"Ada apa, Lan?" tanya Bagus penasaran. Wulan mengehembuskan napas kasar. Dia ragu untuk mengucapkan kabar itu, apa lagi untuk meminta berangkat ke Cilacap sekarang juga. Ini adalah malam pertama untuk mereka. Harusnya mereka memadu kasih, bukan justru pergi ke luar kota. "Lan ...," ucap Bagus lagi. Wulan berjalan gontai lalu menjatuhkan bobot di samping Bagus. Pandangannya lurus ke depan memikirkan kata yang tepat untuk di sampaikan pada Bagus. "Ada masalah?" tanya Bagus saat melihat wajah Wulan yang tiba-tiba masam. "Aku di minta ke Cilacap sekarang, Mas, katanya ada yang penting. Belum sempat bertanya tapi panggilan telepon sudah dimatikan. Giliran ditelepon tidak diangkat-angkat," terang Wulan tak enak hati. Bagus diam sembari memikirkan solusi terbaik untuk mereka. Tidak mungkin ke Cilacap malam-malam begini. Selain lelah dan bahaya. Ini adalah malam pertama mereka. "Besok pagi kita ke Cilacap, Lan. Kalau malam ini kasihan anak-anak, ini sudah terlalu malam," terang Bagus m
Wulan beristigfar dalam hati. Dia berusaha menahan emosi yang sempat memuncak karena ucapan Handayani. Wulan sendiri heran, semenjak kematian kakaknya,Handayani seperti mengibarkan bendera perang padanya. Apa pun yang ia lakukan selalu salah di mata wanita paruh baya itu. Bagus mendekat, dirangkul pundak sang istri. Dia memang tidak tahu masalah Wulan dengan nenek Akbar. Yang ia tahu hanya berusaha menguatkan Wulan saat dirinya rapuh, seperti saat ini. "Sabar, aku akan selalu ada untukmu." Wulan tersenyum. Ucapan Bagus bagai oase di padang pasir. "Terima kasih sudah mendukung aku, Mas. Padahal Mas belum tahu masalahnya seperti apa. Tapi Mas sudah memberikan solusi." Bagus mengelus pucuk kepala istrinya. "Aku percaya kamu pasti tidak seperti yang nenek Akbar ucapkan."Hati Wulan meleleh seketika. Dia begitu bahagia dengan perhatian yang Bagus berikan. Tak salah jika Rohmad meminta Wulan untuk menikah dengan Bagus. "Jangan dipandangi terus. Nanti jatuh cinta lho," goda Bagus memb
"Akbar...." Wulan menyentuh pundak Akbar."Jangan sentuh aku!" ucap Akbar seraya menepis kasar tangan Wulan.Sakit, itu yang Wulan rasakan. Keponakan yang ia sayang justru menepis kasar tangannya."Akbar tidak percaya dengan, tante?" ucap Wulan parau. Linangan air mata sudah membasahi pipinya.Akbar terpaku, sudut hatinya ikut menangis melihat Wulan sedih. Beberapa bulan bersama Wulan membuatnya menyayangi adik ayahnya itu. Rasa benci yang sempat hadir perlahan menguap oleh kasih sayang Wulan.Namun ucapan Handayani kembali membangkitkan rasa benci dan kecewa di hati Akbar. Bayangan kecelakaan yang menewaskan seluruh keluarganya kembali hadir. Akbar menangis kala mengingat itu.Berminggu-minggu Akbar berusaha melupakan tragedi itu tapi Handayani justru kembali membuka lembaran pahit itu. Wanita paruh baya itu sengaja mengorek luka dan menaburinya dengan garam. Perih tak terperi, itu yang melanda anak lelaki itu. Keadaan ini yang Handayani mau, membuka luka hingga membuat Akbar kembal
"Aw ... Sakit!" teriak Handayani saat kakinya menginjak pecahan vas yang berserakan di atas lantai. Kaki tanpa alas mempermudah kaca itu masuk ke dalam kulitnya. Handayani meringis kesakitan. Darah segar keluar dari kaki kanannya. Seketika lantai keramik berwana putih itu berubah warna menjadi merah merona. Handayani berusaha mencabut pecahan kaca yang masuk ke dalam kulitnya. Satu cabutan membuat darah semakin mengalir banyak. Namun rasa sakit itu belum juga reda. Rupanya tidak hanya satu kaca yang masuk. Ada beberapa kaca kecil yang masuk lebih dalam. Mata tua Handayani tak bisa melihat lebih jelas di mana luka itu berada. "Abdul! Abdul!" Teriak Handayani. Handayani lupa jika suaminya sedang pergi. Dia terus saja berteriak. Namun sampai pita suaranya rusak pun Abdul tidak akan mendengar. Lelaki bertubuh tambun itu sedang menjemput tukang urut yang ada di kampung sebelah. Nahas, motor yang dikendarai Abdul mogok di jalan. Lelaki itu harus mencari bengkel yang letaknya lumayan ja
"Wulan! Akbar!" Sama-sama terdengar suara orang memanggil namaku dan Akbar bergantian. "Mas dengar orang panggil namaku gak?" Mas Bagus diam seraya mempertajam pendengarannya. Tak berapa lama lelaki itu justru tersenyum ke arahku. "Mas juga dengar," ucapnya seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku hanya memperhatikan sikapnya. "Berarti aku gak salah dengar kan, aku keluar dulu, Mas." Aku beranjak berdiri, sambil membungkukkan badan saat melewati Mas Bagus. "Mau ke mana?" Mas Bagus mencekal tangan kananku. Ku hentikan langkah seraya menatap bingung ke arahnya. "Mau ke depan, tadi ada yang manggil, Mas. Katanya Mas Bagus denger!""Mendekat!" Aku mengernyitkan dahi mendengar perintahnya. Ini aku mau melihat tamu tapi justru diminta mendekat. Namun aku tetap saja melakukannya. Entahlah, ucapan Mas Bagus seakan memiliki magnet hingga aku menurut saja. "Yang manggil itu di sini!" Mas Bagus menyentuh dadanya. Seketika wajahku menjadi merah merona. "Ya jadi merah pipinya, sudah s
Aku dan Mas Bagus diam, bingung harus menjawab apa. Kami hanya melihat Bu Handayani tadi setelah memberikan gaji pada karyawan Mas Rohmad. Setelah itu kami berada di rumah. Kami juga tidak mendengar jeritan orang minta tolong. "Saya sudah mencari ke sekitar rumah. Tapi tetap tidak ada." Pak Abdul menjatuhkan bobot di sofa ruang keluarga. Aku dan Mas Bagus berdiri, ingin duduk tapi tidak ada tempat. "Kita lapor polisi saja, Pak. Jangan pegang apa pun. Siapa tahu ini tindakan kriminal." Pak Abdul mengangguk lalu beranjak berdiri. Kami berjalan meninggalkan rumah Pak Abdul menuju mobil Mas Bagus yang masih terparkir di halaman rumah. Mas Bagus segera berlari ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil dan menitipkan anak-anak kepada Bik Lastri. "Sabar, Pak." Pak Abdul mengangguk dengan pandangan lurus ke depan. "Ayo masuk!" ucap Mas Bagus seraya berlari menuju mobil. Aku dan Pak Abdul segera mengekor. Suara mobil berhenti di jalan depan rumah terdengar saat aku hendak membuka pint
Pov Wahyu"Ibu! Ibu!" Suara Mbak Yuli terdengar nyaring hingga menghancurkan gendang telinga. "Ibu!" Teriaknya lagi saat ibu tak kunjung menyahut. Kakak iparku itu memang tak memiliki sopan santun. Berteriak di rumah orang pagi-pagi begini. Kalau aku bisa jalan sudah ku tampar dia. Sayang, aku masih mengandalkan uang Mas Rudy untuk biaya berobat. Kalau aku sudah sembuh dia pasti tidak semena-mena kepada kami. Aku memilih diam dan pura-pura tidur saat mendengar teriakan Mbak Yuli. Melawan Mbak Yuli tak akan pernah ada habisnya. Dia selalu bersikap seolah-olah dia paling benar. Sungguh menyebalkan! BRAAKPintu kamar dibuka kasar dari luar. Mbak Yuli menatap nyalang seraya berkacak pinggang di depan pintu. Niat hati pura-pura tidur gagal karena Mbak Yuli lebih dahulu masuk ke kamar. "Ibu tidak ada, mbak. Mungkin sedang ke warung," jawabku asal karena aku tidak tahu ibu ke mana. Dari bangun tidur aku belum keluar kamar. Jangankan untuk keluar, tubuhku saja sudah tak ada tenaganya, l
Pov Author"Rika!Rika!" Teriak Sri mengejutkan sangat putri. Dengan berlari Rika menuju sumber suara.Rika kebingungan melihat Sri menangis tersedu di samping Wahyu. Apa Wahyu telah meninggal? Pertanyaan itu yang sempat hadir di benar gadis berambut sepunggung itu."Mas Wahyu kenapa, Bu?" tanya Wulan seraya menyentuh pergelangan tangan sang kakak. Dia memastikan apakah Wahyu masih hidup atau sudah meninggal. Masih terasa denyut nadi. Itu tandanya Wahyu belum dipanggil sang Maha Kuasa."Wahyu tidak bangun-bangun Rik. Ibu takut terjadi apa-apa dengannya. Tolong kamu panggilkan Masmu. Minta dia antarkan Wahyu ke rumah sakit." Rika mengangguk lalu segera menuju kamar untuk menelepon Rudi.Sri menangis melihat tubuh Wahyu yang kian kurus. Setelah menelepon Wulan beberapa minggu yang lalu, Wahyu semakin terpuruk. Rasa menyesal tertancap dalam di sanubari lelaki itu. Tak ada lagi semangat untuk sembuh. Dia terpukul mengetahui wanita yang ia cintai sudah memiliki tambatan hati lain."Semanga