"Kalau Diana tinggal satu rumah dengan Naura dan Om Bagus. Apa Diana mau?" tanyaku pelan. Diana diam, berusaha mencerna ucapanku. "Diana tidak mau punya ayah. Diana takut!" ucapnya lalu berlari ke dalam kamar.Ku elus dada yang kian terasa sesak. Aku tak pernah menyangka perbuatan Mas Wahyu pada kami terutama Diana bisa menorehkan luka begitu dalam. Putriku sampai merasa takut dengan lelaki bergelar ayah. Dalam diam, Diana telah merekam perbuatan kejam ayahnya. Sedikit demi sedikit hingga akhirnya menumpuk menjadi sebuah kebencian bahkan rasa trauma. Harusnya seorang ayah menjadi cinta pertama bagi anak gadisnya. Menjadi figur yang ia contoh untuk mencari pendamping hidupnya kelak. Bukan justru menjadi rasa trauma seperti yang dilakukan Mas Wahyu. Mungkin lebih baik aku menyendiri. Menjalani hidup dengan Diana tanpa ada orang lain. Aku takut kehadiran Mas Bagus justru membuat hati Diana semakin terguncang dan tertekan. Aku tak ingin Diana kembali merasakan sakit seperti saat bersa
"Diana mau ikut ibu, tidak?" "Ke mana, Bu?" tanyanya sambil memainkan boneka barbie pemberian Mbak Lia. Kemarin Mbak Lia memberikan tiga buah boneka. Katanya untuk kenang-kenangan. Lucu bukan? Serasa dia mau ke luar negeri saja. Padahal hanya pulang ke rumahnya di Cilacap. Beberapa bulan lagi juga akan ketemu. "Ibu mah beli benang dan perlengkapan jahit lainnya. Diana mau ikut? Nanti kita beli ayam goreng atau bakso kesukaan Ana. Mau tidak?""Mau ... Mau banget, Bu!" ucapnya sambil kegirangan. "Ganti baju gih, pakai jilbab juga." Diana mengangguk lalu segera berlari menuju kamar. Diana sudah berlatih mandiri. Ia bisa memakai baju dan sepatu sendiri. Aku bahkan dilarang membantunya. Sungguh bersama Mas Rohmad dan Mbak Lia, Diana semakin dewasa. Aku sudah siap dari tadi. Tinggal menunggu Diana saja. Dia memang lama dalam memilih baju,padahal sudah ku pilihkan. Tapi dia tak mau. Sambil menunggu Diana berganti pakaian iseng kucari model gamis terbaru. Siapa tahu bisa menjadi inspi
"Bagaimana, Mas?" tanyaku setelah Mas Rudi memasukkan ponsel ke saku celananya. Kakak kandungku itu menghembuskan nafas kasar. Perasaanku mendadak tidak enak melihat ekspresi wajahnya. "Wulan tidak bisa ke sini, Yu. Sebaiknya kamu jangan terlalu berharap lagi." "Maksudnya Mas apa?" ucapku lantang. "Ssttt ... Jangan berisik!" ujar ayah dari pasien yang ada di sampingku. Mas Rudi menjatuhkan bobot di kursi samping rajangku. Matanya menatap kakiku lalu beralih menyelami sorot mata ini. Apa maksud Mas Rudi melakukan itu? Harusnya dia mendukungku bukan? Wulan itu ipar yang baik. Pasti dia juga ingin aku kembali padanya. "Wahyu, seorang suami itu harus mampu bertanggung jawab kepada istri dan anaknya. Apa kamu sanggup bertanggung jawab pada Wulan dan Diana? Memberi nafkah yang layak, melindungi dia bukan justru menjadi beban untuknya."DEGUcapan Mas Rudi bagai menyayat kulit ini dengan pisau tumpul. Sakit luar biasa. Apa karena aku lumpuh hingga ia tega berkata demikian? "Apa karen
"Kita langsung pulang ke Semarang atau menginap di hotel dulu, Bu?" tanya Mas Rudi seraya menjatuhkan bobot di depan kursi kemudi. Dari anak ibu, Mas Rudi lah yang ekonominya bagus. Bisa dibilang mapan. Dia anak yang berbakti pada ibunya. Berbeda denganku. Kami berdua bak langit dan bumi. "Kita pulang langsung saja, Rud. Istri kamu pasti ngomel-ngomel kalau kita terlalu lama di sini." Oh, tidak! Langsung ke Semarang? Tak bisakan di sini barang dua atau tiga hari lagi. Aku ingin bertemu dengan Wulan dan Diana. Aku sangat merindukan mereka. Kalau bisa aku ingin kembali ke rumah itu. Hidup bertiga dengan penuh kebahagiaan. "Kalau begitu kita pulang saja, Bu. Pekerjaan Rudi masih banyak." Mas Rudi mulai menyalakan mesin mobil miliknya. "Tunggu, Mas!" Mas Rudi menoleh ke belakang. "Aku ingin bertemu Wulan dan Diana. Ingin meminta maaf pada mereka. Dan semoga Wulan mau rujuk denganku lagi." Mas Rudi menggelangkan kepala mendengar kalimat terakhir yang ku ucapkan. Apa yang salah? Ta
"Diana, ini ayah. Diana tidak kangen ayah?" tanya Mas Wahyu seraya melambaikan tangan. Diana diam, tapi tangannya semakin kuat memelukku. Bahkan membuatku susah bergerak. "Diana gak mau sama ayah. Diana takut ...."Aku tahu jika Diana marah dan kecewa pada Mas Wahyu. Namun aku tak pernah menyangka jika dia sampai takut seperti ini. Kekerasan yang Mas Wahyu lakukan menimbulkan trauma di hati Diana. Kasihan kamu, nak. "Diana salim dulu sama ayah," ucapku membujuk Diana. Seburuk-buruknya Mas Wahyu dia tetap ayah kandung Diana. Aku tak ingin putriku menjadi anak durhaka karena membenci ayahnya. Diana menggeleng lalu berlari ke kamar. Ketakutannya begitu besar pada ayah kandungnya sendiri. Miris. "Silahkan masuk, Bu, Mas." Mas Wahyu dan keluarganya mengikuti langkahku.Tatapan tak suka tergambar jelas di mata Mbak Ina dan Ami. Sedikit banyak mereka tahu masalah rumah tanggaku. Bukan aku mengumbar aib mantan suami. Tapi kenyataannya mereka tahu sendiri. Sikap Mas Wahyu yang suka melaku
"Kalau tidak ada yang ingin disampaikan lagi, aku mohon tinggalkan rumah ini, Mas!" Ku tunjuk pintu keluar. Ini memang tidak sopan. Mengusir tahu adalah perbuatan tercela. Namun harus ku lakukan untuk menjaga psikis Diana. "Kamu ngusir kami, Lan?" tanya ibu dengan mata berkaca-kaca. Sebenarnya tak ada niatan untuk mengusir ibu atau Mas Rudi. Aku hanya tak ingin Mas Wahyu berada di sini. Aku tak mau Diana kembali terluka. "Maaf, Bu. Bukan maksud Wulan mengusir kalian. Keadaan yang memaksa Wulan untuk melakukan itu. Wulan hanya menjaga perasaan Diana. Kasihan dari tadi dia ketakutan di kamar.""Tapi tidak sopan mengusir kami. Wahyu itu juga berhak atas Diana."Ya AllahDengan apa ku beri tahu mereka jika Diana tengah terluka? Apa mereka tak memikirkan kesehatan kejiwaan putriku? Kenapa selalu Mas Wahyu? "Kalau ibu tidak percaya, silahkan lihat ke kamar Diana.""Tidak perlu, Lan. Mas tahu apa yang kamu katakan benar adanya. Mas minta maaf jika kehadiran kami membuat Diana ketakutan.
Sekarang aku di sini. Duduk di samping pusara Mas Rohmad. Ya, kakakku telah dikebumikan beberapa jam yang lalu. Aku terlambat datang hingga tak dapat melihatnya untuk terakhir kali. Kuhapus jejak air mata yang membasahi pipi. Berusaha tidak menangis tapi tetap saja tidak bisa. "Kenapa Mas tinggalin aku!" Kusentuh nisan kayu bertuliskan nama kakakku. "Bahkan Wulan tidak bisa melihat Mas Rohmad untuk terakhir kalinya. Kenapa Mas pergi secepat ini?" ucapku dengan tangis sesegukkan. Aku masih tak percaya jika kini Mas Rohmad, Mbak Lia dan Aqila sudah tidur untuk selama-lamanya. Baru kemarin kami bercanda bersama. Tapi kini mereka telah tiada. Tidak ada lagi keceriaan dan kehangatan yang selalu mereka berikan padaku. Takdir Tuhan tak pernah ada yang tahu. Detik ini tersenyum bersama lalu detik berikutnya menangis kehilangan. Aku tahu kematian adalah takdir yang tak bisa ditolak. Namun kenapa secepat ini? Ya Tuhan, apa aku salah bila berharap semua ini hanya mimpi? Dan ketika terbangun
"Ini semua sudah takdir, Bu. Saya juga tidak ingin semua ini terjadi. Namun saya bisa apa?""Semua tidak akan terjadi kalau mereka tidak mengantar Diana. Mereka pasti masih hidup. Semua gara-gara kamu!" tangannya menunjuk tepat ke arahku. Aku beristighfar dalam hati. Mengelus dada yang kian terasa sesak. Aku kehilangan kakakku dan aku yang dituduh menjadi penyebab kematiannya. Sungguh menyakitkan. Harusnya wanita berumur seperti beliau sadar jika kematian pasti datang. Tak perduli ia bersembunyi di kolong ranjang, jika waktunya telah usai maka malaikat maut akan datang menjemputnya. Mbak Lia dan Mas Rohmad meninggal setelah mengantarkan Diana, itu yang membuat mereka menyalahkan kami. "Saya permisi." Aku beranjak menuju kamar tamu. Tempat aku meletakkan pakaian ganti. Rencananya aku ingin menginap sampai tujuh hari kematian Mas Rohmad. Namun sepertinya harus kubatalkan rencana awal karena keadaan yang tidak memungkinkan. Aku dan Diana telah berganti pakaian. Baju basah sudah kumas