Home / Rumah Tangga / Bahagia Tanpamu, Mas! / Jatah Bulanan Berkurang

Share

Jatah Bulanan Berkurang

last update Last Updated: 2022-09-08 18:49:44

"Besok kalau kamu libur, kita ke rumah ibu ya Mas." pancing ku.Aku ingin melihat bagaimana ekspresinya.

Uhuuk... Uhuuk.

Mas Wahyu terbantuk hingga kopi yang ada di dalam mulut di keluarkannya.

"Kamu kenapa Mas?" tanyaku pura-pura.

"Tidak apa-apa Lan,hanya kopinya terlalu panas." jawabnya gugup. Wajahnya terlihat pucat pasi.

Aku tahu kamu sedang berbohong Mas, kopinya tidak terlalu panas. Mungkin kamu kaget karena aku mengajakmu ke rumah ibu. Kamu takut, jika kebohonganmu terbongkar kan?

"Pelan-pelan dong Mas, seperti mau ditagih hutang saja." Mas Wahyu terlihat semakin gugup.

"Apa sih kamu! Aku sudah tidak punya hutang.Hutang Mang Juki sudah dibayar kan."ketusnya.

"Aku gak bilang Mas Wahyu punya hutang lho, aku cuman bilang Mas seperti ditagih hutang.Bukan punya hutang."kilahku.

Sebenarnya hanya ingin mengetes Mas Wahyu. Dan aku rasa dia sedang menyembunyikan sesuatu padaku. Perlahan akan ku cari tahu apa yang kamu sembunyikan padaku.

"Terserah kamu saja Lan, capek ngomong sama kamu!"

Sabar Mas, baru disindir sedikit sudah sewot saja.

"Jadi hari sabtu jadi ya ke rumah ibu?" tanyaku memastikan.

Mas Wahyu menghentikan minum kopinya. Menatap tajam ke arahku.

"Apa kamu tidak lihat keadaan seperti apa? Virus corona di mana-mana, apa kamu ingin kita ke sana dan membawa virus untuk ibu. Ibu sudah tua, sakit-sakitan. Beliau sangat mudah terkena virus. Harusnya kamu paham itu. Mas tidak mau ke sana bukan tanpa alasan melainkan demi kesehatan ibu juga."terang Mas Wahyu panjang lebar. Sebenarnya memang benar apa yang diucapkan suamiku. Tapi aku percaya ada udang di balik batu.

"Ya sudah terserah kamu sajalah Mas. Aku usul juga percuma."

"Nah gitu...!" binar kelegaan tergambar dari wajahnya.

"Ini sudah tanggalnya gajian kan Mas? Beras di rumah sudah habis." ucapku

Seketika wajah yang baru berbinar sirna sudah. Dan lagi wajah tegang tergambar di wajahnya. Kalau menyangkut soal uang selalu saja wajahnya seperti itu. Bahkan aku harus minta jatah bulanan kalau tidak, pasti Mas Wahyu tak akan memberikannya.

Dengan berat hati Mas Wahyu mengeluarkan dompet, mengambil lima lembar uang seratus ribuan dan diberikan kepadaku.

Menautkan dua alis, bingung kenapa Mas Wahyu hanya memberi lima ratus ribu saja. Atau mungkin ini untuk satu minggu atau dua minggu.

"Itu uang untuk satu bulan!"ucapnya datar.

Ya Allah delapan ratus ribu saja kurang, dan ini hanya lima ratus ribu. Uang segini bisa untuk apa? Untuk pajak listrik dan beli beras juga sudah habis. Belum jajan dan lauknya.

Mengelus dada, beristighfar dalam hati. Mencoba tenang agar tak timbul pertengkaran.

"Lima ratus ribu mana cukup Mas? Untuk pajak dan beli beras juga sudah habis." protesku.

"Ya, pintar-pintar kamu mengaturnya. Uang segini pasti cukup jika kamu hemat." ucapnya enteng tanpa beban.

"Gaji kamu lima juta, yang empat juta lima ratus untuk apa?" nada suaraku naik dua oktaf.

Maaf Ya Allah, aku sudah tidak sabar lagi. Semakin sabar bukan Mas Wahyu sadar tapi justru makin tak punya perasaan. Aku ini tulang rusuk bukan tulang punggung.

"Mas, sudah bilang ibu sakit jadi uang untuk pengobatan ibulah. Masih kurang jelas penjelasanku?" teriaknya tak mau kalah.

Mencebikkan bibir.

"Jangan bohong kamu Mas! Aku sudah tahu ibu tidak sakit apalagi sampai masuk rumah sakit. Bahkan kamu bilang pada Rika jika Diana sakit. Kamu tega mendoakan putri kita sakit. Omongan orang tua itu doa untuk anaknya Mas. Aku tahu ini kamu lakukan supaya kamu tidak mengirim jatah uang untuk ibu kan?Lalu uang itu kamu ke manakan?" ku keluarkan semua uneg-uneg di hati. Lelah rasanya hanya diam dan pasrah. Lama-lama aku tak akan di nafkahi lagi.

Mas Wahyu diam membisu. Wajahnya pucat pasi. Sesekali menatapku lalu menunduk lagi. Pasti dia bingung harus mencari alasan apa lagi.

"Kenapa diam? Semuanya benar kan? Atau jangan-jangan kamu punya selingkuhan ya Mas? Uang itu kamu berikan untuk wanita lain kan? Hingga kamu tega berbuat dzolim pada keluargamu sendiri!" cecarku.

PLAAK

Satu tamparan mendarat di pipi kiriku. Nyeri dan panas menjalar di pipi. Namun lebih nyeri di sanubari. Sakit diperlakukan seperti ini oleh lelaki yang harusnya melindungi dan menyayangi diriku

"Tutup mulut kamu, jangan berani berkata kasar dengan suami. Surga kamu ada di telapak kakiku. Harusnya kamu bersyukur. Masih banyak orang yang nasibnya tidak seberuntung kamu!Terima apa sudah aku kasih. Jangan pernah menuntut lebih!"Mas Wahyu berlalu meninggalkanmu dengan belati yang menancap sanubari.

Bulir bening mengalir tanpa bisa lagi kubendung. Sakit, aku terlalu sakit dengan perlakuannya padaku. Bukannya aku tidak bersyukur Ya Allah. Aku hanya merasa lelah diperlakukan seperti ini. Sampai kapan aku sanggup bertahan?

Aku melangkah gontai masuk ke dalam kamar Diana. Karena hanya melihat wajah putri kecilku,laraku sedikit berkurang.

****

Semua pekerjaan pagi telah selesai, sarapan telah tertata rapi di atas meja. Diana juga telah mandi dan kini asyik duduk manis menonton acara televisi kesukaannya.

Melanjutkan jahit menjahit yang kemarin belum selesai karena nanti sore akan di ambil pelanggan.

"Wulan...!" teriak Mas Wahyu terdengar jelas di ruang jahit, padahal ruang jahit berada di depan, dekat dengan ruang tamu.

Menghembuskan nafas perlahan mengatur emosi yang mulai memenuhi dada. Diam, tak ku perdulikan teriakan Mas Wahyu yang menggelegar memenuhi penjuru rumah, bahkan sampai terdengar tetangga. Aku tak perduli!

Suara langkah kaki mulai terdengar jelas di telinga. Menyibukkan diri dengan pakaian yang baru setengah jadi.

"Wulan!" kututup telinga agar gendang telinga tak pecah kalau mendengar ocehan Mas Wahyu.

"Kalau dipanggil itu jawab, jangan hanya diam seperti patung!"

Sabar, sabar Wulan ini masih pagi jangan mudah terpancing emosi. Biar Mas Wahyu capek sendiri. Batinku menenangkan hati.

"Wulan!"

"Hemmtt, ada apa Mas?" tanyaku datar.

"Baru kemarin aku memberi kamu uang, kenapa kamu tak memasak lauk? Apa kamu pikir aku bisa makan dengan hanya lauk tempe dan sambal!"

Kulirik Mas Wahyu, dadanya naik turun.Aku tahu dia sangat marah kali ini. Dan aku tak perduli. Rasa hormat dan perduliku telah mati.

"Sudah ada tempe dan sambal bawang, apa itu namanya bukan lauk Mas?" ucapku sambil tetap fokus menatap mesin jahit.

"Kamu!" Mas Wahyu mengepalkan tangan di samping tubuhnya.

"Kamu pikir uang lima ratus ribu cukup untuk membeli ayam atau daging Mas?"

Mas Wahyu diam tanpa mampu menjawab. Keluar dari rumah sambil membanting pintu. Tak lama terdengar suara kendaraan Mas Wahyu meninggalkan halaman rumah.

Kuletakkan alat tempurku di atas meja. Berjalan perlahan menuju ruang makan. Ya, memang hanya ada tempe dan sambal bawang di atas meja. Karena mulai sekarang di atas meja hanya akan ada lauk sederhana. Karena hanya uang sedikit yang diberikan padaku. Ini caraku membalasmu Mas! Uangku tak akan keluar hanya untuk memenuhi isi perutmu. Aku tulang rusukmu yang harusnya kamu nafkahi dengan layak bukan sebaliknya.

Related chapters

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Pertolongan

    Sudah tiga hari Mas Wahyu tak mau makan di rumah hanya karena lauk seadanya. Dia lebih memilih makan di luar dibandingkan menambah uang belanjaku. Bukankah lebih baik menambah uang belanjaku, sehingga kamu bisa makan enak bersama. Bukan hanya dia saja! Apa dia tidak berpikir tentang kebahagiaan putrinya? Ya Allah, aku tak mengerti dengan pola pikirnya. Apa dia sengaja menyiksa diriku seperti ini? Kurang apa aku selama ini? Menghembuskan nafas perlahan, mengatur emosiku yang sudah di ubun-ubun. Ingin rasanya kumaki lelaki yang telah bersamaku selama tujuh tahun ini. Namun percuma, aku yang akan disalahkan bahkan mungkin tangannya akan mendarat lagi di pipi.Astagfirullah ... Beristighfar dalam hati kalau mengingat kelakuan Mas Wahyu satu tahun ini. Setan apa yang merasuki suamiku. Hingga kini dia begitu tega padaku dan Diana. Melanjutkan kegiatan mencuci piringku,meletakkan piring ke dalam rak. Lalu memasak nasi goreng untukku dan Diana. Sengaja, toh selama tiga hari ini dia tak p

    Last Updated : 2022-09-09
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Kedatangan Kakak Ipar

    " Wahyu ...!" suara lelaki yang sangat ku kenal. Mas Wahyu menghentikan tangannya yang hendak menamparku. Tak mungkin Mas Wahyu berani menyakitiku di hadapannya. Alhamdulillah. Aku bernafas lega, karena Allah memberiku pertolongan sehingga aku tak merasakan nyeri akibat tamparan Mas Wahyu lagi. Wajah Mas Wahyu langsung pucat pasi melihat Mas Rudi, kakak kandungnya. Ternyata Mas Wahyu masih punya rasa takut juga. Mas Rudi berjalan mendekat, gurat kemarahan tergambar jelas di wajahnya. Matanya, menatap tajam ke arah adik kandungnya itu. Baru kali ini aku melihat Mas Rudi semenakutkan itu. Lelaki yang biasanya bijaksana bisa begitu marah melihat Mas Wahyu hampir menamparku. Sedang Mas Wahyu hanya diam membisu. Dimana sikap semena-menanya tadi? Apakah menguap begitu saja. Nyalinya langsung menciut kala menatap Mas Rudi. "Apa-apaan kamu! Beraninya main tangan pada istri kamu sendiri. Apa ibu pernah mengajarimu berbuat kasar pada wanita?"teriak Mas Rudi. Mas Wahyu masih diam, enggan

    Last Updated : 2022-09-10
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Kesempatan

    "Benar katamu Lan, lebih baik kita telepon ibu untuk memastikan kebenarannya. Karena satu bulan Mas ditugaskan diluar kota, jadi tak tahu apakah ibu sakit atau tidak." Mas Rudi merogoh ponsel di saku celananya. Dia mengotak-atik benda pipihnya, lalu menempelkannya di telinga kanan.Kutatap Mas Wahyu, wajah angkuhnya kini berubah pucat pasi. Pasti dia takut jika Mas Rudi tahu yang sebenarnya. Sekarang saatnya kamu tunggu hukuman apa yang Mas Rudi berikan padamu."Assalamu'alaikum Bu ...." Suara lembut Mas Rudi kala menyapa ibu dari balik telepon.Beberapa menit Mas Rudi berbicara dengan ibu melalui sambungan telepon. Aku tak terlalu mendengarkan karena berada di dapur untuk membuatkan teh hangat untuk Mas Rudi dan Mbak Yuli.Ada rasa sungkan dan tak enak pada kakak iparku. Seharusnya tamu itu dimuliakan, dibuatkan minuman. Bukan justru disuguhi pertengkaran. Dan harus menjadi penengah di antara kami.Dua cangkir teh hangat telah berada di meja makan. Mas Rudi meminta kami duduk di tem

    Last Updated : 2022-09-11
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    bab 10

    Satu minggu setelah sidang keluarga, Mas Wahyu semakin perhatian padaku. Sikapnya kembali sama seperti saat awal menikah dulu. Lembut dan penuh kasih sayang. Janji untuk menambah uang bulanan pun telah dipenuhi. Ya, meski hanya menambah lima ratus ribu untuk keperluan keluarga. Meski masih pas-pasan tapi tak apalah. Setidaknya suamiku sudah menepati janjinya. Suara mesin jahit memenuhi ruangan. Menciptakan irama tersendiri saat ditangkap indera pendengaran. Aku berkutat dengan kain dan benang dari pagi hingga hampir waktu adzan ashar berkumandang. Alhamdulillah setelah drama rumah tangga tempo hari, kini banyak orang menjahitkan pakaian di tempatku. Aku bahkan tak tahu kenapa bisa seperti ini. Mungkin ini hikmah setelah datangnya ujian dan cobaan padaku. TingSatu pesan masuk di aplikasi berwarna hijau ini. Mengambil benda pipih yang ada di atas meja. Satu pesan Bu Sinta, pelanggan setia yang selalu menjahitkan pakaian di tempatku. [Gamisnya saya ambil besok ya Mbak.][Baik Bu.]

    Last Updated : 2022-09-11
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Bab 11

    "Kamu kenapa,Lan?""Pusing Mas.""Istirahat sana, biar nanti malam bisa ehem-ehem," godanya. Kuanggukan kepala. Berjalan perlahan ke kamar. Lalu merebahkan tubuh di atas kasur. Hingga tak terasa aku terlelap karena lelah dan pusing yang mendera. "Lan, bangun!" satu sentuhan di pundak membuat diriku terkejut bukan main. Kepalaku kembali terasa berputar-putar. "Masih pusing?" tanyanya. "Sedikit Mas." Duduk di bibir ranjang sambil mengumpulkan nyawa. "Sudah adzan, shalat dulu gih!" ucapnya. Menyatukan dua alis, bingung. Baru kali ini Mas Wahyu memintaku mengerjakan ibadah wajib. Biasanya dia selalu cuek dan masa bodoh. Atau jangan-jangan ini salah satu upaya untuk menutupi sebuah kebohongan. Seperti sebuah artikel yang sempat ku baca. Tanda seorang suami berselingkuh salah satunya bersikap lebih manis dari biasanya. Alasannya karena merasa bersalah telah mengkhianati cinta istrinya. Astagfirullah... Semoga yang kupikirkan tidak benar. Semoga ini hanya kekhawatiranku saja. "Wul

    Last Updated : 2022-09-12
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Mengikuti Mas Wahyu

    Sinar mentari mulai nampak di ufuk timur.Menampakkan sinar berwarana jingga.Memanjakan mata saat aku menatapnya. Kehangatan sinar mentari selalu di rindukan bagi setiap ciptaan Allah yang bernyawa. Duduk termenung di teras sambil melihat pemandangan nan indah dipagi hari. Namun perkataan Mas Wahyu semalam membuat gelap susana hatiku. Mengusik pikiran dan batinku. Membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada keluargaku. Apakah aku sanggup menerima hadiah seorang madu dari lelaki yang ku cintai? Rasanya itu terlalu berat. Ya Allah, kenapa hidupku penuh dengan teka-teki seperti ini? Dan jika benar Mas Wahyu telah membagi hati dan cintanya untuk wanita lain, lebih baik aku menyerah. Karena percuma bertahan di dalam kapal jika nahkodanya bingung harus berlabuh dimana? "Sarapannya sudah siap Lan?" Sentuhan lembut di pundak namun mampu membuatku terkejut. "I-iya Mas, ada apa?" tanyaku kebingungan. "Sarapannya sudah siap apa belum? Kenapa kamu kaget begitu? Lagi mikirin apa

    Last Updated : 2022-09-13
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Wulan Pingsan

    Melajukan kendaraan roda duaku dengan kecepatan tiga puluh kilometer perjam. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi,mengingat penghianatan suamiku. Hingga sesekali aku harus menepi karena mata berkabut dan pandangan mulai kabur. Biar hancur hatiku namun aku harus tetap fokus mengendarai sepeda motor. Masih ada Diana yang menunggu kepulanganku. Aku menepi di halaman sebuah toko mainan anak-anak. Melihat dari luar begitu banyak mainan yang berjajar rapi di sana. Teringat putri kecilku yang hanya memiliki mainan sedikit. Bisa dihitung dengan jari. Bulir bening dan hangat mengalir tanpa bisa kubendung. Dada terasa sesak mengingat perlakuan Mas Wahyu padaku dan Diana. Dia lebih memilih menyenangkan hati perempuan lain dari pada darah dagingnya sendiri. "Do'akan ibu ya nak, biar suatu saat bisa membelikan mainan untukmu," batinku. Beberapa pasang mata menatap ke arahku. Ada yang penuh tanda tanya, ada pula yang merasa iba dan lebih tepatnya banyak pasang mata yang melihatk

    Last Updated : 2022-09-14
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Pov Wahyu

    Bijaklah dalam membaca. Syok, satu kata yang mengungkapkan perasaanku saat ini. Bagaimana mungkin kakak kandungku sendiri meminta Wulan untuk bercerai denganku. Dimana hati dan pikirannya? Kalau bukan kakakku sudah ku hajar hingga terkapar. Bukankah harusnya dia membelaku, adik kandungnya sendiri. Dasar Mas Rudi tidak punya akhlak. Di situasi seperti ini, aku tak punya pilihan lain. Ya, mau tidak mau aku harus menyetujuhi permintaan Wulan untuk menambah jatah bulanan. Sialan! Aku harus putar otak untuk mencari uang lagi karena masih banyak hutang ku dengan tante Mona. Sabar Wahyu, ini hanya sementara sampai aku bisa merebut kepercayaan Wulan lagi. Setelah dia luluh, akan ku kurangi jatah bulanannya untuk membayar hutang. Aku memang memiliki hutang banyak akibat kalah judi. Dan mau tidak mau aku harus berhutang pada tante Mona. Meski aku sudah mengangsurnya, namun hutangku masih saja menggunung. Itu karena aku selalu menambah hutang untuk berjudi. Apakah Wulan tahu? Tentu saja t

    Last Updated : 2022-09-15

Latest chapter

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 6

    Wulan membuka koper untuk mengambil pakaian ganti. Rasa lengket di tubuh membuatnya ingin segera mandi. Namun langkahnya terhenti saat Bagus masuk ke dalam kamar. Lelaki itu berjalan mendekat sambil menatap Wulan tak berkedip. Tatapan itu yang membuat jantung Wulan seketika berdetak dengan kencang. Tubuhnya terasa panas bagai tersengat aliran listrik. "Mas mau aku siapin pakaian ganti?" tanya Wulan sambil mengatur detak jantung yang kian kencang. Rasanya hampir terlepas dari singgasananya. Bagus hanya tersenyum lalu mengambil pakaian yang sudah berada di tangan Wulan. Baju itu diletakkan kembali di atas koper yang sudah dibuka. Mendadak rasa gugup singgah di hati Wulan. Ia tahu betul apa yang diinginkan suaminya. Bagus menuntut Wulan hingga berada di atas ranjang. Pandangan mereka mulai mengunci. Debaran hangat terasa di antara mereka berdua. Hingga akhirnya mereka menikmati indahnya surga dunia. ***Wulan, Bagus dan Diana sudah berdiri di lobi rumah sakit. Sengaja mereka hanya da

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 5

    "Kita mau ke mana, bu?" tanya Diana. "Kita ke rumah ayah. Ayah kangen sama kamu, sayang." "Gak mau! Aku gak mau ketemu ayah!" Diana berlari masuk ke dalam rumah. Wulan dan Bagus saling pandang. Lalu Wulan meletakkan tas di kursi depan. Mengatur nafas yang terasa sesak. Bayangan Diana dipukul kembali menari-nari dalam angan. Dia sadar betul rasa trauma masih bersarang di hati putrinya, meski perlahan terkikis oleh kasih sayang Bagus. "Buar aku saja. Kamu di sini!" Langkah kaki Wulan terhenti mendengar perkataan sang suami. Walau sedikit ragu tapi ia menurut saja. Bagus berjalan cepat menuju kamar Diana yang ada di lantai atas. Perlahan membuka pintu yang tertutup rapat. Gadis kecil Wulan sedang menangis sesegukan di atas ranjang. Kejadian bersama Wahyu kembali berkeliaran di benaknya. Memori kelam yang berusaha ia lupakan. Meski tak bisa sama sekali untuk dihilangkan. Bagus segera duduk tepat di samping anak tirinya. Mengangkat kepala Diana lalu menghapus jejak air mata mengguna

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 4

    Roda kehidupan memang tidak bisa diprediksi. Kemarin sedih sekarang bahagia atau justru sebaliknya. Seperti yang di rasakan Wulan. Penderitaan saat bersama Wahyu kini terganti dengan senyum bahagia. Bagus mampu menjadi suami serta ayah yang baik untuk Wulan dan anak-anaknya. Kini mereka hidup bahagia. Tak pernah ada pertengkaran di rumah tangga mereka. Sedikit cekcok karena perbedaan prinsip adalah hal biasa. "Mau ke mana, sayang?" tanya Bagus saat melihat Wulan sudah duduk di depan meja rias. Gamis soft pink dengan hijab berwarna senada kian menambah aura kecantikannya. Ya, walau tanpa riasan tebal di wajahnya. Wulan menghentikan gerakan tangan lalu menatap Bagus dari pantulan cermin di hadapannya. "Mau ke rumah Mas, pengen lihat laporan minggu ini. Mas mau ikut?""Boleh, tapi jangan ajak anak-anak ya! Sekali-kali jalan berdua," ucap Bagus seraya mengedipkan matanya. Wulan dan Bagus memang tak memiliki waktu banyak untuk berdua. Memiliki tiga anak membuat pasangan suami istri i

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 3

    "Apa ada yang bernama Wulan dan Diana?" Langkah Rudi terhenti mendengar pertanyaan sang dokter.Sri dan Rika pun saling pandang. Mereka sangat terkejut dengan perkataan dokter itu.Dari mana dokter tahu Wulan dan Diana?Pertanyaan yang sama muncul di pikiran keluarga Wahyu. Dari awal mereka menginjakkan kaki di rumah sakit, tak sekalipun menyebut nama mantan istri dan anak Wahyu."Pasien mengigau dan memanggil nama Wulan dan Diana. Apa mereka keluarga pasien?" jawab dokter seperti dapat membaca pikiran mereka.Semua terdiam, bingung harus menjawab apa? Ingin mengatakan iya tapi takut sang dokter bertanya lebih jauh lagi. Di mana istrinya mungkin? Dan itu akan membuka aib Wahyu."Mereka anak dan mantan istrinya, dok," jawab Sri pelan."Kalau bisa mereka diminta ke mari. Siapa tahu pasien akan cepat sembuh saat mereka datang."Sri hanya mengangguk hingga dokter itu kembali masuk ke ruang IGD.Semua terdiam, Rudi yang hendak mengurus administrasi justru diam di tempat. Seakan ada magne

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 2

    Pov Author"Rika!Rika!" Teriak Sri mengejutkan sangat putri. Dengan berlari Rika menuju sumber suara.Rika kebingungan melihat Sri menangis tersedu di samping Wahyu. Apa Wahyu telah meninggal? Pertanyaan itu yang sempat hadir di benar gadis berambut sepunggung itu."Mas Wahyu kenapa, Bu?" tanya Wulan seraya menyentuh pergelangan tangan sang kakak. Dia memastikan apakah Wahyu masih hidup atau sudah meninggal. Masih terasa denyut nadi. Itu tandanya Wahyu belum dipanggil sang Maha Kuasa."Wahyu tidak bangun-bangun Rik. Ibu takut terjadi apa-apa dengannya. Tolong kamu panggilkan Masmu. Minta dia antarkan Wahyu ke rumah sakit." Rika mengangguk lalu segera menuju kamar untuk menelepon Rudi.Sri menangis melihat tubuh Wahyu yang kian kurus. Setelah menelepon Wulan beberapa minggu yang lalu, Wahyu semakin terpuruk. Rasa menyesal tertancap dalam di sanubari lelaki itu. Tak ada lagi semangat untuk sembuh. Dia terpukul mengetahui wanita yang ia cintai sudah memiliki tambatan hati lain."Semanga

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 1

    Pov Wahyu"Ibu! Ibu!" Suara Mbak Yuli terdengar nyaring hingga menghancurkan gendang telinga. "Ibu!" Teriaknya lagi saat ibu tak kunjung menyahut. Kakak iparku itu memang tak memiliki sopan santun. Berteriak di rumah orang pagi-pagi begini. Kalau aku bisa jalan sudah ku tampar dia. Sayang, aku masih mengandalkan uang Mas Rudy untuk biaya berobat. Kalau aku sudah sembuh dia pasti tidak semena-mena kepada kami. Aku memilih diam dan pura-pura tidur saat mendengar teriakan Mbak Yuli. Melawan Mbak Yuli tak akan pernah ada habisnya. Dia selalu bersikap seolah-olah dia paling benar. Sungguh menyebalkan! BRAAKPintu kamar dibuka kasar dari luar. Mbak Yuli menatap nyalang seraya berkacak pinggang di depan pintu. Niat hati pura-pura tidur gagal karena Mbak Yuli lebih dahulu masuk ke kamar. "Ibu tidak ada, mbak. Mungkin sedang ke warung," jawabku asal karena aku tidak tahu ibu ke mana. Dari bangun tidur aku belum keluar kamar. Jangankan untuk keluar, tubuhku saja sudah tak ada tenaganya, l

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ending

    Aku dan Mas Bagus diam, bingung harus menjawab apa. Kami hanya melihat Bu Handayani tadi setelah memberikan gaji pada karyawan Mas Rohmad. Setelah itu kami berada di rumah. Kami juga tidak mendengar jeritan orang minta tolong. "Saya sudah mencari ke sekitar rumah. Tapi tetap tidak ada." Pak Abdul menjatuhkan bobot di sofa ruang keluarga. Aku dan Mas Bagus berdiri, ingin duduk tapi tidak ada tempat. "Kita lapor polisi saja, Pak. Jangan pegang apa pun. Siapa tahu ini tindakan kriminal." Pak Abdul mengangguk lalu beranjak berdiri. Kami berjalan meninggalkan rumah Pak Abdul menuju mobil Mas Bagus yang masih terparkir di halaman rumah. Mas Bagus segera berlari ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil dan menitipkan anak-anak kepada Bik Lastri. "Sabar, Pak." Pak Abdul mengangguk dengan pandangan lurus ke depan. "Ayo masuk!" ucap Mas Bagus seraya berlari menuju mobil. Aku dan Pak Abdul segera mengekor. Suara mobil berhenti di jalan depan rumah terdengar saat aku hendak membuka pint

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Menjelang Ending

    "Wulan! Akbar!" Sama-sama terdengar suara orang memanggil namaku dan Akbar bergantian. "Mas dengar orang panggil namaku gak?" Mas Bagus diam seraya mempertajam pendengarannya. Tak berapa lama lelaki itu justru tersenyum ke arahku. "Mas juga dengar," ucapnya seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku hanya memperhatikan sikapnya. "Berarti aku gak salah dengar kan, aku keluar dulu, Mas." Aku beranjak berdiri, sambil membungkukkan badan saat melewati Mas Bagus. "Mau ke mana?" Mas Bagus mencekal tangan kananku. Ku hentikan langkah seraya menatap bingung ke arahnya. "Mau ke depan, tadi ada yang manggil, Mas. Katanya Mas Bagus denger!""Mendekat!" Aku mengernyitkan dahi mendengar perintahnya. Ini aku mau melihat tamu tapi justru diminta mendekat. Namun aku tetap saja melakukannya. Entahlah, ucapan Mas Bagus seakan memiliki magnet hingga aku menurut saja. "Yang manggil itu di sini!" Mas Bagus menyentuh dadanya. Seketika wajahku menjadi merah merona. "Ya jadi merah pipinya, sudah s

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Menuai Apa Yang Ditanam

    "Aw ... Sakit!" teriak Handayani saat kakinya menginjak pecahan vas yang berserakan di atas lantai. Kaki tanpa alas mempermudah kaca itu masuk ke dalam kulitnya. Handayani meringis kesakitan. Darah segar keluar dari kaki kanannya. Seketika lantai keramik berwana putih itu berubah warna menjadi merah merona. Handayani berusaha mencabut pecahan kaca yang masuk ke dalam kulitnya. Satu cabutan membuat darah semakin mengalir banyak. Namun rasa sakit itu belum juga reda. Rupanya tidak hanya satu kaca yang masuk. Ada beberapa kaca kecil yang masuk lebih dalam. Mata tua Handayani tak bisa melihat lebih jelas di mana luka itu berada. "Abdul! Abdul!" Teriak Handayani. Handayani lupa jika suaminya sedang pergi. Dia terus saja berteriak. Namun sampai pita suaranya rusak pun Abdul tidak akan mendengar. Lelaki bertubuh tambun itu sedang menjemput tukang urut yang ada di kampung sebelah. Nahas, motor yang dikendarai Abdul mogok di jalan. Lelaki itu harus mencari bengkel yang letaknya lumayan ja

DMCA.com Protection Status