Pak Iwan, ibu Handayani dan suaminya berjalan mengekor di belakang Akbar. Setelah dipersilahkan masuk tentunya. Koper berisi pakaian Akbar di letakkan di samping sofa. Mereka duduk berurutan dengan Akbar di tengah kakek dan neneknya. Akbar diam, wajahnya ditekuk. Apa dia tidak suka tinggal di sini? Bukankah waktu bersama Mas Rohmad dia biasa saja?"Kedatangan kami untuk mengantarkan Akbar. Dan ini dokumen yang dibutuhkan untuk mendaftarkan sekolahnya." Pak Iwan menyerahkan map plastik berisi dokumen. "Terima kasih, Pak." Ku ambil map dan melihat satu persatu isi di dalamnya. Aku hanya ingin memastikan tidak ada yang terlewat. "Untuk biaya keseharian Akbar, saya akan mengirimkan uang ke nomor rekening Bu Wulan. Termasuk laba restoran perbulannya.""Kalau masalah uang, saya tidak setuju jika dikirimkan ke nomor rekening saya. Besok saya akan membuka kartu debit atas nama Akbar. Meski untuk pengelolaannya saya yang mengurus. Setidaknya uang harus terpisah agar tidak menimbulkan kesal
"Akbar mau makan apa? Roti bakar? Bubur kacang hijau? Atau martabak? Nanti tante belikan," ucapku seraya menjatuhkan bobot di atas ranjang, tepat di sebelahnya. Aku ingin mengikis tembok yang ia bangun. Aku ingin dia kembali tersenyum dan tertawa seperti dulu, saat Mas Rohmad dan Mbak Lia masih ada. Namun keinginanku tak akan mudah terwujud. "Aku tidak mau dekat-dekat dengan seorang pembunuh!"DEG!Seakan batu besar menimpa tubuhku hingga remuk tak berbentuk. Kenapa anak sekecil itu bisa mengatakan aku seorang pembunuh? "Keluar! Aku benci tante! Kalau tidak mengantar Diana. Semua keluargaku pasti masih hidup! Aku benci tante dan Diana. Aku benci!" Akbar menjerit histeris, air mata membanjiri pipi tembemnya. Ya Allah, apa yang harus ku lakukan? Aku harus bagaimana?Dengan derai air mata ku tinggalkan kamar Akbar. Mungkin dia ingin sendiri. Biarlah ku beri ruang untuk dia bebas mengeluarkan isi hati. Percuma ku jelaskan sekarang. Dia tidak akan percaya. ***Adzan subuh sudah berku
Sepeda motor siap di halaman. Rumah sudah kukunci dan kuletakkan di bawah keset depan pintu. "Ayo berangkat!" Akbar dan Diana nampak bahagia. Tas ransel sudah berada digendongan masing-masing. "Aku di depan, ya, Bu." Diana berlari lalu berdiri di atas motor. "Aku yang depan!" Akbar menarik paksa tangan Diana. Tarikan keras membuat Diana hilang keseimbangan dan jatuh ke tanah. "Hu ... hu ... hu...." Tangis Diana pecah seketika. "Diana tidak apa-apa?" Kubangunkan tubuhnya. Kulihat setiap inci bagian tubuhnya. Memastikan apakah ada luka serius atau tidak."Sakit, Bu ... hu... hu...." Diana memperlihatkan tangan kirinya. Kusentuh pelan tangan kirinya. Ada sedikit goresan di telapak tangan kirinya. Segera ku bersih akan dengan air agar tidak terjadi infeksi. "Kita obati ya, Nak." Diana menggeleng tapi tangisnya sudah reda. "Lain kali jangan begitu ya, Mas." Kulirik Akbar yang berdiri di depan sepeda motor. Wajahnya tambah masam setelah mendengar teguranku.Aku ingin mengajarkan Ak
Kusambar jaket dan kunci motor yang ada di dalam kamar. Sedikit terburu ku tinggalkan rumah. "Mbak helmnya!" teriakan Mbak Ina membuatku mematikan mesin motor yang sudah menyala. Ku llihat pantulan diri di kaca spion. Benar saja, aku belum memakai helm. Benda wajib pun belum menempel di mulut. Ya Allah, beginikah repotnya memiliki anak yang usil? "Jangan terburu-buru, Mbak. Fokus nyetirnya," wejangan Mbak Ina saat aku tengah memakai masker. Ku anggukan kepala lalu mengenakan helm. Mata fokus ke depan tapi pikiran melayang-layang. Menerka keusilan apa yang Akbar lakukan pada temannya? Kata-kata apa yang akan ku sampaikan pada wali anak itu? Rasanya aku sudah tak punya muka lagi. Selalu saja mendapat komplain yang sama. Akbar... Akbar, kapan kamu berubah?Aku berjalan sambil beristighfar dalam hati. Berharap kali ini wali anak yang dinakali Akbar tidak galak. Bisa diajak memaafkan kesalahan ponakanku itu. Doa yang simpel tapi nyatanya susah minta ampun. Kuketuk benda persegi panjan
Aku dan Akbar duduk berdua di sofa ruang keluarga. Anak kandung Mas Rohmad itu hanya menundukkan kepala. Menatap mataku saja tak sanggup. Ia memilih diam sembari memainkan jemarinya. "Akbar, boleh tante tanya sesuatu?" Akbar masih diam. Tidak menjawab atau menggerakkan kepala sebagai tanda menyetujui atau justru menolak."Kenapa Akbar mencubit lengan Kenzo?" tanyaku lembut. Ku tekan sekuat tenaga amarah yang berkecambuk di dalam dada. Hening. Akbar hanya menunduk tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Rasanya ingin ku cubit biar dia berteriak sekalian. Kesal. "Ya Allah, sabar... Sabar Wulan!" Aku berbicara dengan diriku sendiri. Lama-lama saling diam seperti ini justru membuat kepalaku semakin mengepul karena geramnya. "Akbar, kenapa kamu mencubit Kenzo?" Ku ulang lagi pertanyaan yang sama. Namun reaksi Akbar tetap sama saja. "Oke, kalau Akbar tidak mau bicara, terpaksa tante pindahkan Akbar di TK dekat rumah." Aku bangkit dari duduk. Namun belum sempat melangkah Akbar sudah me
"Ibu!" Diana berlari ke arahku, diikuti Naura di belakangnya. Segera aku berjongkong, memeluk dua gadis berbeda generasi itu. Bahagia, rasa itu tiba-tiba hadir memenuhi sanubari. Detak jantung pun berirama. Ah, kenapa aku ini? "Bu, aku dibelikan boneka Barbie sama Om Bagus. Mas Akbar juga dibelikan mobil-mobilan. Bagus deh, bu. Diana suka.""Dari mana, Lan?" Suara lembut dan mampu menggetarkan hatiku. "Diana main dengan Naura dulu, ya. Ibu mau ngobrol dengan Om Bagus, boleh?""Boleh." Diana mengajak Naura kembali bermain boneka di depan televisi. Dengan perasaan campur aduk, ku jatuhkan bobot di sofa. Mas Bagus pun sama. Kami duduk dengan jarak satu meter. Sesuai anjuran pemerintah bukan? Harus jaga jarak. "Mas Bagus sudah lama?" tanyaku basa-basi. "Sudah, kamu dari mana, Lan?" tanyanya dengan kalimat yang sama. "Dari toko bahan kue. Akbar meminta membuat kue bersama. Padahal aku belum bisa.""Ide bagus itu Lan, anak-anak pasti suka. Kita bagai keluarga harmonis."Pipiku memana
"Diana jangan dekat-dekat Naura. Dia mau ambil ibu kamu!"DEGAku tak percaya Akbar bisa berkata demikian. Aku tak pernah mengajarinya berkata demikian. Aku selalu mendidiknya untuk menyayangi anak kecil dan menghormati orang tua. Apa kehilangan keluarga membuatnya seperti ini? "Apa iyaa Mas?""Iya," ucap Akbar menyakinkan. "Ayo kita ke kamar aku saja." Akbar menarik tangan Diana ke kamarnya. Naura yang ditinggal menagis terisak. Bayangkan saja saat senang-senangnya bermain justru ditinggal begitu saja. Ya Allah kenapa semua menjadi rumit seperti ini? Aku segera mendekat ke arah gadis kecil yang sedang menangis sesegukan. Ku bawa tubuhnya ke dalam pelukanku. "Naura temani tante Wulan memotong kain yuk. Nanti kita tempel kain percaya di atas kertas." Naura mengangguk, lalu tersenyum manis. Air mata yang sempat jatuh sudah berganti dengan tawa. Naura duduk tak jauh dariku. Dia asyik bermain kain perca. Mengumpulkan lalu memasukan ke dalam kantung plastik. "Akbar kenapa Mbak?" tan
"Wulan, kok bengong." Sebuah tepukan di pundak membuatku tersadar. Astaga, malu sekali saat ketahuan menatap Mas Bagus hingga tidak berkedip. Bisa besar kepala Mas Bagus nanti. "Eh, itu Mas, em... Mari masuk!" Aku semakin salah tingkah saat lelaki yang berhasil mencuri hati tersenyum ke arahku. Mas Bagus masuk dengan membawa empat paper bag. Kami berjalan berjajar tanpa saling sapa. Rasa malu membuatku memilih diam tanpa suara. "Papa datang!" teriaknya membuat anak-anak mencari sumber suara. Tanpa diminta Naura berlari memeluk ayah kandungnya, mencurahkan rasa rindu karena dua hari tidak bertemu. "Ini oleh-oleh-oleh dari papa." Mas Bagus memberikan satu orang satu paper bag. Tunggu, dia menyebut dirinya papa untuk Naura atau Diana juga Akbar? Astaga! Kenapa pikiranku melayang ke mana-mana? "Ini untukmu," Mas Bagus memberikan satu paper bagian berwarna merah padaku. "Apa ini, Mas?" "Boleh di buka semuanya."Anak-anak antusias membuka paper bagian yang ada di tangan masing-mas