Aku dan Akbar duduk berdua di sofa ruang keluarga. Anak kandung Mas Rohmad itu hanya menundukkan kepala. Menatap mataku saja tak sanggup. Ia memilih diam sembari memainkan jemarinya. "Akbar, boleh tante tanya sesuatu?" Akbar masih diam. Tidak menjawab atau menggerakkan kepala sebagai tanda menyetujui atau justru menolak."Kenapa Akbar mencubit lengan Kenzo?" tanyaku lembut. Ku tekan sekuat tenaga amarah yang berkecambuk di dalam dada. Hening. Akbar hanya menunduk tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Rasanya ingin ku cubit biar dia berteriak sekalian. Kesal. "Ya Allah, sabar... Sabar Wulan!" Aku berbicara dengan diriku sendiri. Lama-lama saling diam seperti ini justru membuat kepalaku semakin mengepul karena geramnya. "Akbar, kenapa kamu mencubit Kenzo?" Ku ulang lagi pertanyaan yang sama. Namun reaksi Akbar tetap sama saja. "Oke, kalau Akbar tidak mau bicara, terpaksa tante pindahkan Akbar di TK dekat rumah." Aku bangkit dari duduk. Namun belum sempat melangkah Akbar sudah me
"Ibu!" Diana berlari ke arahku, diikuti Naura di belakangnya. Segera aku berjongkong, memeluk dua gadis berbeda generasi itu. Bahagia, rasa itu tiba-tiba hadir memenuhi sanubari. Detak jantung pun berirama. Ah, kenapa aku ini? "Bu, aku dibelikan boneka Barbie sama Om Bagus. Mas Akbar juga dibelikan mobil-mobilan. Bagus deh, bu. Diana suka.""Dari mana, Lan?" Suara lembut dan mampu menggetarkan hatiku. "Diana main dengan Naura dulu, ya. Ibu mau ngobrol dengan Om Bagus, boleh?""Boleh." Diana mengajak Naura kembali bermain boneka di depan televisi. Dengan perasaan campur aduk, ku jatuhkan bobot di sofa. Mas Bagus pun sama. Kami duduk dengan jarak satu meter. Sesuai anjuran pemerintah bukan? Harus jaga jarak. "Mas Bagus sudah lama?" tanyaku basa-basi. "Sudah, kamu dari mana, Lan?" tanyanya dengan kalimat yang sama. "Dari toko bahan kue. Akbar meminta membuat kue bersama. Padahal aku belum bisa.""Ide bagus itu Lan, anak-anak pasti suka. Kita bagai keluarga harmonis."Pipiku memana
"Diana jangan dekat-dekat Naura. Dia mau ambil ibu kamu!"DEGAku tak percaya Akbar bisa berkata demikian. Aku tak pernah mengajarinya berkata demikian. Aku selalu mendidiknya untuk menyayangi anak kecil dan menghormati orang tua. Apa kehilangan keluarga membuatnya seperti ini? "Apa iyaa Mas?""Iya," ucap Akbar menyakinkan. "Ayo kita ke kamar aku saja." Akbar menarik tangan Diana ke kamarnya. Naura yang ditinggal menagis terisak. Bayangkan saja saat senang-senangnya bermain justru ditinggal begitu saja. Ya Allah kenapa semua menjadi rumit seperti ini? Aku segera mendekat ke arah gadis kecil yang sedang menangis sesegukan. Ku bawa tubuhnya ke dalam pelukanku. "Naura temani tante Wulan memotong kain yuk. Nanti kita tempel kain percaya di atas kertas." Naura mengangguk, lalu tersenyum manis. Air mata yang sempat jatuh sudah berganti dengan tawa. Naura duduk tak jauh dariku. Dia asyik bermain kain perca. Mengumpulkan lalu memasukan ke dalam kantung plastik. "Akbar kenapa Mbak?" tan
"Wulan, kok bengong." Sebuah tepukan di pundak membuatku tersadar. Astaga, malu sekali saat ketahuan menatap Mas Bagus hingga tidak berkedip. Bisa besar kepala Mas Bagus nanti. "Eh, itu Mas, em... Mari masuk!" Aku semakin salah tingkah saat lelaki yang berhasil mencuri hati tersenyum ke arahku. Mas Bagus masuk dengan membawa empat paper bag. Kami berjalan berjajar tanpa saling sapa. Rasa malu membuatku memilih diam tanpa suara. "Papa datang!" teriaknya membuat anak-anak mencari sumber suara. Tanpa diminta Naura berlari memeluk ayah kandungnya, mencurahkan rasa rindu karena dua hari tidak bertemu. "Ini oleh-oleh-oleh dari papa." Mas Bagus memberikan satu orang satu paper bag. Tunggu, dia menyebut dirinya papa untuk Naura atau Diana juga Akbar? Astaga! Kenapa pikiranku melayang ke mana-mana? "Ini untukmu," Mas Bagus memberikan satu paper bagian berwarna merah padaku. "Apa ini, Mas?" "Boleh di buka semuanya."Anak-anak antusias membuka paper bagian yang ada di tangan masing-mas
Kubaca setiap pesan yang masuk ke nomor Akbar. Menggelengkan kepala membaca pesan-pesan dari Bu Handayani. Aku tak pernah menyangka jika dia bisa tega seperti itu. Menuduh aku seorang pembunuh dan meracuni pikiran Akbar. Pantas saja awal Akbar di sini, dia begitu membenci kami. Ternyata Bu Handayani dalang semua ini. Beristighfar dalam hati sembari mengelus dada. Rasa marah bersemayam di dada. Namun sebisa mungkin ku tenangkan hati. Kuhapus pesan dan riwayat panggilan masuk dan tak terjawab dari Bu Handayani. Akbar sudah bisa membaca itu yang membuatku khawatir dia bisa terpengaruh dengan pesan ini. Sementara waktu nomor Bu Handayani dan suaminya ku blokir. Aku tidak mau kecolongan lagi. Biarlah nanti menghubungi lewat ponselku. Selama aku hidup, belum pernah memiliki musuh. Yah, kecuali Mas Wahyu.Tapi Bu Handayani justru ingin bermusuhan denganku. Entah karena apa? Bukankah kami sudah seperti keluarga sendiri? Lagi dan lagi peribahasa ini memang benar. Dalamnya lautan bisa diuku
Akbar dan Diana berlari ke arahku. Diikuti Naura di belakangnya. Sejak kapan putri Mas Bagus sekolah? Ketiga anak itu menghambur di pelukanku. Keberadaan Naura dan Mas Bagus membuat kami menjadi pusat perhatian ibu-ibu. Mendadak aku insecure dengan diri sendiri. Mas Bagus rapi dan aku hanya mengenakan gamis rumahan. Jilbab juga instan. Sungguh tak pantas jika berjalan beriringan dengan Mas Bagus. "Ayo anak-anak kita jalan!" Ketiga anak itu segera berjalan mengekor Mas Bagus. Aku dilema, antara ikut atau tidak. Rasa tak pantas menelusup hati. Penampilanku terlihat seperti pengasuh anak. Dan Mas Bagus lah majikannya. "Wulan, ayo!" ucapan Mas Bagus membuat mau tak mau aku berjalan mengikuti mereka. "Calon Bu Wulan ya?""Kok kaya majikan dan ART ya?""Gak cocok banget."Bisik-bisik mereka masih mampu ku dengar. Ucapan mereka membuat diri ini semakin tak percaya diri. Aku tak pantas untuk Mas Bagus. Dari penampilan sudah terlihat bagai langit dan bumi. Ah, kenapa tak dari dulu saja r
"Diana, Akbar. Apakah kalian mau jika Om Bagus menjadi ayah kalian?" tanyaku lembut.Akbar dan Diana saling sikut. Mereka menatapku lalu menatap Mas Bagus. Ku tutup mata saat Diana hendak menberikan jawaban. "Diana dan Mas Akbar setuju ibu menikah dengan Om Bagus."Aku menangis mendengar jawaban Diana. Ini seperti mimpi. Aku justru mengira jika Diana dan Akbar akan menolak. Tapi justru kebalikannya. "Kalian yakin?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca. Akbar dan Diana tidak mengeluarkan suara, hanya anggukan kepala dan senyuman sebagai jawabannya. Ku peluk dua malaikat kecil di sampingku. Naura beringsut lalu berjalan ke arah kami. Gadis kecil itu merentangkan kedua tangan sambil berjalan ke arah kami. Kami berempat saling berpelukan. Mas Bagus tersenyum melihat kehangatan kami. "So will you marry me?" Mas Bagus menatap manik hitamku. "Yes." Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulut ini. "Alhamdulillah," ucap Mas Bagus seraya mengusap wajah dengan kedua tangan. Aku bahagia, seum
"Mau dihapuskan keringatnya, sayang?" bisiknya tepat di telinga kiriku. Segera ku hapus keringat menggunakan tisue. Ya ampun, Mas Bagus pasti tahu jika aku gugup dan salah tingkah. "Ini belum malam lho, jangan terlalu gugup begitu,"bisiknya sambil mengerlingkan mata padaku.Semua tingkah Mas Bagus kembali mengingatkanku pada Mas Wahyu. Dulu saat selesai ijab qobul, Mas Wahyu juga seperti ini. Namun lambat laun sifatnya berubah. Dia jadi suka berjudi dan main tangan. Astagfirullahaladzim.... Aku beristighfar dalam hati. Segera ku tepis jauh pikiran buruk yang tiba-tiba menelusup. Mas Wahyu dan Mas Bagus dua orang berbeda. Tak mungkin Mas Bagus sama seperti mantan suamiku. Ya Allah, kenapa aku jadi berpikir yang tidak-tidak tentang Mas Bagus? "Kenapa melamun? Bayangin nanti malam ya?" Aku tersentak mendegar ucapan Mas Bagus. Lekas aku tersenyum menutupi rasa khawatir yang tiba-tiba singgah. "Ayo foto dulu, Pak, Bu!" perintah juru kamera pada kami. Kami berfoto dengan anak-anak,
Wulan membuka koper untuk mengambil pakaian ganti. Rasa lengket di tubuh membuatnya ingin segera mandi. Namun langkahnya terhenti saat Bagus masuk ke dalam kamar. Lelaki itu berjalan mendekat sambil menatap Wulan tak berkedip. Tatapan itu yang membuat jantung Wulan seketika berdetak dengan kencang. Tubuhnya terasa panas bagai tersengat aliran listrik. "Mas mau aku siapin pakaian ganti?" tanya Wulan sambil mengatur detak jantung yang kian kencang. Rasanya hampir terlepas dari singgasananya. Bagus hanya tersenyum lalu mengambil pakaian yang sudah berada di tangan Wulan. Baju itu diletakkan kembali di atas koper yang sudah dibuka. Mendadak rasa gugup singgah di hati Wulan. Ia tahu betul apa yang diinginkan suaminya. Bagus menuntut Wulan hingga berada di atas ranjang. Pandangan mereka mulai mengunci. Debaran hangat terasa di antara mereka berdua. Hingga akhirnya mereka menikmati indahnya surga dunia. ***Wulan, Bagus dan Diana sudah berdiri di lobi rumah sakit. Sengaja mereka hanya da
"Kita mau ke mana, bu?" tanya Diana. "Kita ke rumah ayah. Ayah kangen sama kamu, sayang." "Gak mau! Aku gak mau ketemu ayah!" Diana berlari masuk ke dalam rumah. Wulan dan Bagus saling pandang. Lalu Wulan meletakkan tas di kursi depan. Mengatur nafas yang terasa sesak. Bayangan Diana dipukul kembali menari-nari dalam angan. Dia sadar betul rasa trauma masih bersarang di hati putrinya, meski perlahan terkikis oleh kasih sayang Bagus. "Buar aku saja. Kamu di sini!" Langkah kaki Wulan terhenti mendengar perkataan sang suami. Walau sedikit ragu tapi ia menurut saja. Bagus berjalan cepat menuju kamar Diana yang ada di lantai atas. Perlahan membuka pintu yang tertutup rapat. Gadis kecil Wulan sedang menangis sesegukan di atas ranjang. Kejadian bersama Wahyu kembali berkeliaran di benaknya. Memori kelam yang berusaha ia lupakan. Meski tak bisa sama sekali untuk dihilangkan. Bagus segera duduk tepat di samping anak tirinya. Mengangkat kepala Diana lalu menghapus jejak air mata mengguna
Roda kehidupan memang tidak bisa diprediksi. Kemarin sedih sekarang bahagia atau justru sebaliknya. Seperti yang di rasakan Wulan. Penderitaan saat bersama Wahyu kini terganti dengan senyum bahagia. Bagus mampu menjadi suami serta ayah yang baik untuk Wulan dan anak-anaknya. Kini mereka hidup bahagia. Tak pernah ada pertengkaran di rumah tangga mereka. Sedikit cekcok karena perbedaan prinsip adalah hal biasa. "Mau ke mana, sayang?" tanya Bagus saat melihat Wulan sudah duduk di depan meja rias. Gamis soft pink dengan hijab berwarna senada kian menambah aura kecantikannya. Ya, walau tanpa riasan tebal di wajahnya. Wulan menghentikan gerakan tangan lalu menatap Bagus dari pantulan cermin di hadapannya. "Mau ke rumah Mas, pengen lihat laporan minggu ini. Mas mau ikut?""Boleh, tapi jangan ajak anak-anak ya! Sekali-kali jalan berdua," ucap Bagus seraya mengedipkan matanya. Wulan dan Bagus memang tak memiliki waktu banyak untuk berdua. Memiliki tiga anak membuat pasangan suami istri i
"Apa ada yang bernama Wulan dan Diana?" Langkah Rudi terhenti mendengar pertanyaan sang dokter.Sri dan Rika pun saling pandang. Mereka sangat terkejut dengan perkataan dokter itu.Dari mana dokter tahu Wulan dan Diana?Pertanyaan yang sama muncul di pikiran keluarga Wahyu. Dari awal mereka menginjakkan kaki di rumah sakit, tak sekalipun menyebut nama mantan istri dan anak Wahyu."Pasien mengigau dan memanggil nama Wulan dan Diana. Apa mereka keluarga pasien?" jawab dokter seperti dapat membaca pikiran mereka.Semua terdiam, bingung harus menjawab apa? Ingin mengatakan iya tapi takut sang dokter bertanya lebih jauh lagi. Di mana istrinya mungkin? Dan itu akan membuka aib Wahyu."Mereka anak dan mantan istrinya, dok," jawab Sri pelan."Kalau bisa mereka diminta ke mari. Siapa tahu pasien akan cepat sembuh saat mereka datang."Sri hanya mengangguk hingga dokter itu kembali masuk ke ruang IGD.Semua terdiam, Rudi yang hendak mengurus administrasi justru diam di tempat. Seakan ada magne
Pov Author"Rika!Rika!" Teriak Sri mengejutkan sangat putri. Dengan berlari Rika menuju sumber suara.Rika kebingungan melihat Sri menangis tersedu di samping Wahyu. Apa Wahyu telah meninggal? Pertanyaan itu yang sempat hadir di benar gadis berambut sepunggung itu."Mas Wahyu kenapa, Bu?" tanya Wulan seraya menyentuh pergelangan tangan sang kakak. Dia memastikan apakah Wahyu masih hidup atau sudah meninggal. Masih terasa denyut nadi. Itu tandanya Wahyu belum dipanggil sang Maha Kuasa."Wahyu tidak bangun-bangun Rik. Ibu takut terjadi apa-apa dengannya. Tolong kamu panggilkan Masmu. Minta dia antarkan Wahyu ke rumah sakit." Rika mengangguk lalu segera menuju kamar untuk menelepon Rudi.Sri menangis melihat tubuh Wahyu yang kian kurus. Setelah menelepon Wulan beberapa minggu yang lalu, Wahyu semakin terpuruk. Rasa menyesal tertancap dalam di sanubari lelaki itu. Tak ada lagi semangat untuk sembuh. Dia terpukul mengetahui wanita yang ia cintai sudah memiliki tambatan hati lain."Semanga
Pov Wahyu"Ibu! Ibu!" Suara Mbak Yuli terdengar nyaring hingga menghancurkan gendang telinga. "Ibu!" Teriaknya lagi saat ibu tak kunjung menyahut. Kakak iparku itu memang tak memiliki sopan santun. Berteriak di rumah orang pagi-pagi begini. Kalau aku bisa jalan sudah ku tampar dia. Sayang, aku masih mengandalkan uang Mas Rudy untuk biaya berobat. Kalau aku sudah sembuh dia pasti tidak semena-mena kepada kami. Aku memilih diam dan pura-pura tidur saat mendengar teriakan Mbak Yuli. Melawan Mbak Yuli tak akan pernah ada habisnya. Dia selalu bersikap seolah-olah dia paling benar. Sungguh menyebalkan! BRAAKPintu kamar dibuka kasar dari luar. Mbak Yuli menatap nyalang seraya berkacak pinggang di depan pintu. Niat hati pura-pura tidur gagal karena Mbak Yuli lebih dahulu masuk ke kamar. "Ibu tidak ada, mbak. Mungkin sedang ke warung," jawabku asal karena aku tidak tahu ibu ke mana. Dari bangun tidur aku belum keluar kamar. Jangankan untuk keluar, tubuhku saja sudah tak ada tenaganya, l
Aku dan Mas Bagus diam, bingung harus menjawab apa. Kami hanya melihat Bu Handayani tadi setelah memberikan gaji pada karyawan Mas Rohmad. Setelah itu kami berada di rumah. Kami juga tidak mendengar jeritan orang minta tolong. "Saya sudah mencari ke sekitar rumah. Tapi tetap tidak ada." Pak Abdul menjatuhkan bobot di sofa ruang keluarga. Aku dan Mas Bagus berdiri, ingin duduk tapi tidak ada tempat. "Kita lapor polisi saja, Pak. Jangan pegang apa pun. Siapa tahu ini tindakan kriminal." Pak Abdul mengangguk lalu beranjak berdiri. Kami berjalan meninggalkan rumah Pak Abdul menuju mobil Mas Bagus yang masih terparkir di halaman rumah. Mas Bagus segera berlari ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil dan menitipkan anak-anak kepada Bik Lastri. "Sabar, Pak." Pak Abdul mengangguk dengan pandangan lurus ke depan. "Ayo masuk!" ucap Mas Bagus seraya berlari menuju mobil. Aku dan Pak Abdul segera mengekor. Suara mobil berhenti di jalan depan rumah terdengar saat aku hendak membuka pint
"Wulan! Akbar!" Sama-sama terdengar suara orang memanggil namaku dan Akbar bergantian. "Mas dengar orang panggil namaku gak?" Mas Bagus diam seraya mempertajam pendengarannya. Tak berapa lama lelaki itu justru tersenyum ke arahku. "Mas juga dengar," ucapnya seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku hanya memperhatikan sikapnya. "Berarti aku gak salah dengar kan, aku keluar dulu, Mas." Aku beranjak berdiri, sambil membungkukkan badan saat melewati Mas Bagus. "Mau ke mana?" Mas Bagus mencekal tangan kananku. Ku hentikan langkah seraya menatap bingung ke arahnya. "Mau ke depan, tadi ada yang manggil, Mas. Katanya Mas Bagus denger!""Mendekat!" Aku mengernyitkan dahi mendengar perintahnya. Ini aku mau melihat tamu tapi justru diminta mendekat. Namun aku tetap saja melakukannya. Entahlah, ucapan Mas Bagus seakan memiliki magnet hingga aku menurut saja. "Yang manggil itu di sini!" Mas Bagus menyentuh dadanya. Seketika wajahku menjadi merah merona. "Ya jadi merah pipinya, sudah s
"Aw ... Sakit!" teriak Handayani saat kakinya menginjak pecahan vas yang berserakan di atas lantai. Kaki tanpa alas mempermudah kaca itu masuk ke dalam kulitnya. Handayani meringis kesakitan. Darah segar keluar dari kaki kanannya. Seketika lantai keramik berwana putih itu berubah warna menjadi merah merona. Handayani berusaha mencabut pecahan kaca yang masuk ke dalam kulitnya. Satu cabutan membuat darah semakin mengalir banyak. Namun rasa sakit itu belum juga reda. Rupanya tidak hanya satu kaca yang masuk. Ada beberapa kaca kecil yang masuk lebih dalam. Mata tua Handayani tak bisa melihat lebih jelas di mana luka itu berada. "Abdul! Abdul!" Teriak Handayani. Handayani lupa jika suaminya sedang pergi. Dia terus saja berteriak. Namun sampai pita suaranya rusak pun Abdul tidak akan mendengar. Lelaki bertubuh tambun itu sedang menjemput tukang urut yang ada di kampung sebelah. Nahas, motor yang dikendarai Abdul mogok di jalan. Lelaki itu harus mencari bengkel yang letaknya lumayan ja