Pov Wulan"Wulan!" Terdengar jelas seseorang memanggilku. Dari suaranya aku tahu betul dia Mas Wahyu. Untuk apa lagi dia kemari? Dasar lelaki tak tahu malu. Melangkah menuju pintu depan. Aku terkejut saat Mas Wahyu datang dengan seorang wanita patuh baya. Ya, dia pernah ku lihat ada di dalam hotel bersama calon mantan suamiku. Tapi untuk apa dia datang menemuiku dengan bermesraan begitu? Apa dia kira aku akan cemburu melihatnya? Ah,tidak! Aku justru jijik melihat sepasang kekasih beda usia itu. Sengaja tak ku persilahkan masuk karena aku malas melihat wajah ayah Diana. "Aku tak akan mempensulit perceraian kita karena aku sudah menikah dengan Mona. Jangan pernah menghubungiku lagi!"Aku terkejut mendengar pengakuan Mas Wahyu. Dia menikahi wanita yang pantas menjadi ibunya. Ya Allah, apa demi uang dia mau menikahi wanita itu? Memang tak ada larangan seorang lelaki memiliki istri lebih satu. Tapi kenapa tidak menunggu kami resmi berpisah? Atau dia memang sengaja melakukannya agar a
Rasa penasaran membuatku menoleh ke arah sumber suara. Lelaki yang memakai kaos lengan panjang berwarna putih dengan celana panjang jeans berdiri tepat sampingku. Ku ingat-ingat siapa sosok yang kini berada di depanku. Rasa-rasanya pernah bertemu tapi siapa? Kepala ini masih saja tak ingat dia. "Lupa ya mbak?" tanyanya karena aku masih diam membisu. Meski tertutup masker tapi lelaki itu sepertinya tahu betul apa yang tengah aku pikirkan. "Diana baik Mbak? Kok tidak diajak?" Lagi dia bertanya seakan tahu diriku. Bahkan dia mengenal Diana. Siapa sebenarnya lelaki ini? Kenapa dia begitu mengenalku? "Maaf, siapa ya Mas?" tanyaku penasaran.. "Kalau pakai masker suka bingung, siapa yang menyapa," ucapku beralasan karena sejujurnya aku tak tahu siapa dia. Meski semua orang memakai masker tapi aku masih bisa menebak siapa. Namun tidak dengan lelaki di hadapanku ini. Atau mungkin faktor usia yang membuatku lupa begini. "Bagus, Mbak." Lelaki itu membuka masker. Menunjukkan senyum yang be
Aku duduk di teras ditemani kopi dan bolu rasa keju. Bik Darmi yang menyiapkan. Siapa lagi kalau bukan beliau. Beginilah nasib seorang duda. Hidup sendiri membuat semua keperluanku selalu di siapkan asisten rumah tangga. Keperluan makan atau sekedar membuat kopi. Tidak sampai menyiapkan baju ganti. Ya, karena itu tugas istri bukan asisten rumah tangga. "Papa, kapan Kak Ana main cini lagi?" tanya putriku yang tiba-tiba sudah ada di sebelahku. Kak Ana adalah nama anak Wulan. Diana tapi Naura lebih suka memanggilnya dengan sebutan Ana. Mungkin lebih mudah untuk diucapkan.Kami pernah bertemu dialun-alun. Waktu itu Diana dan Naura meminta balon yang sama. Namun hanya tinggal satu. Diana dengan senang hati memberikan balon itu pada Naura. Lalu keduanya, bermain bersama. Sungguh pemandangan itu sangat ku rindukan. Putriku sangat cocok dengan Diana. Senyum yang dulu hilang kini hadir lagi. Dan itu semua berkat Diana. Setelah kejadian Diana hampir kutabrak kala itu. Rasa penasaran membu
Aku mulai mengelar pakaian yang akan di potong. Menggambar pola dengan kapur berwarna biru di atas kain hitam. Tanganku mulai menari di atas kain dengan lincahnya. Membentuk pola gamis dengan wiru di bagian bawah. Bagian tangan sendiri akan di beri karet. Aku suka mengamati berbagai fashion wanita. Memodifikasi hingga terciptalah model gamis terbaru. Membuat model baru membutuhkan kreatifitas. Sering kali model yang kubuat tak sesuai pasaran. Itu yang membuat aku mengamati trend fashion terkini. Beruntung aku tak lagi dipusingkan dengan urusan menjahit karena sudah ada Mbak Ina dan Ami yang siap membantu menjahit. Mereka berdua adalah teman saat kursus menjahit dulu. Alhamdulillah, mereka sangat antusias saat kutawari pekerjaan ini. Katanya bisa membantu perekonomian keluarga mereka. Dari hasil produksi gamis online aku bisa mengembalikan modal Mas Rohmad. Aku juga bisa mengirimkan uang untuk kehidupan Diana. Ya, karena tak mungkin mengandalkan Mas Wahyu. Saat hidup bersama saja d
"Lebih baik mikirin Parjo to mbak, dari pada mikirin diet tapi gak kurus-kurus." Ami tak mau kalah. Wajah Mbak Ina seperti dompet di akhir bulan. Maklum saja, Mbak Ina memiliki tubuh yang subur seperti sawah kena air hujan. Niatnya diet tapi hanya dalam wacana kenyataan tubuhnya makin melar ke samping. Kupegangi perut yang terasa kram karena terlalu lama tertawa. Dua wanita itu jika disatukan akan seperti itu. Ada saja keributan kecil yang terjadi tapi justru membuat rumah ini terasa hangat. Kehadiran mereka menyembuhkan lukaku. Luka akibat Mas Wahyu. Aku sampai lupa kapan terakhir kali tertawa lepas seperti itu. Ya, karena hidup dengan Mas Wahyu adalah sebuah kesalahan besar. Meski begitu, aku tak pernah menyesalinya karena dari pernikahan dengan Mas Wahyu lahirlah Diana, penyemangat hidupku. ***Adzan ashar telah berkumandang di masjid tak jauh dari rumahku. Segera aku melakukan ibadah wajib empat rakaat itu. "Mau makan apa nih?" tanyaku pada Mbak Ina dan Ami. "Mau traktir
Pov WulanSetelah kepergian Mbak Anita dan Mbak Intan. Aku mulai membersihkan tempat menjahit di bantu Mb Ina dan juga Ami. Kain perca kumasukkan ke dalam kantung plastik besar berwarna hitam. Hasil potongan dan benang kutata di rak masing-masing.Membersihkan tempat menjahit bukan berarti nanti malam aku tak menjahit lagi. Kalau ada waktu aku akan menjahit di malam hari. Setidaknya mengobati rasa bosan di rumah seorang diri. Bruum .... Suara mobil berhenti di halaman rumah. Apa mungkin Mbak Anita dan Mbak Intan lagi?Aku berjalan ke depan. Sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di halaman rumah. Mobil yang berbeda dengan mobil milik Mbak Anita. Aku masih berdiri menunggu sang pengendara keluar dari kendaraan roda empatnya. Seorang lelaki yang memakai masker berwarna hitam. Lelaki itu membuka pintu depan sebelah kemudi. Seorang gadis cantik keluar tanpa memakai masker. Dia gadis yang pernah kulihat. Lelaki yang menggendongnya pasti Pak Bagus. "Assalamu'alaikum," sapanya. "Waa
Pov Wahyu"Makasih sayang. Kamu memang luar biasa. Tak salah aku memilihmu menjadi kekasihku," ucap tante Mona lalu mengecup pipi. Wanita di sebelahku ini terlelap dengan tangan memeluk tubuhku. Ya, dia kelelahan setelah berbagi peluh denganku. Seperti inilah hidupku sekarang, manjadi suami tante haus belaian. Bukan suami lebih tepatnya pemuas nafsu. Ya, karena aku menikahi tante Mona hanya untuk itu. Tante Mona selalu meminta jatah kapanpun dia mau. Tak perduli pagi, atau pun siang. Setiap kali dia ingin, aku harus selalu memenuhinya. Kalau ditanya apa aku bahagia? Jelas iya. Lelaki mana yang tak bahagia saat diberikan servis yang luar biasa. Tante Mona memang pandai menyenangkanku. Bersamanya aku seperti hidup di surga. Harta berlimpah. Kebutuhan biologis selalu terpenuhi. Tak perlu aku bekerja karena semua kebutuhanku akan ia penuhi. Semenjak bersama tante Mona aku mulai mengikis nama Wulan dalam hati. Meski tak bisa ku pungkiri dalam hati kecilku masih ada namanya. Biarlah di
Gemercik air hujan menjadi sebuah nyanyian pagi ini. Suara katak menyambut pagi yang masih terlihat gelap. Ya, hari ini sang mentari seolah malu untuk menatap dunia. Atau lebih tepatnya awan mendung yang menghalangi hangatnya sinar matahari. Saat ini cuaca tidak bisa lagi di tebak. Siang panas, sorenya hujan lebat. Seperti saat ini tiba-tiba hujan menguyur saat mentari siap muncul dari peraduan. Hidup seorang diri membuatku jarang masak. Biasanya sarapan hanya beli nasi uduk di gang depan. Namun karena hujan membuatku enggan keluar rumah. Mau tak mau harus masak sendiri. Beras sudah kumasukkan ke magic com. Tinggal menunggu hingga matang dengan sendirinya. Kemajuan teknologi membuat kegiatan memasak jauh lebih cepat. Tapi anehnya masih banyak orang yang tidak suka memasak. Ya, begitulah manusia. Lebih memilih instan tinggal makan tanpa harus ribet di dapur. Kukeluarkan bandeng yang kemarin kubeli. Untung saja kemarin sempat belanja di abang tukang sayur. Kalau tidak makan apa aku