Matahari sudah tenggelam dan terlelap dalam peraduan. Ami dan Mbak Ina juga sudah pulang ke rumah masing-masing. Kini hanya tinggal aku seorang diri. Terasa sepi jika sendiri. Kutatap halaman yang sudah mulai di pondasi. Tempat itu yang nantinya akan ku gunakan untuk menjahit. Tentu ada pintu yang menyambungkan tempat menjahit dan rumah. Bila malam ingin menjahit pun aku tak perlu keluar rumah. Cukup membuka pintu di antara ruangan saja. Kriiingg.... Suara panggilan video masuk terdengar sampai ke teras. Aku segera melangkah mendekati benda pipih yang berbunyi nyaring itu. Senyum merekah saat melihat siapa yang menelepon. "Assalamu'alaikum," salam seseorang yang sangat ku rindu. "Wa'alaikumsalam sayang. Diana sedang apa?" Mataku mulai berambun saat melihat pipi putriku yang mulai tembem, sangat jauh berbeda saat tinggal bersama Mas Wahyu. Boro-boro temem, Diana justru kurus kering saat bersama ayahnya. "Ibu kapan jemput aku, aku kangen." Matanya berkaca-kaca hingga akhirnya ai
"Aku tidak boleh ikut dengan mereka. Ayo Wulan cari alasan yang tepat!" batinku. "Bisa ikut sekarang Mbak?" tanya lelaki itu lagi. "Saya masih ada keperluan, Pak. Saya minta alamat rumah sakitnya saja. Setelah urusan saya selesai, saya pasti akan segera ke sana." Dua lelaki itu saling pandang dan akhirnya menganggukan kepala. Dua polisi itu segera meninggalkan rumah setelah menyampaikan maksud tujuannya datang kemari. Masuk ke kamar melipat mukena dan mengganti pakaian. Memesan taksi online menuju rumah sakit Husada. Tempat Mas Wahyu di rawat. Entah benar atau tidak, tak ada salahnya memastikan. Taksi online berhenti tepat di depan rumah. Ku kunci pintu lalu segera masuk ke mobil. Kasihan driver jika menunggu terlalu lama. "Apa ada pasien kecelakaan yang bernama Wahyu, Mbak?" tanyaku pada seorang perempuan perawat yang lewat di lobi rumah sakit. "Saya kurang tahu, Mbak. Mari saya antar ke bagian resepsionis." Aku mengekor perawat itu. Wanita berhijab putih itu berbicara dengan
Sudah tiga hari Mas Wahyu dirawat di rumah sakit. Dan akulah yang mengurus lelaki yang sebenarnya bukan tanggung jawabku. Tapi mau bagaimana lagi. Keluarga Mas Wahyu baru bisa datang hari ini. Sementara di sini Mas Wahyu sudah tak memiliki sanak saudara. Mau tak mau akulah yang harus merawatnya. "Terima kasih ya, Lan. Maaf aku sudah merepotkanmu." Ku anggukan kepala. "Mas menyesal telah menelantarkanmu dan Diana. Seandainya sejak dulu Mas bisa menyadari kesalahan Mas, mungkin semua tidak akan seperti ini. Kita akan merawat Diana bersama dengan penuh kasih sayang. Sungguh, Mas minta maaf," ucapnya mengiba dengan bulir bening membasahi pipi. Apa aku percaya dengan ucapannya? Ah, tentu tidak! Bertahun-tahun di tipu dengan pura-pura insyaf dan bertobat. Namun hanya tobat sambal saja. Mas Wahyu selalu mengulangi kesalahan yang sama. Hari ini tobat besok mengulang lagi. Aku sampai hafal dan bosan dengan kebiasaan buruknya. "Kenapa baru sekarang kamu bilang maaf dan menyesal, Mas? Keman
"Mas Rudi bikin orang jantungan!" sungutku kesal. Mas Rudi justru tersenyum melihat ekspresi kesalku. Memang keterlaluan dia. "Ini tanda pengenal penunggu pasien." Kuberikan benda yang mempermudah masuk ke rumah sakit ini. Saat ini kami tengah duduk di kursi tunggu di depan loket pendaftaran yang sudah kosong. Maklum ini hari minggu, tak ada layanan untuk poliklinik. Hanya ada dokter umum yang berjaga di ruang IGD. Kalau pun ada dokter spesialis pasti tidak membuka praktek di hari minggu dan tanggal merah. "Terima kasih sudah mau menjaga Wahyu, Lan," ucap Mas Rudi. Aku hanya tersenyum tipis. "Bagaimana keadaan Wahyu?" tanya ibu dengan raut wajah khawatir. Seorang ibu pasti mengkhawatirkan keadaan anaknya. Apa lagi mendengar putranya mengalami kecelakaan, pasti ibu sangat syok. Lalu bagaimana reaksi beliau jika tahu putranya tidak bisa lagi berjalan. Dia lumpuh. "Lan, kok diam. Wahyu baik-baik saja, kan?"Kuhembuskan nafas perlahan seraya merangkai kata agar tidak membuat ibu te
Aku hembuskan napas kasar. Kesal. Apa susahnya menunggu barang sebentar. Tinggal satu pola lagi dan semua selesai. Namun diganggu teriakan kakakku. Aku berjalan sambil menghentakkan kaki. Seketika mulutku terbuka lebar melihat tamu yang datang. Kututup mata dengan kedua tangan berharap ini hanya mimpi belaka. Dan saat membuka matasebuah spanduk bertuliskan "WULAN, MAU KAH MENIKAH DENGANKU? MENJADI IBU UNTUK DIANA, NAURA DAN ANAK-ANAK KITA" hilang seketika. Tapi sayang, saat membuka mata, tulisan itu masih menempel di mobil Mas Bagus. Bahkan semakin terlihat jelas. Ya Allah, mimpi apa aku semalam? Hingga Mas Bagus datang dengan spanduknya. Apa dia tak memiliki urat malu? Apa dia tak takut reputasinya akan hancur karena spanduk? Saat ini justru reputasiku yang akan hancur. Bagaimana tanggapan para tetangga padaku? Halaman rumah yang tadinya sepi kini dipenuhi emak-emak yang penasaran dengan Mas Bagus. Lebih tepatnya spanduk yang menempel di mobil mahalnya. Astaga! Ada-ada saja or
"Kau tahu, Lan. Cinta itu tak mengenal waktu dan alasan. Karena sejatinya rasa itu hadir lalu mengalir dengan sendirinya. Aku mencintaimu dan ingin serius, maka dengan itu aku melamarmu di depan Mas Rohmad."Aku tertegun. Kata-kata nya mampu membungkam mulut ini. Lalu dengan alasan apa aku menolaknya? "Beri waktu karena aku tak bisa menjawab saat ini juga."Lengkungan bibir terlihat di wajah penuh kharisma. Apa dia pikir masih memiliki harapan? Ah, entahlah. "Naura, kita pulang yuk sayang." Mas Bagus jongkok mengelus punggung tangan gadisnya. "Aura aura bobog sama akak Ana," celoteh Naura lalu berlari dan bersembunyi di balik punggung Diana. Namun tetap saja terlihat karena tubuh putriku kecil tak seperti Aqila. "Besok kita main ke sini lagi ya nak. Sekarang kita pulang dulu." "Gak au. Aura mau di cini aja!" Mas Bagus terus saja merayu Naura agar mau pulang. Namun hasilnya sia-sia. Gadis kecil itu masih kekeh untuk tetap di sini. Mas Bagus semakin merasa tak enak hati dengan tin
"Kalau Diana tinggal satu rumah dengan Naura dan Om Bagus. Apa Diana mau?" tanyaku pelan. Diana diam, berusaha mencerna ucapanku. "Diana tidak mau punya ayah. Diana takut!" ucapnya lalu berlari ke dalam kamar.Ku elus dada yang kian terasa sesak. Aku tak pernah menyangka perbuatan Mas Wahyu pada kami terutama Diana bisa menorehkan luka begitu dalam. Putriku sampai merasa takut dengan lelaki bergelar ayah. Dalam diam, Diana telah merekam perbuatan kejam ayahnya. Sedikit demi sedikit hingga akhirnya menumpuk menjadi sebuah kebencian bahkan rasa trauma. Harusnya seorang ayah menjadi cinta pertama bagi anak gadisnya. Menjadi figur yang ia contoh untuk mencari pendamping hidupnya kelak. Bukan justru menjadi rasa trauma seperti yang dilakukan Mas Wahyu. Mungkin lebih baik aku menyendiri. Menjalani hidup dengan Diana tanpa ada orang lain. Aku takut kehadiran Mas Bagus justru membuat hati Diana semakin terguncang dan tertekan. Aku tak ingin Diana kembali merasakan sakit seperti saat bersa
"Diana mau ikut ibu, tidak?" "Ke mana, Bu?" tanyanya sambil memainkan boneka barbie pemberian Mbak Lia. Kemarin Mbak Lia memberikan tiga buah boneka. Katanya untuk kenang-kenangan. Lucu bukan? Serasa dia mau ke luar negeri saja. Padahal hanya pulang ke rumahnya di Cilacap. Beberapa bulan lagi juga akan ketemu. "Ibu mah beli benang dan perlengkapan jahit lainnya. Diana mau ikut? Nanti kita beli ayam goreng atau bakso kesukaan Ana. Mau tidak?""Mau ... Mau banget, Bu!" ucapnya sambil kegirangan. "Ganti baju gih, pakai jilbab juga." Diana mengangguk lalu segera berlari menuju kamar. Diana sudah berlatih mandiri. Ia bisa memakai baju dan sepatu sendiri. Aku bahkan dilarang membantunya. Sungguh bersama Mas Rohmad dan Mbak Lia, Diana semakin dewasa. Aku sudah siap dari tadi. Tinggal menunggu Diana saja. Dia memang lama dalam memilih baju,padahal sudah ku pilihkan. Tapi dia tak mau. Sambil menunggu Diana berganti pakaian iseng kucari model gamis terbaru. Siapa tahu bisa menjadi inspi