Sudah hampir sepuluh hari Rohmad dan keluarganya tinggal di rumah masa kecilnya. Rumah yang selalu dia rindukan. Meski sekarang rumah kedua orang tuanya telah diberikan kepada adik kandungnya, Wulan.Tak menyangka kedatangannya kali ini membuka kebusukan Wahyu yang mati-matian ditutupi oleh Wulan. Untung saja Nilam menceritakan pada Rohmad prahara rumah tangga adiknya itu. Dari awal Rohmad memang tak menyukai Wahyu namun Wulan justru memperjuangkan lelaki yang tidak bertanggung jawab itu hingga membuat Rohmad luluh dan merestui hubungan mereka. Seberapa besar Rohmad menyesali namun nasi telah menjadi bubur. Tak mungkin bisa mengulang masa lalu. Yang terpenting baginya saat ini,Wulan dan Diana tidak menderita lagi. Samar-samar terdengar adzan magrib berkumandang. Rohmad segera beranjak dari duduknya. Berjalan ke belakang untuk berwudhu. "Akbar sudah siap?" tanya Rohmad di depan pintu kamarnya. Lelaki yang sudah memakai baju koko berserta sarung itu tengah menanti sangat buah hati
Pov Wahyu"Kok tidak jadi beli martabak manis,Yah?" tanya Diana saat kami baru sampai di depan rumah kontrakanku. Gara-gara Wulan dan kakaknya tempo hari terpaksa aku harus menambah daftar hutang pada tante Mona.Padahal baru beberapa hari yang lalu aku menukar tubuhku untuk membayar hutang setengahnya. Ini justru bertambah lagi. Semua ini gara-gara Wulan. Dasar istri tidak tahu diri. Awas setelah ini kamu akan menangis darah dan memohon padaku untuk kembali. "Yah, kapan beli martabak manisnya? Nanti keburu tutup lho!" ucap Diana memancing emosiku. Ibu dan anak sama saja. Tidak berguna! "Bisa diam tidak!" bentakku, seketika wajah Diana terihat pias. Dia diam tanpa berani meminta martabak manis yang tadi ku janjikan. Dasar anak bo**h tidak tahu jika tadi aku hanya berbohong supaya dia mau ikut denganku. Mana sudi aku membelikannya martabak manis yang harganya lumayan. Lebih baik belik rokok dari pada martabak. "Ayo masuk, jangan hanya diam di situ!" Kutarik dengan kasar tangan mun
Malam mulai menjelang, samar-samar terdengar azan magrib berkumandang. Wulan masih saja terpaku duduk di teras. Matanya lurus menatap jalan. Pandangan kosong dengan bulir bening menetes membasahi pipi putihnya. Hati ibu mana yang tak sakit dan bingung saat buah hatinya entah ada di mana. Begitu pula Wulan, hatinya kalang kabut tidak menentu saat tahu Diana bersama suaminya, Wahyu. Dia memang ayah kandung namun sikapnya selalu kasar dan menakutkan. Itu yang mebuat Wulan semakin takut. Beberapa kali dia menyentuh layar benda pipih miliknya. Mencoba menghubungi Rohamd. Namun sang kakak tak kunjung mengangkat panggilannya. Hingga membuat wanita berhijab toska itu semakin kebingungan. Wahyu hanya memberikan waktu dau hari untuk berpikir,lusa dia harus memberikan jawaban. Bagaimana Wulan bisa menjawab sedang pikirannya kacau balau. Lia berdiri beberapa saat di balik pintu. Menatap iba adik iparnya. Sebagai seorang ibu, dia tahu apa yang tengah Wulan rasakan. Bahkan jika berada dalam pos
Panas terik matahari mulai terasa di kulit Wahyu.Benar saja karena jarum jam sudah menunjukkan angka satu. Di tambah lelaki dengan tubuh tegap itu hanya mengenakan kaos oblong warna abu. Ia berdiri di tepi jalan dengan mata awas menatap setiap penjuru. Mencari putri kecilnya yang hilang begitu saja. Rasa lelah mendorongnya untuk berhenti sejenak. Menepi duduk di bawah pohon beringin sambil memesan es kelapa muda yang ada tak jauh dari tempatnya duduk. Wahyu memijit kepala yang terasa berdenyut. Lagi, dia mengingat kapan terakhir kali bersama dengan Diana. Seingat lelaki itu, dia meninggalkan Diana ke kamar mandi untuk buang air besar. Kamar mandi memang terletak terpisah dengan rumah. Hanya berjarak tiga meter saja. Rasa kantuk membuatnya enggan mengantar Diana ke kamar mandi. Hingga dia terbangun dan mendapati putrinya sudah tak ada di kamar mandi. Di rumah pun tak ada sosok kecil yang dijadikannya alasan untuk tetap mengikat Wulan dalam ikatan pernikahan. Bodoh, dia merutuki dir
Wulan menanti kata yang keluar dari mulut Wahyu dengan perasaan tak menentu. Ia yakin putrinya tidak tidak baik-baik saja. Diamnya lelaki di sambungan telepon meyakinkan hatinya jika putri kecilnya kini tak bersama Wahyu. "Kenapa diam Mas? Dimana Diana?" Bentak Wulan karena Wahyu hanya diam membisu. Hening, Wahyu tak kunjung menjawab pertanyaan Wulan. Dia masih berpikir bagaimana caranya agar Wulan tan marah jika dia berkata jujur"Mas Wahyu ...!" Bentak Wulan lagi. "Maaf Lan, Diana ... Diana hilang." Ucap Wahyu terbata. "Kamu apakan anakku Mas? Bahkan dia memilih kabur dari pada tinggal bersama ayah kandungnya. Ayah macam apa kamu?hiks ... Hiks ...."Ucap Wulan diiringi tangis. Wanita yang memakai hijab warna ungu itu tak bisa lagi membendung air mata. Dadanya terasa sesak kala membayangkan Wahyu bertindak kejam pada putrinya. Dalam hati ,tak ada lagi rasa cinta dan hormat untuk lelaki yang masih menyandang gelar suami. Kini bagi Wulan, suaminya telah mati. Rasa benci dan kecewa
Pov WulanAssalamu'alaikum ...," sapaku sedikit ragu. "Waalaikumsalam, maaf apa benar ini nomor ibu Wulan?" tanya seorang pria di seberang sana. Entah siapa aku tak tahu. Karena ini pun nomor baru. "Iya, ini siapa ya?"tanyaku penasaran. "Maaf Bu, putri ibu ada di rumah saya,"ucapnya. Mataku membola,mencubit tangan barang kali aku salah mendengar atau apa. Aku tak ingin terbawa suasana hingga dengan mudah orang lain membohongiku bahkan menipun. Sekarang banyak orang melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan uang, tidak perduli itu halal atau haram. "Maaf dengan siapa,ya? Dari mana anda tahu jika saya sedang mencari putri saya? Dari mana anda mendapatkan nomor saya?" Kuberondong dengan berbagai pertanyaan. Sejenak dia diam, aku semakin penasaran dengan kata yang akan dia ucapkan padaku. Ya Allah, semoga saja Diana benar ada di sana. Aku tak tahu harus mencari kemana lagi. "Hallo ...," ucapku lagi. "Di loudspeaker,Lan!" perintah Mas Rohmad dengan berbisik. Kuanggukan kepal
Aku menata beberapa pakaian Diana ke dalam tas besar. Ya, hanya pakaian yang masih terlihat bagus yang aku masukkan karena sudah lama Diana tidak kubelikan pakaian. Bagaimana mau membelikan baju sedang untuk makan saja sudah pas-pasan. Mas Wahyu bahkan tak memperdulikan semua itu. Hanya kesenangan sendiri yang ia pikirkan. Dadaku terasa sesak kalau mengigat semuanya. Foto kopi akta dan kartu keluarga sudah kumasukkan ke dalam tas bagian depan. Ya, karena rencananya Diana akan sekolah di Cilacap bersama Mas Rohmad dan Mbak Lia. Sesekali ku hapus bulir bening yang menempel di pipi. Rasanya begitu berat harus berpisah dengan putriku. "Untuk sementara biar Diana tinggal bersama kami, Lan. Mas akan sekolahkan dia bersama Akbar. Mereka berdua pasti senang. Kalau di sini, aku khawatir Wahyu melakukan hal gila pada Diana. Dia begitu nekad dan egois.""Kamu lihat tubuh Diana, penuh dengan luka lebam akibat ulah Wahyu. Tolong, untuk saat ini nurut sama Mas. Kami akan menjaga putrimu dengan
Mengeluarkan ayam dari freezer, aku akan memasak ayam goreng tepung, menu kesukaan Diana. Kumasakkan menu sepesial sebagai tanda perpisahan dengan putri kecilku. Sesekali kuhapus air mata yang menetes dengan tangan. Rasanya begitu berat harus berpisah dengan putri kecilku. Karena dialah separuh jiwaku. Tapi aku harus tetap kuat , biar sepahit apapun, toh ini demi kebaikannya. Kuletakkan hasil masakanku di atas meja. Sebagainya sudah kumasukkan ke dalam rantang. Walau belum ku tutup karena masih panas. Sengaja membawakan mereka makanan karena takut anak-anak kelaparan di tengah perjalanan. Ku sisir rambut hitam dan panjang milik Diana. Ku kuncir dua agar tidak berantakan di jalan. "Diana gak boleh nakal ya di rumah pakde Rohmad, nurut dengan apa yang di bilang Pakde dan Budhe." Ucapku sedikit terbata karena menahan air mata yang jatuh. "Kenapa ibu gak ikut ke rumah Pakde? Diana maunya sama ibu saja." Rengeknya membuat hatiku tersayat-sayat. "Lho, katanya kemarin Diana mau ting
Wulan membuka koper untuk mengambil pakaian ganti. Rasa lengket di tubuh membuatnya ingin segera mandi. Namun langkahnya terhenti saat Bagus masuk ke dalam kamar. Lelaki itu berjalan mendekat sambil menatap Wulan tak berkedip. Tatapan itu yang membuat jantung Wulan seketika berdetak dengan kencang. Tubuhnya terasa panas bagai tersengat aliran listrik. "Mas mau aku siapin pakaian ganti?" tanya Wulan sambil mengatur detak jantung yang kian kencang. Rasanya hampir terlepas dari singgasananya. Bagus hanya tersenyum lalu mengambil pakaian yang sudah berada di tangan Wulan. Baju itu diletakkan kembali di atas koper yang sudah dibuka. Mendadak rasa gugup singgah di hati Wulan. Ia tahu betul apa yang diinginkan suaminya. Bagus menuntut Wulan hingga berada di atas ranjang. Pandangan mereka mulai mengunci. Debaran hangat terasa di antara mereka berdua. Hingga akhirnya mereka menikmati indahnya surga dunia. ***Wulan, Bagus dan Diana sudah berdiri di lobi rumah sakit. Sengaja mereka hanya da
"Kita mau ke mana, bu?" tanya Diana. "Kita ke rumah ayah. Ayah kangen sama kamu, sayang." "Gak mau! Aku gak mau ketemu ayah!" Diana berlari masuk ke dalam rumah. Wulan dan Bagus saling pandang. Lalu Wulan meletakkan tas di kursi depan. Mengatur nafas yang terasa sesak. Bayangan Diana dipukul kembali menari-nari dalam angan. Dia sadar betul rasa trauma masih bersarang di hati putrinya, meski perlahan terkikis oleh kasih sayang Bagus. "Buar aku saja. Kamu di sini!" Langkah kaki Wulan terhenti mendengar perkataan sang suami. Walau sedikit ragu tapi ia menurut saja. Bagus berjalan cepat menuju kamar Diana yang ada di lantai atas. Perlahan membuka pintu yang tertutup rapat. Gadis kecil Wulan sedang menangis sesegukan di atas ranjang. Kejadian bersama Wahyu kembali berkeliaran di benaknya. Memori kelam yang berusaha ia lupakan. Meski tak bisa sama sekali untuk dihilangkan. Bagus segera duduk tepat di samping anak tirinya. Mengangkat kepala Diana lalu menghapus jejak air mata mengguna
Roda kehidupan memang tidak bisa diprediksi. Kemarin sedih sekarang bahagia atau justru sebaliknya. Seperti yang di rasakan Wulan. Penderitaan saat bersama Wahyu kini terganti dengan senyum bahagia. Bagus mampu menjadi suami serta ayah yang baik untuk Wulan dan anak-anaknya. Kini mereka hidup bahagia. Tak pernah ada pertengkaran di rumah tangga mereka. Sedikit cekcok karena perbedaan prinsip adalah hal biasa. "Mau ke mana, sayang?" tanya Bagus saat melihat Wulan sudah duduk di depan meja rias. Gamis soft pink dengan hijab berwarna senada kian menambah aura kecantikannya. Ya, walau tanpa riasan tebal di wajahnya. Wulan menghentikan gerakan tangan lalu menatap Bagus dari pantulan cermin di hadapannya. "Mau ke rumah Mas, pengen lihat laporan minggu ini. Mas mau ikut?""Boleh, tapi jangan ajak anak-anak ya! Sekali-kali jalan berdua," ucap Bagus seraya mengedipkan matanya. Wulan dan Bagus memang tak memiliki waktu banyak untuk berdua. Memiliki tiga anak membuat pasangan suami istri i
"Apa ada yang bernama Wulan dan Diana?" Langkah Rudi terhenti mendengar pertanyaan sang dokter.Sri dan Rika pun saling pandang. Mereka sangat terkejut dengan perkataan dokter itu.Dari mana dokter tahu Wulan dan Diana?Pertanyaan yang sama muncul di pikiran keluarga Wahyu. Dari awal mereka menginjakkan kaki di rumah sakit, tak sekalipun menyebut nama mantan istri dan anak Wahyu."Pasien mengigau dan memanggil nama Wulan dan Diana. Apa mereka keluarga pasien?" jawab dokter seperti dapat membaca pikiran mereka.Semua terdiam, bingung harus menjawab apa? Ingin mengatakan iya tapi takut sang dokter bertanya lebih jauh lagi. Di mana istrinya mungkin? Dan itu akan membuka aib Wahyu."Mereka anak dan mantan istrinya, dok," jawab Sri pelan."Kalau bisa mereka diminta ke mari. Siapa tahu pasien akan cepat sembuh saat mereka datang."Sri hanya mengangguk hingga dokter itu kembali masuk ke ruang IGD.Semua terdiam, Rudi yang hendak mengurus administrasi justru diam di tempat. Seakan ada magne
Pov Author"Rika!Rika!" Teriak Sri mengejutkan sangat putri. Dengan berlari Rika menuju sumber suara.Rika kebingungan melihat Sri menangis tersedu di samping Wahyu. Apa Wahyu telah meninggal? Pertanyaan itu yang sempat hadir di benar gadis berambut sepunggung itu."Mas Wahyu kenapa, Bu?" tanya Wulan seraya menyentuh pergelangan tangan sang kakak. Dia memastikan apakah Wahyu masih hidup atau sudah meninggal. Masih terasa denyut nadi. Itu tandanya Wahyu belum dipanggil sang Maha Kuasa."Wahyu tidak bangun-bangun Rik. Ibu takut terjadi apa-apa dengannya. Tolong kamu panggilkan Masmu. Minta dia antarkan Wahyu ke rumah sakit." Rika mengangguk lalu segera menuju kamar untuk menelepon Rudi.Sri menangis melihat tubuh Wahyu yang kian kurus. Setelah menelepon Wulan beberapa minggu yang lalu, Wahyu semakin terpuruk. Rasa menyesal tertancap dalam di sanubari lelaki itu. Tak ada lagi semangat untuk sembuh. Dia terpukul mengetahui wanita yang ia cintai sudah memiliki tambatan hati lain."Semanga
Pov Wahyu"Ibu! Ibu!" Suara Mbak Yuli terdengar nyaring hingga menghancurkan gendang telinga. "Ibu!" Teriaknya lagi saat ibu tak kunjung menyahut. Kakak iparku itu memang tak memiliki sopan santun. Berteriak di rumah orang pagi-pagi begini. Kalau aku bisa jalan sudah ku tampar dia. Sayang, aku masih mengandalkan uang Mas Rudy untuk biaya berobat. Kalau aku sudah sembuh dia pasti tidak semena-mena kepada kami. Aku memilih diam dan pura-pura tidur saat mendengar teriakan Mbak Yuli. Melawan Mbak Yuli tak akan pernah ada habisnya. Dia selalu bersikap seolah-olah dia paling benar. Sungguh menyebalkan! BRAAKPintu kamar dibuka kasar dari luar. Mbak Yuli menatap nyalang seraya berkacak pinggang di depan pintu. Niat hati pura-pura tidur gagal karena Mbak Yuli lebih dahulu masuk ke kamar. "Ibu tidak ada, mbak. Mungkin sedang ke warung," jawabku asal karena aku tidak tahu ibu ke mana. Dari bangun tidur aku belum keluar kamar. Jangankan untuk keluar, tubuhku saja sudah tak ada tenaganya, l
Aku dan Mas Bagus diam, bingung harus menjawab apa. Kami hanya melihat Bu Handayani tadi setelah memberikan gaji pada karyawan Mas Rohmad. Setelah itu kami berada di rumah. Kami juga tidak mendengar jeritan orang minta tolong. "Saya sudah mencari ke sekitar rumah. Tapi tetap tidak ada." Pak Abdul menjatuhkan bobot di sofa ruang keluarga. Aku dan Mas Bagus berdiri, ingin duduk tapi tidak ada tempat. "Kita lapor polisi saja, Pak. Jangan pegang apa pun. Siapa tahu ini tindakan kriminal." Pak Abdul mengangguk lalu beranjak berdiri. Kami berjalan meninggalkan rumah Pak Abdul menuju mobil Mas Bagus yang masih terparkir di halaman rumah. Mas Bagus segera berlari ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil dan menitipkan anak-anak kepada Bik Lastri. "Sabar, Pak." Pak Abdul mengangguk dengan pandangan lurus ke depan. "Ayo masuk!" ucap Mas Bagus seraya berlari menuju mobil. Aku dan Pak Abdul segera mengekor. Suara mobil berhenti di jalan depan rumah terdengar saat aku hendak membuka pint
"Wulan! Akbar!" Sama-sama terdengar suara orang memanggil namaku dan Akbar bergantian. "Mas dengar orang panggil namaku gak?" Mas Bagus diam seraya mempertajam pendengarannya. Tak berapa lama lelaki itu justru tersenyum ke arahku. "Mas juga dengar," ucapnya seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku hanya memperhatikan sikapnya. "Berarti aku gak salah dengar kan, aku keluar dulu, Mas." Aku beranjak berdiri, sambil membungkukkan badan saat melewati Mas Bagus. "Mau ke mana?" Mas Bagus mencekal tangan kananku. Ku hentikan langkah seraya menatap bingung ke arahnya. "Mau ke depan, tadi ada yang manggil, Mas. Katanya Mas Bagus denger!""Mendekat!" Aku mengernyitkan dahi mendengar perintahnya. Ini aku mau melihat tamu tapi justru diminta mendekat. Namun aku tetap saja melakukannya. Entahlah, ucapan Mas Bagus seakan memiliki magnet hingga aku menurut saja. "Yang manggil itu di sini!" Mas Bagus menyentuh dadanya. Seketika wajahku menjadi merah merona. "Ya jadi merah pipinya, sudah s
"Aw ... Sakit!" teriak Handayani saat kakinya menginjak pecahan vas yang berserakan di atas lantai. Kaki tanpa alas mempermudah kaca itu masuk ke dalam kulitnya. Handayani meringis kesakitan. Darah segar keluar dari kaki kanannya. Seketika lantai keramik berwana putih itu berubah warna menjadi merah merona. Handayani berusaha mencabut pecahan kaca yang masuk ke dalam kulitnya. Satu cabutan membuat darah semakin mengalir banyak. Namun rasa sakit itu belum juga reda. Rupanya tidak hanya satu kaca yang masuk. Ada beberapa kaca kecil yang masuk lebih dalam. Mata tua Handayani tak bisa melihat lebih jelas di mana luka itu berada. "Abdul! Abdul!" Teriak Handayani. Handayani lupa jika suaminya sedang pergi. Dia terus saja berteriak. Namun sampai pita suaranya rusak pun Abdul tidak akan mendengar. Lelaki bertubuh tambun itu sedang menjemput tukang urut yang ada di kampung sebelah. Nahas, motor yang dikendarai Abdul mogok di jalan. Lelaki itu harus mencari bengkel yang letaknya lumayan ja