Aku menyapu setiap sudut rumah. Membersihkan plastik dan tisue yang beserakan di lantai. Bekas acara pengajian tujuh harian Mas Rohmad, Mbak Lia dan Aqila. Setelah pulang dari Cilacap tempo hari. Aku putuskan untuk mengadakan tahlilan di rumah ini. Mbak Ina dan Ami kuliburkan menjahitnya. Besok baru menjahit kembali. Banyak tetangga yang mengucapkan bela sungkawa atas kepergian Mas Rohmad dan keluarganya. Mereka terkenal ramah di mata warga sini. Tak heran banyak yang hadir untuk mendoakan mereka. Sudah tujuh hari Mas Rohmad meninggalkanku. Namun hingga detik ini, aku masih saja tidak percaya jika mereka telah tiada. Lagi, aku berharap semua ini mimpi. Namun kenyataannya semua ini benar adanya. "Mau dibantuin,Lan?" tanya Mbak Ina yang sudah berdiri di depan pintu. Entah sejak kapan dia di sana? "Tinggal nyapu doang Mbak." Tolakku halus. Aku tak ingin merepotkan Mbak Ina dan Ami terus-menerus. Sudah cukup beberapa hari ini membantuku mengurus acara tahlilan Mas Rohmad dan keluarg
"Diana mandi dulu, sayang," ucapku saat melihat jam dinding sudah menunjukkan angka empat. Rumah kembali terasa sepi karena Mbak Ina dan Ami sudah pulang dari tadi siang. "Entar ya, Bu. Acara televisinya masih bagus." Diana masih duduk di kasur lantai dengan mata fokus ke layar televisi. "Nanti keburu dingin lho, nak. Mandi dulu gih!""Nantilah, bu!""Ibu matiin ya, televisinya!""Ibu mah gak asyik!" Diana segera berdiri lalu berjalan menuju kamar mandi. Sesekali kakinya ia hentakkan. Rupanya anak gadisku sedang merajuk. Aku tak pernah melarang untuk menonton televisi tapi tetap harus tahu waktu. Kapan saatnya mandi, kapan saatnya makan, dan belajar. Aku ingin mendidik Diana agar bisa belajar disiplin. Dimulai dari mandi tepat waktu. Apa aku kejam? Tidak. Anak-anak memang perlu diajarkan disiplin agar setelah dia tumbuh dewasa, dia tidak akan kaget. Karena tidak selamanya aku bisa menemani. Seperti musibah yang menimpa Akbar. Dari situ aku belajar pentingnyaSuara katukan pintu te
"Maaf Bu. Saya akan menjalankan amanah yang Mas Rohmad dan Mbak Lia berikan. Jadi ibu tidak berhak memaksa saya untuk menyerahkan wali atas Akbar.""Kamu ...." Bu Handayani mengarahkan jari telunjuk tepat ke arah mukaku. Dadanya sampai naik turun menahan emosi. "Sekali lagi saya minta maaf, saya akan merawat Akbar dengan baik.""Mana bisa janda mengurus dua anak!"Astaga! Mulutnya ingin kulem supaya tidak bicara seenaknya. Mentang-mentang lebih tua dariku. Memang dia pikir aku takut? Tidak. Kamu jual aku beli! "Pak Iwan." Kutatap lelaki berjas hitam itu. Sengaja tak ku hiraukan ucapan nenek rese itu. "Iya, ada yang perlu ditanyakan lagi?""Apa bisa saya merawat Akbar di sini? Karena saya tidak mungkin meninggalkan pekerjaan saya di sini.""Ibu tidak usah khawatir. Akbar boleh tinggal di sini. Masalah rumah makan, ada karyawan kepercayaan Pak Rohmad yang akan mengurusnya. Ibu tinggal memantau laporan dari sini. Tapi sesekali ibu harus meninjau langsung keadaan rumah makan tersebut."
"Saya turut bela sungkawa. Semoga mereka di tempatkan di surga-Nya. Saya tidak menyangka jika mereka akan pergi secepat ini. Baru kemarin dia menitipkanmu padaku. Dan kini dia sudah tenang di alam sana."Menitipkanku? Apa maksud ucapan lelaki itu? Siapa yang menitipkanku padanya? Mamangnya aku barang yang bisa di titipkan di sebelah kasir? "Maksud Mas Bagus apa, ya?"Mas Bagus menatap lurus ke depan. Seolah tengah kembali melihat masa lalu. "Ingat waktu aku melamarmu menggunakan spanduk beberapa hari lalu?" "Iya," jawabku cepat. Aku ingin segera mendengar kelanjutan cerita Mas Bagus. "Saat kamu ada di dalam, Mas Rohmad pernah berpesan untuk menjaga kamu dan Diana. Dia menitipkan kalian padaku. Aku sempat tertawa mendengar ucapannya. Lucu saja, dia menitipkan kalian padaku. Sedang kamu belum menjawab lamaranku. Dan ternyata itu permintaan terakhirnya." Mas Bagus menyeka sudut matanya. Dia menangis saat menceritakan Mas Rohmad. Aku yang sedari tadi mendengarkan pun ikut menangis. U
Pak Iwan, ibu Handayani dan suaminya berjalan mengekor di belakang Akbar. Setelah dipersilahkan masuk tentunya. Koper berisi pakaian Akbar di letakkan di samping sofa. Mereka duduk berurutan dengan Akbar di tengah kakek dan neneknya. Akbar diam, wajahnya ditekuk. Apa dia tidak suka tinggal di sini? Bukankah waktu bersama Mas Rohmad dia biasa saja?"Kedatangan kami untuk mengantarkan Akbar. Dan ini dokumen yang dibutuhkan untuk mendaftarkan sekolahnya." Pak Iwan menyerahkan map plastik berisi dokumen. "Terima kasih, Pak." Ku ambil map dan melihat satu persatu isi di dalamnya. Aku hanya ingin memastikan tidak ada yang terlewat. "Untuk biaya keseharian Akbar, saya akan mengirimkan uang ke nomor rekening Bu Wulan. Termasuk laba restoran perbulannya.""Kalau masalah uang, saya tidak setuju jika dikirimkan ke nomor rekening saya. Besok saya akan membuka kartu debit atas nama Akbar. Meski untuk pengelolaannya saya yang mengurus. Setidaknya uang harus terpisah agar tidak menimbulkan kesal
"Akbar mau makan apa? Roti bakar? Bubur kacang hijau? Atau martabak? Nanti tante belikan," ucapku seraya menjatuhkan bobot di atas ranjang, tepat di sebelahnya. Aku ingin mengikis tembok yang ia bangun. Aku ingin dia kembali tersenyum dan tertawa seperti dulu, saat Mas Rohmad dan Mbak Lia masih ada. Namun keinginanku tak akan mudah terwujud. "Aku tidak mau dekat-dekat dengan seorang pembunuh!"DEG!Seakan batu besar menimpa tubuhku hingga remuk tak berbentuk. Kenapa anak sekecil itu bisa mengatakan aku seorang pembunuh? "Keluar! Aku benci tante! Kalau tidak mengantar Diana. Semua keluargaku pasti masih hidup! Aku benci tante dan Diana. Aku benci!" Akbar menjerit histeris, air mata membanjiri pipi tembemnya. Ya Allah, apa yang harus ku lakukan? Aku harus bagaimana?Dengan derai air mata ku tinggalkan kamar Akbar. Mungkin dia ingin sendiri. Biarlah ku beri ruang untuk dia bebas mengeluarkan isi hati. Percuma ku jelaskan sekarang. Dia tidak akan percaya. ***Adzan subuh sudah berku
Sepeda motor siap di halaman. Rumah sudah kukunci dan kuletakkan di bawah keset depan pintu. "Ayo berangkat!" Akbar dan Diana nampak bahagia. Tas ransel sudah berada digendongan masing-masing. "Aku di depan, ya, Bu." Diana berlari lalu berdiri di atas motor. "Aku yang depan!" Akbar menarik paksa tangan Diana. Tarikan keras membuat Diana hilang keseimbangan dan jatuh ke tanah. "Hu ... hu ... hu...." Tangis Diana pecah seketika. "Diana tidak apa-apa?" Kubangunkan tubuhnya. Kulihat setiap inci bagian tubuhnya. Memastikan apakah ada luka serius atau tidak."Sakit, Bu ... hu... hu...." Diana memperlihatkan tangan kirinya. Kusentuh pelan tangan kirinya. Ada sedikit goresan di telapak tangan kirinya. Segera ku bersih akan dengan air agar tidak terjadi infeksi. "Kita obati ya, Nak." Diana menggeleng tapi tangisnya sudah reda. "Lain kali jangan begitu ya, Mas." Kulirik Akbar yang berdiri di depan sepeda motor. Wajahnya tambah masam setelah mendengar teguranku.Aku ingin mengajarkan Ak
Kusambar jaket dan kunci motor yang ada di dalam kamar. Sedikit terburu ku tinggalkan rumah. "Mbak helmnya!" teriakan Mbak Ina membuatku mematikan mesin motor yang sudah menyala. Ku llihat pantulan diri di kaca spion. Benar saja, aku belum memakai helm. Benda wajib pun belum menempel di mulut. Ya Allah, beginikah repotnya memiliki anak yang usil? "Jangan terburu-buru, Mbak. Fokus nyetirnya," wejangan Mbak Ina saat aku tengah memakai masker. Ku anggukan kepala lalu mengenakan helm. Mata fokus ke depan tapi pikiran melayang-layang. Menerka keusilan apa yang Akbar lakukan pada temannya? Kata-kata apa yang akan ku sampaikan pada wali anak itu? Rasanya aku sudah tak punya muka lagi. Selalu saja mendapat komplain yang sama. Akbar... Akbar, kapan kamu berubah?Aku berjalan sambil beristighfar dalam hati. Berharap kali ini wali anak yang dinakali Akbar tidak galak. Bisa diajak memaafkan kesalahan ponakanku itu. Doa yang simpel tapi nyatanya susah minta ampun. Kuketuk benda persegi panjan