"Diana mau ikut ibu, tidak?" "Ke mana, Bu?" tanyanya sambil memainkan boneka barbie pemberian Mbak Lia. Kemarin Mbak Lia memberikan tiga buah boneka. Katanya untuk kenang-kenangan. Lucu bukan? Serasa dia mau ke luar negeri saja. Padahal hanya pulang ke rumahnya di Cilacap. Beberapa bulan lagi juga akan ketemu. "Ibu mah beli benang dan perlengkapan jahit lainnya. Diana mau ikut? Nanti kita beli ayam goreng atau bakso kesukaan Ana. Mau tidak?""Mau ... Mau banget, Bu!" ucapnya sambil kegirangan. "Ganti baju gih, pakai jilbab juga." Diana mengangguk lalu segera berlari menuju kamar. Diana sudah berlatih mandiri. Ia bisa memakai baju dan sepatu sendiri. Aku bahkan dilarang membantunya. Sungguh bersama Mas Rohmad dan Mbak Lia, Diana semakin dewasa. Aku sudah siap dari tadi. Tinggal menunggu Diana saja. Dia memang lama dalam memilih baju,padahal sudah ku pilihkan. Tapi dia tak mau. Sambil menunggu Diana berganti pakaian iseng kucari model gamis terbaru. Siapa tahu bisa menjadi inspi
"Bagaimana, Mas?" tanyaku setelah Mas Rudi memasukkan ponsel ke saku celananya. Kakak kandungku itu menghembuskan nafas kasar. Perasaanku mendadak tidak enak melihat ekspresi wajahnya. "Wulan tidak bisa ke sini, Yu. Sebaiknya kamu jangan terlalu berharap lagi." "Maksudnya Mas apa?" ucapku lantang. "Ssttt ... Jangan berisik!" ujar ayah dari pasien yang ada di sampingku. Mas Rudi menjatuhkan bobot di kursi samping rajangku. Matanya menatap kakiku lalu beralih menyelami sorot mata ini. Apa maksud Mas Rudi melakukan itu? Harusnya dia mendukungku bukan? Wulan itu ipar yang baik. Pasti dia juga ingin aku kembali padanya. "Wahyu, seorang suami itu harus mampu bertanggung jawab kepada istri dan anaknya. Apa kamu sanggup bertanggung jawab pada Wulan dan Diana? Memberi nafkah yang layak, melindungi dia bukan justru menjadi beban untuknya."DEGUcapan Mas Rudi bagai menyayat kulit ini dengan pisau tumpul. Sakit luar biasa. Apa karena aku lumpuh hingga ia tega berkata demikian? "Apa karen
"Kita langsung pulang ke Semarang atau menginap di hotel dulu, Bu?" tanya Mas Rudi seraya menjatuhkan bobot di depan kursi kemudi. Dari anak ibu, Mas Rudi lah yang ekonominya bagus. Bisa dibilang mapan. Dia anak yang berbakti pada ibunya. Berbeda denganku. Kami berdua bak langit dan bumi. "Kita pulang langsung saja, Rud. Istri kamu pasti ngomel-ngomel kalau kita terlalu lama di sini." Oh, tidak! Langsung ke Semarang? Tak bisakan di sini barang dua atau tiga hari lagi. Aku ingin bertemu dengan Wulan dan Diana. Aku sangat merindukan mereka. Kalau bisa aku ingin kembali ke rumah itu. Hidup bertiga dengan penuh kebahagiaan. "Kalau begitu kita pulang saja, Bu. Pekerjaan Rudi masih banyak." Mas Rudi mulai menyalakan mesin mobil miliknya. "Tunggu, Mas!" Mas Rudi menoleh ke belakang. "Aku ingin bertemu Wulan dan Diana. Ingin meminta maaf pada mereka. Dan semoga Wulan mau rujuk denganku lagi." Mas Rudi menggelangkan kepala mendengar kalimat terakhir yang ku ucapkan. Apa yang salah? Ta
"Diana, ini ayah. Diana tidak kangen ayah?" tanya Mas Wahyu seraya melambaikan tangan. Diana diam, tapi tangannya semakin kuat memelukku. Bahkan membuatku susah bergerak. "Diana gak mau sama ayah. Diana takut ...."Aku tahu jika Diana marah dan kecewa pada Mas Wahyu. Namun aku tak pernah menyangka jika dia sampai takut seperti ini. Kekerasan yang Mas Wahyu lakukan menimbulkan trauma di hati Diana. Kasihan kamu, nak. "Diana salim dulu sama ayah," ucapku membujuk Diana. Seburuk-buruknya Mas Wahyu dia tetap ayah kandung Diana. Aku tak ingin putriku menjadi anak durhaka karena membenci ayahnya. Diana menggeleng lalu berlari ke kamar. Ketakutannya begitu besar pada ayah kandungnya sendiri. Miris. "Silahkan masuk, Bu, Mas." Mas Wahyu dan keluarganya mengikuti langkahku.Tatapan tak suka tergambar jelas di mata Mbak Ina dan Ami. Sedikit banyak mereka tahu masalah rumah tanggaku. Bukan aku mengumbar aib mantan suami. Tapi kenyataannya mereka tahu sendiri. Sikap Mas Wahyu yang suka melaku
"Kalau tidak ada yang ingin disampaikan lagi, aku mohon tinggalkan rumah ini, Mas!" Ku tunjuk pintu keluar. Ini memang tidak sopan. Mengusir tahu adalah perbuatan tercela. Namun harus ku lakukan untuk menjaga psikis Diana. "Kamu ngusir kami, Lan?" tanya ibu dengan mata berkaca-kaca. Sebenarnya tak ada niatan untuk mengusir ibu atau Mas Rudi. Aku hanya tak ingin Mas Wahyu berada di sini. Aku tak mau Diana kembali terluka. "Maaf, Bu. Bukan maksud Wulan mengusir kalian. Keadaan yang memaksa Wulan untuk melakukan itu. Wulan hanya menjaga perasaan Diana. Kasihan dari tadi dia ketakutan di kamar.""Tapi tidak sopan mengusir kami. Wahyu itu juga berhak atas Diana."Ya AllahDengan apa ku beri tahu mereka jika Diana tengah terluka? Apa mereka tak memikirkan kesehatan kejiwaan putriku? Kenapa selalu Mas Wahyu? "Kalau ibu tidak percaya, silahkan lihat ke kamar Diana.""Tidak perlu, Lan. Mas tahu apa yang kamu katakan benar adanya. Mas minta maaf jika kehadiran kami membuat Diana ketakutan.
Sekarang aku di sini. Duduk di samping pusara Mas Rohmad. Ya, kakakku telah dikebumikan beberapa jam yang lalu. Aku terlambat datang hingga tak dapat melihatnya untuk terakhir kali. Kuhapus jejak air mata yang membasahi pipi. Berusaha tidak menangis tapi tetap saja tidak bisa. "Kenapa Mas tinggalin aku!" Kusentuh nisan kayu bertuliskan nama kakakku. "Bahkan Wulan tidak bisa melihat Mas Rohmad untuk terakhir kalinya. Kenapa Mas pergi secepat ini?" ucapku dengan tangis sesegukkan. Aku masih tak percaya jika kini Mas Rohmad, Mbak Lia dan Aqila sudah tidur untuk selama-lamanya. Baru kemarin kami bercanda bersama. Tapi kini mereka telah tiada. Tidak ada lagi keceriaan dan kehangatan yang selalu mereka berikan padaku. Takdir Tuhan tak pernah ada yang tahu. Detik ini tersenyum bersama lalu detik berikutnya menangis kehilangan. Aku tahu kematian adalah takdir yang tak bisa ditolak. Namun kenapa secepat ini? Ya Tuhan, apa aku salah bila berharap semua ini hanya mimpi? Dan ketika terbangun
"Ini semua sudah takdir, Bu. Saya juga tidak ingin semua ini terjadi. Namun saya bisa apa?""Semua tidak akan terjadi kalau mereka tidak mengantar Diana. Mereka pasti masih hidup. Semua gara-gara kamu!" tangannya menunjuk tepat ke arahku. Aku beristighfar dalam hati. Mengelus dada yang kian terasa sesak. Aku kehilangan kakakku dan aku yang dituduh menjadi penyebab kematiannya. Sungguh menyakitkan. Harusnya wanita berumur seperti beliau sadar jika kematian pasti datang. Tak perduli ia bersembunyi di kolong ranjang, jika waktunya telah usai maka malaikat maut akan datang menjemputnya. Mbak Lia dan Mas Rohmad meninggal setelah mengantarkan Diana, itu yang membuat mereka menyalahkan kami. "Saya permisi." Aku beranjak menuju kamar tamu. Tempat aku meletakkan pakaian ganti. Rencananya aku ingin menginap sampai tujuh hari kematian Mas Rohmad. Namun sepertinya harus kubatalkan rencana awal karena keadaan yang tidak memungkinkan. Aku dan Diana telah berganti pakaian. Baju basah sudah kumas
Aku masih duduk dengan punggung menempel di sandaran ranjang. Diana sudah terlelap ke alam mimpi. Dengkuran halus keluar dari mulutnya. Dia pasti kelelahan setelah perjalanan jauh. Kamar terasa dingin hingga menusuk tulang. Segera kumatikan pendingin ruangan yang masih menyala. Kurebahkan tubuh ini samping Diana. Tidak lupa menutup tubuh dengan selimut besar. Kupejamkan mata, berharap segara menyusul putriku ke alam mimpi. Namun hingga setengah jam rasa kantuk belum juga menghampiri. Bayang Mas Rohmad, Mbak Lia dan Aqila menari-nati dalam angan. Rasa lelah yang sempat mendera berganti dengan rasa kehilangan yang menyesakkan dada. Bulir bening yang sempat berhenti kini jatuh kembali. Aku menangis, mengeluarkan beban dan rasa kecewa yang hadir silih berganti. Apa mereka pergi karena salahku? Apa aku memang pantas disebut seorang pembunuh? Pertanyaan itu berputar-putar dalam kepala. Rasanya ingin berteriak, mengeluarkan beban yang ada. Namun lagi-lagi aku tak bisa. Jarum jam sudah
Wulan membuka koper untuk mengambil pakaian ganti. Rasa lengket di tubuh membuatnya ingin segera mandi. Namun langkahnya terhenti saat Bagus masuk ke dalam kamar. Lelaki itu berjalan mendekat sambil menatap Wulan tak berkedip. Tatapan itu yang membuat jantung Wulan seketika berdetak dengan kencang. Tubuhnya terasa panas bagai tersengat aliran listrik. "Mas mau aku siapin pakaian ganti?" tanya Wulan sambil mengatur detak jantung yang kian kencang. Rasanya hampir terlepas dari singgasananya. Bagus hanya tersenyum lalu mengambil pakaian yang sudah berada di tangan Wulan. Baju itu diletakkan kembali di atas koper yang sudah dibuka. Mendadak rasa gugup singgah di hati Wulan. Ia tahu betul apa yang diinginkan suaminya. Bagus menuntut Wulan hingga berada di atas ranjang. Pandangan mereka mulai mengunci. Debaran hangat terasa di antara mereka berdua. Hingga akhirnya mereka menikmati indahnya surga dunia. ***Wulan, Bagus dan Diana sudah berdiri di lobi rumah sakit. Sengaja mereka hanya da
"Kita mau ke mana, bu?" tanya Diana. "Kita ke rumah ayah. Ayah kangen sama kamu, sayang." "Gak mau! Aku gak mau ketemu ayah!" Diana berlari masuk ke dalam rumah. Wulan dan Bagus saling pandang. Lalu Wulan meletakkan tas di kursi depan. Mengatur nafas yang terasa sesak. Bayangan Diana dipukul kembali menari-nari dalam angan. Dia sadar betul rasa trauma masih bersarang di hati putrinya, meski perlahan terkikis oleh kasih sayang Bagus. "Buar aku saja. Kamu di sini!" Langkah kaki Wulan terhenti mendengar perkataan sang suami. Walau sedikit ragu tapi ia menurut saja. Bagus berjalan cepat menuju kamar Diana yang ada di lantai atas. Perlahan membuka pintu yang tertutup rapat. Gadis kecil Wulan sedang menangis sesegukan di atas ranjang. Kejadian bersama Wahyu kembali berkeliaran di benaknya. Memori kelam yang berusaha ia lupakan. Meski tak bisa sama sekali untuk dihilangkan. Bagus segera duduk tepat di samping anak tirinya. Mengangkat kepala Diana lalu menghapus jejak air mata mengguna
Roda kehidupan memang tidak bisa diprediksi. Kemarin sedih sekarang bahagia atau justru sebaliknya. Seperti yang di rasakan Wulan. Penderitaan saat bersama Wahyu kini terganti dengan senyum bahagia. Bagus mampu menjadi suami serta ayah yang baik untuk Wulan dan anak-anaknya. Kini mereka hidup bahagia. Tak pernah ada pertengkaran di rumah tangga mereka. Sedikit cekcok karena perbedaan prinsip adalah hal biasa. "Mau ke mana, sayang?" tanya Bagus saat melihat Wulan sudah duduk di depan meja rias. Gamis soft pink dengan hijab berwarna senada kian menambah aura kecantikannya. Ya, walau tanpa riasan tebal di wajahnya. Wulan menghentikan gerakan tangan lalu menatap Bagus dari pantulan cermin di hadapannya. "Mau ke rumah Mas, pengen lihat laporan minggu ini. Mas mau ikut?""Boleh, tapi jangan ajak anak-anak ya! Sekali-kali jalan berdua," ucap Bagus seraya mengedipkan matanya. Wulan dan Bagus memang tak memiliki waktu banyak untuk berdua. Memiliki tiga anak membuat pasangan suami istri i
"Apa ada yang bernama Wulan dan Diana?" Langkah Rudi terhenti mendengar pertanyaan sang dokter.Sri dan Rika pun saling pandang. Mereka sangat terkejut dengan perkataan dokter itu.Dari mana dokter tahu Wulan dan Diana?Pertanyaan yang sama muncul di pikiran keluarga Wahyu. Dari awal mereka menginjakkan kaki di rumah sakit, tak sekalipun menyebut nama mantan istri dan anak Wahyu."Pasien mengigau dan memanggil nama Wulan dan Diana. Apa mereka keluarga pasien?" jawab dokter seperti dapat membaca pikiran mereka.Semua terdiam, bingung harus menjawab apa? Ingin mengatakan iya tapi takut sang dokter bertanya lebih jauh lagi. Di mana istrinya mungkin? Dan itu akan membuka aib Wahyu."Mereka anak dan mantan istrinya, dok," jawab Sri pelan."Kalau bisa mereka diminta ke mari. Siapa tahu pasien akan cepat sembuh saat mereka datang."Sri hanya mengangguk hingga dokter itu kembali masuk ke ruang IGD.Semua terdiam, Rudi yang hendak mengurus administrasi justru diam di tempat. Seakan ada magne
Pov Author"Rika!Rika!" Teriak Sri mengejutkan sangat putri. Dengan berlari Rika menuju sumber suara.Rika kebingungan melihat Sri menangis tersedu di samping Wahyu. Apa Wahyu telah meninggal? Pertanyaan itu yang sempat hadir di benar gadis berambut sepunggung itu."Mas Wahyu kenapa, Bu?" tanya Wulan seraya menyentuh pergelangan tangan sang kakak. Dia memastikan apakah Wahyu masih hidup atau sudah meninggal. Masih terasa denyut nadi. Itu tandanya Wahyu belum dipanggil sang Maha Kuasa."Wahyu tidak bangun-bangun Rik. Ibu takut terjadi apa-apa dengannya. Tolong kamu panggilkan Masmu. Minta dia antarkan Wahyu ke rumah sakit." Rika mengangguk lalu segera menuju kamar untuk menelepon Rudi.Sri menangis melihat tubuh Wahyu yang kian kurus. Setelah menelepon Wulan beberapa minggu yang lalu, Wahyu semakin terpuruk. Rasa menyesal tertancap dalam di sanubari lelaki itu. Tak ada lagi semangat untuk sembuh. Dia terpukul mengetahui wanita yang ia cintai sudah memiliki tambatan hati lain."Semanga
Pov Wahyu"Ibu! Ibu!" Suara Mbak Yuli terdengar nyaring hingga menghancurkan gendang telinga. "Ibu!" Teriaknya lagi saat ibu tak kunjung menyahut. Kakak iparku itu memang tak memiliki sopan santun. Berteriak di rumah orang pagi-pagi begini. Kalau aku bisa jalan sudah ku tampar dia. Sayang, aku masih mengandalkan uang Mas Rudy untuk biaya berobat. Kalau aku sudah sembuh dia pasti tidak semena-mena kepada kami. Aku memilih diam dan pura-pura tidur saat mendengar teriakan Mbak Yuli. Melawan Mbak Yuli tak akan pernah ada habisnya. Dia selalu bersikap seolah-olah dia paling benar. Sungguh menyebalkan! BRAAKPintu kamar dibuka kasar dari luar. Mbak Yuli menatap nyalang seraya berkacak pinggang di depan pintu. Niat hati pura-pura tidur gagal karena Mbak Yuli lebih dahulu masuk ke kamar. "Ibu tidak ada, mbak. Mungkin sedang ke warung," jawabku asal karena aku tidak tahu ibu ke mana. Dari bangun tidur aku belum keluar kamar. Jangankan untuk keluar, tubuhku saja sudah tak ada tenaganya, l
Aku dan Mas Bagus diam, bingung harus menjawab apa. Kami hanya melihat Bu Handayani tadi setelah memberikan gaji pada karyawan Mas Rohmad. Setelah itu kami berada di rumah. Kami juga tidak mendengar jeritan orang minta tolong. "Saya sudah mencari ke sekitar rumah. Tapi tetap tidak ada." Pak Abdul menjatuhkan bobot di sofa ruang keluarga. Aku dan Mas Bagus berdiri, ingin duduk tapi tidak ada tempat. "Kita lapor polisi saja, Pak. Jangan pegang apa pun. Siapa tahu ini tindakan kriminal." Pak Abdul mengangguk lalu beranjak berdiri. Kami berjalan meninggalkan rumah Pak Abdul menuju mobil Mas Bagus yang masih terparkir di halaman rumah. Mas Bagus segera berlari ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil dan menitipkan anak-anak kepada Bik Lastri. "Sabar, Pak." Pak Abdul mengangguk dengan pandangan lurus ke depan. "Ayo masuk!" ucap Mas Bagus seraya berlari menuju mobil. Aku dan Pak Abdul segera mengekor. Suara mobil berhenti di jalan depan rumah terdengar saat aku hendak membuka pint
"Wulan! Akbar!" Sama-sama terdengar suara orang memanggil namaku dan Akbar bergantian. "Mas dengar orang panggil namaku gak?" Mas Bagus diam seraya mempertajam pendengarannya. Tak berapa lama lelaki itu justru tersenyum ke arahku. "Mas juga dengar," ucapnya seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku hanya memperhatikan sikapnya. "Berarti aku gak salah dengar kan, aku keluar dulu, Mas." Aku beranjak berdiri, sambil membungkukkan badan saat melewati Mas Bagus. "Mau ke mana?" Mas Bagus mencekal tangan kananku. Ku hentikan langkah seraya menatap bingung ke arahnya. "Mau ke depan, tadi ada yang manggil, Mas. Katanya Mas Bagus denger!""Mendekat!" Aku mengernyitkan dahi mendengar perintahnya. Ini aku mau melihat tamu tapi justru diminta mendekat. Namun aku tetap saja melakukannya. Entahlah, ucapan Mas Bagus seakan memiliki magnet hingga aku menurut saja. "Yang manggil itu di sini!" Mas Bagus menyentuh dadanya. Seketika wajahku menjadi merah merona. "Ya jadi merah pipinya, sudah s
"Aw ... Sakit!" teriak Handayani saat kakinya menginjak pecahan vas yang berserakan di atas lantai. Kaki tanpa alas mempermudah kaca itu masuk ke dalam kulitnya. Handayani meringis kesakitan. Darah segar keluar dari kaki kanannya. Seketika lantai keramik berwana putih itu berubah warna menjadi merah merona. Handayani berusaha mencabut pecahan kaca yang masuk ke dalam kulitnya. Satu cabutan membuat darah semakin mengalir banyak. Namun rasa sakit itu belum juga reda. Rupanya tidak hanya satu kaca yang masuk. Ada beberapa kaca kecil yang masuk lebih dalam. Mata tua Handayani tak bisa melihat lebih jelas di mana luka itu berada. "Abdul! Abdul!" Teriak Handayani. Handayani lupa jika suaminya sedang pergi. Dia terus saja berteriak. Namun sampai pita suaranya rusak pun Abdul tidak akan mendengar. Lelaki bertubuh tambun itu sedang menjemput tukang urut yang ada di kampung sebelah. Nahas, motor yang dikendarai Abdul mogok di jalan. Lelaki itu harus mencari bengkel yang letaknya lumayan ja