"Diana, ini ayah. Diana tidak kangen ayah?" tanya Mas Wahyu seraya melambaikan tangan. Diana diam, tapi tangannya semakin kuat memelukku. Bahkan membuatku susah bergerak. "Diana gak mau sama ayah. Diana takut ...."Aku tahu jika Diana marah dan kecewa pada Mas Wahyu. Namun aku tak pernah menyangka jika dia sampai takut seperti ini. Kekerasan yang Mas Wahyu lakukan menimbulkan trauma di hati Diana. Kasihan kamu, nak. "Diana salim dulu sama ayah," ucapku membujuk Diana. Seburuk-buruknya Mas Wahyu dia tetap ayah kandung Diana. Aku tak ingin putriku menjadi anak durhaka karena membenci ayahnya. Diana menggeleng lalu berlari ke kamar. Ketakutannya begitu besar pada ayah kandungnya sendiri. Miris. "Silahkan masuk, Bu, Mas." Mas Wahyu dan keluarganya mengikuti langkahku.Tatapan tak suka tergambar jelas di mata Mbak Ina dan Ami. Sedikit banyak mereka tahu masalah rumah tanggaku. Bukan aku mengumbar aib mantan suami. Tapi kenyataannya mereka tahu sendiri. Sikap Mas Wahyu yang suka melaku
"Kalau tidak ada yang ingin disampaikan lagi, aku mohon tinggalkan rumah ini, Mas!" Ku tunjuk pintu keluar. Ini memang tidak sopan. Mengusir tahu adalah perbuatan tercela. Namun harus ku lakukan untuk menjaga psikis Diana. "Kamu ngusir kami, Lan?" tanya ibu dengan mata berkaca-kaca. Sebenarnya tak ada niatan untuk mengusir ibu atau Mas Rudi. Aku hanya tak ingin Mas Wahyu berada di sini. Aku tak mau Diana kembali terluka. "Maaf, Bu. Bukan maksud Wulan mengusir kalian. Keadaan yang memaksa Wulan untuk melakukan itu. Wulan hanya menjaga perasaan Diana. Kasihan dari tadi dia ketakutan di kamar.""Tapi tidak sopan mengusir kami. Wahyu itu juga berhak atas Diana."Ya AllahDengan apa ku beri tahu mereka jika Diana tengah terluka? Apa mereka tak memikirkan kesehatan kejiwaan putriku? Kenapa selalu Mas Wahyu? "Kalau ibu tidak percaya, silahkan lihat ke kamar Diana.""Tidak perlu, Lan. Mas tahu apa yang kamu katakan benar adanya. Mas minta maaf jika kehadiran kami membuat Diana ketakutan.
Sekarang aku di sini. Duduk di samping pusara Mas Rohmad. Ya, kakakku telah dikebumikan beberapa jam yang lalu. Aku terlambat datang hingga tak dapat melihatnya untuk terakhir kali. Kuhapus jejak air mata yang membasahi pipi. Berusaha tidak menangis tapi tetap saja tidak bisa. "Kenapa Mas tinggalin aku!" Kusentuh nisan kayu bertuliskan nama kakakku. "Bahkan Wulan tidak bisa melihat Mas Rohmad untuk terakhir kalinya. Kenapa Mas pergi secepat ini?" ucapku dengan tangis sesegukkan. Aku masih tak percaya jika kini Mas Rohmad, Mbak Lia dan Aqila sudah tidur untuk selama-lamanya. Baru kemarin kami bercanda bersama. Tapi kini mereka telah tiada. Tidak ada lagi keceriaan dan kehangatan yang selalu mereka berikan padaku. Takdir Tuhan tak pernah ada yang tahu. Detik ini tersenyum bersama lalu detik berikutnya menangis kehilangan. Aku tahu kematian adalah takdir yang tak bisa ditolak. Namun kenapa secepat ini? Ya Tuhan, apa aku salah bila berharap semua ini hanya mimpi? Dan ketika terbangun
"Ini semua sudah takdir, Bu. Saya juga tidak ingin semua ini terjadi. Namun saya bisa apa?""Semua tidak akan terjadi kalau mereka tidak mengantar Diana. Mereka pasti masih hidup. Semua gara-gara kamu!" tangannya menunjuk tepat ke arahku. Aku beristighfar dalam hati. Mengelus dada yang kian terasa sesak. Aku kehilangan kakakku dan aku yang dituduh menjadi penyebab kematiannya. Sungguh menyakitkan. Harusnya wanita berumur seperti beliau sadar jika kematian pasti datang. Tak perduli ia bersembunyi di kolong ranjang, jika waktunya telah usai maka malaikat maut akan datang menjemputnya. Mbak Lia dan Mas Rohmad meninggal setelah mengantarkan Diana, itu yang membuat mereka menyalahkan kami. "Saya permisi." Aku beranjak menuju kamar tamu. Tempat aku meletakkan pakaian ganti. Rencananya aku ingin menginap sampai tujuh hari kematian Mas Rohmad. Namun sepertinya harus kubatalkan rencana awal karena keadaan yang tidak memungkinkan. Aku dan Diana telah berganti pakaian. Baju basah sudah kumas
Aku masih duduk dengan punggung menempel di sandaran ranjang. Diana sudah terlelap ke alam mimpi. Dengkuran halus keluar dari mulutnya. Dia pasti kelelahan setelah perjalanan jauh. Kamar terasa dingin hingga menusuk tulang. Segera kumatikan pendingin ruangan yang masih menyala. Kurebahkan tubuh ini samping Diana. Tidak lupa menutup tubuh dengan selimut besar. Kupejamkan mata, berharap segara menyusul putriku ke alam mimpi. Namun hingga setengah jam rasa kantuk belum juga menghampiri. Bayang Mas Rohmad, Mbak Lia dan Aqila menari-nati dalam angan. Rasa lelah yang sempat mendera berganti dengan rasa kehilangan yang menyesakkan dada. Bulir bening yang sempat berhenti kini jatuh kembali. Aku menangis, mengeluarkan beban dan rasa kecewa yang hadir silih berganti. Apa mereka pergi karena salahku? Apa aku memang pantas disebut seorang pembunuh? Pertanyaan itu berputar-putar dalam kepala. Rasanya ingin berteriak, mengeluarkan beban yang ada. Namun lagi-lagi aku tak bisa. Jarum jam sudah
"Tolonglah, Mbak. Sebentar saja. Sepuluh menit deh." Aku berusaha merayu, siapa tahu mbaknya luluh. "Maaf, Mbak.""Ini ada apa Sit?" tanya seorang satpam. Lelaki dengan perut buncit itu pasti datang karena mendengar perdebatan kami. Kalau begini, tak mungkin aku bisa naik ke atas. Mbak yang menunggu meja resepsionis itu mulai menceritakan setiap detil apa yang ku katakan tadi. Sekarang bukan hanya pihak resepsionis yang melarang, satpam pun mulai ambil tindakan. "Ya sudah, saya permisi,Mbak," ucapku pelan.Aku berjalan dengan langkah gontai meninggalkan rumah sakit. Rasa kecewa menyelimuti hati. Ingin rasanya nekat masuk ke dalam tapi tetap kalah dengan peraturan. "Tidak jadi ke ruangan Mas Akbar, Bu?" Aku menggelengkan kepala. Seketika Diana menjadi masam. Raut kecewa tergambar jelas di sana. "Kita pulang ya, nak. Besok kita video call Mas Akbar," ucapku meyakinkan walau aku sendiri tak tahu akan menghubungi nomor siapa. Kembali aku memesan taksi di aplikasi online. Aku dan Di
Aku menyapu setiap sudut rumah. Membersihkan plastik dan tisue yang beserakan di lantai. Bekas acara pengajian tujuh harian Mas Rohmad, Mbak Lia dan Aqila. Setelah pulang dari Cilacap tempo hari. Aku putuskan untuk mengadakan tahlilan di rumah ini. Mbak Ina dan Ami kuliburkan menjahitnya. Besok baru menjahit kembali. Banyak tetangga yang mengucapkan bela sungkawa atas kepergian Mas Rohmad dan keluarganya. Mereka terkenal ramah di mata warga sini. Tak heran banyak yang hadir untuk mendoakan mereka. Sudah tujuh hari Mas Rohmad meninggalkanku. Namun hingga detik ini, aku masih saja tidak percaya jika mereka telah tiada. Lagi, aku berharap semua ini mimpi. Namun kenyataannya semua ini benar adanya. "Mau dibantuin,Lan?" tanya Mbak Ina yang sudah berdiri di depan pintu. Entah sejak kapan dia di sana? "Tinggal nyapu doang Mbak." Tolakku halus. Aku tak ingin merepotkan Mbak Ina dan Ami terus-menerus. Sudah cukup beberapa hari ini membantuku mengurus acara tahlilan Mas Rohmad dan keluarg
"Diana mandi dulu, sayang," ucapku saat melihat jam dinding sudah menunjukkan angka empat. Rumah kembali terasa sepi karena Mbak Ina dan Ami sudah pulang dari tadi siang. "Entar ya, Bu. Acara televisinya masih bagus." Diana masih duduk di kasur lantai dengan mata fokus ke layar televisi. "Nanti keburu dingin lho, nak. Mandi dulu gih!""Nantilah, bu!""Ibu matiin ya, televisinya!""Ibu mah gak asyik!" Diana segera berdiri lalu berjalan menuju kamar mandi. Sesekali kakinya ia hentakkan. Rupanya anak gadisku sedang merajuk. Aku tak pernah melarang untuk menonton televisi tapi tetap harus tahu waktu. Kapan saatnya mandi, kapan saatnya makan, dan belajar. Aku ingin mendidik Diana agar bisa belajar disiplin. Dimulai dari mandi tepat waktu. Apa aku kejam? Tidak. Anak-anak memang perlu diajarkan disiplin agar setelah dia tumbuh dewasa, dia tidak akan kaget. Karena tidak selamanya aku bisa menemani. Seperti musibah yang menimpa Akbar. Dari situ aku belajar pentingnyaSuara katukan pintu te