Aku menata beberapa pakaian Diana ke dalam tas besar. Ya, hanya pakaian yang masih terlihat bagus yang aku masukkan karena sudah lama Diana tidak kubelikan pakaian. Bagaimana mau membelikan baju sedang untuk makan saja sudah pas-pasan. Mas Wahyu bahkan tak memperdulikan semua itu. Hanya kesenangan sendiri yang ia pikirkan. Dadaku terasa sesak kalau mengigat semuanya. Foto kopi akta dan kartu keluarga sudah kumasukkan ke dalam tas bagian depan. Ya, karena rencananya Diana akan sekolah di Cilacap bersama Mas Rohmad dan Mbak Lia. Sesekali ku hapus bulir bening yang menempel di pipi. Rasanya begitu berat harus berpisah dengan putriku. "Untuk sementara biar Diana tinggal bersama kami, Lan. Mas akan sekolahkan dia bersama Akbar. Mereka berdua pasti senang. Kalau di sini, aku khawatir Wahyu melakukan hal gila pada Diana. Dia begitu nekad dan egois.""Kamu lihat tubuh Diana, penuh dengan luka lebam akibat ulah Wahyu. Tolong, untuk saat ini nurut sama Mas. Kami akan menjaga putrimu dengan
Mengeluarkan ayam dari freezer, aku akan memasak ayam goreng tepung, menu kesukaan Diana. Kumasakkan menu sepesial sebagai tanda perpisahan dengan putri kecilku. Sesekali kuhapus air mata yang menetes dengan tangan. Rasanya begitu berat harus berpisah dengan putri kecilku. Karena dialah separuh jiwaku. Tapi aku harus tetap kuat , biar sepahit apapun, toh ini demi kebaikannya. Kuletakkan hasil masakanku di atas meja. Sebagainya sudah kumasukkan ke dalam rantang. Walau belum ku tutup karena masih panas. Sengaja membawakan mereka makanan karena takut anak-anak kelaparan di tengah perjalanan. Ku sisir rambut hitam dan panjang milik Diana. Ku kuncir dua agar tidak berantakan di jalan. "Diana gak boleh nakal ya di rumah pakde Rohmad, nurut dengan apa yang di bilang Pakde dan Budhe." Ucapku sedikit terbata karena menahan air mata yang jatuh. "Kenapa ibu gak ikut ke rumah Pakde? Diana maunya sama ibu saja." Rengeknya membuat hatiku tersayat-sayat. "Lho, katanya kemarin Diana mau ting
Kupandangi foto Diana yang ada di geleri ponsel. Tanpa terasa air mata mengalir membasahi pipi. Sesak kembali memenuhi dada. Ibu mana yang tak sedih jika harus berpisah dengan anaknya. Mungkin, ada beberapa ibu yang justru menyiksa dan kejam pada anaknya. Ada pula seorang ibu yang tega membuang anak yang baru dilahirkan. Tapi itu bisa dihitung dengan jari saja. Selebihnya seorang ibu akan memperjuangkan hidup dan matinya untuk buah hati mereka. Begitupun diriku. Inilah bukti pengorbananku demi munculnya senyum indah Diana. Bukan ... Bukan aku kejam membiarkan putriku hidup jauh dariku. Tapi semua ini demi kebaikan dan kebahagiaannya. Seminggu sudah hidup seorang diri. Rumah terasa sepi, tak ada canda dan tawa Diana. Meski setiap hari aku selalu menghubunginya melalui video call. Namun tak bisa sepenuhnya mengobati rasa rinduku. Ingin rasanya kupeluk tubuh mungilnya, menemaninya saat makan maupun tidur. Tapi kini jarak membentang diantara kami. Aku sempat terpuruk, terasa dunia be
Mataku membola saat melihat seseorang yang berdiri di hadapanku. Rasa khawatir kembali merasuki hati.Mau apa lagi dia kamari? Tak cukupkah rasa sakit yang telah dia beri padaku? "Mau apa kamu datang lagi kemari?" Ketusku.Mas Wahyu tersenyum menyeringai lalu masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak ada sopan-sopannya. "Mau marah karena aku masuk rumahmu begitu saja?"ucap Mas Wahyu lalu menjatuhkan bobot di kursi tanpa rasa bersalah. Kemana urat malunya? Dasar lelaki tak punya pikiran. Aku menyilangkan kedua tangan di dada sambil menatap tajam ke arahnya. Tak ada lagi rasa hormat. Seperti saat masih tinggal bersama. Rasa itu telah mati dengan sendirinya. "Buatkan aku minum,Lan. Suami datang bukan di siapkan minuman tapi justru menyambutnya dengan wajah masam." Tangannya menyalakan rokok lalu mulai menghisapnya."Suami macam apa yang memberi nafkah tak layak pada istrinya?"ketusku.Mas Wahyu menatapku tajam. Kaget mungkin dengan ucapanku. Belum pernah aku menjawab dengan nada tinggi
Pov Wahyu"Sebentar lagi undangan panggilan sidang perceraian kita akan segera turun. Persiapkan dirimu, Mas."Ucapan Wulan kembali terngiang di telinga. Benarkah ia ingin berpisah denganku. Bukankah dia sangat mencintaiku. Kalau anak muda jaman sekarang mengatakannya bucin. Aku tahu dia pasti berbohong. Mana mungin Wulan senekat itu?Tidak! Tidak! Wulan tak mungkin menggugat cerai. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Banyak kenangan manis yang kami lewati bersama. Terlebih ada Diana di antara kami. Mana mungkin dia tega memisahkan ayah dengan putrinya. Duduk di kursi tua dengan pandangan mata lurus ke depan. Sesekali memijit kepala yang terasa berdenyut. Pusing memikirkan cara menarik hati Wulan kembali. Mobil merah berhenti tepat di depan rumahku. Kenapa dia datang lagi? Astaga jangan bilang kalau tante Mona ingin meminta uang? Aku mana punya uang. "Ko lihatinnya gitu sih sayang? Aku tidak diajak masak nih?" Wanita dengan tubuh aduhai itu mengelus pundakku. Geli dan merinding
Pov Wulan"Wulan!" Terdengar jelas seseorang memanggilku. Dari suaranya aku tahu betul dia Mas Wahyu. Untuk apa lagi dia kemari? Dasar lelaki tak tahu malu. Melangkah menuju pintu depan. Aku terkejut saat Mas Wahyu datang dengan seorang wanita patuh baya. Ya, dia pernah ku lihat ada di dalam hotel bersama calon mantan suamiku. Tapi untuk apa dia datang menemuiku dengan bermesraan begitu? Apa dia kira aku akan cemburu melihatnya? Ah,tidak! Aku justru jijik melihat sepasang kekasih beda usia itu. Sengaja tak ku persilahkan masuk karena aku malas melihat wajah ayah Diana. "Aku tak akan mempensulit perceraian kita karena aku sudah menikah dengan Mona. Jangan pernah menghubungiku lagi!"Aku terkejut mendengar pengakuan Mas Wahyu. Dia menikahi wanita yang pantas menjadi ibunya. Ya Allah, apa demi uang dia mau menikahi wanita itu? Memang tak ada larangan seorang lelaki memiliki istri lebih satu. Tapi kenapa tidak menunggu kami resmi berpisah? Atau dia memang sengaja melakukannya agar a
Rasa penasaran membuatku menoleh ke arah sumber suara. Lelaki yang memakai kaos lengan panjang berwarna putih dengan celana panjang jeans berdiri tepat sampingku. Ku ingat-ingat siapa sosok yang kini berada di depanku. Rasa-rasanya pernah bertemu tapi siapa? Kepala ini masih saja tak ingat dia. "Lupa ya mbak?" tanyanya karena aku masih diam membisu. Meski tertutup masker tapi lelaki itu sepertinya tahu betul apa yang tengah aku pikirkan. "Diana baik Mbak? Kok tidak diajak?" Lagi dia bertanya seakan tahu diriku. Bahkan dia mengenal Diana. Siapa sebenarnya lelaki ini? Kenapa dia begitu mengenalku? "Maaf, siapa ya Mas?" tanyaku penasaran.. "Kalau pakai masker suka bingung, siapa yang menyapa," ucapku beralasan karena sejujurnya aku tak tahu siapa dia. Meski semua orang memakai masker tapi aku masih bisa menebak siapa. Namun tidak dengan lelaki di hadapanku ini. Atau mungkin faktor usia yang membuatku lupa begini. "Bagus, Mbak." Lelaki itu membuka masker. Menunjukkan senyum yang be
Aku duduk di teras ditemani kopi dan bolu rasa keju. Bik Darmi yang menyiapkan. Siapa lagi kalau bukan beliau. Beginilah nasib seorang duda. Hidup sendiri membuat semua keperluanku selalu di siapkan asisten rumah tangga. Keperluan makan atau sekedar membuat kopi. Tidak sampai menyiapkan baju ganti. Ya, karena itu tugas istri bukan asisten rumah tangga. "Papa, kapan Kak Ana main cini lagi?" tanya putriku yang tiba-tiba sudah ada di sebelahku. Kak Ana adalah nama anak Wulan. Diana tapi Naura lebih suka memanggilnya dengan sebutan Ana. Mungkin lebih mudah untuk diucapkan.Kami pernah bertemu dialun-alun. Waktu itu Diana dan Naura meminta balon yang sama. Namun hanya tinggal satu. Diana dengan senang hati memberikan balon itu pada Naura. Lalu keduanya, bermain bersama. Sungguh pemandangan itu sangat ku rindukan. Putriku sangat cocok dengan Diana. Senyum yang dulu hilang kini hadir lagi. Dan itu semua berkat Diana. Setelah kejadian Diana hampir kutabrak kala itu. Rasa penasaran membu