Share

Pertolongan

last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-09 10:18:55

Sudah tiga hari Mas Wahyu tak mau makan di rumah hanya karena lauk seadanya. Dia lebih memilih makan di luar dibandingkan menambah uang belanjaku. Bukankah lebih baik menambah uang belanjaku, sehingga kamu bisa makan enak bersama. Bukan hanya dia saja! Apa dia tidak berpikir tentang kebahagiaan putrinya?

Ya Allah, aku tak mengerti dengan pola pikirnya. Apa dia sengaja menyiksa diriku seperti ini? Kurang apa aku selama ini?

Menghembuskan nafas perlahan, mengatur emosiku yang sudah di ubun-ubun. Ingin rasanya kumaki lelaki yang telah bersamaku selama tujuh tahun ini. Namun percuma, aku yang akan disalahkan bahkan mungkin tangannya akan mendarat lagi di pipi.

Astagfirullah ...

Beristighfar dalam hati kalau mengingat kelakuan Mas Wahyu satu tahun ini. Setan apa yang merasuki suamiku. Hingga kini dia begitu tega padaku dan Diana.

Melanjutkan kegiatan mencuci piringku,meletakkan piring ke dalam rak. Lalu memasak nasi goreng untukku dan Diana. Sengaja, toh selama tiga hari ini dia tak pernah menyentuh masakanku. Percuma masak banyak jika akhirnya akan terbuang begitu saja.

Aroma tumisan bawang menyeruak memenuhi sudut ruangan. Membuat cacing di perut meronta-ronta meminta jatahnya.

Memindahkan nasi goreng ke piring.Nasi goreng tidak pedas kesukaan Diana. Meletakkannya ke atas meja, lalu segera memanggil putri kecilku untuk sarapan bersama.

Makan bersama Diana dalam satu piring yang sama. Rasanya nikmat luar biasa meski hanya masakan sederhana. Putri kecilku memakan nasi goreng dengan lahapnya. Aku sangat bersyukur Allah mengirimkan anak yang tak pernah menuntut pada orang tuanya. Harusnya Mas Wahyu senang dan menyayanginya dengan tulus bukan justru tak perduli padanya.

Suara langkah kaki semakin mendekat ke arahku. Ada rasa takut jika Mas Wahyu akan marah karena tak ada makanan di meja makan.

Dengan wajah setengah sadar Mas Wahyu duduk di hadapanku.Menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya. Mungkin penasaran, kenapa tak ada piring berisi nasi goreng untuknya.

"Mau dibuatkan teh atau kopi Mas?" tawarku.

"Teh saja," ucapnya singkat dan padat.

Melangkah menuju dapur untuk membuatkan teh hangat manis permintaan Mas Wahyu. Kumasukkan teh celup dan dua sendok teh gula pasir ke dalam cangkir lalu menyiramnya dengan air panas. Mengaduknya hingga tercampur rata.

"Ini Mas," kuletakkan secangkir teh di atas meja. Tepat di hadapan Mas Wahyu.

Dengan perlahan Mas Wahyu menyeruput tehnya. Rasa hangat masuk ke dalam tenggorokan hingga ke perut. Sedikit demi sedikit membuat matanya melebar, menghilangkan kantuk karena baru bangun dari tidur. Ya, dia baru membuka mata padahal jarum jam sudah menunjukkan angka delapan.

Dan entah subuh yang ke berapa kali dia lewatkan. Bahkan sekarang aku jarang melihat Mas Wahyu melaksanakan kewajiban menyembah Illahi Robbi.

Ya Allah, sadarkanlah suamiku. Kembalikan dia menjadi Mas Wahyu yang dulu, seperti saat awal menikah.

"Nasi goreng buat Mas mana, Lan?" tanyanya sambil menatap tajam ke arahku.

Ku telan saliva dengan susah patah. Mengatur kata agar tak terjadi keributan untuk kesekian kalinya. Lelah raga dan jiwa jika setiap hari harus ada drama semacam ini.

"Habis Mas, maaf ya soalnya nasi sisa semalam hanya ada segitu. Dan beberapa hari ini sepertinya Mas bosan dengan masakan aku, jadi makan di luar kan," ucapku lalu memasukkan nasi goreng ke dalam mulut.

"Kamu ... istri macam apa sih? Memperlakukan suami seperti itu?" matanya semakin tajam menatapku dengan tangan kanan mengepal di atas meja.

Ku telan paksa nasi goreng yang ada di mulut. Dan segera meneguk air putih agar makananku semakin cepat masuk ke dalam lambung.

"Adek makannya sudah kan? minum dulu ya!" kuberikan segelas air putih lalu Diana meminumnya hingga tandas tak tersisa.

"Adek main di kamar dulu ya, nanti ibu menyusul, " ku elus rambut putri kecilku yang tergerai.

Diana mengangguk, lalu berjalan menuju kamar. Aku hanya ingin melindungi Diana. Karena jika Mas Wahyu marah sangat mengerikan. Pernah suatu saat di mencubit paha putri kecilku hanya karena kesakitan saat menginjak mainan Diana yang tersebar memenuhi ruang keluarga.

"Tolong, jangan buat keributan di pagi hari Mas.Apa kamu memang tidak malu kena hujatan para tetangga karena kita sering bertengkar, " ku letakkan piring kotor ke dalam wastafel. Tak ku perdulikan wajahnya suamiku yang memerah menahan amarah.

"Kamu ... beraninya!" dada Mas Wahyuaaa naik turun. Dan aku tahu ini berbahaya untukku. Akhir-akhir ini Mas Wahyu suka hilang akal jika sedang marah. Apa mungkin di dalam tubuhnya sudah dipenuhi jin.

"Apa? Bukankah memang benar apa yang aku ucapkan tadi. Kamu tak mau makan masakan aku? Tiga hari ini kamu makan di luar terus bukan?" ucapku lantang. Entah keberanian dari mana hingga aku mengucapkan kata-kata itu.

Mungkin karena lelah diperlakukan semena-mena hingga membuatku berani mengambil resiko tinggi dengan menjawab setiap perkataan suamiku.

Ya Allah, aku tahu ini salah. Namun emosi telah merasuk hingga membuatku tidak bisa berfikir jernih. Aku ingin suamiku sadar, jika perbuatannya salah.

"Kamu pikir aku mau makan masakan kamu yang hanya tempe dengan sambal. Sebenarnya kamu bisa masak atau tidak? Mana ada suami yang mau makan kalau lauknya hanya tempe saja!"

Astagfirullah

Ku elus dadaku yang terasa sesak. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu setelah dia memberiku nafkah sedikit. Memangnya dia pikir ayam dan daging bisa turun dari langit tanpa mengeluarkan uang.

"Apa kamu pikir masak ayam tidak pakai uang. Jangan suka protes lauknya tempe jika kamu hanya mampu memberiku jatah bulanan lima ratus ribu. Hari gini uang segitu dapat apa Mas?"

Mas Wahyu hanya diam membisu, namun kilau kemarahan nampak jelas di wajahnya. Buat apa marah, jika yang ku katakan semuanya adalah kenyataan. Harusnya dia sadar bukan semakin banyak tingkah.

PLAAK

Rasa panas dan nyeri menjalar di pipi. Tak menyangka suamiku tega menamparku lagi. Rasa nyeri tamparan yang dulu saja baru saja sembuh dan kini dia kembali membuat luka di tempat yang sama.

"Dasar istri tidak tahu diuntung. Berani kamu mengatakan itu padaku? Aku ini suami kamu, dan surga kamu ada di telapak kakiku. Harusnya kamu menghormatiku bukan justru melawan! Kamu tidak mau kan, kalau nanti masuk neraka!"teriaknya memenuhi sudut ruangan.

"Seorang suami bisa saja masuk masuk neraka karena berbuat dzolim pada istri dan anaknya.Apa kamu tidak tahu itu Mas?"

"Berani ya kamu menjawab!"tangan Mas Wahyu diangkat ke udara.

Aku ingin menghindar namun percuma, kini tubuhku terpojok menempel di dinding. Hanya bisa pasrah menerima serangan dari suamiku. Mau melawan juga tak mungkin, tenagaku kalau telak dengan Mas Wahyu.

" Wahyu ...!" suara lelaki yang sangat ku kenal. Mas Wahyu menghentikan tangannya yang hendak menamparku. Tak mungkin Mas Wahyu berani menyakitiku di hadapannya.

Alhamdulillah.

Aku bernafas lega, karena Allah memberiku pertolongan sehingga aku tak merasakan nyeri tamparan Mas Wahyu lagi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Lestary Nury
eee maaf thor.. bisa gk buat cerita jangan begitu... itu istri bodoh apa gmn??
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Kedatangan Kakak Ipar

    " Wahyu ...!" suara lelaki yang sangat ku kenal. Mas Wahyu menghentikan tangannya yang hendak menamparku. Tak mungkin Mas Wahyu berani menyakitiku di hadapannya. Alhamdulillah. Aku bernafas lega, karena Allah memberiku pertolongan sehingga aku tak merasakan nyeri akibat tamparan Mas Wahyu lagi. Wajah Mas Wahyu langsung pucat pasi melihat Mas Rudi, kakak kandungnya. Ternyata Mas Wahyu masih punya rasa takut juga. Mas Rudi berjalan mendekat, gurat kemarahan tergambar jelas di wajahnya. Matanya, menatap tajam ke arah adik kandungnya itu. Baru kali ini aku melihat Mas Rudi semenakutkan itu. Lelaki yang biasanya bijaksana bisa begitu marah melihat Mas Wahyu hampir menamparku. Sedang Mas Wahyu hanya diam membisu. Dimana sikap semena-menanya tadi? Apakah menguap begitu saja. Nyalinya langsung menciut kala menatap Mas Rudi. "Apa-apaan kamu! Beraninya main tangan pada istri kamu sendiri. Apa ibu pernah mengajarimu berbuat kasar pada wanita?"teriak Mas Rudi. Mas Wahyu masih diam, enggan

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-10
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Kesempatan

    "Benar katamu Lan, lebih baik kita telepon ibu untuk memastikan kebenarannya. Karena satu bulan Mas ditugaskan diluar kota, jadi tak tahu apakah ibu sakit atau tidak." Mas Rudi merogoh ponsel di saku celananya. Dia mengotak-atik benda pipihnya, lalu menempelkannya di telinga kanan.Kutatap Mas Wahyu, wajah angkuhnya kini berubah pucat pasi. Pasti dia takut jika Mas Rudi tahu yang sebenarnya. Sekarang saatnya kamu tunggu hukuman apa yang Mas Rudi berikan padamu."Assalamu'alaikum Bu ...." Suara lembut Mas Rudi kala menyapa ibu dari balik telepon.Beberapa menit Mas Rudi berbicara dengan ibu melalui sambungan telepon. Aku tak terlalu mendengarkan karena berada di dapur untuk membuatkan teh hangat untuk Mas Rudi dan Mbak Yuli.Ada rasa sungkan dan tak enak pada kakak iparku. Seharusnya tamu itu dimuliakan, dibuatkan minuman. Bukan justru disuguhi pertengkaran. Dan harus menjadi penengah di antara kami.Dua cangkir teh hangat telah berada di meja makan. Mas Rudi meminta kami duduk di tem

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-11
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    bab 10

    Satu minggu setelah sidang keluarga, Mas Wahyu semakin perhatian padaku. Sikapnya kembali sama seperti saat awal menikah dulu. Lembut dan penuh kasih sayang. Janji untuk menambah uang bulanan pun telah dipenuhi. Ya, meski hanya menambah lima ratus ribu untuk keperluan keluarga. Meski masih pas-pasan tapi tak apalah. Setidaknya suamiku sudah menepati janjinya. Suara mesin jahit memenuhi ruangan. Menciptakan irama tersendiri saat ditangkap indera pendengaran. Aku berkutat dengan kain dan benang dari pagi hingga hampir waktu adzan ashar berkumandang. Alhamdulillah setelah drama rumah tangga tempo hari, kini banyak orang menjahitkan pakaian di tempatku. Aku bahkan tak tahu kenapa bisa seperti ini. Mungkin ini hikmah setelah datangnya ujian dan cobaan padaku. TingSatu pesan masuk di aplikasi berwarna hijau ini. Mengambil benda pipih yang ada di atas meja. Satu pesan Bu Sinta, pelanggan setia yang selalu menjahitkan pakaian di tempatku. [Gamisnya saya ambil besok ya Mbak.][Baik Bu.]

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-11
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Bab 11

    "Kamu kenapa,Lan?""Pusing Mas.""Istirahat sana, biar nanti malam bisa ehem-ehem," godanya. Kuanggukan kepala. Berjalan perlahan ke kamar. Lalu merebahkan tubuh di atas kasur. Hingga tak terasa aku terlelap karena lelah dan pusing yang mendera. "Lan, bangun!" satu sentuhan di pundak membuat diriku terkejut bukan main. Kepalaku kembali terasa berputar-putar. "Masih pusing?" tanyanya. "Sedikit Mas." Duduk di bibir ranjang sambil mengumpulkan nyawa. "Sudah adzan, shalat dulu gih!" ucapnya. Menyatukan dua alis, bingung. Baru kali ini Mas Wahyu memintaku mengerjakan ibadah wajib. Biasanya dia selalu cuek dan masa bodoh. Atau jangan-jangan ini salah satu upaya untuk menutupi sebuah kebohongan. Seperti sebuah artikel yang sempat ku baca. Tanda seorang suami berselingkuh salah satunya bersikap lebih manis dari biasanya. Alasannya karena merasa bersalah telah mengkhianati cinta istrinya. Astagfirullah... Semoga yang kupikirkan tidak benar. Semoga ini hanya kekhawatiranku saja. "Wul

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-12
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Mengikuti Mas Wahyu

    Sinar mentari mulai nampak di ufuk timur.Menampakkan sinar berwarana jingga.Memanjakan mata saat aku menatapnya. Kehangatan sinar mentari selalu di rindukan bagi setiap ciptaan Allah yang bernyawa. Duduk termenung di teras sambil melihat pemandangan nan indah dipagi hari. Namun perkataan Mas Wahyu semalam membuat gelap susana hatiku. Mengusik pikiran dan batinku. Membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada keluargaku. Apakah aku sanggup menerima hadiah seorang madu dari lelaki yang ku cintai? Rasanya itu terlalu berat. Ya Allah, kenapa hidupku penuh dengan teka-teki seperti ini? Dan jika benar Mas Wahyu telah membagi hati dan cintanya untuk wanita lain, lebih baik aku menyerah. Karena percuma bertahan di dalam kapal jika nahkodanya bingung harus berlabuh dimana? "Sarapannya sudah siap Lan?" Sentuhan lembut di pundak namun mampu membuatku terkejut. "I-iya Mas, ada apa?" tanyaku kebingungan. "Sarapannya sudah siap apa belum? Kenapa kamu kaget begitu? Lagi mikirin apa

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-13
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Wulan Pingsan

    Melajukan kendaraan roda duaku dengan kecepatan tiga puluh kilometer perjam. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi,mengingat penghianatan suamiku. Hingga sesekali aku harus menepi karena mata berkabut dan pandangan mulai kabur. Biar hancur hatiku namun aku harus tetap fokus mengendarai sepeda motor. Masih ada Diana yang menunggu kepulanganku. Aku menepi di halaman sebuah toko mainan anak-anak. Melihat dari luar begitu banyak mainan yang berjajar rapi di sana. Teringat putri kecilku yang hanya memiliki mainan sedikit. Bisa dihitung dengan jari. Bulir bening dan hangat mengalir tanpa bisa kubendung. Dada terasa sesak mengingat perlakuan Mas Wahyu padaku dan Diana. Dia lebih memilih menyenangkan hati perempuan lain dari pada darah dagingnya sendiri. "Do'akan ibu ya nak, biar suatu saat bisa membelikan mainan untukmu," batinku. Beberapa pasang mata menatap ke arahku. Ada yang penuh tanda tanya, ada pula yang merasa iba dan lebih tepatnya banyak pasang mata yang melihatk

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-14
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Pov Wahyu

    Bijaklah dalam membaca. Syok, satu kata yang mengungkapkan perasaanku saat ini. Bagaimana mungkin kakak kandungku sendiri meminta Wulan untuk bercerai denganku. Dimana hati dan pikirannya? Kalau bukan kakakku sudah ku hajar hingga terkapar. Bukankah harusnya dia membelaku, adik kandungnya sendiri. Dasar Mas Rudi tidak punya akhlak. Di situasi seperti ini, aku tak punya pilihan lain. Ya, mau tidak mau aku harus menyetujuhi permintaan Wulan untuk menambah jatah bulanan. Sialan! Aku harus putar otak untuk mencari uang lagi karena masih banyak hutang ku dengan tante Mona. Sabar Wahyu, ini hanya sementara sampai aku bisa merebut kepercayaan Wulan lagi. Setelah dia luluh, akan ku kurangi jatah bulanannya untuk membayar hutang. Aku memang memiliki hutang banyak akibat kalah judi. Dan mau tidak mau aku harus berhutang pada tante Mona. Meski aku sudah mengangsurnya, namun hutangku masih saja menggunung. Itu karena aku selalu menambah hutang untuk berjudi. Apakah Wulan tahu? Tentu saja t

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-15
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Pov Wahyu 2

    Aku berdoa dalam hati meminta Allah menyelamatkan belahan jiwaku. Sebawelnya Wulan, aku sangat mencintainya. Sungguh tak bisa kubayangkan jika harus berpisah dengannyaTaksi online yang kunaiki berhenti tepat di depan bangunan bertingkat empat. "Sudah sampai,Pak," ucap driver taksi online. Segera kuberikan uang padanya. "Terima kasih,Pak, bisa tolong bukakan pintu." Driver itu mengangguk lalu segera keluar mobil untuk membukakan pintu belakang. Membopong tubuh langsing istriku menuju IGD, aku baru menyadari tubuh wanita yang menemaniku selama tujuh tahun ini semakin kurus. Apa dia tersiksa hidup denganku? Kubuang jauh-jauh prasangka ini. Lekas masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan bau obat-obatan,kutidurkan Wulan di atas brankar. Seorang suster dan seorang dokter dengan cepat berjalan mendekat. "Tolong istri saya,Dok!""Kenapa kepala istri anda bisa sampai bocor begini Pak?" tanyanya sambil memeriksa kepala Wulan. Kutelan saliva dengan susah payah. Mana mungkin aku bercerita

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-16

Bab terbaru

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 6

    Wulan membuka koper untuk mengambil pakaian ganti. Rasa lengket di tubuh membuatnya ingin segera mandi. Namun langkahnya terhenti saat Bagus masuk ke dalam kamar. Lelaki itu berjalan mendekat sambil menatap Wulan tak berkedip. Tatapan itu yang membuat jantung Wulan seketika berdetak dengan kencang. Tubuhnya terasa panas bagai tersengat aliran listrik. "Mas mau aku siapin pakaian ganti?" tanya Wulan sambil mengatur detak jantung yang kian kencang. Rasanya hampir terlepas dari singgasananya. Bagus hanya tersenyum lalu mengambil pakaian yang sudah berada di tangan Wulan. Baju itu diletakkan kembali di atas koper yang sudah dibuka. Mendadak rasa gugup singgah di hati Wulan. Ia tahu betul apa yang diinginkan suaminya. Bagus menuntut Wulan hingga berada di atas ranjang. Pandangan mereka mulai mengunci. Debaran hangat terasa di antara mereka berdua. Hingga akhirnya mereka menikmati indahnya surga dunia. ***Wulan, Bagus dan Diana sudah berdiri di lobi rumah sakit. Sengaja mereka hanya da

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 5

    "Kita mau ke mana, bu?" tanya Diana. "Kita ke rumah ayah. Ayah kangen sama kamu, sayang." "Gak mau! Aku gak mau ketemu ayah!" Diana berlari masuk ke dalam rumah. Wulan dan Bagus saling pandang. Lalu Wulan meletakkan tas di kursi depan. Mengatur nafas yang terasa sesak. Bayangan Diana dipukul kembali menari-nari dalam angan. Dia sadar betul rasa trauma masih bersarang di hati putrinya, meski perlahan terkikis oleh kasih sayang Bagus. "Buar aku saja. Kamu di sini!" Langkah kaki Wulan terhenti mendengar perkataan sang suami. Walau sedikit ragu tapi ia menurut saja. Bagus berjalan cepat menuju kamar Diana yang ada di lantai atas. Perlahan membuka pintu yang tertutup rapat. Gadis kecil Wulan sedang menangis sesegukan di atas ranjang. Kejadian bersama Wahyu kembali berkeliaran di benaknya. Memori kelam yang berusaha ia lupakan. Meski tak bisa sama sekali untuk dihilangkan. Bagus segera duduk tepat di samping anak tirinya. Mengangkat kepala Diana lalu menghapus jejak air mata mengguna

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 4

    Roda kehidupan memang tidak bisa diprediksi. Kemarin sedih sekarang bahagia atau justru sebaliknya. Seperti yang di rasakan Wulan. Penderitaan saat bersama Wahyu kini terganti dengan senyum bahagia. Bagus mampu menjadi suami serta ayah yang baik untuk Wulan dan anak-anaknya. Kini mereka hidup bahagia. Tak pernah ada pertengkaran di rumah tangga mereka. Sedikit cekcok karena perbedaan prinsip adalah hal biasa. "Mau ke mana, sayang?" tanya Bagus saat melihat Wulan sudah duduk di depan meja rias. Gamis soft pink dengan hijab berwarna senada kian menambah aura kecantikannya. Ya, walau tanpa riasan tebal di wajahnya. Wulan menghentikan gerakan tangan lalu menatap Bagus dari pantulan cermin di hadapannya. "Mau ke rumah Mas, pengen lihat laporan minggu ini. Mas mau ikut?""Boleh, tapi jangan ajak anak-anak ya! Sekali-kali jalan berdua," ucap Bagus seraya mengedipkan matanya. Wulan dan Bagus memang tak memiliki waktu banyak untuk berdua. Memiliki tiga anak membuat pasangan suami istri i

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 3

    "Apa ada yang bernama Wulan dan Diana?" Langkah Rudi terhenti mendengar pertanyaan sang dokter.Sri dan Rika pun saling pandang. Mereka sangat terkejut dengan perkataan dokter itu.Dari mana dokter tahu Wulan dan Diana?Pertanyaan yang sama muncul di pikiran keluarga Wahyu. Dari awal mereka menginjakkan kaki di rumah sakit, tak sekalipun menyebut nama mantan istri dan anak Wahyu."Pasien mengigau dan memanggil nama Wulan dan Diana. Apa mereka keluarga pasien?" jawab dokter seperti dapat membaca pikiran mereka.Semua terdiam, bingung harus menjawab apa? Ingin mengatakan iya tapi takut sang dokter bertanya lebih jauh lagi. Di mana istrinya mungkin? Dan itu akan membuka aib Wahyu."Mereka anak dan mantan istrinya, dok," jawab Sri pelan."Kalau bisa mereka diminta ke mari. Siapa tahu pasien akan cepat sembuh saat mereka datang."Sri hanya mengangguk hingga dokter itu kembali masuk ke ruang IGD.Semua terdiam, Rudi yang hendak mengurus administrasi justru diam di tempat. Seakan ada magne

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 2

    Pov Author"Rika!Rika!" Teriak Sri mengejutkan sangat putri. Dengan berlari Rika menuju sumber suara.Rika kebingungan melihat Sri menangis tersedu di samping Wahyu. Apa Wahyu telah meninggal? Pertanyaan itu yang sempat hadir di benar gadis berambut sepunggung itu."Mas Wahyu kenapa, Bu?" tanya Wulan seraya menyentuh pergelangan tangan sang kakak. Dia memastikan apakah Wahyu masih hidup atau sudah meninggal. Masih terasa denyut nadi. Itu tandanya Wahyu belum dipanggil sang Maha Kuasa."Wahyu tidak bangun-bangun Rik. Ibu takut terjadi apa-apa dengannya. Tolong kamu panggilkan Masmu. Minta dia antarkan Wahyu ke rumah sakit." Rika mengangguk lalu segera menuju kamar untuk menelepon Rudi.Sri menangis melihat tubuh Wahyu yang kian kurus. Setelah menelepon Wulan beberapa minggu yang lalu, Wahyu semakin terpuruk. Rasa menyesal tertancap dalam di sanubari lelaki itu. Tak ada lagi semangat untuk sembuh. Dia terpukul mengetahui wanita yang ia cintai sudah memiliki tambatan hati lain."Semanga

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 1

    Pov Wahyu"Ibu! Ibu!" Suara Mbak Yuli terdengar nyaring hingga menghancurkan gendang telinga. "Ibu!" Teriaknya lagi saat ibu tak kunjung menyahut. Kakak iparku itu memang tak memiliki sopan santun. Berteriak di rumah orang pagi-pagi begini. Kalau aku bisa jalan sudah ku tampar dia. Sayang, aku masih mengandalkan uang Mas Rudy untuk biaya berobat. Kalau aku sudah sembuh dia pasti tidak semena-mena kepada kami. Aku memilih diam dan pura-pura tidur saat mendengar teriakan Mbak Yuli. Melawan Mbak Yuli tak akan pernah ada habisnya. Dia selalu bersikap seolah-olah dia paling benar. Sungguh menyebalkan! BRAAKPintu kamar dibuka kasar dari luar. Mbak Yuli menatap nyalang seraya berkacak pinggang di depan pintu. Niat hati pura-pura tidur gagal karena Mbak Yuli lebih dahulu masuk ke kamar. "Ibu tidak ada, mbak. Mungkin sedang ke warung," jawabku asal karena aku tidak tahu ibu ke mana. Dari bangun tidur aku belum keluar kamar. Jangankan untuk keluar, tubuhku saja sudah tak ada tenaganya, l

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ending

    Aku dan Mas Bagus diam, bingung harus menjawab apa. Kami hanya melihat Bu Handayani tadi setelah memberikan gaji pada karyawan Mas Rohmad. Setelah itu kami berada di rumah. Kami juga tidak mendengar jeritan orang minta tolong. "Saya sudah mencari ke sekitar rumah. Tapi tetap tidak ada." Pak Abdul menjatuhkan bobot di sofa ruang keluarga. Aku dan Mas Bagus berdiri, ingin duduk tapi tidak ada tempat. "Kita lapor polisi saja, Pak. Jangan pegang apa pun. Siapa tahu ini tindakan kriminal." Pak Abdul mengangguk lalu beranjak berdiri. Kami berjalan meninggalkan rumah Pak Abdul menuju mobil Mas Bagus yang masih terparkir di halaman rumah. Mas Bagus segera berlari ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil dan menitipkan anak-anak kepada Bik Lastri. "Sabar, Pak." Pak Abdul mengangguk dengan pandangan lurus ke depan. "Ayo masuk!" ucap Mas Bagus seraya berlari menuju mobil. Aku dan Pak Abdul segera mengekor. Suara mobil berhenti di jalan depan rumah terdengar saat aku hendak membuka pint

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Menjelang Ending

    "Wulan! Akbar!" Sama-sama terdengar suara orang memanggil namaku dan Akbar bergantian. "Mas dengar orang panggil namaku gak?" Mas Bagus diam seraya mempertajam pendengarannya. Tak berapa lama lelaki itu justru tersenyum ke arahku. "Mas juga dengar," ucapnya seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku hanya memperhatikan sikapnya. "Berarti aku gak salah dengar kan, aku keluar dulu, Mas." Aku beranjak berdiri, sambil membungkukkan badan saat melewati Mas Bagus. "Mau ke mana?" Mas Bagus mencekal tangan kananku. Ku hentikan langkah seraya menatap bingung ke arahnya. "Mau ke depan, tadi ada yang manggil, Mas. Katanya Mas Bagus denger!""Mendekat!" Aku mengernyitkan dahi mendengar perintahnya. Ini aku mau melihat tamu tapi justru diminta mendekat. Namun aku tetap saja melakukannya. Entahlah, ucapan Mas Bagus seakan memiliki magnet hingga aku menurut saja. "Yang manggil itu di sini!" Mas Bagus menyentuh dadanya. Seketika wajahku menjadi merah merona. "Ya jadi merah pipinya, sudah s

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Menuai Apa Yang Ditanam

    "Aw ... Sakit!" teriak Handayani saat kakinya menginjak pecahan vas yang berserakan di atas lantai. Kaki tanpa alas mempermudah kaca itu masuk ke dalam kulitnya. Handayani meringis kesakitan. Darah segar keluar dari kaki kanannya. Seketika lantai keramik berwana putih itu berubah warna menjadi merah merona. Handayani berusaha mencabut pecahan kaca yang masuk ke dalam kulitnya. Satu cabutan membuat darah semakin mengalir banyak. Namun rasa sakit itu belum juga reda. Rupanya tidak hanya satu kaca yang masuk. Ada beberapa kaca kecil yang masuk lebih dalam. Mata tua Handayani tak bisa melihat lebih jelas di mana luka itu berada. "Abdul! Abdul!" Teriak Handayani. Handayani lupa jika suaminya sedang pergi. Dia terus saja berteriak. Namun sampai pita suaranya rusak pun Abdul tidak akan mendengar. Lelaki bertubuh tambun itu sedang menjemput tukang urut yang ada di kampung sebelah. Nahas, motor yang dikendarai Abdul mogok di jalan. Lelaki itu harus mencari bengkel yang letaknya lumayan ja

DMCA.com Protection Status