Aku duduk di teras rumah sambil menunggu tukang sayur lewat. Mang Tono nama penjualnya. Dan selalu mangkal di jalan depan rumah.
"Sayur ... sayur...." teriak Mang Tono memanggil pembeli. Mang Tono mematikan mesin motor tepat di jalan depan rumah.Berdiri sambil mengibaskan topi di udara. Mencari angin untuk menghilangkan rasa gerah di tubuhnya.Melangkahkan kakiku mendekati abang tukang sayur. Di susul ibu-ibu yang lainnya. Ya, karena hanya ini tukang sayur yang lewat di daerah sini. Meski harga tetap lebih murah di pasar.Memilih sayur, aku bingung juga mau memasak apa. Dilema emak-emak bukan hanya karena uang belanja yang kurang. Tapi juga menentukan harus memasak apa?Adakah yang sama? atau mungkin hanya diriku saja."Ibu-ibu, sudah tahu belum berita terpanas." ucap Bu Ambar, ratu gosip di lingkungan kami."Berita apa nih Bu?" sahut Bu Tika."Itu ibu-ibu, Pak Rt punya istri muda.""Yang benar Bu?""Dari mana ibu tahu?"Mereka saling besahutan,aku hanya diam enggan membalas ucapan atau sekedar kepo. Tak ada untungnya juga ikut campur urusan orang lain. Sedang urusan sendiri saja sudah membuat pusing.Bukan berhenti, tapi justru semakin pedas saja ucapan yang keluar dari mulut mereka. Kalau masih di sini,lama-lama bisa ketularan penyakit berbahaya dan paling disukai kaum hawa. Ngerumpi atau ghibah."Ini berapa mang?" ku serahkan kentang, wortel,kembang kol, dan daun bawang untuk dihitung. Rencananya mau masak sup dan bregedel kentang."Semuanya dua puluh lima ribu Mbak." ku serahkan satu lembar uang dua puluh ribuan dan satu lembar uang lima ribuan."Saya permisi ibu-ibu.""Gak beli ikan atau ayam Mbak Wulan?" tanya Bu Tika si biang gosip.Aku hanya tersenyum lalu melangkah meninggalkan mereka. Percuma menjawab toh semua sudah punya jawaban masing-masing tanpa susah payah aku menjelaskan."Wulan itu suami gaji lima juta, tapi masaknya gak pernah ayam.""Dengar-dengar suaminya hanya ngasih uang belanja sedikit.""Jangan-jangan suaminya punya selingkuhan."AstagfirullahBeristighfar dalam hati mendengar mereka berbicara di belakangku. Tapi apa benar kalau Mas Wahyu memiliki wanita idaman lain? Tapi rasanya tidak mungkin. Dia kan mengirimkan uang untuk ibu yang sedang sakit, bukan untuk selingkuhannya. Atau jangan-jangan selama ini Mas Wahyu berbohong dan diam-diam memiliki wanita lain?Ya Allah, kenapa aku jadi curiga seperti ini.Tapi jika benar, Mas Wahyu punya selingkuhan. Maka tak akan pernah ada kata maaf.Apa aku tanya Rika saja ya? Supaya lebih jelas dan aku tak lagi berburuk sangka.Ku letakkan belanjaanku di atas meja. Segera masuk ke dalam kamar mengambil ponsel yang ada di atas ranjang.Kupencet dua belas digit nomor Rika, tersambung namun tak kunjung diangkat. Apa Rika sedang sibuk?Ku tekan lagi nomor Rika."Assalamu'alaikum...." ucapnya dari seberang sana."Wa'alaikumsalam Rika. Bagaimana kabar ibu dan kamu?" tanyaku basa-basi.Jantungku berdetak lebih kencang menanti suara Rika. Ada rasa takut yang menyusup di dalam hati. Takut jika kenyataannya memang benar Mas Wahyu memiliki wanita lain."Alhamdulillah sehat semua Mbak, akhir-akhir ini ibu juga tidak pernah kambuh darah tingginya."DEGIbu sehat-sehat saja dan sudah tidak lagi kambuh. Berarti ibu tidak sakit. Dan omongan Mas Wahyu selama ini bohong belaka.Ya Allah, Jangan-jangan benar jika Mas Wahyu punya simpanan?Dan selama ini uang tidak dikirimkan pada ibu, melainkan untuk menyenangkan hati wanita lain.Kaki terasa tak bertenaga, tubuhku luruh di lantai. Bulir bening mengalir tak bisa ku bendung. Sesak terasa kalau mengingat perlakuan Mas Wahyu yang hanya memberiku nafkah sedikit. Belum lagi dia selalu membentakku, berbicara dengan kata-kata kasar."Halo Mbak Wulan ... Mbak!" panggilan Rika menyentakku dari lamunan."I-iya Rik." ucapku tergagap."Apa Diana sudah sembuh Mbak?"Mengrenyitkan dahi mendengar ucapan adik dari suamiku itu.Diana sembuh? Apa maksud perkataan Rika? Putriku tak sedang sakit. Dia dalam keadaan baik-baik saja. Bahkan tambah mengemaskan."Diana baik-baik saja Rik, dia tidak sakit.""Yang benar Mbak? Mas Wahyu cerita kalau Diana sedang sakit, dan tidak bisa mengirim uang karena digunakan untuk biaya rumah sakit. Saat kami ingin ke sana, Mas Wahyu melarang katanya sedang musim corona orang luar kota tidak boleh menginap begitu."Ya Allah, Ya Robb....Kenapa suamiku tega berbohong tetang kesehatan Diana. Bukankah ucapan orang tua adalah doa untuk anak-anaknya?Sungguh tega kamu Mas, hanya karena uang kamu mendoakan yang jelek untuk putrimu. Sebenarnya dimana akal sehatmu?"Ow ... ya,sudah Rik, Mbak mau masak dulu. Assalamu'alaikum." ku matikan telepon. Rasanya sudah tak sanggup mendengar kenyataan yang terucap dari mulut adik iparku itu.Bulir bening kembali jatuh membasahi pipi. Lelaki yang sangat aku hormati kini tega mengukir luka di sanubari. Apa kurangnya diriku selama ini? Aku adalah tulang rusuk yang harus ikut serta menjadi tulang punggung. Namun pengorbananku selama ini begitu tak berarti di mata suamiku sendiri."Bu, Diana ingin minum susu." tangan mungilnya memegang pundakku.Segera ku seka air mata yang masih membekas di pipi. Aku tak ingin putriku melihat betapa rapuh ibunya.Aku erjalan menuju dapur sambil menggandeng tangan Diana. Lalu aku membuatkan susu kental manis untuknya. Bulir bening mengalir kala tangan ini mengaduk susu agar bisa tercampur. Harusnya aku tak memberi Diana susu kental manis. Apalah daya, hanya ini yang bisa aku berikan padanya."Ini nak, minumnya sambil duduk ya." ku berikan botol susu padanya.Putri kecilku mengangguk. kemudian duduk di kursi kecil dan meminum susu hingga tak tersisa.Ah, Mas Wahyu bahkan tak pernah mau tahu putrinya minum susu atau tidak.*****Samar-samar terdengar azan magrib berkumandang. Namun Mas Wahyu belum juga menampakkan batang hidungnya. Kemana sebenarnya suamiku itu?Segera masuk ke kamar mandi untuk berwudhu. Kupakaian mukena untuk malaikat kecilku. Diana memang suka ikut shalat bersamaku. Meskipun gerakannya masih sesuka hatinya. Tapi setidaknya dia sudah ada niatan.Menengadahkan tangan, meminta Sang Pemilik hati agar menuntun suamiku ke jalan yang benar serta melembutkan hatinya.Terdengar suara kendaraan roda dua milik Mas Wahyu berhenti di depan rumah. Ku lipat mukena dan meletakkannya di atas nakas."Adek di dalam kamar dulu ya." pintaku."Iya Bu."Keluar dengan hati bergemuruh, ingin segera ku tanyakan tentang semua kebohongannya selama ini. Rasanya aku tak sanggup jika harus diam tanpa mendengar penjelasan dari lelaki yang telah menjadi suamiku itu."Lan... Wulan!" teriaknyaAku masih diam, enggan menjawab panggilannya. Rasa sakit di hati membuatku malas menjawab apalagi menatap wajahnya."Wulan...!" teriaknya lantang hingga membuat telingaku rasanya mau pecah."Tak usah teriak-teriak, aku tidak tuli Mas!" ucapku datar."Mana kopiku!"Ya Allah, kenapa harus dengan kasar caranya meminta tolong. Aku ini istri, bukan pembantu.Dengan langkah gontai aku berjalan ke dapur untuk membuat kopi. Aku mengalah, dari pada menimbulkan pertikaian yang tak ada habisnya."Ini Mas." ku letakkan secangkir kopi di atas meja.Mas Wahyu segera meminumnya."Besok kalau kamu libur, kita ke rumah ibu ya Mas." pancing ku.Aku ingin melihat bagaimana ekspresinya.Uhuuk... Uhuuk.Mas Wahyu terbantuk hingga kopi yang ada di dalam mulut di keluarkannya.Kira-kira apa tanggapan Wahyu ya?Jangan lupa subscribe, like dan komen."Besok kalau kamu libur, kita ke rumah ibu ya Mas." pancing ku.Aku ingin melihat bagaimana ekspresinya.Uhuuk... Uhuuk.Mas Wahyu terbantuk hingga kopi yang ada di dalam mulut di keluarkannya."Kamu kenapa Mas?" tanyaku pura-pura."Tidak apa-apa Lan,hanya kopinya terlalu panas." jawabnya gugup. Wajahnya terlihat pucat pasi.Aku tahu kamu sedang berbohong Mas, kopinya tidak terlalu panas. Mungkin kamu kaget karena aku mengajakmu ke rumah ibu. Kamu takut, jika kebohonganmu terbongkar kan?"Pelan-pelan dong Mas, seperti mau ditagih hutang saja." Mas Wahyu terlihat semakin gugup."Apa sih kamu! Aku sudah tidak punya hutang.Hutang Mang Juki sudah dibayar kan."ketusnya."Aku gak bilang Mas Wahyu punya hutang lho, aku cuman bilang Mas seperti ditagih hutang.Bukan punya hutang."kilahku.Sebenarnya hanya ingin mengetes Mas Wahyu. Dan aku rasa dia sedang menyembunyikan sesuatu padaku. Perlahan akan ku cari tahu apa yang kamu sembunyikan padaku."Terserah kamu saja Lan, capek ngomong sama kamu!
Sudah tiga hari Mas Wahyu tak mau makan di rumah hanya karena lauk seadanya. Dia lebih memilih makan di luar dibandingkan menambah uang belanjaku. Bukankah lebih baik menambah uang belanjaku, sehingga kamu bisa makan enak bersama. Bukan hanya dia saja! Apa dia tidak berpikir tentang kebahagiaan putrinya? Ya Allah, aku tak mengerti dengan pola pikirnya. Apa dia sengaja menyiksa diriku seperti ini? Kurang apa aku selama ini? Menghembuskan nafas perlahan, mengatur emosiku yang sudah di ubun-ubun. Ingin rasanya kumaki lelaki yang telah bersamaku selama tujuh tahun ini. Namun percuma, aku yang akan disalahkan bahkan mungkin tangannya akan mendarat lagi di pipi.Astagfirullah ... Beristighfar dalam hati kalau mengingat kelakuan Mas Wahyu satu tahun ini. Setan apa yang merasuki suamiku. Hingga kini dia begitu tega padaku dan Diana. Melanjutkan kegiatan mencuci piringku,meletakkan piring ke dalam rak. Lalu memasak nasi goreng untukku dan Diana. Sengaja, toh selama tiga hari ini dia tak p
" Wahyu ...!" suara lelaki yang sangat ku kenal. Mas Wahyu menghentikan tangannya yang hendak menamparku. Tak mungkin Mas Wahyu berani menyakitiku di hadapannya. Alhamdulillah. Aku bernafas lega, karena Allah memberiku pertolongan sehingga aku tak merasakan nyeri akibat tamparan Mas Wahyu lagi. Wajah Mas Wahyu langsung pucat pasi melihat Mas Rudi, kakak kandungnya. Ternyata Mas Wahyu masih punya rasa takut juga. Mas Rudi berjalan mendekat, gurat kemarahan tergambar jelas di wajahnya. Matanya, menatap tajam ke arah adik kandungnya itu. Baru kali ini aku melihat Mas Rudi semenakutkan itu. Lelaki yang biasanya bijaksana bisa begitu marah melihat Mas Wahyu hampir menamparku. Sedang Mas Wahyu hanya diam membisu. Dimana sikap semena-menanya tadi? Apakah menguap begitu saja. Nyalinya langsung menciut kala menatap Mas Rudi. "Apa-apaan kamu! Beraninya main tangan pada istri kamu sendiri. Apa ibu pernah mengajarimu berbuat kasar pada wanita?"teriak Mas Rudi. Mas Wahyu masih diam, enggan
"Benar katamu Lan, lebih baik kita telepon ibu untuk memastikan kebenarannya. Karena satu bulan Mas ditugaskan diluar kota, jadi tak tahu apakah ibu sakit atau tidak." Mas Rudi merogoh ponsel di saku celananya. Dia mengotak-atik benda pipihnya, lalu menempelkannya di telinga kanan.Kutatap Mas Wahyu, wajah angkuhnya kini berubah pucat pasi. Pasti dia takut jika Mas Rudi tahu yang sebenarnya. Sekarang saatnya kamu tunggu hukuman apa yang Mas Rudi berikan padamu."Assalamu'alaikum Bu ...." Suara lembut Mas Rudi kala menyapa ibu dari balik telepon.Beberapa menit Mas Rudi berbicara dengan ibu melalui sambungan telepon. Aku tak terlalu mendengarkan karena berada di dapur untuk membuatkan teh hangat untuk Mas Rudi dan Mbak Yuli.Ada rasa sungkan dan tak enak pada kakak iparku. Seharusnya tamu itu dimuliakan, dibuatkan minuman. Bukan justru disuguhi pertengkaran. Dan harus menjadi penengah di antara kami.Dua cangkir teh hangat telah berada di meja makan. Mas Rudi meminta kami duduk di tem
Satu minggu setelah sidang keluarga, Mas Wahyu semakin perhatian padaku. Sikapnya kembali sama seperti saat awal menikah dulu. Lembut dan penuh kasih sayang. Janji untuk menambah uang bulanan pun telah dipenuhi. Ya, meski hanya menambah lima ratus ribu untuk keperluan keluarga. Meski masih pas-pasan tapi tak apalah. Setidaknya suamiku sudah menepati janjinya. Suara mesin jahit memenuhi ruangan. Menciptakan irama tersendiri saat ditangkap indera pendengaran. Aku berkutat dengan kain dan benang dari pagi hingga hampir waktu adzan ashar berkumandang. Alhamdulillah setelah drama rumah tangga tempo hari, kini banyak orang menjahitkan pakaian di tempatku. Aku bahkan tak tahu kenapa bisa seperti ini. Mungkin ini hikmah setelah datangnya ujian dan cobaan padaku. TingSatu pesan masuk di aplikasi berwarna hijau ini. Mengambil benda pipih yang ada di atas meja. Satu pesan Bu Sinta, pelanggan setia yang selalu menjahitkan pakaian di tempatku. [Gamisnya saya ambil besok ya Mbak.][Baik Bu.]
"Kamu kenapa,Lan?""Pusing Mas.""Istirahat sana, biar nanti malam bisa ehem-ehem," godanya. Kuanggukan kepala. Berjalan perlahan ke kamar. Lalu merebahkan tubuh di atas kasur. Hingga tak terasa aku terlelap karena lelah dan pusing yang mendera. "Lan, bangun!" satu sentuhan di pundak membuat diriku terkejut bukan main. Kepalaku kembali terasa berputar-putar. "Masih pusing?" tanyanya. "Sedikit Mas." Duduk di bibir ranjang sambil mengumpulkan nyawa. "Sudah adzan, shalat dulu gih!" ucapnya. Menyatukan dua alis, bingung. Baru kali ini Mas Wahyu memintaku mengerjakan ibadah wajib. Biasanya dia selalu cuek dan masa bodoh. Atau jangan-jangan ini salah satu upaya untuk menutupi sebuah kebohongan. Seperti sebuah artikel yang sempat ku baca. Tanda seorang suami berselingkuh salah satunya bersikap lebih manis dari biasanya. Alasannya karena merasa bersalah telah mengkhianati cinta istrinya. Astagfirullah... Semoga yang kupikirkan tidak benar. Semoga ini hanya kekhawatiranku saja. "Wul
Sinar mentari mulai nampak di ufuk timur.Menampakkan sinar berwarana jingga.Memanjakan mata saat aku menatapnya. Kehangatan sinar mentari selalu di rindukan bagi setiap ciptaan Allah yang bernyawa. Duduk termenung di teras sambil melihat pemandangan nan indah dipagi hari. Namun perkataan Mas Wahyu semalam membuat gelap susana hatiku. Mengusik pikiran dan batinku. Membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada keluargaku. Apakah aku sanggup menerima hadiah seorang madu dari lelaki yang ku cintai? Rasanya itu terlalu berat. Ya Allah, kenapa hidupku penuh dengan teka-teki seperti ini? Dan jika benar Mas Wahyu telah membagi hati dan cintanya untuk wanita lain, lebih baik aku menyerah. Karena percuma bertahan di dalam kapal jika nahkodanya bingung harus berlabuh dimana? "Sarapannya sudah siap Lan?" Sentuhan lembut di pundak namun mampu membuatku terkejut. "I-iya Mas, ada apa?" tanyaku kebingungan. "Sarapannya sudah siap apa belum? Kenapa kamu kaget begitu? Lagi mikirin apa
Melajukan kendaraan roda duaku dengan kecepatan tiga puluh kilometer perjam. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi,mengingat penghianatan suamiku. Hingga sesekali aku harus menepi karena mata berkabut dan pandangan mulai kabur. Biar hancur hatiku namun aku harus tetap fokus mengendarai sepeda motor. Masih ada Diana yang menunggu kepulanganku. Aku menepi di halaman sebuah toko mainan anak-anak. Melihat dari luar begitu banyak mainan yang berjajar rapi di sana. Teringat putri kecilku yang hanya memiliki mainan sedikit. Bisa dihitung dengan jari. Bulir bening dan hangat mengalir tanpa bisa kubendung. Dada terasa sesak mengingat perlakuan Mas Wahyu padaku dan Diana. Dia lebih memilih menyenangkan hati perempuan lain dari pada darah dagingnya sendiri. "Do'akan ibu ya nak, biar suatu saat bisa membelikan mainan untukmu," batinku. Beberapa pasang mata menatap ke arahku. Ada yang penuh tanda tanya, ada pula yang merasa iba dan lebih tepatnya banyak pasang mata yang melihatk