Sorot mentari menghangatkan kulit. Cuaca hari ini terlihat cerah. Secerah senyum Ami dan Mbak Ina yang baru saja datang. Maklum ini sabtu, waktu mereka menerima gaji. Aku memang mengaji mereka tiap hari sabtu dan pada hari minggu biasanya mereka libur. Namun berhubung kerjaan banyak,hari minggu besok mereka akan tetap bekerja seperti biasanya. "Yang hari ini gajian seneng bener!" ledekku. "Iya dong Mbak, gajian buat beli skincare. Siapa tahu Mas Bagus kecantol. Biar duda tapi tajir melintir."Aku tertawa dengan tingkah Ami. Sebegitu suka kah dia dengan Mas Bagus. Apa efek jomblo terlalu lama membuatnya ngawur ketika berbicara. Ya, bisa jadi seperti itu. Kami mulai melakukan rutinitas, bermain dengan kain, benang dan mesin jahit. "Mbak Wulan sudah mulai menjahit? Sepagi ini?" tanya Mbak Ina seperti keheranan melihat satu gamis telah selesai ku jahit tinggal memeberi kancing fantasi di bagian perut ke bawah.. Tak ada kerjaan rumah membuatku menjahit lebih pagi. Semua pekerjaan ruma
Pov WulanSuara motor milikku semakin terdengar jelas. Dan benar saja, ibu dan Mas Rudi sudah pulang dari pasar. Wajah ibu terlihat masam saat melihatku dan Mas Bagus duduk bersebelahan. "Ini alasan kamu menolak permintaan ibu untuk rujuk dengan Wahyu?"Aku melongo mendengar ucapan mantan ibu mertua. Alasan menolak Mas Wahyu? Apa aku tak salah dengar? Jelas-jelas semua karena tingkah putranya. "Maaf, maksud ibu apa ya? Saya dan Mas Bagus tidak ada hubungan apa-apa. Dia memesak gamis untuk putrinya,Naura.""Tapi kenapa duduknya bersebelahan dengan kamu?" "Sudah, bu, jangan memperkeruh suasana. Tidak enak jika tetangga tahu. Lagi pula Wulan bebas bersama siapa saja. Dia sudah bukan istri Wahyu lagi. Harusnya itu tidak boleh berkata seperti itu." Mas Rudi mengelus pelan pundak ibu. Meredamkan emosinya. "Kamu diam, Rut!" Ibu kembali menatap ke arahku. Tatapan bagai serigala yang hendak mengoyak rusa dengan gigi taringnya. Mengerikan. "Kamu ada hubungan apa dengan Wulan?" Mas Bagus me
Pov WahyuBeberapa hari hanya bisa berbaring di atas ranjang. Entah sakit apa aku ini? Sudah dua dokter ku datangi tapi masih tak ada perubahan. Bukannya sembuh tapi rasanya semakin parah. Ku pejamkan mata berharap bisa terlelap ke alam mimpi. Namun pusing membuatku tak bisa terlelap. BrakkSuara pintu di buka dengan kencang. Jantungku sampai ngin terlepas dari sarangnya. Ku elus dada yang bergemuruh. "Tidur terus, tidur terus! Memang kamu tak punya kerjaan selain tidur? Sepet aku melihat kamu. Kerja tidak, memenuhi kebutuhan batinku juga tidak. Yang ada hanya menghabiskan uangku saja. Nyesel aku nikah sama kamu!" omel Tante Mona yang baru datang. Sesak saat mendengar hinaan dari wanita bergelar istri. Biar bagaimana pun dia seorang istri, harus menghormati suami. Bukan menghina seperti ini. "Keluar kamu dari sini! Tidur di kamar lagi! Aku tidak mau ketularan penyakit kamu itu!" Tante Mona melempar pakaianku yang ada di lemari. Beberapa pakaian berhamburan tak berbentuk. Apa sep
. Aku masih berjalan hingga berada di depan jalan raya. Berharap segera mendapatkan ojek karena tubuhku sudah tak kuat jika harus berjalan lebih jauh lagi. Ponsel tak sempat ku bawa. Masih tertinggal di atas nakas. Keringat dingin sudah membasahi sekujur tubuh. Kaki semakin gemetaran karena dari tadi belum terisi makanan, belum lagi diare yang tak kunjung berhenti. Ku putuskan untuk duduk di bawah pohon, mengistirahatkan tubuh sejenak. Rasa lelah membuatku terlelap. Samar- samar terdengar adzan dhuhur berkumandang. Membuka mata perlahan. Namun belum terbuka lebar sudah ku tutup kembali. Sinar matahari membuat mataku terasa sakit. Mungkin terkejut. Mengerjapkan mata, beradaptasi dengan sinar mentari. Aku terkejut melihat di bawah kaki ada uang receh. Apa aku seperti pengemis hingga layak dikasihani? Sungguh memalukan. Kemana Wahyu yang dihormati dan disegani? Aku bahkan sudah dianggap orang tak mampu. Ku ambil uang recehan itu,ada dua belas ribu dalam bentuk koin. Berdiri sambil
Matahari sudah tenggelam dan terlelap dalam peraduan. Ami dan Mbak Ina juga sudah pulang ke rumah masing-masing. Kini hanya tinggal aku seorang diri. Terasa sepi jika sendiri. Kutatap halaman yang sudah mulai di pondasi. Tempat itu yang nantinya akan ku gunakan untuk menjahit. Tentu ada pintu yang menyambungkan tempat menjahit dan rumah. Bila malam ingin menjahit pun aku tak perlu keluar rumah. Cukup membuka pintu di antara ruangan saja. Kriiingg.... Suara panggilan video masuk terdengar sampai ke teras. Aku segera melangkah mendekati benda pipih yang berbunyi nyaring itu. Senyum merekah saat melihat siapa yang menelepon. "Assalamu'alaikum," salam seseorang yang sangat ku rindu. "Wa'alaikumsalam sayang. Diana sedang apa?" Mataku mulai berambun saat melihat pipi putriku yang mulai tembem, sangat jauh berbeda saat tinggal bersama Mas Wahyu. Boro-boro temem, Diana justru kurus kering saat bersama ayahnya. "Ibu kapan jemput aku, aku kangen." Matanya berkaca-kaca hingga akhirnya ai
"Aku tidak boleh ikut dengan mereka. Ayo Wulan cari alasan yang tepat!" batinku. "Bisa ikut sekarang Mbak?" tanya lelaki itu lagi. "Saya masih ada keperluan, Pak. Saya minta alamat rumah sakitnya saja. Setelah urusan saya selesai, saya pasti akan segera ke sana." Dua lelaki itu saling pandang dan akhirnya menganggukan kepala. Dua polisi itu segera meninggalkan rumah setelah menyampaikan maksud tujuannya datang kemari. Masuk ke kamar melipat mukena dan mengganti pakaian. Memesan taksi online menuju rumah sakit Husada. Tempat Mas Wahyu di rawat. Entah benar atau tidak, tak ada salahnya memastikan. Taksi online berhenti tepat di depan rumah. Ku kunci pintu lalu segera masuk ke mobil. Kasihan driver jika menunggu terlalu lama. "Apa ada pasien kecelakaan yang bernama Wahyu, Mbak?" tanyaku pada seorang perempuan perawat yang lewat di lobi rumah sakit. "Saya kurang tahu, Mbak. Mari saya antar ke bagian resepsionis." Aku mengekor perawat itu. Wanita berhijab putih itu berbicara dengan
Sudah tiga hari Mas Wahyu dirawat di rumah sakit. Dan akulah yang mengurus lelaki yang sebenarnya bukan tanggung jawabku. Tapi mau bagaimana lagi. Keluarga Mas Wahyu baru bisa datang hari ini. Sementara di sini Mas Wahyu sudah tak memiliki sanak saudara. Mau tak mau akulah yang harus merawatnya. "Terima kasih ya, Lan. Maaf aku sudah merepotkanmu." Ku anggukan kepala. "Mas menyesal telah menelantarkanmu dan Diana. Seandainya sejak dulu Mas bisa menyadari kesalahan Mas, mungkin semua tidak akan seperti ini. Kita akan merawat Diana bersama dengan penuh kasih sayang. Sungguh, Mas minta maaf," ucapnya mengiba dengan bulir bening membasahi pipi. Apa aku percaya dengan ucapannya? Ah, tentu tidak! Bertahun-tahun di tipu dengan pura-pura insyaf dan bertobat. Namun hanya tobat sambal saja. Mas Wahyu selalu mengulangi kesalahan yang sama. Hari ini tobat besok mengulang lagi. Aku sampai hafal dan bosan dengan kebiasaan buruknya. "Kenapa baru sekarang kamu bilang maaf dan menyesal, Mas? Keman
"Mas Rudi bikin orang jantungan!" sungutku kesal. Mas Rudi justru tersenyum melihat ekspresi kesalku. Memang keterlaluan dia. "Ini tanda pengenal penunggu pasien." Kuberikan benda yang mempermudah masuk ke rumah sakit ini. Saat ini kami tengah duduk di kursi tunggu di depan loket pendaftaran yang sudah kosong. Maklum ini hari minggu, tak ada layanan untuk poliklinik. Hanya ada dokter umum yang berjaga di ruang IGD. Kalau pun ada dokter spesialis pasti tidak membuka praktek di hari minggu dan tanggal merah. "Terima kasih sudah mau menjaga Wahyu, Lan," ucap Mas Rudi. Aku hanya tersenyum tipis. "Bagaimana keadaan Wahyu?" tanya ibu dengan raut wajah khawatir. Seorang ibu pasti mengkhawatirkan keadaan anaknya. Apa lagi mendengar putranya mengalami kecelakaan, pasti ibu sangat syok. Lalu bagaimana reaksi beliau jika tahu putranya tidak bisa lagi berjalan. Dia lumpuh. "Lan, kok diam. Wahyu baik-baik saja, kan?"Kuhembuskan nafas perlahan seraya merangkai kata agar tidak membuat ibu te