Pov WulanSetelah kepergian Mbak Anita dan Mbak Intan. Aku mulai membersihkan tempat menjahit di bantu Mb Ina dan juga Ami. Kain perca kumasukkan ke dalam kantung plastik besar berwarna hitam. Hasil potongan dan benang kutata di rak masing-masing.Membersihkan tempat menjahit bukan berarti nanti malam aku tak menjahit lagi. Kalau ada waktu aku akan menjahit di malam hari. Setidaknya mengobati rasa bosan di rumah seorang diri. Bruum .... Suara mobil berhenti di halaman rumah. Apa mungkin Mbak Anita dan Mbak Intan lagi?Aku berjalan ke depan. Sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di halaman rumah. Mobil yang berbeda dengan mobil milik Mbak Anita. Aku masih berdiri menunggu sang pengendara keluar dari kendaraan roda empatnya. Seorang lelaki yang memakai masker berwarna hitam. Lelaki itu membuka pintu depan sebelah kemudi. Seorang gadis cantik keluar tanpa memakai masker. Dia gadis yang pernah kulihat. Lelaki yang menggendongnya pasti Pak Bagus. "Assalamu'alaikum," sapanya. "Waa
Pov Wahyu"Makasih sayang. Kamu memang luar biasa. Tak salah aku memilihmu menjadi kekasihku," ucap tante Mona lalu mengecup pipi. Wanita di sebelahku ini terlelap dengan tangan memeluk tubuhku. Ya, dia kelelahan setelah berbagi peluh denganku. Seperti inilah hidupku sekarang, manjadi suami tante haus belaian. Bukan suami lebih tepatnya pemuas nafsu. Ya, karena aku menikahi tante Mona hanya untuk itu. Tante Mona selalu meminta jatah kapanpun dia mau. Tak perduli pagi, atau pun siang. Setiap kali dia ingin, aku harus selalu memenuhinya. Kalau ditanya apa aku bahagia? Jelas iya. Lelaki mana yang tak bahagia saat diberikan servis yang luar biasa. Tante Mona memang pandai menyenangkanku. Bersamanya aku seperti hidup di surga. Harta berlimpah. Kebutuhan biologis selalu terpenuhi. Tak perlu aku bekerja karena semua kebutuhanku akan ia penuhi. Semenjak bersama tante Mona aku mulai mengikis nama Wulan dalam hati. Meski tak bisa ku pungkiri dalam hati kecilku masih ada namanya. Biarlah di
Gemercik air hujan menjadi sebuah nyanyian pagi ini. Suara katak menyambut pagi yang masih terlihat gelap. Ya, hari ini sang mentari seolah malu untuk menatap dunia. Atau lebih tepatnya awan mendung yang menghalangi hangatnya sinar matahari. Saat ini cuaca tidak bisa lagi di tebak. Siang panas, sorenya hujan lebat. Seperti saat ini tiba-tiba hujan menguyur saat mentari siap muncul dari peraduan. Hidup seorang diri membuatku jarang masak. Biasanya sarapan hanya beli nasi uduk di gang depan. Namun karena hujan membuatku enggan keluar rumah. Mau tak mau harus masak sendiri. Beras sudah kumasukkan ke magic com. Tinggal menunggu hingga matang dengan sendirinya. Kemajuan teknologi membuat kegiatan memasak jauh lebih cepat. Tapi anehnya masih banyak orang yang tidak suka memasak. Ya, begitulah manusia. Lebih memilih instan tinggal makan tanpa harus ribet di dapur. Kukeluarkan bandeng yang kemarin kubeli. Untung saja kemarin sempat belanja di abang tukang sayur. Kalau tidak makan apa aku
"Itu bukan kapasitas Wulan, Bu. Mas Wahyu yang lebih berhak menjelaskan pada kalian.""Wahyu tak pernah sekali pun membahas masalah perceraian, Lan. Apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan Diana jika tahu kedua orang tuanya berpisah? Dia pasti terguncang. Dan ibu takut akan mempengaruhi perkembangan psikisnya. Harusnya kamu berpikir apa akibatnya sebelum memutuskan berpisah. Dalam rumah tangga perdebatan dan pertengkaran adalah hal biasa. Ibarat sayur, ini adalah bumbunya. Setelah perdebatan pasti hubungan keluarga akan semakin hangat."Kuhirup udara dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Aku harus waras agar bisa menjawab pertanyaan ibu dengan bijak. Lebih tepatnya agar setiap ucapan yang keluar tak menyakitinya. Sebagai orang tua, kabar perceraian adalah mimpi buruk dalam hidupnya. Aku tak menyalahkan jika ibu menginginkan kami tetap bersama. Karena ketidaktahuan beliau membuatnya seperti menyalahkan atas keputusan yang ku ambil. Mungkin setelah tahu alasanku, beliau akan meny
"Apa yang aku bilang, Mas Bagus itu sukanya sama Mbak Wulan. Bukan kamu!""Siapa yang suka Wulan?" tanya ibu yang tiba-tiba berdiri di belakangku. Ami dan Mbak Ina yang tadi berdebat kini diam seketika. Raut tegang tergambar jelas di wajah keduanya. Begitu pula diriku. Bukan, bukan karena aku memiliki perasaan atau hubungan istimewa pada pemilik toko peralatan jahit itu. Namun lebih tak ingin ibu salah paham. Dan mengira Mas Baguslah alasanku menggugat cerai Mas Wahyu. "Ibu salah dengar, Ami memang suka bercanda masalah lelaki. Maklum jomblo." Ami bermuka masam saat kata jomblo keluar dari mulutku. "O, ibu kira kamu memiliki lelaki lain hingga akhirnya meminta cerai"Nah kan apa yang aku pikirkan menjadi kenyataan. Untung saja ibu tak curiga. Bisa gawat jika beliau berpikir yang tidak-tidak. "Apa itu,Lan?" tanya ibu saat memihat kantung plastik berisi makanan. "Ini pesanannya Mbak Ina, iya kan Mbak?" Kukedipkan mata pada wanita berhijab kuning itu. "I-iya Bu, teman saja baru bu
Sorot mentari menghangatkan kulit. Cuaca hari ini terlihat cerah. Secerah senyum Ami dan Mbak Ina yang baru saja datang. Maklum ini sabtu, waktu mereka menerima gaji. Aku memang mengaji mereka tiap hari sabtu dan pada hari minggu biasanya mereka libur. Namun berhubung kerjaan banyak,hari minggu besok mereka akan tetap bekerja seperti biasanya. "Yang hari ini gajian seneng bener!" ledekku. "Iya dong Mbak, gajian buat beli skincare. Siapa tahu Mas Bagus kecantol. Biar duda tapi tajir melintir."Aku tertawa dengan tingkah Ami. Sebegitu suka kah dia dengan Mas Bagus. Apa efek jomblo terlalu lama membuatnya ngawur ketika berbicara. Ya, bisa jadi seperti itu. Kami mulai melakukan rutinitas, bermain dengan kain, benang dan mesin jahit. "Mbak Wulan sudah mulai menjahit? Sepagi ini?" tanya Mbak Ina seperti keheranan melihat satu gamis telah selesai ku jahit tinggal memeberi kancing fantasi di bagian perut ke bawah.. Tak ada kerjaan rumah membuatku menjahit lebih pagi. Semua pekerjaan ruma
Pov WulanSuara motor milikku semakin terdengar jelas. Dan benar saja, ibu dan Mas Rudi sudah pulang dari pasar. Wajah ibu terlihat masam saat melihatku dan Mas Bagus duduk bersebelahan. "Ini alasan kamu menolak permintaan ibu untuk rujuk dengan Wahyu?"Aku melongo mendengar ucapan mantan ibu mertua. Alasan menolak Mas Wahyu? Apa aku tak salah dengar? Jelas-jelas semua karena tingkah putranya. "Maaf, maksud ibu apa ya? Saya dan Mas Bagus tidak ada hubungan apa-apa. Dia memesak gamis untuk putrinya,Naura.""Tapi kenapa duduknya bersebelahan dengan kamu?" "Sudah, bu, jangan memperkeruh suasana. Tidak enak jika tetangga tahu. Lagi pula Wulan bebas bersama siapa saja. Dia sudah bukan istri Wahyu lagi. Harusnya itu tidak boleh berkata seperti itu." Mas Rudi mengelus pelan pundak ibu. Meredamkan emosinya. "Kamu diam, Rut!" Ibu kembali menatap ke arahku. Tatapan bagai serigala yang hendak mengoyak rusa dengan gigi taringnya. Mengerikan. "Kamu ada hubungan apa dengan Wulan?" Mas Bagus me
Pov WahyuBeberapa hari hanya bisa berbaring di atas ranjang. Entah sakit apa aku ini? Sudah dua dokter ku datangi tapi masih tak ada perubahan. Bukannya sembuh tapi rasanya semakin parah. Ku pejamkan mata berharap bisa terlelap ke alam mimpi. Namun pusing membuatku tak bisa terlelap. BrakkSuara pintu di buka dengan kencang. Jantungku sampai ngin terlepas dari sarangnya. Ku elus dada yang bergemuruh. "Tidur terus, tidur terus! Memang kamu tak punya kerjaan selain tidur? Sepet aku melihat kamu. Kerja tidak, memenuhi kebutuhan batinku juga tidak. Yang ada hanya menghabiskan uangku saja. Nyesel aku nikah sama kamu!" omel Tante Mona yang baru datang. Sesak saat mendengar hinaan dari wanita bergelar istri. Biar bagaimana pun dia seorang istri, harus menghormati suami. Bukan menghina seperti ini. "Keluar kamu dari sini! Tidur di kamar lagi! Aku tidak mau ketularan penyakit kamu itu!" Tante Mona melempar pakaianku yang ada di lemari. Beberapa pakaian berhamburan tak berbentuk. Apa sep