Jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas. Namun Mas Wahyu belum juga pulang, bahkan pesan dan teleponku diabaikan begitu saja.
Kemana dia? Selalu saja pergi bila tengah marah atau bertengkar. Apa semuanya bisa selesai jika dia pergi begitu saja? Kukunci pintu rapat-rapat. Terserah dia tidur di mana malam ini. Tidur di pos ronda juga bodo amat. Melangkahkan kaki menuju kamar Diana, kubaringkan tubuh ini di sebelahnya. Tanpa terasa aku pun terlelap karena kelelahan.Samar-samar terdengar azan subuh berkumandang. Membuka mataku perlahan,mengumpulkan nyawa yang belum sempurna. Aku membuka pintu kamar, tak ada Mas Wahyu. Apa benar dia tak pulang? Motor juga tak ada di tempatnya. Berarti benar, dia tak pulang semalam. Segera aku melangkah menuju dapur, membuat telur dadar dan sambal terasi.Karena hanya itu yang bisa kusajikan di atas meja. Gajian Mas Wahyu tiga hari lagi tapi isi dompet hanya tinggal lima puluh ribu. Sedang beras dan sayur di dalam kulkas sudah habis. Semoga saja jahitan baju seragam dibayar hari ini. "Wulan! Wulan!" Terdengar suara keras Mas Wahyu dari luar disertai gedoran pintu berkali-kali. Astagfirullah, Mas Wahyu ini masih pagi kenapa sudah membuat keributan. Malu sama tetangga,Mas. Segera kuletakkan piring di atas meja. Berjalan sedikit berlari menuju pintu depan. Aku tak ingin Mas Wahyu membangunkan satu kampung karena teriakannya. Karena ini bukan yang pertama terjadi, hingga aku sering mendapat teguran dari warga sekitar yang merasa terganggu dengan teriakan suamiku. Kuatur napas perlahan, menyiapkan mental dengan segala omelan suamiku di pagi ini. KreeekKubuka pintu dengan degup jantung yang berdetak kencang,rasa takut tiba-tiba menelusup dalam hati. Lelaki dengan kumis tipis berada tepat di muka pintu. Matanya melotot ke arahku. Seperti singa yang ingin menerkam mangsanya. Akulah rusa itu."Mas ...," ucapku lirih. "Dari mana saja sih? Buka pintu saja lelet!" sungutnya lalu masuk ke dalam. "Sabar-sabar, ini ujian Wulan." batinku sambil mengelus dada yang terasa sesak. Aku berjalan mengekor di belakang Mas Wahyu.Ingin bertanya takut kena omel tapi kalau tidak bertanya rasa penasaran kian memuncak. "Kamu semalam kemana Mas? Kenapa tidak pulang?" "Bukan urusan kamu!"ucapnya lalu berjalan ke kamar mandi. Kuelus dada perlahan,mencoba tetap sabar menghadapi sikap suami yang seperti itu. Bukankah batu yang keras dapat terkikis bila terus menerus terkena air. Ya Allah, lunakkanlah hati suamiku. Kembali kulanjutkan bersih-bersih rumah sebelum putri kecilku bangun dan meminta makan. "Bu, adek lapar...,"ucap Diana yang sudah berada di belakangku. "Mandi dulu ya dek." Kuelus rambutnya yang masih berantakan. "Lapar bu...," ucapnya lagi. Kugandeng tangan Diana masuk ke dalam. Lalu mendudukannya di kursi tempat biasa dirinya makan. "Berdoa dulu ya,Dek." Ku letakkan nasi dengan telur dadar yang sudah kupotong kecil-kecil. "Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannar." ucapnya perlahan. Ya Allah, berkahilah kami dalam rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa api neraka. "Adek maem sendiri dulu ya, ibu mau buatkan ayah teh." Kuelus pucuk kepalanya. Diana mengangguk lalu mulai memasukkan nasi dan telur ke dalam mulut menggunakan sendok. Aku masukkan teh celup dan satu sendok makan gula ke dalam cangkir. Menuangkan air panas lalu mengaduknya perlahan. Ini adalah takaran teh kesukaan suamiku."Sarapan dulu,Mas!" teriakku dari ruang makan. Hening, tak ada jawaban dari Mas Wahyu. Sepertinya dia masih marah padaku. Ya Allah, dia yang salah kenapa dia pula yang marah. Mas Wahyu berjalan gontai menuju meja makan. Wajahnya masih sama masam dan penuh amarah. Kuberikan satu piring nasi dengan telur dadar ukuran besar. Bukannya berterima kasih tapi kilau kemarahan tergambar jelas di wajahnya. Kutelan saliva susah payah. Pasti Mas Wahyu akan tambah marah melihat apa yang kusediakan untuk sarapan. Baginya makanan itu harus daging tak perduli uang yang dia berikan tak bisa untuk membeli daging ataupun ayam. "Cuma ini! Memangnya kamu gak bisa masak yang lain? Kalau tidak sayur ya telur. Aku bosan!"teriaknya."Adek makannya nanti lagi ya.Masuk kamar dulu." Kuturunkan Diana dari kursi. Putri kecilku segera berlari menuju kamar. Aku tak ingin putri kecilku mendengar perdebatan kedua orang tuanya. Biarpun dia hanya melihat tapi aku tahu di dalam otaknya sudah merekam adegan ini. "Ya Allah Mas, uang yang kamu berikan tidak cukup untuk membeli ayam atau daging. Untuk memenuhi kebutuhan saja aku masih nombok. Makan yang ada sajalah. Kalau kamu mau ayam beri aku nafkah yang layak. Gaji kamu banyak. kenapa hanya delapan ratus ribu sebulan yang kamu berikan padaku." Kukeluarkan uneg-uneg yang ada di hatiku. Biar dia tahu uang segitu cukup untuk membeli apa. "Ya pakai uang kamu, kamu,kan kerja!""Jahitanku sepi Mas.""Alasan saja kamu, bilang saja kamu pelit."AstagfirullahBisa-bisanya dia berkata seperti itu. Sedang dialah yang dzolim pada istri dan anaknya. "Bukannya kebalik ya Mas, kamu yang pelit." ucapku tak terima.Entah energi apa yang merasuk hingga aku selalu menjawab setiap perkataan Mas Wahyu. Pyaar... Piring berisi nasi dan telur berhamburan di lantai. Bukan merasa bersalah Mas Wahyu justru menatapku tajam. Dadanya naik turun, amarah sudah menyelimuti hatinya. Tanpa berkata-kata dia pergi begitu saja. Bulir bening kembali mengalir membasahi pipi. Terasa sesak diperlakukan seperti ini oleh suamiku sendiri. Lelaki yang harusnya melindungiku namun tega menorehkan luka di sanubari. Sampai kapan aku harus bersabar Ya Robb? Aku lelah selalu seperti ini. Aku ingin memiliki keluarga yang hidup harmonis bukan seperti di neraka. Segera kubereskan pecahan piring di lantai. Aku tak ingin jika Diana terkena pecahannya.****Duduk di kursi kerjaku, memainkan gunting hingga menciptakan pola yang sesuai dengan gambar. Perlahan kujahit pola-pola itu agar menjadi gamis yang cantik sesuai pesanan Mbak Mega, pelanggan setia jahitanku. Aku bernafas lega karena jahitan seragam sudah dibayar tunai daan diambil pemiliknya. Akhirnya aku bisa membeli sayur dan beras. Mungkin Allah mendengar doa-doaku. Tok ... Tok ... TokTerdengar suara ketukan dari luar. Kuhentikan menjahit lalu membuka perlahan pintu depan. Lelaki berkulit hitam dengan hidung mancung ke dalam menatapku tajam. "Dimana suami kamu?" tanya Mang Juki, rentenir di kampung ini. "Suami saya kerja Mang, memangnya ada apa ya?" tanyaku penasaran. Karena tak mungkin Mang Juki kemari jika tidak ada maksud dan tujuannya. "Wahyu pinjam uang tiga juta padaku ditambah bunga delapan ratus ribu. Jadi kamu harus mengembalikan tiga juta delapan ratus ribu rupiah. Dan ini tanggal pengembaliannya." terangnya panjang lebar. Ya Allah Mas, kamu pinjam uang segitu banyaknya untuk apa? "Saya tidak punya uang Mang. Mang Juki selesaikan sendiri dengan Mas Wahyu saja Mang." ucapku ragu. "Aku mah kamu bayar sekarang!""Tapi saya tidak punya uang Mang, tolong beri waktu kami." ucapku mengiba. "Ya sudah, aku mau kamu bayar minggu depan. Dan sampaikan pada suamimu aku kemari." ucapnya lalu pergi meninggalkan rumahku. Ya Allah Mas Wahyu, apa lagi yang kamu perbuat?Aku duduk termenung di teras sambil menunggu kedatangan Mas Wahyu. Aku akan meminta penjelasan darinya. Untuk apa uang tiga juta yang ia pinjam? Sedang setiap bulan Mas Wahyu selalu mengantongi empat juta. Dan aku hanya di beri jatah delapan ratus ribu setiap bulannya.Kupijat pelipis yang terasa berdenyut. Untuk melanjutkan menjahit dengan hati penuh amarah rasanya aku tak sanggup. Aku tak ingin jahitanku tak bagus karena menjahit disaat hati di tutupi amarah.Ya Allah, sampai kapan aku harus berkorban untuk memenuhi kebutuhan sedang suamiku enak-enakan menikmati gajinya. Bahkan dia meminjam uang dan aku tak tahu untuk apa. Wanita mana yang bisa bertahan diperlakukan seperti ini. Sebenarnya dianggap apa diriku selama ini? Batu kah? Aku ini wanita yang memiliki perasaan,bukan patung yang bisa diperlakukan seenaknya. Astagfirullah ....Beristighfar berkali-kali, menenangkan hatiku yang sedang di selimuti amarah. Karena syaitan paling senang jika orang sedang diselimuti amarah."Bu, D
Jarum jam sudah menunjukkan angka sembilan malam. Putri kecilku telah terlelap di kamarnya. Sedang Mas Wahyu masih asyik menonton televisi. Entah apa yang dia tonton aku juga tak tahu.Kubereskan gunting dan alat jahit ku yang lain. Sudah cukup kegiatan jahit menjahit ku hari ini. Badan sudah meminta haknya untuk istirahat.Kubaringkan tubuh tepat di sebelah Diana. Membaca doa sebelum tidur lalu mulai memejamkan mata. Aku terbangun saat tangan kekar melingkar di perutku. Ya, itu tangan Mas Wahyu. Aku tahu ia ingin meminta haknya malam ini.Berjalan beriringan memasuki kamar kami. Sebenarnya ingin sekali digendong, tapi sayang suamiku tidak sepeka itu. Mau meminta, takut ujung-ujungnya kena omel.Perlahan membaringkan tubuhku di atas ranjang. Ingin segera tidur karena lelah yang mendera. Dan tubuh ingin segera meminta haknya, istirahat. Tapi aku juga tak ingin menolak permintaan suamiku. Bukankah surga istri berada di telapak kaki suami? Aku juga tak ingin dilaknat malaikat hanya tak m
Aku duduk di teras rumah sambil menunggu tukang sayur lewat. Mang Tono nama penjualnya. Dan selalu mangkal di jalan depan rumah."Sayur ... sayur...." teriak Mang Tono memanggil pembeli. Mang Tono mematikan mesin motor tepat di jalan depan rumah.Berdiri sambil mengibaskan topi di udara. Mencari angin untuk menghilangkan rasa gerah di tubuhnya.Melangkahkan kakiku mendekati abang tukang sayur. Di susul ibu-ibu yang lainnya. Ya, karena hanya ini tukang sayur yang lewat di daerah sini. Meski harga tetap lebih murah di pasar.Memilih sayur, aku bingung juga mau memasak apa. Dilema emak-emak bukan hanya karena uang belanja yang kurang. Tapi juga menentukan harus memasak apa?Adakah yang sama? atau mungkin hanya diriku saja."Ibu-ibu, sudah tahu belum berita terpanas." ucap Bu Ambar, ratu gosip di lingkungan kami."Berita apa nih Bu?" sahut Bu Tika."Itu ibu-ibu, Pak Rt punya istri muda.""Yang benar Bu?""Dari mana ibu tahu?"Mereka saling besahutan,aku hanya diam enggan membalas ucapan at
"Besok kalau kamu libur, kita ke rumah ibu ya Mas." pancing ku.Aku ingin melihat bagaimana ekspresinya.Uhuuk... Uhuuk.Mas Wahyu terbantuk hingga kopi yang ada di dalam mulut di keluarkannya."Kamu kenapa Mas?" tanyaku pura-pura."Tidak apa-apa Lan,hanya kopinya terlalu panas." jawabnya gugup. Wajahnya terlihat pucat pasi.Aku tahu kamu sedang berbohong Mas, kopinya tidak terlalu panas. Mungkin kamu kaget karena aku mengajakmu ke rumah ibu. Kamu takut, jika kebohonganmu terbongkar kan?"Pelan-pelan dong Mas, seperti mau ditagih hutang saja." Mas Wahyu terlihat semakin gugup."Apa sih kamu! Aku sudah tidak punya hutang.Hutang Mang Juki sudah dibayar kan."ketusnya."Aku gak bilang Mas Wahyu punya hutang lho, aku cuman bilang Mas seperti ditagih hutang.Bukan punya hutang."kilahku.Sebenarnya hanya ingin mengetes Mas Wahyu. Dan aku rasa dia sedang menyembunyikan sesuatu padaku. Perlahan akan ku cari tahu apa yang kamu sembunyikan padaku."Terserah kamu saja Lan, capek ngomong sama kamu!
Sudah tiga hari Mas Wahyu tak mau makan di rumah hanya karena lauk seadanya. Dia lebih memilih makan di luar dibandingkan menambah uang belanjaku. Bukankah lebih baik menambah uang belanjaku, sehingga kamu bisa makan enak bersama. Bukan hanya dia saja! Apa dia tidak berpikir tentang kebahagiaan putrinya? Ya Allah, aku tak mengerti dengan pola pikirnya. Apa dia sengaja menyiksa diriku seperti ini? Kurang apa aku selama ini? Menghembuskan nafas perlahan, mengatur emosiku yang sudah di ubun-ubun. Ingin rasanya kumaki lelaki yang telah bersamaku selama tujuh tahun ini. Namun percuma, aku yang akan disalahkan bahkan mungkin tangannya akan mendarat lagi di pipi.Astagfirullah ... Beristighfar dalam hati kalau mengingat kelakuan Mas Wahyu satu tahun ini. Setan apa yang merasuki suamiku. Hingga kini dia begitu tega padaku dan Diana. Melanjutkan kegiatan mencuci piringku,meletakkan piring ke dalam rak. Lalu memasak nasi goreng untukku dan Diana. Sengaja, toh selama tiga hari ini dia tak p
" Wahyu ...!" suara lelaki yang sangat ku kenal. Mas Wahyu menghentikan tangannya yang hendak menamparku. Tak mungkin Mas Wahyu berani menyakitiku di hadapannya. Alhamdulillah. Aku bernafas lega, karena Allah memberiku pertolongan sehingga aku tak merasakan nyeri akibat tamparan Mas Wahyu lagi. Wajah Mas Wahyu langsung pucat pasi melihat Mas Rudi, kakak kandungnya. Ternyata Mas Wahyu masih punya rasa takut juga. Mas Rudi berjalan mendekat, gurat kemarahan tergambar jelas di wajahnya. Matanya, menatap tajam ke arah adik kandungnya itu. Baru kali ini aku melihat Mas Rudi semenakutkan itu. Lelaki yang biasanya bijaksana bisa begitu marah melihat Mas Wahyu hampir menamparku. Sedang Mas Wahyu hanya diam membisu. Dimana sikap semena-menanya tadi? Apakah menguap begitu saja. Nyalinya langsung menciut kala menatap Mas Rudi. "Apa-apaan kamu! Beraninya main tangan pada istri kamu sendiri. Apa ibu pernah mengajarimu berbuat kasar pada wanita?"teriak Mas Rudi. Mas Wahyu masih diam, enggan
"Benar katamu Lan, lebih baik kita telepon ibu untuk memastikan kebenarannya. Karena satu bulan Mas ditugaskan diluar kota, jadi tak tahu apakah ibu sakit atau tidak." Mas Rudi merogoh ponsel di saku celananya. Dia mengotak-atik benda pipihnya, lalu menempelkannya di telinga kanan.Kutatap Mas Wahyu, wajah angkuhnya kini berubah pucat pasi. Pasti dia takut jika Mas Rudi tahu yang sebenarnya. Sekarang saatnya kamu tunggu hukuman apa yang Mas Rudi berikan padamu."Assalamu'alaikum Bu ...." Suara lembut Mas Rudi kala menyapa ibu dari balik telepon.Beberapa menit Mas Rudi berbicara dengan ibu melalui sambungan telepon. Aku tak terlalu mendengarkan karena berada di dapur untuk membuatkan teh hangat untuk Mas Rudi dan Mbak Yuli.Ada rasa sungkan dan tak enak pada kakak iparku. Seharusnya tamu itu dimuliakan, dibuatkan minuman. Bukan justru disuguhi pertengkaran. Dan harus menjadi penengah di antara kami.Dua cangkir teh hangat telah berada di meja makan. Mas Rudi meminta kami duduk di tem
Satu minggu setelah sidang keluarga, Mas Wahyu semakin perhatian padaku. Sikapnya kembali sama seperti saat awal menikah dulu. Lembut dan penuh kasih sayang. Janji untuk menambah uang bulanan pun telah dipenuhi. Ya, meski hanya menambah lima ratus ribu untuk keperluan keluarga. Meski masih pas-pasan tapi tak apalah. Setidaknya suamiku sudah menepati janjinya. Suara mesin jahit memenuhi ruangan. Menciptakan irama tersendiri saat ditangkap indera pendengaran. Aku berkutat dengan kain dan benang dari pagi hingga hampir waktu adzan ashar berkumandang. Alhamdulillah setelah drama rumah tangga tempo hari, kini banyak orang menjahitkan pakaian di tempatku. Aku bahkan tak tahu kenapa bisa seperti ini. Mungkin ini hikmah setelah datangnya ujian dan cobaan padaku. TingSatu pesan masuk di aplikasi berwarna hijau ini. Mengambil benda pipih yang ada di atas meja. Satu pesan Bu Sinta, pelanggan setia yang selalu menjahitkan pakaian di tempatku. [Gamisnya saya ambil besok ya Mbak.][Baik Bu.]