"Benar katamu Lan, lebih baik kita telepon ibu untuk memastikan kebenarannya. Karena satu bulan Mas ditugaskan diluar kota, jadi tak tahu apakah ibu sakit atau tidak." Mas Rudi merogoh ponsel di saku celananya. Dia mengotak-atik benda pipihnya, lalu menempelkannya di telinga kanan.Kutatap Mas Wahyu, wajah angkuhnya kini berubah pucat pasi. Pasti dia takut jika Mas Rudi tahu yang sebenarnya. Sekarang saatnya kamu tunggu hukuman apa yang Mas Rudi berikan padamu."Assalamu'alaikum Bu ...." Suara lembut Mas Rudi kala menyapa ibu dari balik telepon.Beberapa menit Mas Rudi berbicara dengan ibu melalui sambungan telepon. Aku tak terlalu mendengarkan karena berada di dapur untuk membuatkan teh hangat untuk Mas Rudi dan Mbak Yuli.Ada rasa sungkan dan tak enak pada kakak iparku. Seharusnya tamu itu dimuliakan, dibuatkan minuman. Bukan justru disuguhi pertengkaran. Dan harus menjadi penengah di antara kami.Dua cangkir teh hangat telah berada di meja makan. Mas Rudi meminta kami duduk di tem
Satu minggu setelah sidang keluarga, Mas Wahyu semakin perhatian padaku. Sikapnya kembali sama seperti saat awal menikah dulu. Lembut dan penuh kasih sayang. Janji untuk menambah uang bulanan pun telah dipenuhi. Ya, meski hanya menambah lima ratus ribu untuk keperluan keluarga. Meski masih pas-pasan tapi tak apalah. Setidaknya suamiku sudah menepati janjinya. Suara mesin jahit memenuhi ruangan. Menciptakan irama tersendiri saat ditangkap indera pendengaran. Aku berkutat dengan kain dan benang dari pagi hingga hampir waktu adzan ashar berkumandang. Alhamdulillah setelah drama rumah tangga tempo hari, kini banyak orang menjahitkan pakaian di tempatku. Aku bahkan tak tahu kenapa bisa seperti ini. Mungkin ini hikmah setelah datangnya ujian dan cobaan padaku. TingSatu pesan masuk di aplikasi berwarna hijau ini. Mengambil benda pipih yang ada di atas meja. Satu pesan Bu Sinta, pelanggan setia yang selalu menjahitkan pakaian di tempatku. [Gamisnya saya ambil besok ya Mbak.][Baik Bu.]
"Kamu kenapa,Lan?""Pusing Mas.""Istirahat sana, biar nanti malam bisa ehem-ehem," godanya. Kuanggukan kepala. Berjalan perlahan ke kamar. Lalu merebahkan tubuh di atas kasur. Hingga tak terasa aku terlelap karena lelah dan pusing yang mendera. "Lan, bangun!" satu sentuhan di pundak membuat diriku terkejut bukan main. Kepalaku kembali terasa berputar-putar. "Masih pusing?" tanyanya. "Sedikit Mas." Duduk di bibir ranjang sambil mengumpulkan nyawa. "Sudah adzan, shalat dulu gih!" ucapnya. Menyatukan dua alis, bingung. Baru kali ini Mas Wahyu memintaku mengerjakan ibadah wajib. Biasanya dia selalu cuek dan masa bodoh. Atau jangan-jangan ini salah satu upaya untuk menutupi sebuah kebohongan. Seperti sebuah artikel yang sempat ku baca. Tanda seorang suami berselingkuh salah satunya bersikap lebih manis dari biasanya. Alasannya karena merasa bersalah telah mengkhianati cinta istrinya. Astagfirullah... Semoga yang kupikirkan tidak benar. Semoga ini hanya kekhawatiranku saja. "Wul
Sinar mentari mulai nampak di ufuk timur.Menampakkan sinar berwarana jingga.Memanjakan mata saat aku menatapnya. Kehangatan sinar mentari selalu di rindukan bagi setiap ciptaan Allah yang bernyawa. Duduk termenung di teras sambil melihat pemandangan nan indah dipagi hari. Namun perkataan Mas Wahyu semalam membuat gelap susana hatiku. Mengusik pikiran dan batinku. Membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada keluargaku. Apakah aku sanggup menerima hadiah seorang madu dari lelaki yang ku cintai? Rasanya itu terlalu berat. Ya Allah, kenapa hidupku penuh dengan teka-teki seperti ini? Dan jika benar Mas Wahyu telah membagi hati dan cintanya untuk wanita lain, lebih baik aku menyerah. Karena percuma bertahan di dalam kapal jika nahkodanya bingung harus berlabuh dimana? "Sarapannya sudah siap Lan?" Sentuhan lembut di pundak namun mampu membuatku terkejut. "I-iya Mas, ada apa?" tanyaku kebingungan. "Sarapannya sudah siap apa belum? Kenapa kamu kaget begitu? Lagi mikirin apa
Melajukan kendaraan roda duaku dengan kecepatan tiga puluh kilometer perjam. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi,mengingat penghianatan suamiku. Hingga sesekali aku harus menepi karena mata berkabut dan pandangan mulai kabur. Biar hancur hatiku namun aku harus tetap fokus mengendarai sepeda motor. Masih ada Diana yang menunggu kepulanganku. Aku menepi di halaman sebuah toko mainan anak-anak. Melihat dari luar begitu banyak mainan yang berjajar rapi di sana. Teringat putri kecilku yang hanya memiliki mainan sedikit. Bisa dihitung dengan jari. Bulir bening dan hangat mengalir tanpa bisa kubendung. Dada terasa sesak mengingat perlakuan Mas Wahyu padaku dan Diana. Dia lebih memilih menyenangkan hati perempuan lain dari pada darah dagingnya sendiri. "Do'akan ibu ya nak, biar suatu saat bisa membelikan mainan untukmu," batinku. Beberapa pasang mata menatap ke arahku. Ada yang penuh tanda tanya, ada pula yang merasa iba dan lebih tepatnya banyak pasang mata yang melihatk
Bijaklah dalam membaca. Syok, satu kata yang mengungkapkan perasaanku saat ini. Bagaimana mungkin kakak kandungku sendiri meminta Wulan untuk bercerai denganku. Dimana hati dan pikirannya? Kalau bukan kakakku sudah ku hajar hingga terkapar. Bukankah harusnya dia membelaku, adik kandungnya sendiri. Dasar Mas Rudi tidak punya akhlak. Di situasi seperti ini, aku tak punya pilihan lain. Ya, mau tidak mau aku harus menyetujuhi permintaan Wulan untuk menambah jatah bulanan. Sialan! Aku harus putar otak untuk mencari uang lagi karena masih banyak hutang ku dengan tante Mona. Sabar Wahyu, ini hanya sementara sampai aku bisa merebut kepercayaan Wulan lagi. Setelah dia luluh, akan ku kurangi jatah bulanannya untuk membayar hutang. Aku memang memiliki hutang banyak akibat kalah judi. Dan mau tidak mau aku harus berhutang pada tante Mona. Meski aku sudah mengangsurnya, namun hutangku masih saja menggunung. Itu karena aku selalu menambah hutang untuk berjudi. Apakah Wulan tahu? Tentu saja t
Aku berdoa dalam hati meminta Allah menyelamatkan belahan jiwaku. Sebawelnya Wulan, aku sangat mencintainya. Sungguh tak bisa kubayangkan jika harus berpisah dengannyaTaksi online yang kunaiki berhenti tepat di depan bangunan bertingkat empat. "Sudah sampai,Pak," ucap driver taksi online. Segera kuberikan uang padanya. "Terima kasih,Pak, bisa tolong bukakan pintu." Driver itu mengangguk lalu segera keluar mobil untuk membukakan pintu belakang. Membopong tubuh langsing istriku menuju IGD, aku baru menyadari tubuh wanita yang menemaniku selama tujuh tahun ini semakin kurus. Apa dia tersiksa hidup denganku? Kubuang jauh-jauh prasangka ini. Lekas masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan bau obat-obatan,kutidurkan Wulan di atas brankar. Seorang suster dan seorang dokter dengan cepat berjalan mendekat. "Tolong istri saya,Dok!""Kenapa kepala istri anda bisa sampai bocor begini Pak?" tanyanya sambil memeriksa kepala Wulan. Kutelan saliva dengan susah payah. Mana mungkin aku bercerita
Pov WahyuTok... Tok... Tok .... Suara pintu di ketuk. Bergegas aku berjalan menuju pintu. Karena tak mungkin membiarkan Wulan membuka pintu dengan keadaan seperti itu. Bisa kena bully nantinya. Kubuka pintu dengan kasar. Heran siapa yang bertamu pagi-pagi begini. Dasar tidak punya sopan santun. Sepasang suami istri dan dua anak kecil berdiri tepat di depan pintu. Ku telan saliva dengan susah payah. Siapa yang meminta mereka datang kemari. Gawat...! "Mas Rohmad ...," ucapku terbata. "Assalamu'alaikum ...," ucap Mas Rohmad dan Mbak Lia serempak. "Waalaikumsalam Mas, Mbak,mari masuk." Tanpa menjawab Mas Rohmad masuk ke dalam rumah, diikuti istri dan kedua anaknya. Ada yang aneh dengan kedatangan kakak iparku. Raut tak bersahabat tergambar jelas di wajah mereka. Apa jangan-jangan Wulan sudah mengadu kepada mereka tentang perlakuanku selama ini? Masalah besar jika benar dugaanku. Bisa di tendang dari rumah ini. Ah, tidak-tidak, aku suaminya tak ada hak Mas Rohmad mengusirku dar