"Aku tidak boleh ikut dengan mereka. Ayo Wulan cari alasan yang tepat!" batinku. "Bisa ikut sekarang Mbak?" tanya lelaki itu lagi. "Saya masih ada keperluan, Pak. Saya minta alamat rumah sakitnya saja. Setelah urusan saya selesai, saya pasti akan segera ke sana." Dua lelaki itu saling pandang dan akhirnya menganggukan kepala. Dua polisi itu segera meninggalkan rumah setelah menyampaikan maksud tujuannya datang kemari. Masuk ke kamar melipat mukena dan mengganti pakaian. Memesan taksi online menuju rumah sakit Husada. Tempat Mas Wahyu di rawat. Entah benar atau tidak, tak ada salahnya memastikan. Taksi online berhenti tepat di depan rumah. Ku kunci pintu lalu segera masuk ke mobil. Kasihan driver jika menunggu terlalu lama. "Apa ada pasien kecelakaan yang bernama Wahyu, Mbak?" tanyaku pada seorang perempuan perawat yang lewat di lobi rumah sakit. "Saya kurang tahu, Mbak. Mari saya antar ke bagian resepsionis." Aku mengekor perawat itu. Wanita berhijab putih itu berbicara dengan
Sudah tiga hari Mas Wahyu dirawat di rumah sakit. Dan akulah yang mengurus lelaki yang sebenarnya bukan tanggung jawabku. Tapi mau bagaimana lagi. Keluarga Mas Wahyu baru bisa datang hari ini. Sementara di sini Mas Wahyu sudah tak memiliki sanak saudara. Mau tak mau akulah yang harus merawatnya. "Terima kasih ya, Lan. Maaf aku sudah merepotkanmu." Ku anggukan kepala. "Mas menyesal telah menelantarkanmu dan Diana. Seandainya sejak dulu Mas bisa menyadari kesalahan Mas, mungkin semua tidak akan seperti ini. Kita akan merawat Diana bersama dengan penuh kasih sayang. Sungguh, Mas minta maaf," ucapnya mengiba dengan bulir bening membasahi pipi. Apa aku percaya dengan ucapannya? Ah, tentu tidak! Bertahun-tahun di tipu dengan pura-pura insyaf dan bertobat. Namun hanya tobat sambal saja. Mas Wahyu selalu mengulangi kesalahan yang sama. Hari ini tobat besok mengulang lagi. Aku sampai hafal dan bosan dengan kebiasaan buruknya. "Kenapa baru sekarang kamu bilang maaf dan menyesal, Mas? Keman
"Mas Rudi bikin orang jantungan!" sungutku kesal. Mas Rudi justru tersenyum melihat ekspresi kesalku. Memang keterlaluan dia. "Ini tanda pengenal penunggu pasien." Kuberikan benda yang mempermudah masuk ke rumah sakit ini. Saat ini kami tengah duduk di kursi tunggu di depan loket pendaftaran yang sudah kosong. Maklum ini hari minggu, tak ada layanan untuk poliklinik. Hanya ada dokter umum yang berjaga di ruang IGD. Kalau pun ada dokter spesialis pasti tidak membuka praktek di hari minggu dan tanggal merah. "Terima kasih sudah mau menjaga Wahyu, Lan," ucap Mas Rudi. Aku hanya tersenyum tipis. "Bagaimana keadaan Wahyu?" tanya ibu dengan raut wajah khawatir. Seorang ibu pasti mengkhawatirkan keadaan anaknya. Apa lagi mendengar putranya mengalami kecelakaan, pasti ibu sangat syok. Lalu bagaimana reaksi beliau jika tahu putranya tidak bisa lagi berjalan. Dia lumpuh. "Lan, kok diam. Wahyu baik-baik saja, kan?"Kuhembuskan nafas perlahan seraya merangkai kata agar tidak membuat ibu te
Aku hembuskan napas kasar. Kesal. Apa susahnya menunggu barang sebentar. Tinggal satu pola lagi dan semua selesai. Namun diganggu teriakan kakakku. Aku berjalan sambil menghentakkan kaki. Seketika mulutku terbuka lebar melihat tamu yang datang. Kututup mata dengan kedua tangan berharap ini hanya mimpi belaka. Dan saat membuka matasebuah spanduk bertuliskan "WULAN, MAU KAH MENIKAH DENGANKU? MENJADI IBU UNTUK DIANA, NAURA DAN ANAK-ANAK KITA" hilang seketika. Tapi sayang, saat membuka mata, tulisan itu masih menempel di mobil Mas Bagus. Bahkan semakin terlihat jelas. Ya Allah, mimpi apa aku semalam? Hingga Mas Bagus datang dengan spanduknya. Apa dia tak memiliki urat malu? Apa dia tak takut reputasinya akan hancur karena spanduk? Saat ini justru reputasiku yang akan hancur. Bagaimana tanggapan para tetangga padaku? Halaman rumah yang tadinya sepi kini dipenuhi emak-emak yang penasaran dengan Mas Bagus. Lebih tepatnya spanduk yang menempel di mobil mahalnya. Astaga! Ada-ada saja or
"Kau tahu, Lan. Cinta itu tak mengenal waktu dan alasan. Karena sejatinya rasa itu hadir lalu mengalir dengan sendirinya. Aku mencintaimu dan ingin serius, maka dengan itu aku melamarmu di depan Mas Rohmad."Aku tertegun. Kata-kata nya mampu membungkam mulut ini. Lalu dengan alasan apa aku menolaknya? "Beri waktu karena aku tak bisa menjawab saat ini juga."Lengkungan bibir terlihat di wajah penuh kharisma. Apa dia pikir masih memiliki harapan? Ah, entahlah. "Naura, kita pulang yuk sayang." Mas Bagus jongkok mengelus punggung tangan gadisnya. "Aura aura bobog sama akak Ana," celoteh Naura lalu berlari dan bersembunyi di balik punggung Diana. Namun tetap saja terlihat karena tubuh putriku kecil tak seperti Aqila. "Besok kita main ke sini lagi ya nak. Sekarang kita pulang dulu." "Gak au. Aura mau di cini aja!" Mas Bagus terus saja merayu Naura agar mau pulang. Namun hasilnya sia-sia. Gadis kecil itu masih kekeh untuk tetap di sini. Mas Bagus semakin merasa tak enak hati dengan tin
"Kalau Diana tinggal satu rumah dengan Naura dan Om Bagus. Apa Diana mau?" tanyaku pelan. Diana diam, berusaha mencerna ucapanku. "Diana tidak mau punya ayah. Diana takut!" ucapnya lalu berlari ke dalam kamar.Ku elus dada yang kian terasa sesak. Aku tak pernah menyangka perbuatan Mas Wahyu pada kami terutama Diana bisa menorehkan luka begitu dalam. Putriku sampai merasa takut dengan lelaki bergelar ayah. Dalam diam, Diana telah merekam perbuatan kejam ayahnya. Sedikit demi sedikit hingga akhirnya menumpuk menjadi sebuah kebencian bahkan rasa trauma. Harusnya seorang ayah menjadi cinta pertama bagi anak gadisnya. Menjadi figur yang ia contoh untuk mencari pendamping hidupnya kelak. Bukan justru menjadi rasa trauma seperti yang dilakukan Mas Wahyu. Mungkin lebih baik aku menyendiri. Menjalani hidup dengan Diana tanpa ada orang lain. Aku takut kehadiran Mas Bagus justru membuat hati Diana semakin terguncang dan tertekan. Aku tak ingin Diana kembali merasakan sakit seperti saat bersa
"Diana mau ikut ibu, tidak?" "Ke mana, Bu?" tanyanya sambil memainkan boneka barbie pemberian Mbak Lia. Kemarin Mbak Lia memberikan tiga buah boneka. Katanya untuk kenang-kenangan. Lucu bukan? Serasa dia mau ke luar negeri saja. Padahal hanya pulang ke rumahnya di Cilacap. Beberapa bulan lagi juga akan ketemu. "Ibu mah beli benang dan perlengkapan jahit lainnya. Diana mau ikut? Nanti kita beli ayam goreng atau bakso kesukaan Ana. Mau tidak?""Mau ... Mau banget, Bu!" ucapnya sambil kegirangan. "Ganti baju gih, pakai jilbab juga." Diana mengangguk lalu segera berlari menuju kamar. Diana sudah berlatih mandiri. Ia bisa memakai baju dan sepatu sendiri. Aku bahkan dilarang membantunya. Sungguh bersama Mas Rohmad dan Mbak Lia, Diana semakin dewasa. Aku sudah siap dari tadi. Tinggal menunggu Diana saja. Dia memang lama dalam memilih baju,padahal sudah ku pilihkan. Tapi dia tak mau. Sambil menunggu Diana berganti pakaian iseng kucari model gamis terbaru. Siapa tahu bisa menjadi inspi
"Bagaimana, Mas?" tanyaku setelah Mas Rudi memasukkan ponsel ke saku celananya. Kakak kandungku itu menghembuskan nafas kasar. Perasaanku mendadak tidak enak melihat ekspresi wajahnya. "Wulan tidak bisa ke sini, Yu. Sebaiknya kamu jangan terlalu berharap lagi." "Maksudnya Mas apa?" ucapku lantang. "Ssttt ... Jangan berisik!" ujar ayah dari pasien yang ada di sampingku. Mas Rudi menjatuhkan bobot di kursi samping rajangku. Matanya menatap kakiku lalu beralih menyelami sorot mata ini. Apa maksud Mas Rudi melakukan itu? Harusnya dia mendukungku bukan? Wulan itu ipar yang baik. Pasti dia juga ingin aku kembali padanya. "Wahyu, seorang suami itu harus mampu bertanggung jawab kepada istri dan anaknya. Apa kamu sanggup bertanggung jawab pada Wulan dan Diana? Memberi nafkah yang layak, melindungi dia bukan justru menjadi beban untuknya."DEGUcapan Mas Rudi bagai menyayat kulit ini dengan pisau tumpul. Sakit luar biasa. Apa karena aku lumpuh hingga ia tega berkata demikian? "Apa karen
Wulan membuka koper untuk mengambil pakaian ganti. Rasa lengket di tubuh membuatnya ingin segera mandi. Namun langkahnya terhenti saat Bagus masuk ke dalam kamar. Lelaki itu berjalan mendekat sambil menatap Wulan tak berkedip. Tatapan itu yang membuat jantung Wulan seketika berdetak dengan kencang. Tubuhnya terasa panas bagai tersengat aliran listrik. "Mas mau aku siapin pakaian ganti?" tanya Wulan sambil mengatur detak jantung yang kian kencang. Rasanya hampir terlepas dari singgasananya. Bagus hanya tersenyum lalu mengambil pakaian yang sudah berada di tangan Wulan. Baju itu diletakkan kembali di atas koper yang sudah dibuka. Mendadak rasa gugup singgah di hati Wulan. Ia tahu betul apa yang diinginkan suaminya. Bagus menuntut Wulan hingga berada di atas ranjang. Pandangan mereka mulai mengunci. Debaran hangat terasa di antara mereka berdua. Hingga akhirnya mereka menikmati indahnya surga dunia. ***Wulan, Bagus dan Diana sudah berdiri di lobi rumah sakit. Sengaja mereka hanya da
"Kita mau ke mana, bu?" tanya Diana. "Kita ke rumah ayah. Ayah kangen sama kamu, sayang." "Gak mau! Aku gak mau ketemu ayah!" Diana berlari masuk ke dalam rumah. Wulan dan Bagus saling pandang. Lalu Wulan meletakkan tas di kursi depan. Mengatur nafas yang terasa sesak. Bayangan Diana dipukul kembali menari-nari dalam angan. Dia sadar betul rasa trauma masih bersarang di hati putrinya, meski perlahan terkikis oleh kasih sayang Bagus. "Buar aku saja. Kamu di sini!" Langkah kaki Wulan terhenti mendengar perkataan sang suami. Walau sedikit ragu tapi ia menurut saja. Bagus berjalan cepat menuju kamar Diana yang ada di lantai atas. Perlahan membuka pintu yang tertutup rapat. Gadis kecil Wulan sedang menangis sesegukan di atas ranjang. Kejadian bersama Wahyu kembali berkeliaran di benaknya. Memori kelam yang berusaha ia lupakan. Meski tak bisa sama sekali untuk dihilangkan. Bagus segera duduk tepat di samping anak tirinya. Mengangkat kepala Diana lalu menghapus jejak air mata mengguna
Roda kehidupan memang tidak bisa diprediksi. Kemarin sedih sekarang bahagia atau justru sebaliknya. Seperti yang di rasakan Wulan. Penderitaan saat bersama Wahyu kini terganti dengan senyum bahagia. Bagus mampu menjadi suami serta ayah yang baik untuk Wulan dan anak-anaknya. Kini mereka hidup bahagia. Tak pernah ada pertengkaran di rumah tangga mereka. Sedikit cekcok karena perbedaan prinsip adalah hal biasa. "Mau ke mana, sayang?" tanya Bagus saat melihat Wulan sudah duduk di depan meja rias. Gamis soft pink dengan hijab berwarna senada kian menambah aura kecantikannya. Ya, walau tanpa riasan tebal di wajahnya. Wulan menghentikan gerakan tangan lalu menatap Bagus dari pantulan cermin di hadapannya. "Mau ke rumah Mas, pengen lihat laporan minggu ini. Mas mau ikut?""Boleh, tapi jangan ajak anak-anak ya! Sekali-kali jalan berdua," ucap Bagus seraya mengedipkan matanya. Wulan dan Bagus memang tak memiliki waktu banyak untuk berdua. Memiliki tiga anak membuat pasangan suami istri i
"Apa ada yang bernama Wulan dan Diana?" Langkah Rudi terhenti mendengar pertanyaan sang dokter.Sri dan Rika pun saling pandang. Mereka sangat terkejut dengan perkataan dokter itu.Dari mana dokter tahu Wulan dan Diana?Pertanyaan yang sama muncul di pikiran keluarga Wahyu. Dari awal mereka menginjakkan kaki di rumah sakit, tak sekalipun menyebut nama mantan istri dan anak Wahyu."Pasien mengigau dan memanggil nama Wulan dan Diana. Apa mereka keluarga pasien?" jawab dokter seperti dapat membaca pikiran mereka.Semua terdiam, bingung harus menjawab apa? Ingin mengatakan iya tapi takut sang dokter bertanya lebih jauh lagi. Di mana istrinya mungkin? Dan itu akan membuka aib Wahyu."Mereka anak dan mantan istrinya, dok," jawab Sri pelan."Kalau bisa mereka diminta ke mari. Siapa tahu pasien akan cepat sembuh saat mereka datang."Sri hanya mengangguk hingga dokter itu kembali masuk ke ruang IGD.Semua terdiam, Rudi yang hendak mengurus administrasi justru diam di tempat. Seakan ada magne
Pov Author"Rika!Rika!" Teriak Sri mengejutkan sangat putri. Dengan berlari Rika menuju sumber suara.Rika kebingungan melihat Sri menangis tersedu di samping Wahyu. Apa Wahyu telah meninggal? Pertanyaan itu yang sempat hadir di benar gadis berambut sepunggung itu."Mas Wahyu kenapa, Bu?" tanya Wulan seraya menyentuh pergelangan tangan sang kakak. Dia memastikan apakah Wahyu masih hidup atau sudah meninggal. Masih terasa denyut nadi. Itu tandanya Wahyu belum dipanggil sang Maha Kuasa."Wahyu tidak bangun-bangun Rik. Ibu takut terjadi apa-apa dengannya. Tolong kamu panggilkan Masmu. Minta dia antarkan Wahyu ke rumah sakit." Rika mengangguk lalu segera menuju kamar untuk menelepon Rudi.Sri menangis melihat tubuh Wahyu yang kian kurus. Setelah menelepon Wulan beberapa minggu yang lalu, Wahyu semakin terpuruk. Rasa menyesal tertancap dalam di sanubari lelaki itu. Tak ada lagi semangat untuk sembuh. Dia terpukul mengetahui wanita yang ia cintai sudah memiliki tambatan hati lain."Semanga
Pov Wahyu"Ibu! Ibu!" Suara Mbak Yuli terdengar nyaring hingga menghancurkan gendang telinga. "Ibu!" Teriaknya lagi saat ibu tak kunjung menyahut. Kakak iparku itu memang tak memiliki sopan santun. Berteriak di rumah orang pagi-pagi begini. Kalau aku bisa jalan sudah ku tampar dia. Sayang, aku masih mengandalkan uang Mas Rudy untuk biaya berobat. Kalau aku sudah sembuh dia pasti tidak semena-mena kepada kami. Aku memilih diam dan pura-pura tidur saat mendengar teriakan Mbak Yuli. Melawan Mbak Yuli tak akan pernah ada habisnya. Dia selalu bersikap seolah-olah dia paling benar. Sungguh menyebalkan! BRAAKPintu kamar dibuka kasar dari luar. Mbak Yuli menatap nyalang seraya berkacak pinggang di depan pintu. Niat hati pura-pura tidur gagal karena Mbak Yuli lebih dahulu masuk ke kamar. "Ibu tidak ada, mbak. Mungkin sedang ke warung," jawabku asal karena aku tidak tahu ibu ke mana. Dari bangun tidur aku belum keluar kamar. Jangankan untuk keluar, tubuhku saja sudah tak ada tenaganya, l
Aku dan Mas Bagus diam, bingung harus menjawab apa. Kami hanya melihat Bu Handayani tadi setelah memberikan gaji pada karyawan Mas Rohmad. Setelah itu kami berada di rumah. Kami juga tidak mendengar jeritan orang minta tolong. "Saya sudah mencari ke sekitar rumah. Tapi tetap tidak ada." Pak Abdul menjatuhkan bobot di sofa ruang keluarga. Aku dan Mas Bagus berdiri, ingin duduk tapi tidak ada tempat. "Kita lapor polisi saja, Pak. Jangan pegang apa pun. Siapa tahu ini tindakan kriminal." Pak Abdul mengangguk lalu beranjak berdiri. Kami berjalan meninggalkan rumah Pak Abdul menuju mobil Mas Bagus yang masih terparkir di halaman rumah. Mas Bagus segera berlari ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil dan menitipkan anak-anak kepada Bik Lastri. "Sabar, Pak." Pak Abdul mengangguk dengan pandangan lurus ke depan. "Ayo masuk!" ucap Mas Bagus seraya berlari menuju mobil. Aku dan Pak Abdul segera mengekor. Suara mobil berhenti di jalan depan rumah terdengar saat aku hendak membuka pint
"Wulan! Akbar!" Sama-sama terdengar suara orang memanggil namaku dan Akbar bergantian. "Mas dengar orang panggil namaku gak?" Mas Bagus diam seraya mempertajam pendengarannya. Tak berapa lama lelaki itu justru tersenyum ke arahku. "Mas juga dengar," ucapnya seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku hanya memperhatikan sikapnya. "Berarti aku gak salah dengar kan, aku keluar dulu, Mas." Aku beranjak berdiri, sambil membungkukkan badan saat melewati Mas Bagus. "Mau ke mana?" Mas Bagus mencekal tangan kananku. Ku hentikan langkah seraya menatap bingung ke arahnya. "Mau ke depan, tadi ada yang manggil, Mas. Katanya Mas Bagus denger!""Mendekat!" Aku mengernyitkan dahi mendengar perintahnya. Ini aku mau melihat tamu tapi justru diminta mendekat. Namun aku tetap saja melakukannya. Entahlah, ucapan Mas Bagus seakan memiliki magnet hingga aku menurut saja. "Yang manggil itu di sini!" Mas Bagus menyentuh dadanya. Seketika wajahku menjadi merah merona. "Ya jadi merah pipinya, sudah s
"Aw ... Sakit!" teriak Handayani saat kakinya menginjak pecahan vas yang berserakan di atas lantai. Kaki tanpa alas mempermudah kaca itu masuk ke dalam kulitnya. Handayani meringis kesakitan. Darah segar keluar dari kaki kanannya. Seketika lantai keramik berwana putih itu berubah warna menjadi merah merona. Handayani berusaha mencabut pecahan kaca yang masuk ke dalam kulitnya. Satu cabutan membuat darah semakin mengalir banyak. Namun rasa sakit itu belum juga reda. Rupanya tidak hanya satu kaca yang masuk. Ada beberapa kaca kecil yang masuk lebih dalam. Mata tua Handayani tak bisa melihat lebih jelas di mana luka itu berada. "Abdul! Abdul!" Teriak Handayani. Handayani lupa jika suaminya sedang pergi. Dia terus saja berteriak. Namun sampai pita suaranya rusak pun Abdul tidak akan mendengar. Lelaki bertubuh tambun itu sedang menjemput tukang urut yang ada di kampung sebelah. Nahas, motor yang dikendarai Abdul mogok di jalan. Lelaki itu harus mencari bengkel yang letaknya lumayan ja