Kupandangi foto Diana yang ada di geleri ponsel. Tanpa terasa air mata mengalir membasahi pipi. Sesak kembali memenuhi dada. Ibu mana yang tak sedih jika harus berpisah dengan anaknya. Mungkin, ada beberapa ibu yang justru menyiksa dan kejam pada anaknya. Ada pula seorang ibu yang tega membuang anak yang baru dilahirkan. Tapi itu bisa dihitung dengan jari saja. Selebihnya seorang ibu akan memperjuangkan hidup dan matinya untuk buah hati mereka. Begitupun diriku. Inilah bukti pengorbananku demi munculnya senyum indah Diana. Bukan ... Bukan aku kejam membiarkan putriku hidup jauh dariku. Tapi semua ini demi kebaikan dan kebahagiaannya. Seminggu sudah hidup seorang diri. Rumah terasa sepi, tak ada canda dan tawa Diana. Meski setiap hari aku selalu menghubunginya melalui video call. Namun tak bisa sepenuhnya mengobati rasa rinduku. Ingin rasanya kupeluk tubuh mungilnya, menemaninya saat makan maupun tidur. Tapi kini jarak membentang diantara kami. Aku sempat terpuruk, terasa dunia be
Mataku membola saat melihat seseorang yang berdiri di hadapanku. Rasa khawatir kembali merasuki hati.Mau apa lagi dia kamari? Tak cukupkah rasa sakit yang telah dia beri padaku? "Mau apa kamu datang lagi kemari?" Ketusku.Mas Wahyu tersenyum menyeringai lalu masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak ada sopan-sopannya. "Mau marah karena aku masuk rumahmu begitu saja?"ucap Mas Wahyu lalu menjatuhkan bobot di kursi tanpa rasa bersalah. Kemana urat malunya? Dasar lelaki tak punya pikiran. Aku menyilangkan kedua tangan di dada sambil menatap tajam ke arahnya. Tak ada lagi rasa hormat. Seperti saat masih tinggal bersama. Rasa itu telah mati dengan sendirinya. "Buatkan aku minum,Lan. Suami datang bukan di siapkan minuman tapi justru menyambutnya dengan wajah masam." Tangannya menyalakan rokok lalu mulai menghisapnya."Suami macam apa yang memberi nafkah tak layak pada istrinya?"ketusku.Mas Wahyu menatapku tajam. Kaget mungkin dengan ucapanku. Belum pernah aku menjawab dengan nada tinggi
Pov Wahyu"Sebentar lagi undangan panggilan sidang perceraian kita akan segera turun. Persiapkan dirimu, Mas."Ucapan Wulan kembali terngiang di telinga. Benarkah ia ingin berpisah denganku. Bukankah dia sangat mencintaiku. Kalau anak muda jaman sekarang mengatakannya bucin. Aku tahu dia pasti berbohong. Mana mungin Wulan senekat itu?Tidak! Tidak! Wulan tak mungkin menggugat cerai. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Banyak kenangan manis yang kami lewati bersama. Terlebih ada Diana di antara kami. Mana mungkin dia tega memisahkan ayah dengan putrinya. Duduk di kursi tua dengan pandangan mata lurus ke depan. Sesekali memijit kepala yang terasa berdenyut. Pusing memikirkan cara menarik hati Wulan kembali. Mobil merah berhenti tepat di depan rumahku. Kenapa dia datang lagi? Astaga jangan bilang kalau tante Mona ingin meminta uang? Aku mana punya uang. "Ko lihatinnya gitu sih sayang? Aku tidak diajak masak nih?" Wanita dengan tubuh aduhai itu mengelus pundakku. Geli dan merinding
Pov Wulan"Wulan!" Terdengar jelas seseorang memanggilku. Dari suaranya aku tahu betul dia Mas Wahyu. Untuk apa lagi dia kemari? Dasar lelaki tak tahu malu. Melangkah menuju pintu depan. Aku terkejut saat Mas Wahyu datang dengan seorang wanita patuh baya. Ya, dia pernah ku lihat ada di dalam hotel bersama calon mantan suamiku. Tapi untuk apa dia datang menemuiku dengan bermesraan begitu? Apa dia kira aku akan cemburu melihatnya? Ah,tidak! Aku justru jijik melihat sepasang kekasih beda usia itu. Sengaja tak ku persilahkan masuk karena aku malas melihat wajah ayah Diana. "Aku tak akan mempensulit perceraian kita karena aku sudah menikah dengan Mona. Jangan pernah menghubungiku lagi!"Aku terkejut mendengar pengakuan Mas Wahyu. Dia menikahi wanita yang pantas menjadi ibunya. Ya Allah, apa demi uang dia mau menikahi wanita itu? Memang tak ada larangan seorang lelaki memiliki istri lebih satu. Tapi kenapa tidak menunggu kami resmi berpisah? Atau dia memang sengaja melakukannya agar a
Rasa penasaran membuatku menoleh ke arah sumber suara. Lelaki yang memakai kaos lengan panjang berwarna putih dengan celana panjang jeans berdiri tepat sampingku. Ku ingat-ingat siapa sosok yang kini berada di depanku. Rasa-rasanya pernah bertemu tapi siapa? Kepala ini masih saja tak ingat dia. "Lupa ya mbak?" tanyanya karena aku masih diam membisu. Meski tertutup masker tapi lelaki itu sepertinya tahu betul apa yang tengah aku pikirkan. "Diana baik Mbak? Kok tidak diajak?" Lagi dia bertanya seakan tahu diriku. Bahkan dia mengenal Diana. Siapa sebenarnya lelaki ini? Kenapa dia begitu mengenalku? "Maaf, siapa ya Mas?" tanyaku penasaran.. "Kalau pakai masker suka bingung, siapa yang menyapa," ucapku beralasan karena sejujurnya aku tak tahu siapa dia. Meski semua orang memakai masker tapi aku masih bisa menebak siapa. Namun tidak dengan lelaki di hadapanku ini. Atau mungkin faktor usia yang membuatku lupa begini. "Bagus, Mbak." Lelaki itu membuka masker. Menunjukkan senyum yang be
Aku duduk di teras ditemani kopi dan bolu rasa keju. Bik Darmi yang menyiapkan. Siapa lagi kalau bukan beliau. Beginilah nasib seorang duda. Hidup sendiri membuat semua keperluanku selalu di siapkan asisten rumah tangga. Keperluan makan atau sekedar membuat kopi. Tidak sampai menyiapkan baju ganti. Ya, karena itu tugas istri bukan asisten rumah tangga. "Papa, kapan Kak Ana main cini lagi?" tanya putriku yang tiba-tiba sudah ada di sebelahku. Kak Ana adalah nama anak Wulan. Diana tapi Naura lebih suka memanggilnya dengan sebutan Ana. Mungkin lebih mudah untuk diucapkan.Kami pernah bertemu dialun-alun. Waktu itu Diana dan Naura meminta balon yang sama. Namun hanya tinggal satu. Diana dengan senang hati memberikan balon itu pada Naura. Lalu keduanya, bermain bersama. Sungguh pemandangan itu sangat ku rindukan. Putriku sangat cocok dengan Diana. Senyum yang dulu hilang kini hadir lagi. Dan itu semua berkat Diana. Setelah kejadian Diana hampir kutabrak kala itu. Rasa penasaran membu
Aku mulai mengelar pakaian yang akan di potong. Menggambar pola dengan kapur berwarna biru di atas kain hitam. Tanganku mulai menari di atas kain dengan lincahnya. Membentuk pola gamis dengan wiru di bagian bawah. Bagian tangan sendiri akan di beri karet. Aku suka mengamati berbagai fashion wanita. Memodifikasi hingga terciptalah model gamis terbaru. Membuat model baru membutuhkan kreatifitas. Sering kali model yang kubuat tak sesuai pasaran. Itu yang membuat aku mengamati trend fashion terkini. Beruntung aku tak lagi dipusingkan dengan urusan menjahit karena sudah ada Mbak Ina dan Ami yang siap membantu menjahit. Mereka berdua adalah teman saat kursus menjahit dulu. Alhamdulillah, mereka sangat antusias saat kutawari pekerjaan ini. Katanya bisa membantu perekonomian keluarga mereka. Dari hasil produksi gamis online aku bisa mengembalikan modal Mas Rohmad. Aku juga bisa mengirimkan uang untuk kehidupan Diana. Ya, karena tak mungkin mengandalkan Mas Wahyu. Saat hidup bersama saja d
"Lebih baik mikirin Parjo to mbak, dari pada mikirin diet tapi gak kurus-kurus." Ami tak mau kalah. Wajah Mbak Ina seperti dompet di akhir bulan. Maklum saja, Mbak Ina memiliki tubuh yang subur seperti sawah kena air hujan. Niatnya diet tapi hanya dalam wacana kenyataan tubuhnya makin melar ke samping. Kupegangi perut yang terasa kram karena terlalu lama tertawa. Dua wanita itu jika disatukan akan seperti itu. Ada saja keributan kecil yang terjadi tapi justru membuat rumah ini terasa hangat. Kehadiran mereka menyembuhkan lukaku. Luka akibat Mas Wahyu. Aku sampai lupa kapan terakhir kali tertawa lepas seperti itu. Ya, karena hidup dengan Mas Wahyu adalah sebuah kesalahan besar. Meski begitu, aku tak pernah menyesalinya karena dari pernikahan dengan Mas Wahyu lahirlah Diana, penyemangat hidupku. ***Adzan ashar telah berkumandang di masjid tak jauh dari rumahku. Segera aku melakukan ibadah wajib empat rakaat itu. "Mau makan apa nih?" tanyaku pada Mbak Ina dan Ami. "Mau traktir