Share

Ini Tidak Mungkin

last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-27 11:02:11

"Kalau tidak ada yang ingin disampaikan lagi, aku mohon tinggalkan rumah ini, Mas!" Ku tunjuk pintu keluar.

Ini memang tidak sopan. Mengusir tahu adalah perbuatan tercela. Namun harus ku lakukan untuk menjaga psikis Diana.

"Kamu ngusir kami, Lan?" tanya ibu dengan mata berkaca-kaca.

Sebenarnya tak ada niatan untuk mengusir ibu atau Mas Rudi. Aku hanya tak ingin Mas Wahyu berada di sini. Aku tak mau Diana kembali terluka.

"Maaf, Bu. Bukan maksud Wulan mengusir kalian. Keadaan yang memaksa Wulan untuk melakukan itu. Wulan hanya menjaga perasaan Diana. Kasihan dari tadi dia ketakutan di kamar."

"Tapi tidak sopan mengusir kami. Wahyu itu juga berhak atas Diana."

Ya Allah

Dengan apa ku beri tahu mereka jika Diana tengah terluka? Apa mereka tak memikirkan kesehatan kejiwaan putriku? Kenapa selalu Mas Wahyu?

"Kalau ibu tidak percaya, silahkan lihat ke kamar Diana."

"Tidak perlu, Lan. Mas tahu apa yang kamu katakan benar adanya. Mas minta maaf jika kehadiran kami membuat Diana ketakutan.
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Dituduh

    Sekarang aku di sini. Duduk di samping pusara Mas Rohmad. Ya, kakakku telah dikebumikan beberapa jam yang lalu. Aku terlambat datang hingga tak dapat melihatnya untuk terakhir kali. Kuhapus jejak air mata yang membasahi pipi. Berusaha tidak menangis tapi tetap saja tidak bisa. "Kenapa Mas tinggalin aku!" Kusentuh nisan kayu bertuliskan nama kakakku. "Bahkan Wulan tidak bisa melihat Mas Rohmad untuk terakhir kalinya. Kenapa Mas pergi secepat ini?" ucapku dengan tangis sesegukkan. Aku masih tak percaya jika kini Mas Rohmad, Mbak Lia dan Aqila sudah tidur untuk selama-lamanya. Baru kemarin kami bercanda bersama. Tapi kini mereka telah tiada. Tidak ada lagi keceriaan dan kehangatan yang selalu mereka berikan padaku. Takdir Tuhan tak pernah ada yang tahu. Detik ini tersenyum bersama lalu detik berikutnya menangis kehilangan. Aku tahu kematian adalah takdir yang tak bisa ditolak. Namun kenapa secepat ini? Ya Tuhan, apa aku salah bila berharap semua ini hanya mimpi? Dan ketika terbangun

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-28
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Firasat

    "Ini semua sudah takdir, Bu. Saya juga tidak ingin semua ini terjadi. Namun saya bisa apa?""Semua tidak akan terjadi kalau mereka tidak mengantar Diana. Mereka pasti masih hidup. Semua gara-gara kamu!" tangannya menunjuk tepat ke arahku. Aku beristighfar dalam hati. Mengelus dada yang kian terasa sesak. Aku kehilangan kakakku dan aku yang dituduh menjadi penyebab kematiannya. Sungguh menyakitkan. Harusnya wanita berumur seperti beliau sadar jika kematian pasti datang. Tak perduli ia bersembunyi di kolong ranjang, jika waktunya telah usai maka malaikat maut akan datang menjemputnya. Mbak Lia dan Mas Rohmad meninggal setelah mengantarkan Diana, itu yang membuat mereka menyalahkan kami. "Saya permisi." Aku beranjak menuju kamar tamu. Tempat aku meletakkan pakaian ganti. Rencananya aku ingin menginap sampai tujuh hari kematian Mas Rohmad. Namun sepertinya harus kubatalkan rencana awal karena keadaan yang tidak memungkinkan. Aku dan Diana telah berganti pakaian. Baju basah sudah kumas

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-29
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Diusir Lagi

    Aku masih duduk dengan punggung menempel di sandaran ranjang. Diana sudah terlelap ke alam mimpi. Dengkuran halus keluar dari mulutnya. Dia pasti kelelahan setelah perjalanan jauh. Kamar terasa dingin hingga menusuk tulang. Segera kumatikan pendingin ruangan yang masih menyala. Kurebahkan tubuh ini samping Diana. Tidak lupa menutup tubuh dengan selimut besar. Kupejamkan mata, berharap segara menyusul putriku ke alam mimpi. Namun hingga setengah jam rasa kantuk belum juga menghampiri. Bayang Mas Rohmad, Mbak Lia dan Aqila menari-nati dalam angan. Rasa lelah yang sempat mendera berganti dengan rasa kehilangan yang menyesakkan dada. Bulir bening yang sempat berhenti kini jatuh kembali. Aku menangis, mengeluarkan beban dan rasa kecewa yang hadir silih berganti. Apa mereka pergi karena salahku? Apa aku memang pantas disebut seorang pembunuh? Pertanyaan itu berputar-putar dalam kepala. Rasanya ingin berteriak, mengeluarkan beban yang ada. Namun lagi-lagi aku tak bisa. Jarum jam sudah

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-30
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Diusir Lagi 2

    "Tolonglah, Mbak. Sebentar saja. Sepuluh menit deh." Aku berusaha merayu, siapa tahu mbaknya luluh. "Maaf, Mbak.""Ini ada apa Sit?" tanya seorang satpam. Lelaki dengan perut buncit itu pasti datang karena mendengar perdebatan kami. Kalau begini, tak mungkin aku bisa naik ke atas. Mbak yang menunggu meja resepsionis itu mulai menceritakan setiap detil apa yang ku katakan tadi. Sekarang bukan hanya pihak resepsionis yang melarang, satpam pun mulai ambil tindakan. "Ya sudah, saya permisi,Mbak," ucapku pelan.Aku berjalan dengan langkah gontai meninggalkan rumah sakit. Rasa kecewa menyelimuti hati. Ingin rasanya nekat masuk ke dalam tapi tetap kalah dengan peraturan. "Tidak jadi ke ruangan Mas Akbar, Bu?" Aku menggelengkan kepala. Seketika Diana menjadi masam. Raut kecewa tergambar jelas di sana. "Kita pulang ya, nak. Besok kita video call Mas Akbar," ucapku meyakinkan walau aku sendiri tak tahu akan menghubungi nomor siapa. Kembali aku memesan taksi di aplikasi online. Aku dan Di

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-31
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Permintaan Diana

    Aku menyapu setiap sudut rumah. Membersihkan plastik dan tisue yang beserakan di lantai. Bekas acara pengajian tujuh harian Mas Rohmad, Mbak Lia dan Aqila. Setelah pulang dari Cilacap tempo hari. Aku putuskan untuk mengadakan tahlilan di rumah ini. Mbak Ina dan Ami kuliburkan menjahitnya. Besok baru menjahit kembali. Banyak tetangga yang mengucapkan bela sungkawa atas kepergian Mas Rohmad dan keluarganya. Mereka terkenal ramah di mata warga sini. Tak heran banyak yang hadir untuk mendoakan mereka. Sudah tujuh hari Mas Rohmad meninggalkanku. Namun hingga detik ini, aku masih saja tidak percaya jika mereka telah tiada. Lagi, aku berharap semua ini mimpi. Namun kenyataannya semua ini benar adanya. "Mau dibantuin,Lan?" tanya Mbak Ina yang sudah berdiri di depan pintu. Entah sejak kapan dia di sana? "Tinggal nyapu doang Mbak." Tolakku halus. Aku tak ingin merepotkan Mbak Ina dan Ami terus-menerus. Sudah cukup beberapa hari ini membantuku mengurus acara tahlilan Mas Rohmad dan keluarg

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-01
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Kedatangan Handayani

    "Diana mandi dulu, sayang," ucapku saat melihat jam dinding sudah menunjukkan angka empat. Rumah kembali terasa sepi karena Mbak Ina dan Ami sudah pulang dari tadi siang. "Entar ya, Bu. Acara televisinya masih bagus." Diana masih duduk di kasur lantai dengan mata fokus ke layar televisi. "Nanti keburu dingin lho, nak. Mandi dulu gih!""Nantilah, bu!""Ibu matiin ya, televisinya!""Ibu mah gak asyik!" Diana segera berdiri lalu berjalan menuju kamar mandi. Sesekali kakinya ia hentakkan. Rupanya anak gadisku sedang merajuk. Aku tak pernah melarang untuk menonton televisi tapi tetap harus tahu waktu. Kapan saatnya mandi, kapan saatnya makan, dan belajar. Aku ingin mendidik Diana agar bisa belajar disiplin. Dimulai dari mandi tepat waktu. Apa aku kejam? Tidak. Anak-anak memang perlu diajarkan disiplin agar setelah dia tumbuh dewasa, dia tidak akan kaget. Karena tidak selamanya aku bisa menemani. Seperti musibah yang menimpa Akbar. Dari situ aku belajar pentingnyaSuara katukan pintu te

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-02
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Salah Hari

    "Maaf Bu. Saya akan menjalankan amanah yang Mas Rohmad dan Mbak Lia berikan. Jadi ibu tidak berhak memaksa saya untuk menyerahkan wali atas Akbar.""Kamu ...." Bu Handayani mengarahkan jari telunjuk tepat ke arah mukaku. Dadanya sampai naik turun menahan emosi. "Sekali lagi saya minta maaf, saya akan merawat Akbar dengan baik.""Mana bisa janda mengurus dua anak!"Astaga! Mulutnya ingin kulem supaya tidak bicara seenaknya. Mentang-mentang lebih tua dariku. Memang dia pikir aku takut? Tidak. Kamu jual aku beli! "Pak Iwan." Kutatap lelaki berjas hitam itu. Sengaja tak ku hiraukan ucapan nenek rese itu. "Iya, ada yang perlu ditanyakan lagi?""Apa bisa saya merawat Akbar di sini? Karena saya tidak mungkin meninggalkan pekerjaan saya di sini.""Ibu tidak usah khawatir. Akbar boleh tinggal di sini. Masalah rumah makan, ada karyawan kepercayaan Pak Rohmad yang akan mengurusnya. Ibu tinggal memantau laporan dari sini. Tapi sesekali ibu harus meninjau langsung keadaan rumah makan tersebut."

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-03
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Kedatangan Akbar

    "Saya turut bela sungkawa. Semoga mereka di tempatkan di surga-Nya. Saya tidak menyangka jika mereka akan pergi secepat ini. Baru kemarin dia menitipkanmu padaku. Dan kini dia sudah tenang di alam sana."Menitipkanku? Apa maksud ucapan lelaki itu? Siapa yang menitipkanku padanya? Mamangnya aku barang yang bisa di titipkan di sebelah kasir? "Maksud Mas Bagus apa, ya?"Mas Bagus menatap lurus ke depan. Seolah tengah kembali melihat masa lalu. "Ingat waktu aku melamarmu menggunakan spanduk beberapa hari lalu?" "Iya," jawabku cepat. Aku ingin segera mendengar kelanjutan cerita Mas Bagus. "Saat kamu ada di dalam, Mas Rohmad pernah berpesan untuk menjaga kamu dan Diana. Dia menitipkan kalian padaku. Aku sempat tertawa mendengar ucapannya. Lucu saja, dia menitipkan kalian padaku. Sedang kamu belum menjawab lamaranku. Dan ternyata itu permintaan terakhirnya." Mas Bagus menyeka sudut matanya. Dia menangis saat menceritakan Mas Rohmad. Aku yang sedari tadi mendengarkan pun ikut menangis. U

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-04

Bab terbaru

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 6

    Wulan membuka koper untuk mengambil pakaian ganti. Rasa lengket di tubuh membuatnya ingin segera mandi. Namun langkahnya terhenti saat Bagus masuk ke dalam kamar. Lelaki itu berjalan mendekat sambil menatap Wulan tak berkedip. Tatapan itu yang membuat jantung Wulan seketika berdetak dengan kencang. Tubuhnya terasa panas bagai tersengat aliran listrik. "Mas mau aku siapin pakaian ganti?" tanya Wulan sambil mengatur detak jantung yang kian kencang. Rasanya hampir terlepas dari singgasananya. Bagus hanya tersenyum lalu mengambil pakaian yang sudah berada di tangan Wulan. Baju itu diletakkan kembali di atas koper yang sudah dibuka. Mendadak rasa gugup singgah di hati Wulan. Ia tahu betul apa yang diinginkan suaminya. Bagus menuntut Wulan hingga berada di atas ranjang. Pandangan mereka mulai mengunci. Debaran hangat terasa di antara mereka berdua. Hingga akhirnya mereka menikmati indahnya surga dunia. ***Wulan, Bagus dan Diana sudah berdiri di lobi rumah sakit. Sengaja mereka hanya da

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 5

    "Kita mau ke mana, bu?" tanya Diana. "Kita ke rumah ayah. Ayah kangen sama kamu, sayang." "Gak mau! Aku gak mau ketemu ayah!" Diana berlari masuk ke dalam rumah. Wulan dan Bagus saling pandang. Lalu Wulan meletakkan tas di kursi depan. Mengatur nafas yang terasa sesak. Bayangan Diana dipukul kembali menari-nari dalam angan. Dia sadar betul rasa trauma masih bersarang di hati putrinya, meski perlahan terkikis oleh kasih sayang Bagus. "Buar aku saja. Kamu di sini!" Langkah kaki Wulan terhenti mendengar perkataan sang suami. Walau sedikit ragu tapi ia menurut saja. Bagus berjalan cepat menuju kamar Diana yang ada di lantai atas. Perlahan membuka pintu yang tertutup rapat. Gadis kecil Wulan sedang menangis sesegukan di atas ranjang. Kejadian bersama Wahyu kembali berkeliaran di benaknya. Memori kelam yang berusaha ia lupakan. Meski tak bisa sama sekali untuk dihilangkan. Bagus segera duduk tepat di samping anak tirinya. Mengangkat kepala Diana lalu menghapus jejak air mata mengguna

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 4

    Roda kehidupan memang tidak bisa diprediksi. Kemarin sedih sekarang bahagia atau justru sebaliknya. Seperti yang di rasakan Wulan. Penderitaan saat bersama Wahyu kini terganti dengan senyum bahagia. Bagus mampu menjadi suami serta ayah yang baik untuk Wulan dan anak-anaknya. Kini mereka hidup bahagia. Tak pernah ada pertengkaran di rumah tangga mereka. Sedikit cekcok karena perbedaan prinsip adalah hal biasa. "Mau ke mana, sayang?" tanya Bagus saat melihat Wulan sudah duduk di depan meja rias. Gamis soft pink dengan hijab berwarna senada kian menambah aura kecantikannya. Ya, walau tanpa riasan tebal di wajahnya. Wulan menghentikan gerakan tangan lalu menatap Bagus dari pantulan cermin di hadapannya. "Mau ke rumah Mas, pengen lihat laporan minggu ini. Mas mau ikut?""Boleh, tapi jangan ajak anak-anak ya! Sekali-kali jalan berdua," ucap Bagus seraya mengedipkan matanya. Wulan dan Bagus memang tak memiliki waktu banyak untuk berdua. Memiliki tiga anak membuat pasangan suami istri i

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 3

    "Apa ada yang bernama Wulan dan Diana?" Langkah Rudi terhenti mendengar pertanyaan sang dokter.Sri dan Rika pun saling pandang. Mereka sangat terkejut dengan perkataan dokter itu.Dari mana dokter tahu Wulan dan Diana?Pertanyaan yang sama muncul di pikiran keluarga Wahyu. Dari awal mereka menginjakkan kaki di rumah sakit, tak sekalipun menyebut nama mantan istri dan anak Wahyu."Pasien mengigau dan memanggil nama Wulan dan Diana. Apa mereka keluarga pasien?" jawab dokter seperti dapat membaca pikiran mereka.Semua terdiam, bingung harus menjawab apa? Ingin mengatakan iya tapi takut sang dokter bertanya lebih jauh lagi. Di mana istrinya mungkin? Dan itu akan membuka aib Wahyu."Mereka anak dan mantan istrinya, dok," jawab Sri pelan."Kalau bisa mereka diminta ke mari. Siapa tahu pasien akan cepat sembuh saat mereka datang."Sri hanya mengangguk hingga dokter itu kembali masuk ke ruang IGD.Semua terdiam, Rudi yang hendak mengurus administrasi justru diam di tempat. Seakan ada magne

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 2

    Pov Author"Rika!Rika!" Teriak Sri mengejutkan sangat putri. Dengan berlari Rika menuju sumber suara.Rika kebingungan melihat Sri menangis tersedu di samping Wahyu. Apa Wahyu telah meninggal? Pertanyaan itu yang sempat hadir di benar gadis berambut sepunggung itu."Mas Wahyu kenapa, Bu?" tanya Wulan seraya menyentuh pergelangan tangan sang kakak. Dia memastikan apakah Wahyu masih hidup atau sudah meninggal. Masih terasa denyut nadi. Itu tandanya Wahyu belum dipanggil sang Maha Kuasa."Wahyu tidak bangun-bangun Rik. Ibu takut terjadi apa-apa dengannya. Tolong kamu panggilkan Masmu. Minta dia antarkan Wahyu ke rumah sakit." Rika mengangguk lalu segera menuju kamar untuk menelepon Rudi.Sri menangis melihat tubuh Wahyu yang kian kurus. Setelah menelepon Wulan beberapa minggu yang lalu, Wahyu semakin terpuruk. Rasa menyesal tertancap dalam di sanubari lelaki itu. Tak ada lagi semangat untuk sembuh. Dia terpukul mengetahui wanita yang ia cintai sudah memiliki tambatan hati lain."Semanga

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 1

    Pov Wahyu"Ibu! Ibu!" Suara Mbak Yuli terdengar nyaring hingga menghancurkan gendang telinga. "Ibu!" Teriaknya lagi saat ibu tak kunjung menyahut. Kakak iparku itu memang tak memiliki sopan santun. Berteriak di rumah orang pagi-pagi begini. Kalau aku bisa jalan sudah ku tampar dia. Sayang, aku masih mengandalkan uang Mas Rudy untuk biaya berobat. Kalau aku sudah sembuh dia pasti tidak semena-mena kepada kami. Aku memilih diam dan pura-pura tidur saat mendengar teriakan Mbak Yuli. Melawan Mbak Yuli tak akan pernah ada habisnya. Dia selalu bersikap seolah-olah dia paling benar. Sungguh menyebalkan! BRAAKPintu kamar dibuka kasar dari luar. Mbak Yuli menatap nyalang seraya berkacak pinggang di depan pintu. Niat hati pura-pura tidur gagal karena Mbak Yuli lebih dahulu masuk ke kamar. "Ibu tidak ada, mbak. Mungkin sedang ke warung," jawabku asal karena aku tidak tahu ibu ke mana. Dari bangun tidur aku belum keluar kamar. Jangankan untuk keluar, tubuhku saja sudah tak ada tenaganya, l

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ending

    Aku dan Mas Bagus diam, bingung harus menjawab apa. Kami hanya melihat Bu Handayani tadi setelah memberikan gaji pada karyawan Mas Rohmad. Setelah itu kami berada di rumah. Kami juga tidak mendengar jeritan orang minta tolong. "Saya sudah mencari ke sekitar rumah. Tapi tetap tidak ada." Pak Abdul menjatuhkan bobot di sofa ruang keluarga. Aku dan Mas Bagus berdiri, ingin duduk tapi tidak ada tempat. "Kita lapor polisi saja, Pak. Jangan pegang apa pun. Siapa tahu ini tindakan kriminal." Pak Abdul mengangguk lalu beranjak berdiri. Kami berjalan meninggalkan rumah Pak Abdul menuju mobil Mas Bagus yang masih terparkir di halaman rumah. Mas Bagus segera berlari ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil dan menitipkan anak-anak kepada Bik Lastri. "Sabar, Pak." Pak Abdul mengangguk dengan pandangan lurus ke depan. "Ayo masuk!" ucap Mas Bagus seraya berlari menuju mobil. Aku dan Pak Abdul segera mengekor. Suara mobil berhenti di jalan depan rumah terdengar saat aku hendak membuka pint

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Menjelang Ending

    "Wulan! Akbar!" Sama-sama terdengar suara orang memanggil namaku dan Akbar bergantian. "Mas dengar orang panggil namaku gak?" Mas Bagus diam seraya mempertajam pendengarannya. Tak berapa lama lelaki itu justru tersenyum ke arahku. "Mas juga dengar," ucapnya seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku hanya memperhatikan sikapnya. "Berarti aku gak salah dengar kan, aku keluar dulu, Mas." Aku beranjak berdiri, sambil membungkukkan badan saat melewati Mas Bagus. "Mau ke mana?" Mas Bagus mencekal tangan kananku. Ku hentikan langkah seraya menatap bingung ke arahnya. "Mau ke depan, tadi ada yang manggil, Mas. Katanya Mas Bagus denger!""Mendekat!" Aku mengernyitkan dahi mendengar perintahnya. Ini aku mau melihat tamu tapi justru diminta mendekat. Namun aku tetap saja melakukannya. Entahlah, ucapan Mas Bagus seakan memiliki magnet hingga aku menurut saja. "Yang manggil itu di sini!" Mas Bagus menyentuh dadanya. Seketika wajahku menjadi merah merona. "Ya jadi merah pipinya, sudah s

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Menuai Apa Yang Ditanam

    "Aw ... Sakit!" teriak Handayani saat kakinya menginjak pecahan vas yang berserakan di atas lantai. Kaki tanpa alas mempermudah kaca itu masuk ke dalam kulitnya. Handayani meringis kesakitan. Darah segar keluar dari kaki kanannya. Seketika lantai keramik berwana putih itu berubah warna menjadi merah merona. Handayani berusaha mencabut pecahan kaca yang masuk ke dalam kulitnya. Satu cabutan membuat darah semakin mengalir banyak. Namun rasa sakit itu belum juga reda. Rupanya tidak hanya satu kaca yang masuk. Ada beberapa kaca kecil yang masuk lebih dalam. Mata tua Handayani tak bisa melihat lebih jelas di mana luka itu berada. "Abdul! Abdul!" Teriak Handayani. Handayani lupa jika suaminya sedang pergi. Dia terus saja berteriak. Namun sampai pita suaranya rusak pun Abdul tidak akan mendengar. Lelaki bertubuh tambun itu sedang menjemput tukang urut yang ada di kampung sebelah. Nahas, motor yang dikendarai Abdul mogok di jalan. Lelaki itu harus mencari bengkel yang letaknya lumayan ja

DMCA.com Protection Status