamu apakan anakku Mas? Bahkan dia memilih kabur dari pada tinggal bersama ayah kandungnya. Ayah macam apa kamu?hiks ... Hiks ...."Ucap Wulan diiringi tangis. Wanita yang memakai hijab warna ungu itu tak bisa lagi membendung air mata. Dadanya terasa sesak kala membayangkan Wahyu bertindak kejam pada putrinya. Dalam hati ,tak ada lagi rasa cinta dan hormat untuk lelaki yang masih menyandang gelar suami. Kini bagi Wulan, suaminya telah mati. Rasa benci dan kecewa
Pov WulanAssalamu'alaikum ...," sapaku sedikit ragu. "Waalaikumsalam, maaf apa benar ini nomor ibu Wulan?" tanya seorang pria di seberang sana. Entah siapa aku tak tahu. Karena ini pun nomor baru. "Iya, ini siapa ya?"tanyaku penasaran. "Maaf Bu, putri ibu ada di rumah saya,"ucapnya. Mataku membola,mencubit tangan barang kali aku salah mendengar atau apa. Aku tak ingin terbawa suasana hingga dengan mudah orang lain membohongiku bahkan menipun. Sekarang banyak orang melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan uang, tidak perduli itu halal atau haram. "Maaf dengan siapa,ya? Dari mana anda tahu jika saya sedang mencari putri saya? Dari mana anda mendapatkan nomor saya?" Kuberondong dengan berbagai pertanyaan. Sejenak dia diam, aku semakin penasaran dengan kata yang akan dia ucapkan padaku. Ya Allah, semoga saja Diana benar ada di sana. Aku tak tahu harus mencari kemana lagi. "Hallo ...," ucapku lagi. "Di loudspeaker,Lan!" perintah Mas Rohmad dengan berbisik. Kuanggukan kepal
Aku menata beberapa pakaian Diana ke dalam tas besar. Ya, hanya pakaian yang masih terlihat bagus yang aku masukkan karena sudah lama Diana tidak kubelikan pakaian. Bagaimana mau membelikan baju sedang untuk makan saja sudah pas-pasan. Mas Wahyu bahkan tak memperdulikan semua itu. Hanya kesenangan sendiri yang ia pikirkan. Dadaku terasa sesak kalau mengigat semuanya. Foto kopi akta dan kartu keluarga sudah kumasukkan ke dalam tas bagian depan. Ya, karena rencananya Diana akan sekolah di Cilacap bersama Mas Rohmad dan Mbak Lia. Sesekali ku hapus bulir bening yang menempel di pipi. Rasanya begitu berat harus berpisah dengan putriku. "Untuk sementara biar Diana tinggal bersama kami, Lan. Mas akan sekolahkan dia bersama Akbar. Mereka berdua pasti senang. Kalau di sini, aku khawatir Wahyu melakukan hal gila pada Diana. Dia begitu nekad dan egois.""Kamu lihat tubuh Diana, penuh dengan luka lebam akibat ulah Wahyu. Tolong, untuk saat ini nurut sama Mas. Kami akan menjaga putrimu dengan
Mengeluarkan ayam dari freezer, aku akan memasak ayam goreng tepung, menu kesukaan Diana. Kumasakkan menu sepesial sebagai tanda perpisahan dengan putri kecilku. Sesekali kuhapus air mata yang menetes dengan tangan. Rasanya begitu berat harus berpisah dengan putri kecilku. Karena dialah separuh jiwaku. Tapi aku harus tetap kuat , biar sepahit apapun, toh ini demi kebaikannya. Kuletakkan hasil masakanku di atas meja. Sebagainya sudah kumasukkan ke dalam rantang. Walau belum ku tutup karena masih panas. Sengaja membawakan mereka makanan karena takut anak-anak kelaparan di tengah perjalanan. Ku sisir rambut hitam dan panjang milik Diana. Ku kuncir dua agar tidak berantakan di jalan. "Diana gak boleh nakal ya di rumah pakde Rohmad, nurut dengan apa yang di bilang Pakde dan Budhe." Ucapku sedikit terbata karena menahan air mata yang jatuh. "Kenapa ibu gak ikut ke rumah Pakde? Diana maunya sama ibu saja." Rengeknya membuat hatiku tersayat-sayat. "Lho, katanya kemarin Diana mau ting
Kupandangi foto Diana yang ada di geleri ponsel. Tanpa terasa air mata mengalir membasahi pipi. Sesak kembali memenuhi dada. Ibu mana yang tak sedih jika harus berpisah dengan anaknya. Mungkin, ada beberapa ibu yang justru menyiksa dan kejam pada anaknya. Ada pula seorang ibu yang tega membuang anak yang baru dilahirkan. Tapi itu bisa dihitung dengan jari saja. Selebihnya seorang ibu akan memperjuangkan hidup dan matinya untuk buah hati mereka. Begitupun diriku. Inilah bukti pengorbananku demi munculnya senyum indah Diana. Bukan ... Bukan aku kejam membiarkan putriku hidup jauh dariku. Tapi semua ini demi kebaikan dan kebahagiaannya. Seminggu sudah hidup seorang diri. Rumah terasa sepi, tak ada canda dan tawa Diana. Meski setiap hari aku selalu menghubunginya melalui video call. Namun tak bisa sepenuhnya mengobati rasa rinduku. Ingin rasanya kupeluk tubuh mungilnya, menemaninya saat makan maupun tidur. Tapi kini jarak membentang diantara kami. Aku sempat terpuruk, terasa dunia be
Mataku membola saat melihat seseorang yang berdiri di hadapanku. Rasa khawatir kembali merasuki hati.Mau apa lagi dia kamari? Tak cukupkah rasa sakit yang telah dia beri padaku? "Mau apa kamu datang lagi kemari?" Ketusku.Mas Wahyu tersenyum menyeringai lalu masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak ada sopan-sopannya. "Mau marah karena aku masuk rumahmu begitu saja?"ucap Mas Wahyu lalu menjatuhkan bobot di kursi tanpa rasa bersalah. Kemana urat malunya? Dasar lelaki tak punya pikiran. Aku menyilangkan kedua tangan di dada sambil menatap tajam ke arahnya. Tak ada lagi rasa hormat. Seperti saat masih tinggal bersama. Rasa itu telah mati dengan sendirinya. "Buatkan aku minum,Lan. Suami datang bukan di siapkan minuman tapi justru menyambutnya dengan wajah masam." Tangannya menyalakan rokok lalu mulai menghisapnya."Suami macam apa yang memberi nafkah tak layak pada istrinya?"ketusku.Mas Wahyu menatapku tajam. Kaget mungkin dengan ucapanku. Belum pernah aku menjawab dengan nada tinggi
Pov Wahyu"Sebentar lagi undangan panggilan sidang perceraian kita akan segera turun. Persiapkan dirimu, Mas."Ucapan Wulan kembali terngiang di telinga. Benarkah ia ingin berpisah denganku. Bukankah dia sangat mencintaiku. Kalau anak muda jaman sekarang mengatakannya bucin. Aku tahu dia pasti berbohong. Mana mungin Wulan senekat itu?Tidak! Tidak! Wulan tak mungkin menggugat cerai. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Banyak kenangan manis yang kami lewati bersama. Terlebih ada Diana di antara kami. Mana mungkin dia tega memisahkan ayah dengan putrinya. Duduk di kursi tua dengan pandangan mata lurus ke depan. Sesekali memijit kepala yang terasa berdenyut. Pusing memikirkan cara menarik hati Wulan kembali. Mobil merah berhenti tepat di depan rumahku. Kenapa dia datang lagi? Astaga jangan bilang kalau tante Mona ingin meminta uang? Aku mana punya uang. "Ko lihatinnya gitu sih sayang? Aku tidak diajak masak nih?" Wanita dengan tubuh aduhai itu mengelus pundakku. Geli dan merinding
Pov Wulan"Wulan!" Terdengar jelas seseorang memanggilku. Dari suaranya aku tahu betul dia Mas Wahyu. Untuk apa lagi dia kemari? Dasar lelaki tak tahu malu. Melangkah menuju pintu depan. Aku terkejut saat Mas Wahyu datang dengan seorang wanita patuh baya. Ya, dia pernah ku lihat ada di dalam hotel bersama calon mantan suamiku. Tapi untuk apa dia datang menemuiku dengan bermesraan begitu? Apa dia kira aku akan cemburu melihatnya? Ah,tidak! Aku justru jijik melihat sepasang kekasih beda usia itu. Sengaja tak ku persilahkan masuk karena aku malas melihat wajah ayah Diana. "Aku tak akan mempensulit perceraian kita karena aku sudah menikah dengan Mona. Jangan pernah menghubungiku lagi!"Aku terkejut mendengar pengakuan Mas Wahyu. Dia menikahi wanita yang pantas menjadi ibunya. Ya Allah, apa demi uang dia mau menikahi wanita itu? Memang tak ada larangan seorang lelaki memiliki istri lebih satu. Tapi kenapa tidak menunggu kami resmi berpisah? Atau dia memang sengaja melakukannya agar a