Akbar dan Diana berlari ke arahku. Diikuti Naura di belakangnya. Sejak kapan putri Mas Bagus sekolah? Ketiga anak itu menghambur di pelukanku. Keberadaan Naura dan Mas Bagus membuat kami menjadi pusat perhatian ibu-ibu. Mendadak aku insecure dengan diri sendiri. Mas Bagus rapi dan aku hanya mengenakan gamis rumahan. Jilbab juga instan. Sungguh tak pantas jika berjalan beriringan dengan Mas Bagus. "Ayo anak-anak kita jalan!" Ketiga anak itu segera berjalan mengekor Mas Bagus. Aku dilema, antara ikut atau tidak. Rasa tak pantas menelusup hati. Penampilanku terlihat seperti pengasuh anak. Dan Mas Bagus lah majikannya. "Wulan, ayo!" ucapan Mas Bagus membuat mau tak mau aku berjalan mengikuti mereka. "Calon Bu Wulan ya?""Kok kaya majikan dan ART ya?""Gak cocok banget."Bisik-bisik mereka masih mampu ku dengar. Ucapan mereka membuat diri ini semakin tak percaya diri. Aku tak pantas untuk Mas Bagus. Dari penampilan sudah terlihat bagai langit dan bumi. Ah, kenapa tak dari dulu saja r
"Diana, Akbar. Apakah kalian mau jika Om Bagus menjadi ayah kalian?" tanyaku lembut.Akbar dan Diana saling sikut. Mereka menatapku lalu menatap Mas Bagus. Ku tutup mata saat Diana hendak menberikan jawaban. "Diana dan Mas Akbar setuju ibu menikah dengan Om Bagus."Aku menangis mendengar jawaban Diana. Ini seperti mimpi. Aku justru mengira jika Diana dan Akbar akan menolak. Tapi justru kebalikannya. "Kalian yakin?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca. Akbar dan Diana tidak mengeluarkan suara, hanya anggukan kepala dan senyuman sebagai jawabannya. Ku peluk dua malaikat kecil di sampingku. Naura beringsut lalu berjalan ke arah kami. Gadis kecil itu merentangkan kedua tangan sambil berjalan ke arah kami. Kami berempat saling berpelukan. Mas Bagus tersenyum melihat kehangatan kami. "So will you marry me?" Mas Bagus menatap manik hitamku. "Yes." Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulut ini. "Alhamdulillah," ucap Mas Bagus seraya mengusap wajah dengan kedua tangan. Aku bahagia, seum
"Mau dihapuskan keringatnya, sayang?" bisiknya tepat di telinga kiriku. Segera ku hapus keringat menggunakan tisue. Ya ampun, Mas Bagus pasti tahu jika aku gugup dan salah tingkah. "Ini belum malam lho, jangan terlalu gugup begitu,"bisiknya sambil mengerlingkan mata padaku.Semua tingkah Mas Bagus kembali mengingatkanku pada Mas Wahyu. Dulu saat selesai ijab qobul, Mas Wahyu juga seperti ini. Namun lambat laun sifatnya berubah. Dia jadi suka berjudi dan main tangan. Astagfirullahaladzim.... Aku beristighfar dalam hati. Segera ku tepis jauh pikiran buruk yang tiba-tiba menelusup. Mas Wahyu dan Mas Bagus dua orang berbeda. Tak mungkin Mas Bagus sama seperti mantan suamiku. Ya Allah, kenapa aku jadi berpikir yang tidak-tidak tentang Mas Bagus? "Kenapa melamun? Bayangin nanti malam ya?" Aku tersentak mendegar ucapan Mas Bagus. Lekas aku tersenyum menutupi rasa khawatir yang tiba-tiba singgah. "Ayo foto dulu, Pak, Bu!" perintah juru kamera pada kami. Kami berfoto dengan anak-anak,
"Ada apa, Lan?" tanya Bagus penasaran. Wulan mengehembuskan napas kasar. Dia ragu untuk mengucapkan kabar itu, apa lagi untuk meminta berangkat ke Cilacap sekarang juga. Ini adalah malam pertama untuk mereka. Harusnya mereka memadu kasih, bukan justru pergi ke luar kota. "Lan ...," ucap Bagus lagi. Wulan berjalan gontai lalu menjatuhkan bobot di samping Bagus. Pandangannya lurus ke depan memikirkan kata yang tepat untuk di sampaikan pada Bagus. "Ada masalah?" tanya Bagus saat melihat wajah Wulan yang tiba-tiba masam. "Aku di minta ke Cilacap sekarang, Mas, katanya ada yang penting. Belum sempat bertanya tapi panggilan telepon sudah dimatikan. Giliran ditelepon tidak diangkat-angkat," terang Wulan tak enak hati. Bagus diam sembari memikirkan solusi terbaik untuk mereka. Tidak mungkin ke Cilacap malam-malam begini. Selain lelah dan bahaya. Ini adalah malam pertama mereka. "Besok pagi kita ke Cilacap, Lan. Kalau malam ini kasihan anak-anak, ini sudah terlalu malam," terang Bagus m
Wulan beristigfar dalam hati. Dia berusaha menahan emosi yang sempat memuncak karena ucapan Handayani. Wulan sendiri heran, semenjak kematian kakaknya,Handayani seperti mengibarkan bendera perang padanya. Apa pun yang ia lakukan selalu salah di mata wanita paruh baya itu. Bagus mendekat, dirangkul pundak sang istri. Dia memang tidak tahu masalah Wulan dengan nenek Akbar. Yang ia tahu hanya berusaha menguatkan Wulan saat dirinya rapuh, seperti saat ini. "Sabar, aku akan selalu ada untukmu." Wulan tersenyum. Ucapan Bagus bagai oase di padang pasir. "Terima kasih sudah mendukung aku, Mas. Padahal Mas belum tahu masalahnya seperti apa. Tapi Mas sudah memberikan solusi." Bagus mengelus pucuk kepala istrinya. "Aku percaya kamu pasti tidak seperti yang nenek Akbar ucapkan."Hati Wulan meleleh seketika. Dia begitu bahagia dengan perhatian yang Bagus berikan. Tak salah jika Rohmad meminta Wulan untuk menikah dengan Bagus. "Jangan dipandangi terus. Nanti jatuh cinta lho," goda Bagus memb
"Akbar...." Wulan menyentuh pundak Akbar."Jangan sentuh aku!" ucap Akbar seraya menepis kasar tangan Wulan.Sakit, itu yang Wulan rasakan. Keponakan yang ia sayang justru menepis kasar tangannya."Akbar tidak percaya dengan, tante?" ucap Wulan parau. Linangan air mata sudah membasahi pipinya.Akbar terpaku, sudut hatinya ikut menangis melihat Wulan sedih. Beberapa bulan bersama Wulan membuatnya menyayangi adik ayahnya itu. Rasa benci yang sempat hadir perlahan menguap oleh kasih sayang Wulan.Namun ucapan Handayani kembali membangkitkan rasa benci dan kecewa di hati Akbar. Bayangan kecelakaan yang menewaskan seluruh keluarganya kembali hadir. Akbar menangis kala mengingat itu.Berminggu-minggu Akbar berusaha melupakan tragedi itu tapi Handayani justru kembali membuka lembaran pahit itu. Wanita paruh baya itu sengaja mengorek luka dan menaburinya dengan garam. Perih tak terperi, itu yang melanda anak lelaki itu. Keadaan ini yang Handayani mau, membuka luka hingga membuat Akbar kembal
"Aw ... Sakit!" teriak Handayani saat kakinya menginjak pecahan vas yang berserakan di atas lantai. Kaki tanpa alas mempermudah kaca itu masuk ke dalam kulitnya. Handayani meringis kesakitan. Darah segar keluar dari kaki kanannya. Seketika lantai keramik berwana putih itu berubah warna menjadi merah merona. Handayani berusaha mencabut pecahan kaca yang masuk ke dalam kulitnya. Satu cabutan membuat darah semakin mengalir banyak. Namun rasa sakit itu belum juga reda. Rupanya tidak hanya satu kaca yang masuk. Ada beberapa kaca kecil yang masuk lebih dalam. Mata tua Handayani tak bisa melihat lebih jelas di mana luka itu berada. "Abdul! Abdul!" Teriak Handayani. Handayani lupa jika suaminya sedang pergi. Dia terus saja berteriak. Namun sampai pita suaranya rusak pun Abdul tidak akan mendengar. Lelaki bertubuh tambun itu sedang menjemput tukang urut yang ada di kampung sebelah. Nahas, motor yang dikendarai Abdul mogok di jalan. Lelaki itu harus mencari bengkel yang letaknya lumayan ja
"Wulan! Akbar!" Sama-sama terdengar suara orang memanggil namaku dan Akbar bergantian. "Mas dengar orang panggil namaku gak?" Mas Bagus diam seraya mempertajam pendengarannya. Tak berapa lama lelaki itu justru tersenyum ke arahku. "Mas juga dengar," ucapnya seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku hanya memperhatikan sikapnya. "Berarti aku gak salah dengar kan, aku keluar dulu, Mas." Aku beranjak berdiri, sambil membungkukkan badan saat melewati Mas Bagus. "Mau ke mana?" Mas Bagus mencekal tangan kananku. Ku hentikan langkah seraya menatap bingung ke arahnya. "Mau ke depan, tadi ada yang manggil, Mas. Katanya Mas Bagus denger!""Mendekat!" Aku mengernyitkan dahi mendengar perintahnya. Ini aku mau melihat tamu tapi justru diminta mendekat. Namun aku tetap saja melakukannya. Entahlah, ucapan Mas Bagus seakan memiliki magnet hingga aku menurut saja. "Yang manggil itu di sini!" Mas Bagus menyentuh dadanya. Seketika wajahku menjadi merah merona. "Ya jadi merah pipinya, sudah s