Pov WahyuBeberapa hari hanya bisa berbaring di atas ranjang. Entah sakit apa aku ini? Sudah dua dokter ku datangi tapi masih tak ada perubahan. Bukannya sembuh tapi rasanya semakin parah. Ku pejamkan mata berharap bisa terlelap ke alam mimpi. Namun pusing membuatku tak bisa terlelap. BrakkSuara pintu di buka dengan kencang. Jantungku sampai ngin terlepas dari sarangnya. Ku elus dada yang bergemuruh. "Tidur terus, tidur terus! Memang kamu tak punya kerjaan selain tidur? Sepet aku melihat kamu. Kerja tidak, memenuhi kebutuhan batinku juga tidak. Yang ada hanya menghabiskan uangku saja. Nyesel aku nikah sama kamu!" omel Tante Mona yang baru datang. Sesak saat mendengar hinaan dari wanita bergelar istri. Biar bagaimana pun dia seorang istri, harus menghormati suami. Bukan menghina seperti ini. "Keluar kamu dari sini! Tidur di kamar lagi! Aku tidak mau ketularan penyakit kamu itu!" Tante Mona melempar pakaianku yang ada di lemari. Beberapa pakaian berhamburan tak berbentuk. Apa sep
. Aku masih berjalan hingga berada di depan jalan raya. Berharap segera mendapatkan ojek karena tubuhku sudah tak kuat jika harus berjalan lebih jauh lagi. Ponsel tak sempat ku bawa. Masih tertinggal di atas nakas. Keringat dingin sudah membasahi sekujur tubuh. Kaki semakin gemetaran karena dari tadi belum terisi makanan, belum lagi diare yang tak kunjung berhenti. Ku putuskan untuk duduk di bawah pohon, mengistirahatkan tubuh sejenak. Rasa lelah membuatku terlelap. Samar- samar terdengar adzan dhuhur berkumandang. Membuka mata perlahan. Namun belum terbuka lebar sudah ku tutup kembali. Sinar matahari membuat mataku terasa sakit. Mungkin terkejut. Mengerjapkan mata, beradaptasi dengan sinar mentari. Aku terkejut melihat di bawah kaki ada uang receh. Apa aku seperti pengemis hingga layak dikasihani? Sungguh memalukan. Kemana Wahyu yang dihormati dan disegani? Aku bahkan sudah dianggap orang tak mampu. Ku ambil uang recehan itu,ada dua belas ribu dalam bentuk koin. Berdiri sambil
Matahari sudah tenggelam dan terlelap dalam peraduan. Ami dan Mbak Ina juga sudah pulang ke rumah masing-masing. Kini hanya tinggal aku seorang diri. Terasa sepi jika sendiri. Kutatap halaman yang sudah mulai di pondasi. Tempat itu yang nantinya akan ku gunakan untuk menjahit. Tentu ada pintu yang menyambungkan tempat menjahit dan rumah. Bila malam ingin menjahit pun aku tak perlu keluar rumah. Cukup membuka pintu di antara ruangan saja. Kriiingg.... Suara panggilan video masuk terdengar sampai ke teras. Aku segera melangkah mendekati benda pipih yang berbunyi nyaring itu. Senyum merekah saat melihat siapa yang menelepon. "Assalamu'alaikum," salam seseorang yang sangat ku rindu. "Wa'alaikumsalam sayang. Diana sedang apa?" Mataku mulai berambun saat melihat pipi putriku yang mulai tembem, sangat jauh berbeda saat tinggal bersama Mas Wahyu. Boro-boro temem, Diana justru kurus kering saat bersama ayahnya. "Ibu kapan jemput aku, aku kangen." Matanya berkaca-kaca hingga akhirnya ai
"Aku tidak boleh ikut dengan mereka. Ayo Wulan cari alasan yang tepat!" batinku. "Bisa ikut sekarang Mbak?" tanya lelaki itu lagi. "Saya masih ada keperluan, Pak. Saya minta alamat rumah sakitnya saja. Setelah urusan saya selesai, saya pasti akan segera ke sana." Dua lelaki itu saling pandang dan akhirnya menganggukan kepala. Dua polisi itu segera meninggalkan rumah setelah menyampaikan maksud tujuannya datang kemari. Masuk ke kamar melipat mukena dan mengganti pakaian. Memesan taksi online menuju rumah sakit Husada. Tempat Mas Wahyu di rawat. Entah benar atau tidak, tak ada salahnya memastikan. Taksi online berhenti tepat di depan rumah. Ku kunci pintu lalu segera masuk ke mobil. Kasihan driver jika menunggu terlalu lama. "Apa ada pasien kecelakaan yang bernama Wahyu, Mbak?" tanyaku pada seorang perempuan perawat yang lewat di lobi rumah sakit. "Saya kurang tahu, Mbak. Mari saya antar ke bagian resepsionis." Aku mengekor perawat itu. Wanita berhijab putih itu berbicara dengan
Sudah tiga hari Mas Wahyu dirawat di rumah sakit. Dan akulah yang mengurus lelaki yang sebenarnya bukan tanggung jawabku. Tapi mau bagaimana lagi. Keluarga Mas Wahyu baru bisa datang hari ini. Sementara di sini Mas Wahyu sudah tak memiliki sanak saudara. Mau tak mau akulah yang harus merawatnya. "Terima kasih ya, Lan. Maaf aku sudah merepotkanmu." Ku anggukan kepala. "Mas menyesal telah menelantarkanmu dan Diana. Seandainya sejak dulu Mas bisa menyadari kesalahan Mas, mungkin semua tidak akan seperti ini. Kita akan merawat Diana bersama dengan penuh kasih sayang. Sungguh, Mas minta maaf," ucapnya mengiba dengan bulir bening membasahi pipi. Apa aku percaya dengan ucapannya? Ah, tentu tidak! Bertahun-tahun di tipu dengan pura-pura insyaf dan bertobat. Namun hanya tobat sambal saja. Mas Wahyu selalu mengulangi kesalahan yang sama. Hari ini tobat besok mengulang lagi. Aku sampai hafal dan bosan dengan kebiasaan buruknya. "Kenapa baru sekarang kamu bilang maaf dan menyesal, Mas? Keman
"Mas Rudi bikin orang jantungan!" sungutku kesal. Mas Rudi justru tersenyum melihat ekspresi kesalku. Memang keterlaluan dia. "Ini tanda pengenal penunggu pasien." Kuberikan benda yang mempermudah masuk ke rumah sakit ini. Saat ini kami tengah duduk di kursi tunggu di depan loket pendaftaran yang sudah kosong. Maklum ini hari minggu, tak ada layanan untuk poliklinik. Hanya ada dokter umum yang berjaga di ruang IGD. Kalau pun ada dokter spesialis pasti tidak membuka praktek di hari minggu dan tanggal merah. "Terima kasih sudah mau menjaga Wahyu, Lan," ucap Mas Rudi. Aku hanya tersenyum tipis. "Bagaimana keadaan Wahyu?" tanya ibu dengan raut wajah khawatir. Seorang ibu pasti mengkhawatirkan keadaan anaknya. Apa lagi mendengar putranya mengalami kecelakaan, pasti ibu sangat syok. Lalu bagaimana reaksi beliau jika tahu putranya tidak bisa lagi berjalan. Dia lumpuh. "Lan, kok diam. Wahyu baik-baik saja, kan?"Kuhembuskan nafas perlahan seraya merangkai kata agar tidak membuat ibu te
Aku hembuskan napas kasar. Kesal. Apa susahnya menunggu barang sebentar. Tinggal satu pola lagi dan semua selesai. Namun diganggu teriakan kakakku. Aku berjalan sambil menghentakkan kaki. Seketika mulutku terbuka lebar melihat tamu yang datang. Kututup mata dengan kedua tangan berharap ini hanya mimpi belaka. Dan saat membuka matasebuah spanduk bertuliskan "WULAN, MAU KAH MENIKAH DENGANKU? MENJADI IBU UNTUK DIANA, NAURA DAN ANAK-ANAK KITA" hilang seketika. Tapi sayang, saat membuka mata, tulisan itu masih menempel di mobil Mas Bagus. Bahkan semakin terlihat jelas. Ya Allah, mimpi apa aku semalam? Hingga Mas Bagus datang dengan spanduknya. Apa dia tak memiliki urat malu? Apa dia tak takut reputasinya akan hancur karena spanduk? Saat ini justru reputasiku yang akan hancur. Bagaimana tanggapan para tetangga padaku? Halaman rumah yang tadinya sepi kini dipenuhi emak-emak yang penasaran dengan Mas Bagus. Lebih tepatnya spanduk yang menempel di mobil mahalnya. Astaga! Ada-ada saja or
"Kau tahu, Lan. Cinta itu tak mengenal waktu dan alasan. Karena sejatinya rasa itu hadir lalu mengalir dengan sendirinya. Aku mencintaimu dan ingin serius, maka dengan itu aku melamarmu di depan Mas Rohmad."Aku tertegun. Kata-kata nya mampu membungkam mulut ini. Lalu dengan alasan apa aku menolaknya? "Beri waktu karena aku tak bisa menjawab saat ini juga."Lengkungan bibir terlihat di wajah penuh kharisma. Apa dia pikir masih memiliki harapan? Ah, entahlah. "Naura, kita pulang yuk sayang." Mas Bagus jongkok mengelus punggung tangan gadisnya. "Aura aura bobog sama akak Ana," celoteh Naura lalu berlari dan bersembunyi di balik punggung Diana. Namun tetap saja terlihat karena tubuh putriku kecil tak seperti Aqila. "Besok kita main ke sini lagi ya nak. Sekarang kita pulang dulu." "Gak au. Aura mau di cini aja!" Mas Bagus terus saja merayu Naura agar mau pulang. Namun hasilnya sia-sia. Gadis kecil itu masih kekeh untuk tetap di sini. Mas Bagus semakin merasa tak enak hati dengan tin