Kusambar jaket dan kunci motor yang ada di dalam kamar. Sedikit terburu ku tinggalkan rumah. "Mbak helmnya!" teriakan Mbak Ina membuatku mematikan mesin motor yang sudah menyala. Ku llihat pantulan diri di kaca spion. Benar saja, aku belum memakai helm. Benda wajib pun belum menempel di mulut. Ya Allah, beginikah repotnya memiliki anak yang usil? "Jangan terburu-buru, Mbak. Fokus nyetirnya," wejangan Mbak Ina saat aku tengah memakai masker. Ku anggukan kepala lalu mengenakan helm. Mata fokus ke depan tapi pikiran melayang-layang. Menerka keusilan apa yang Akbar lakukan pada temannya? Kata-kata apa yang akan ku sampaikan pada wali anak itu? Rasanya aku sudah tak punya muka lagi. Selalu saja mendapat komplain yang sama. Akbar... Akbar, kapan kamu berubah?Aku berjalan sambil beristighfar dalam hati. Berharap kali ini wali anak yang dinakali Akbar tidak galak. Bisa diajak memaafkan kesalahan ponakanku itu. Doa yang simpel tapi nyatanya susah minta ampun. Kuketuk benda persegi panjan
Aku dan Akbar duduk berdua di sofa ruang keluarga. Anak kandung Mas Rohmad itu hanya menundukkan kepala. Menatap mataku saja tak sanggup. Ia memilih diam sembari memainkan jemarinya. "Akbar, boleh tante tanya sesuatu?" Akbar masih diam. Tidak menjawab atau menggerakkan kepala sebagai tanda menyetujui atau justru menolak."Kenapa Akbar mencubit lengan Kenzo?" tanyaku lembut. Ku tekan sekuat tenaga amarah yang berkecambuk di dalam dada. Hening. Akbar hanya menunduk tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Rasanya ingin ku cubit biar dia berteriak sekalian. Kesal. "Ya Allah, sabar... Sabar Wulan!" Aku berbicara dengan diriku sendiri. Lama-lama saling diam seperti ini justru membuat kepalaku semakin mengepul karena geramnya. "Akbar, kenapa kamu mencubit Kenzo?" Ku ulang lagi pertanyaan yang sama. Namun reaksi Akbar tetap sama saja. "Oke, kalau Akbar tidak mau bicara, terpaksa tante pindahkan Akbar di TK dekat rumah." Aku bangkit dari duduk. Namun belum sempat melangkah Akbar sudah me
"Ibu!" Diana berlari ke arahku, diikuti Naura di belakangnya. Segera aku berjongkong, memeluk dua gadis berbeda generasi itu. Bahagia, rasa itu tiba-tiba hadir memenuhi sanubari. Detak jantung pun berirama. Ah, kenapa aku ini? "Bu, aku dibelikan boneka Barbie sama Om Bagus. Mas Akbar juga dibelikan mobil-mobilan. Bagus deh, bu. Diana suka.""Dari mana, Lan?" Suara lembut dan mampu menggetarkan hatiku. "Diana main dengan Naura dulu, ya. Ibu mau ngobrol dengan Om Bagus, boleh?""Boleh." Diana mengajak Naura kembali bermain boneka di depan televisi. Dengan perasaan campur aduk, ku jatuhkan bobot di sofa. Mas Bagus pun sama. Kami duduk dengan jarak satu meter. Sesuai anjuran pemerintah bukan? Harus jaga jarak. "Mas Bagus sudah lama?" tanyaku basa-basi. "Sudah, kamu dari mana, Lan?" tanyanya dengan kalimat yang sama. "Dari toko bahan kue. Akbar meminta membuat kue bersama. Padahal aku belum bisa.""Ide bagus itu Lan, anak-anak pasti suka. Kita bagai keluarga harmonis."Pipiku memana
"Diana jangan dekat-dekat Naura. Dia mau ambil ibu kamu!"DEGAku tak percaya Akbar bisa berkata demikian. Aku tak pernah mengajarinya berkata demikian. Aku selalu mendidiknya untuk menyayangi anak kecil dan menghormati orang tua. Apa kehilangan keluarga membuatnya seperti ini? "Apa iyaa Mas?""Iya," ucap Akbar menyakinkan. "Ayo kita ke kamar aku saja." Akbar menarik tangan Diana ke kamarnya. Naura yang ditinggal menagis terisak. Bayangkan saja saat senang-senangnya bermain justru ditinggal begitu saja. Ya Allah kenapa semua menjadi rumit seperti ini? Aku segera mendekat ke arah gadis kecil yang sedang menangis sesegukan. Ku bawa tubuhnya ke dalam pelukanku. "Naura temani tante Wulan memotong kain yuk. Nanti kita tempel kain percaya di atas kertas." Naura mengangguk, lalu tersenyum manis. Air mata yang sempat jatuh sudah berganti dengan tawa. Naura duduk tak jauh dariku. Dia asyik bermain kain perca. Mengumpulkan lalu memasukan ke dalam kantung plastik. "Akbar kenapa Mbak?" tan
"Wulan, kok bengong." Sebuah tepukan di pundak membuatku tersadar. Astaga, malu sekali saat ketahuan menatap Mas Bagus hingga tidak berkedip. Bisa besar kepala Mas Bagus nanti. "Eh, itu Mas, em... Mari masuk!" Aku semakin salah tingkah saat lelaki yang berhasil mencuri hati tersenyum ke arahku. Mas Bagus masuk dengan membawa empat paper bag. Kami berjalan berjajar tanpa saling sapa. Rasa malu membuatku memilih diam tanpa suara. "Papa datang!" teriaknya membuat anak-anak mencari sumber suara. Tanpa diminta Naura berlari memeluk ayah kandungnya, mencurahkan rasa rindu karena dua hari tidak bertemu. "Ini oleh-oleh-oleh dari papa." Mas Bagus memberikan satu orang satu paper bag. Tunggu, dia menyebut dirinya papa untuk Naura atau Diana juga Akbar? Astaga! Kenapa pikiranku melayang ke mana-mana? "Ini untukmu," Mas Bagus memberikan satu paper bagian berwarna merah padaku. "Apa ini, Mas?" "Boleh di buka semuanya."Anak-anak antusias membuka paper bagian yang ada di tangan masing-mas
Kubaca setiap pesan yang masuk ke nomor Akbar. Menggelengkan kepala membaca pesan-pesan dari Bu Handayani. Aku tak pernah menyangka jika dia bisa tega seperti itu. Menuduh aku seorang pembunuh dan meracuni pikiran Akbar. Pantas saja awal Akbar di sini, dia begitu membenci kami. Ternyata Bu Handayani dalang semua ini. Beristighfar dalam hati sembari mengelus dada. Rasa marah bersemayam di dada. Namun sebisa mungkin ku tenangkan hati. Kuhapus pesan dan riwayat panggilan masuk dan tak terjawab dari Bu Handayani. Akbar sudah bisa membaca itu yang membuatku khawatir dia bisa terpengaruh dengan pesan ini. Sementara waktu nomor Bu Handayani dan suaminya ku blokir. Aku tidak mau kecolongan lagi. Biarlah nanti menghubungi lewat ponselku. Selama aku hidup, belum pernah memiliki musuh. Yah, kecuali Mas Wahyu.Tapi Bu Handayani justru ingin bermusuhan denganku. Entah karena apa? Bukankah kami sudah seperti keluarga sendiri? Lagi dan lagi peribahasa ini memang benar. Dalamnya lautan bisa diuku
Akbar dan Diana berlari ke arahku. Diikuti Naura di belakangnya. Sejak kapan putri Mas Bagus sekolah? Ketiga anak itu menghambur di pelukanku. Keberadaan Naura dan Mas Bagus membuat kami menjadi pusat perhatian ibu-ibu. Mendadak aku insecure dengan diri sendiri. Mas Bagus rapi dan aku hanya mengenakan gamis rumahan. Jilbab juga instan. Sungguh tak pantas jika berjalan beriringan dengan Mas Bagus. "Ayo anak-anak kita jalan!" Ketiga anak itu segera berjalan mengekor Mas Bagus. Aku dilema, antara ikut atau tidak. Rasa tak pantas menelusup hati. Penampilanku terlihat seperti pengasuh anak. Dan Mas Bagus lah majikannya. "Wulan, ayo!" ucapan Mas Bagus membuat mau tak mau aku berjalan mengikuti mereka. "Calon Bu Wulan ya?""Kok kaya majikan dan ART ya?""Gak cocok banget."Bisik-bisik mereka masih mampu ku dengar. Ucapan mereka membuat diri ini semakin tak percaya diri. Aku tak pantas untuk Mas Bagus. Dari penampilan sudah terlihat bagai langit dan bumi. Ah, kenapa tak dari dulu saja r
"Diana, Akbar. Apakah kalian mau jika Om Bagus menjadi ayah kalian?" tanyaku lembut.Akbar dan Diana saling sikut. Mereka menatapku lalu menatap Mas Bagus. Ku tutup mata saat Diana hendak menberikan jawaban. "Diana dan Mas Akbar setuju ibu menikah dengan Om Bagus."Aku menangis mendengar jawaban Diana. Ini seperti mimpi. Aku justru mengira jika Diana dan Akbar akan menolak. Tapi justru kebalikannya. "Kalian yakin?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca. Akbar dan Diana tidak mengeluarkan suara, hanya anggukan kepala dan senyuman sebagai jawabannya. Ku peluk dua malaikat kecil di sampingku. Naura beringsut lalu berjalan ke arah kami. Gadis kecil itu merentangkan kedua tangan sambil berjalan ke arah kami. Kami berempat saling berpelukan. Mas Bagus tersenyum melihat kehangatan kami. "So will you marry me?" Mas Bagus menatap manik hitamku. "Yes." Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulut ini. "Alhamdulillah," ucap Mas Bagus seraya mengusap wajah dengan kedua tangan. Aku bahagia, seum