Aku mulai mengelar pakaian yang akan di potong. Menggambar pola dengan kapur berwarna biru di atas kain hitam. Tanganku mulai menari di atas kain dengan lincahnya. Membentuk pola gamis dengan wiru di bagian bawah. Bagian tangan sendiri akan di beri karet. Aku suka mengamati berbagai fashion wanita. Memodifikasi hingga terciptalah model gamis terbaru. Membuat model baru membutuhkan kreatifitas. Sering kali model yang kubuat tak sesuai pasaran. Itu yang membuat aku mengamati trend fashion terkini. Beruntung aku tak lagi dipusingkan dengan urusan menjahit karena sudah ada Mbak Ina dan Ami yang siap membantu menjahit. Mereka berdua adalah teman saat kursus menjahit dulu. Alhamdulillah, mereka sangat antusias saat kutawari pekerjaan ini. Katanya bisa membantu perekonomian keluarga mereka. Dari hasil produksi gamis online aku bisa mengembalikan modal Mas Rohmad. Aku juga bisa mengirimkan uang untuk kehidupan Diana. Ya, karena tak mungkin mengandalkan Mas Wahyu. Saat hidup bersama saja d
"Lebih baik mikirin Parjo to mbak, dari pada mikirin diet tapi gak kurus-kurus." Ami tak mau kalah. Wajah Mbak Ina seperti dompet di akhir bulan. Maklum saja, Mbak Ina memiliki tubuh yang subur seperti sawah kena air hujan. Niatnya diet tapi hanya dalam wacana kenyataan tubuhnya makin melar ke samping. Kupegangi perut yang terasa kram karena terlalu lama tertawa. Dua wanita itu jika disatukan akan seperti itu. Ada saja keributan kecil yang terjadi tapi justru membuat rumah ini terasa hangat. Kehadiran mereka menyembuhkan lukaku. Luka akibat Mas Wahyu. Aku sampai lupa kapan terakhir kali tertawa lepas seperti itu. Ya, karena hidup dengan Mas Wahyu adalah sebuah kesalahan besar. Meski begitu, aku tak pernah menyesalinya karena dari pernikahan dengan Mas Wahyu lahirlah Diana, penyemangat hidupku. ***Adzan ashar telah berkumandang di masjid tak jauh dari rumahku. Segera aku melakukan ibadah wajib empat rakaat itu. "Mau makan apa nih?" tanyaku pada Mbak Ina dan Ami. "Mau traktir
Pov WulanSetelah kepergian Mbak Anita dan Mbak Intan. Aku mulai membersihkan tempat menjahit di bantu Mb Ina dan juga Ami. Kain perca kumasukkan ke dalam kantung plastik besar berwarna hitam. Hasil potongan dan benang kutata di rak masing-masing.Membersihkan tempat menjahit bukan berarti nanti malam aku tak menjahit lagi. Kalau ada waktu aku akan menjahit di malam hari. Setidaknya mengobati rasa bosan di rumah seorang diri. Bruum .... Suara mobil berhenti di halaman rumah. Apa mungkin Mbak Anita dan Mbak Intan lagi?Aku berjalan ke depan. Sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di halaman rumah. Mobil yang berbeda dengan mobil milik Mbak Anita. Aku masih berdiri menunggu sang pengendara keluar dari kendaraan roda empatnya. Seorang lelaki yang memakai masker berwarna hitam. Lelaki itu membuka pintu depan sebelah kemudi. Seorang gadis cantik keluar tanpa memakai masker. Dia gadis yang pernah kulihat. Lelaki yang menggendongnya pasti Pak Bagus. "Assalamu'alaikum," sapanya. "Waa
Pov Wahyu"Makasih sayang. Kamu memang luar biasa. Tak salah aku memilihmu menjadi kekasihku," ucap tante Mona lalu mengecup pipi. Wanita di sebelahku ini terlelap dengan tangan memeluk tubuhku. Ya, dia kelelahan setelah berbagi peluh denganku. Seperti inilah hidupku sekarang, manjadi suami tante haus belaian. Bukan suami lebih tepatnya pemuas nafsu. Ya, karena aku menikahi tante Mona hanya untuk itu. Tante Mona selalu meminta jatah kapanpun dia mau. Tak perduli pagi, atau pun siang. Setiap kali dia ingin, aku harus selalu memenuhinya. Kalau ditanya apa aku bahagia? Jelas iya. Lelaki mana yang tak bahagia saat diberikan servis yang luar biasa. Tante Mona memang pandai menyenangkanku. Bersamanya aku seperti hidup di surga. Harta berlimpah. Kebutuhan biologis selalu terpenuhi. Tak perlu aku bekerja karena semua kebutuhanku akan ia penuhi. Semenjak bersama tante Mona aku mulai mengikis nama Wulan dalam hati. Meski tak bisa ku pungkiri dalam hati kecilku masih ada namanya. Biarlah di
Gemercik air hujan menjadi sebuah nyanyian pagi ini. Suara katak menyambut pagi yang masih terlihat gelap. Ya, hari ini sang mentari seolah malu untuk menatap dunia. Atau lebih tepatnya awan mendung yang menghalangi hangatnya sinar matahari. Saat ini cuaca tidak bisa lagi di tebak. Siang panas, sorenya hujan lebat. Seperti saat ini tiba-tiba hujan menguyur saat mentari siap muncul dari peraduan. Hidup seorang diri membuatku jarang masak. Biasanya sarapan hanya beli nasi uduk di gang depan. Namun karena hujan membuatku enggan keluar rumah. Mau tak mau harus masak sendiri. Beras sudah kumasukkan ke magic com. Tinggal menunggu hingga matang dengan sendirinya. Kemajuan teknologi membuat kegiatan memasak jauh lebih cepat. Tapi anehnya masih banyak orang yang tidak suka memasak. Ya, begitulah manusia. Lebih memilih instan tinggal makan tanpa harus ribet di dapur. Kukeluarkan bandeng yang kemarin kubeli. Untung saja kemarin sempat belanja di abang tukang sayur. Kalau tidak makan apa aku
"Itu bukan kapasitas Wulan, Bu. Mas Wahyu yang lebih berhak menjelaskan pada kalian.""Wahyu tak pernah sekali pun membahas masalah perceraian, Lan. Apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan Diana jika tahu kedua orang tuanya berpisah? Dia pasti terguncang. Dan ibu takut akan mempengaruhi perkembangan psikisnya. Harusnya kamu berpikir apa akibatnya sebelum memutuskan berpisah. Dalam rumah tangga perdebatan dan pertengkaran adalah hal biasa. Ibarat sayur, ini adalah bumbunya. Setelah perdebatan pasti hubungan keluarga akan semakin hangat."Kuhirup udara dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Aku harus waras agar bisa menjawab pertanyaan ibu dengan bijak. Lebih tepatnya agar setiap ucapan yang keluar tak menyakitinya. Sebagai orang tua, kabar perceraian adalah mimpi buruk dalam hidupnya. Aku tak menyalahkan jika ibu menginginkan kami tetap bersama. Karena ketidaktahuan beliau membuatnya seperti menyalahkan atas keputusan yang ku ambil. Mungkin setelah tahu alasanku, beliau akan meny
"Apa yang aku bilang, Mas Bagus itu sukanya sama Mbak Wulan. Bukan kamu!""Siapa yang suka Wulan?" tanya ibu yang tiba-tiba berdiri di belakangku. Ami dan Mbak Ina yang tadi berdebat kini diam seketika. Raut tegang tergambar jelas di wajah keduanya. Begitu pula diriku. Bukan, bukan karena aku memiliki perasaan atau hubungan istimewa pada pemilik toko peralatan jahit itu. Namun lebih tak ingin ibu salah paham. Dan mengira Mas Baguslah alasanku menggugat cerai Mas Wahyu. "Ibu salah dengar, Ami memang suka bercanda masalah lelaki. Maklum jomblo." Ami bermuka masam saat kata jomblo keluar dari mulutku. "O, ibu kira kamu memiliki lelaki lain hingga akhirnya meminta cerai"Nah kan apa yang aku pikirkan menjadi kenyataan. Untung saja ibu tak curiga. Bisa gawat jika beliau berpikir yang tidak-tidak. "Apa itu,Lan?" tanya ibu saat memihat kantung plastik berisi makanan. "Ini pesanannya Mbak Ina, iya kan Mbak?" Kukedipkan mata pada wanita berhijab kuning itu. "I-iya Bu, teman saja baru bu
Sorot mentari menghangatkan kulit. Cuaca hari ini terlihat cerah. Secerah senyum Ami dan Mbak Ina yang baru saja datang. Maklum ini sabtu, waktu mereka menerima gaji. Aku memang mengaji mereka tiap hari sabtu dan pada hari minggu biasanya mereka libur. Namun berhubung kerjaan banyak,hari minggu besok mereka akan tetap bekerja seperti biasanya. "Yang hari ini gajian seneng bener!" ledekku. "Iya dong Mbak, gajian buat beli skincare. Siapa tahu Mas Bagus kecantol. Biar duda tapi tajir melintir."Aku tertawa dengan tingkah Ami. Sebegitu suka kah dia dengan Mas Bagus. Apa efek jomblo terlalu lama membuatnya ngawur ketika berbicara. Ya, bisa jadi seperti itu. Kami mulai melakukan rutinitas, bermain dengan kain, benang dan mesin jahit. "Mbak Wulan sudah mulai menjahit? Sepagi ini?" tanya Mbak Ina seperti keheranan melihat satu gamis telah selesai ku jahit tinggal memeberi kancing fantasi di bagian perut ke bawah.. Tak ada kerjaan rumah membuatku menjahit lebih pagi. Semua pekerjaan ruma
Wulan membuka koper untuk mengambil pakaian ganti. Rasa lengket di tubuh membuatnya ingin segera mandi. Namun langkahnya terhenti saat Bagus masuk ke dalam kamar. Lelaki itu berjalan mendekat sambil menatap Wulan tak berkedip. Tatapan itu yang membuat jantung Wulan seketika berdetak dengan kencang. Tubuhnya terasa panas bagai tersengat aliran listrik. "Mas mau aku siapin pakaian ganti?" tanya Wulan sambil mengatur detak jantung yang kian kencang. Rasanya hampir terlepas dari singgasananya. Bagus hanya tersenyum lalu mengambil pakaian yang sudah berada di tangan Wulan. Baju itu diletakkan kembali di atas koper yang sudah dibuka. Mendadak rasa gugup singgah di hati Wulan. Ia tahu betul apa yang diinginkan suaminya. Bagus menuntut Wulan hingga berada di atas ranjang. Pandangan mereka mulai mengunci. Debaran hangat terasa di antara mereka berdua. Hingga akhirnya mereka menikmati indahnya surga dunia. ***Wulan, Bagus dan Diana sudah berdiri di lobi rumah sakit. Sengaja mereka hanya da
"Kita mau ke mana, bu?" tanya Diana. "Kita ke rumah ayah. Ayah kangen sama kamu, sayang." "Gak mau! Aku gak mau ketemu ayah!" Diana berlari masuk ke dalam rumah. Wulan dan Bagus saling pandang. Lalu Wulan meletakkan tas di kursi depan. Mengatur nafas yang terasa sesak. Bayangan Diana dipukul kembali menari-nari dalam angan. Dia sadar betul rasa trauma masih bersarang di hati putrinya, meski perlahan terkikis oleh kasih sayang Bagus. "Buar aku saja. Kamu di sini!" Langkah kaki Wulan terhenti mendengar perkataan sang suami. Walau sedikit ragu tapi ia menurut saja. Bagus berjalan cepat menuju kamar Diana yang ada di lantai atas. Perlahan membuka pintu yang tertutup rapat. Gadis kecil Wulan sedang menangis sesegukan di atas ranjang. Kejadian bersama Wahyu kembali berkeliaran di benaknya. Memori kelam yang berusaha ia lupakan. Meski tak bisa sama sekali untuk dihilangkan. Bagus segera duduk tepat di samping anak tirinya. Mengangkat kepala Diana lalu menghapus jejak air mata mengguna
Roda kehidupan memang tidak bisa diprediksi. Kemarin sedih sekarang bahagia atau justru sebaliknya. Seperti yang di rasakan Wulan. Penderitaan saat bersama Wahyu kini terganti dengan senyum bahagia. Bagus mampu menjadi suami serta ayah yang baik untuk Wulan dan anak-anaknya. Kini mereka hidup bahagia. Tak pernah ada pertengkaran di rumah tangga mereka. Sedikit cekcok karena perbedaan prinsip adalah hal biasa. "Mau ke mana, sayang?" tanya Bagus saat melihat Wulan sudah duduk di depan meja rias. Gamis soft pink dengan hijab berwarna senada kian menambah aura kecantikannya. Ya, walau tanpa riasan tebal di wajahnya. Wulan menghentikan gerakan tangan lalu menatap Bagus dari pantulan cermin di hadapannya. "Mau ke rumah Mas, pengen lihat laporan minggu ini. Mas mau ikut?""Boleh, tapi jangan ajak anak-anak ya! Sekali-kali jalan berdua," ucap Bagus seraya mengedipkan matanya. Wulan dan Bagus memang tak memiliki waktu banyak untuk berdua. Memiliki tiga anak membuat pasangan suami istri i
"Apa ada yang bernama Wulan dan Diana?" Langkah Rudi terhenti mendengar pertanyaan sang dokter.Sri dan Rika pun saling pandang. Mereka sangat terkejut dengan perkataan dokter itu.Dari mana dokter tahu Wulan dan Diana?Pertanyaan yang sama muncul di pikiran keluarga Wahyu. Dari awal mereka menginjakkan kaki di rumah sakit, tak sekalipun menyebut nama mantan istri dan anak Wahyu."Pasien mengigau dan memanggil nama Wulan dan Diana. Apa mereka keluarga pasien?" jawab dokter seperti dapat membaca pikiran mereka.Semua terdiam, bingung harus menjawab apa? Ingin mengatakan iya tapi takut sang dokter bertanya lebih jauh lagi. Di mana istrinya mungkin? Dan itu akan membuka aib Wahyu."Mereka anak dan mantan istrinya, dok," jawab Sri pelan."Kalau bisa mereka diminta ke mari. Siapa tahu pasien akan cepat sembuh saat mereka datang."Sri hanya mengangguk hingga dokter itu kembali masuk ke ruang IGD.Semua terdiam, Rudi yang hendak mengurus administrasi justru diam di tempat. Seakan ada magne
Pov Author"Rika!Rika!" Teriak Sri mengejutkan sangat putri. Dengan berlari Rika menuju sumber suara.Rika kebingungan melihat Sri menangis tersedu di samping Wahyu. Apa Wahyu telah meninggal? Pertanyaan itu yang sempat hadir di benar gadis berambut sepunggung itu."Mas Wahyu kenapa, Bu?" tanya Wulan seraya menyentuh pergelangan tangan sang kakak. Dia memastikan apakah Wahyu masih hidup atau sudah meninggal. Masih terasa denyut nadi. Itu tandanya Wahyu belum dipanggil sang Maha Kuasa."Wahyu tidak bangun-bangun Rik. Ibu takut terjadi apa-apa dengannya. Tolong kamu panggilkan Masmu. Minta dia antarkan Wahyu ke rumah sakit." Rika mengangguk lalu segera menuju kamar untuk menelepon Rudi.Sri menangis melihat tubuh Wahyu yang kian kurus. Setelah menelepon Wulan beberapa minggu yang lalu, Wahyu semakin terpuruk. Rasa menyesal tertancap dalam di sanubari lelaki itu. Tak ada lagi semangat untuk sembuh. Dia terpukul mengetahui wanita yang ia cintai sudah memiliki tambatan hati lain."Semanga
Pov Wahyu"Ibu! Ibu!" Suara Mbak Yuli terdengar nyaring hingga menghancurkan gendang telinga. "Ibu!" Teriaknya lagi saat ibu tak kunjung menyahut. Kakak iparku itu memang tak memiliki sopan santun. Berteriak di rumah orang pagi-pagi begini. Kalau aku bisa jalan sudah ku tampar dia. Sayang, aku masih mengandalkan uang Mas Rudy untuk biaya berobat. Kalau aku sudah sembuh dia pasti tidak semena-mena kepada kami. Aku memilih diam dan pura-pura tidur saat mendengar teriakan Mbak Yuli. Melawan Mbak Yuli tak akan pernah ada habisnya. Dia selalu bersikap seolah-olah dia paling benar. Sungguh menyebalkan! BRAAKPintu kamar dibuka kasar dari luar. Mbak Yuli menatap nyalang seraya berkacak pinggang di depan pintu. Niat hati pura-pura tidur gagal karena Mbak Yuli lebih dahulu masuk ke kamar. "Ibu tidak ada, mbak. Mungkin sedang ke warung," jawabku asal karena aku tidak tahu ibu ke mana. Dari bangun tidur aku belum keluar kamar. Jangankan untuk keluar, tubuhku saja sudah tak ada tenaganya, l
Aku dan Mas Bagus diam, bingung harus menjawab apa. Kami hanya melihat Bu Handayani tadi setelah memberikan gaji pada karyawan Mas Rohmad. Setelah itu kami berada di rumah. Kami juga tidak mendengar jeritan orang minta tolong. "Saya sudah mencari ke sekitar rumah. Tapi tetap tidak ada." Pak Abdul menjatuhkan bobot di sofa ruang keluarga. Aku dan Mas Bagus berdiri, ingin duduk tapi tidak ada tempat. "Kita lapor polisi saja, Pak. Jangan pegang apa pun. Siapa tahu ini tindakan kriminal." Pak Abdul mengangguk lalu beranjak berdiri. Kami berjalan meninggalkan rumah Pak Abdul menuju mobil Mas Bagus yang masih terparkir di halaman rumah. Mas Bagus segera berlari ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil dan menitipkan anak-anak kepada Bik Lastri. "Sabar, Pak." Pak Abdul mengangguk dengan pandangan lurus ke depan. "Ayo masuk!" ucap Mas Bagus seraya berlari menuju mobil. Aku dan Pak Abdul segera mengekor. Suara mobil berhenti di jalan depan rumah terdengar saat aku hendak membuka pint
"Wulan! Akbar!" Sama-sama terdengar suara orang memanggil namaku dan Akbar bergantian. "Mas dengar orang panggil namaku gak?" Mas Bagus diam seraya mempertajam pendengarannya. Tak berapa lama lelaki itu justru tersenyum ke arahku. "Mas juga dengar," ucapnya seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku hanya memperhatikan sikapnya. "Berarti aku gak salah dengar kan, aku keluar dulu, Mas." Aku beranjak berdiri, sambil membungkukkan badan saat melewati Mas Bagus. "Mau ke mana?" Mas Bagus mencekal tangan kananku. Ku hentikan langkah seraya menatap bingung ke arahnya. "Mau ke depan, tadi ada yang manggil, Mas. Katanya Mas Bagus denger!""Mendekat!" Aku mengernyitkan dahi mendengar perintahnya. Ini aku mau melihat tamu tapi justru diminta mendekat. Namun aku tetap saja melakukannya. Entahlah, ucapan Mas Bagus seakan memiliki magnet hingga aku menurut saja. "Yang manggil itu di sini!" Mas Bagus menyentuh dadanya. Seketika wajahku menjadi merah merona. "Ya jadi merah pipinya, sudah s
"Aw ... Sakit!" teriak Handayani saat kakinya menginjak pecahan vas yang berserakan di atas lantai. Kaki tanpa alas mempermudah kaca itu masuk ke dalam kulitnya. Handayani meringis kesakitan. Darah segar keluar dari kaki kanannya. Seketika lantai keramik berwana putih itu berubah warna menjadi merah merona. Handayani berusaha mencabut pecahan kaca yang masuk ke dalam kulitnya. Satu cabutan membuat darah semakin mengalir banyak. Namun rasa sakit itu belum juga reda. Rupanya tidak hanya satu kaca yang masuk. Ada beberapa kaca kecil yang masuk lebih dalam. Mata tua Handayani tak bisa melihat lebih jelas di mana luka itu berada. "Abdul! Abdul!" Teriak Handayani. Handayani lupa jika suaminya sedang pergi. Dia terus saja berteriak. Namun sampai pita suaranya rusak pun Abdul tidak akan mendengar. Lelaki bertubuh tambun itu sedang menjemput tukang urut yang ada di kampung sebelah. Nahas, motor yang dikendarai Abdul mogok di jalan. Lelaki itu harus mencari bengkel yang letaknya lumayan ja