Share

Hutang

last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-23 16:36:51

Jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas. Namun Mas Wahyu belum juga pulang, bahkan pesan dan teleponku diabaikan begitu saja. 

Kemana dia? Selalu saja pergi bila tengah marah atau bertengkar. Apa semuanya bisa selesai jika dia  pergi begitu saja? 

Kukunci pintu rapat-rapat. Terserah dia tidur di mana malam ini. Tidur di pos ronda juga bodo amat. Melangkahkan kaki menuju kamar Diana, kubaringkan tubuh ini di sebelahnya. Tanpa terasa aku pun terlelap karena kelelahan.

Samar-samar terdengar azan subuh berkumandang. Membuka mataku perlahan,mengumpulkan nyawa yang belum sempurna. 

Aku membuka pintu kamar, tak ada Mas Wahyu. Apa benar dia tak pulang? Motor juga tak ada di  tempatnya. Berarti benar, dia tak pulang semalam. 

Segera aku melangkah menuju dapur, membuat telur dadar dan sambal terasi.Karena hanya itu yang bisa kusajikan di atas meja. Gajian Mas Wahyu tiga hari lagi tapi isi dompet hanya tinggal lima puluh ribu. Sedang beras dan sayur di dalam kulkas sudah habis. Semoga saja jahitan baju seragam  dibayar hari ini. 

"Wulan! Wulan!" Terdengar suara keras Mas Wahyu dari luar disertai gedoran pintu berkali-kali. 

Astagfirullah, Mas Wahyu ini masih pagi kenapa sudah membuat keributan. Malu sama tetangga,Mas.

 

Segera kuletakkan piring di atas meja. Berjalan sedikit berlari menuju pintu depan. Aku tak ingin Mas Wahyu membangunkan satu kampung karena teriakannya. Karena ini bukan yang pertama terjadi, hingga aku sering mendapat teguran dari warga sekitar yang merasa terganggu dengan teriakan suamiku. 

Kuatur napas perlahan, menyiapkan mental dengan segala omelan suamiku di pagi ini. 

Kreeek

Kubuka pintu dengan degup jantung yang berdetak kencang,rasa takut tiba-tiba menelusup dalam hati. Lelaki dengan kumis tipis berada tepat di muka pintu. Matanya melotot ke arahku. Seperti singa yang ingin menerkam mangsanya. Akulah rusa itu.

"Mas ...," ucapku lirih. 

"Dari mana saja sih? Buka pintu saja lelet!" sungutnya lalu masuk ke dalam. 

"Sabar-sabar, ini ujian Wulan." batinku sambil mengelus dada yang terasa sesak. 

Aku berjalan mengekor di belakang Mas Wahyu.Ingin bertanya takut kena omel tapi kalau tidak bertanya rasa penasaran kian memuncak. 

"Kamu semalam kemana Mas? Kenapa tidak pulang?" 

"Bukan urusan kamu!"ucapnya lalu berjalan ke kamar mandi. 

Kuelus dada perlahan,mencoba tetap sabar menghadapi sikap suami yang seperti itu. Bukankah batu yang keras dapat terkikis bila terus menerus terkena air. 

Ya Allah, lunakkanlah hati suamiku. 

Kembali kulanjutkan bersih-bersih rumah sebelum putri kecilku bangun dan meminta makan. 

"Bu, adek lapar...,"ucap Diana yang sudah berada di belakangku. 

"Mandi dulu ya dek." Kuelus rambutnya yang masih berantakan. 

"Lapar bu...," ucapnya lagi. 

Kugandeng tangan Diana masuk ke dalam. Lalu mendudukannya di kursi tempat biasa dirinya makan. 

"Berdoa dulu ya,Dek." Ku letakkan nasi dengan telur dadar yang sudah kupotong kecil-kecil. 

"Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannar." ucapnya perlahan. 

Ya Allah, berkahilah kami dalam rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa api neraka. 

"Adek maem sendiri dulu ya, ibu mau buatkan ayah teh." Kuelus pucuk kepalanya. Diana mengangguk lalu mulai memasukkan nasi dan telur ke dalam mulut menggunakan sendok. 

Aku masukkan teh celup dan satu sendok makan gula ke dalam cangkir. Menuangkan air panas lalu mengaduknya perlahan. Ini adalah takaran teh kesukaan suamiku.

"Sarapan dulu,Mas!" teriakku dari ruang makan. 

Hening, tak ada jawaban dari Mas Wahyu. Sepertinya dia masih marah padaku. Ya Allah, dia yang salah kenapa dia pula yang marah. 

Mas Wahyu berjalan gontai menuju meja makan. Wajahnya masih sama masam dan penuh amarah. 

Kuberikan satu piring nasi dengan telur dadar ukuran besar. Bukannya berterima kasih tapi kilau kemarahan tergambar jelas di wajahnya. 

Kutelan saliva susah payah. Pasti Mas Wahyu akan tambah marah melihat apa yang kusediakan untuk sarapan. Baginya makanan itu harus daging tak perduli uang yang dia berikan tak bisa untuk membeli daging ataupun ayam. 

"Cuma ini! Memangnya kamu gak bisa masak yang lain? Kalau tidak sayur ya telur. Aku bosan!"teriaknya.

"Adek makannya nanti lagi ya.Masuk kamar dulu." Kuturunkan Diana dari kursi. Putri kecilku segera berlari menuju kamar. Aku tak ingin putri kecilku mendengar perdebatan kedua orang tuanya. Biarpun dia hanya melihat tapi aku tahu di dalam otaknya sudah merekam adegan ini. 

"Ya Allah Mas, uang yang kamu berikan tidak cukup untuk membeli ayam atau daging. Untuk memenuhi kebutuhan saja aku masih nombok. Makan yang ada sajalah. Kalau kamu mau ayam beri aku nafkah yang layak. Gaji kamu banyak. kenapa hanya delapan ratus ribu sebulan yang kamu berikan padaku." Kukeluarkan uneg-uneg yang ada di hatiku. Biar dia tahu uang segitu cukup untuk membeli apa. 

"Ya pakai uang kamu, kamu,kan kerja!"

"Jahitanku sepi Mas."

"Alasan saja kamu, bilang saja kamu pelit."

Astagfirullah

Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Sedang dialah yang dzolim pada istri dan anaknya. 

"Bukannya kebalik ya Mas, kamu yang pelit." ucapku tak terima.Entah energi apa yang merasuk hingga aku selalu menjawab setiap perkataan Mas Wahyu. 

Pyaar... 

Piring berisi nasi dan telur berhamburan di lantai. Bukan merasa bersalah Mas Wahyu justru menatapku tajam. Dadanya naik turun, amarah sudah menyelimuti hatinya. Tanpa berkata-kata dia pergi begitu saja. 

Bulir bening kembali mengalir membasahi pipi. Terasa sesak diperlakukan seperti ini oleh suamiku sendiri. Lelaki yang harusnya melindungiku namun tega menorehkan luka di sanubari. 

Sampai kapan aku harus bersabar Ya Robb? 

Aku lelah selalu seperti ini. Aku ingin memiliki keluarga yang hidup harmonis bukan seperti di neraka. 

Segera kubereskan pecahan piring di lantai. Aku tak ingin jika Diana terkena pecahannya.

****

Duduk di kursi kerjaku, memainkan gunting hingga menciptakan pola yang sesuai dengan gambar. Perlahan kujahit pola-pola itu agar menjadi gamis yang cantik sesuai pesanan Mbak Mega, pelanggan setia jahitanku. 

Aku bernafas lega karena jahitan seragam sudah dibayar tunai daan diambil pemiliknya. Akhirnya aku bisa membeli sayur dan beras. 

Mungkin Allah mendengar doa-doaku. 

Tok ... Tok ... Tok

Terdengar suara ketukan dari luar. Kuhentikan menjahit lalu membuka perlahan  pintu depan. Lelaki berkulit hitam dengan hidung mancung ke dalam menatapku tajam. 

"Dimana suami kamu?" tanya Mang Juki, rentenir di kampung ini. 

"Suami saya kerja Mang, memangnya ada apa ya?" tanyaku penasaran. Karena tak mungkin Mang Juki kemari jika tidak ada maksud dan tujuannya. 

"Wahyu pinjam uang tiga juta padaku ditambah bunga delapan ratus ribu. Jadi kamu harus mengembalikan tiga juta delapan ratus ribu rupiah. Dan ini tanggal pengembaliannya." terangnya panjang lebar. 

Ya Allah Mas, kamu pinjam uang segitu banyaknya untuk apa? 

"Saya tidak punya uang Mang. Mang Juki selesaikan sendiri dengan Mas Wahyu saja Mang." ucapku ragu. 

"Aku mah kamu bayar sekarang!"

"Tapi saya tidak punya uang Mang, tolong beri waktu kami." ucapku mengiba. 

"Ya sudah, aku mau kamu bayar minggu depan. Dan sampaikan pada suamimu aku kemari." ucapnya lalu pergi meninggalkan rumahku. 

Ya Allah Mas Wahyu, apa lagi yang kamu perbuat? 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Dyah Piktawaty
Manusia yg memiliki harkat dan martabat itulah yg di makan manusia pria ataupun wanita.yg berharkat dan bermartabat pantang ditindas.
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Seminggu 200 ribu mau makan enak
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
helo thoor 200rb 1 minggu buat sumpal mulutnya wahyu aja juga selesai
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Penjelasan Wahyu

    Aku duduk termenung di teras sambil menunggu kedatangan Mas Wahyu. Aku akan meminta penjelasan darinya. Untuk apa uang tiga juta yang ia pinjam? Sedang setiap bulan Mas Wahyu selalu mengantongi empat juta. Dan aku hanya di beri jatah delapan ratus ribu setiap bulannya.Kupijat pelipis yang terasa berdenyut. Untuk melanjutkan menjahit dengan hati penuh amarah rasanya aku tak sanggup. Aku tak ingin jahitanku tak bagus karena menjahit disaat hati di tutupi amarah.Ya Allah, sampai kapan aku harus berkorban untuk memenuhi kebutuhan sedang suamiku enak-enakan menikmati gajinya. Bahkan dia meminjam uang dan aku tak tahu untuk apa. Wanita mana yang bisa bertahan diperlakukan seperti ini. Sebenarnya dianggap apa diriku selama ini? Batu kah? Aku ini wanita yang memiliki perasaan,bukan patung yang bisa diperlakukan seenaknya. Astagfirullah ....Beristighfar berkali-kali, menenangkan hatiku yang sedang di selimuti amarah. Karena syaitan paling senang jika orang sedang diselimuti amarah."Bu, D

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-23
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ada Udang Dibalik Batu

    Jarum jam sudah menunjukkan angka sembilan malam. Putri kecilku telah terlelap di kamarnya. Sedang Mas Wahyu masih asyik menonton televisi. Entah apa yang dia tonton aku juga tak tahu.Kubereskan gunting dan alat jahit ku yang lain. Sudah cukup kegiatan jahit menjahit ku hari ini. Badan sudah meminta haknya untuk istirahat.Kubaringkan tubuh tepat di sebelah Diana. Membaca doa sebelum tidur lalu mulai memejamkan mata. Aku terbangun saat tangan kekar melingkar di perutku. Ya, itu tangan Mas Wahyu. Aku tahu ia ingin meminta haknya malam ini.Berjalan beriringan memasuki kamar kami. Sebenarnya ingin sekali digendong, tapi sayang suamiku tidak sepeka itu. Mau meminta, takut ujung-ujungnya kena omel.Perlahan membaringkan tubuhku di atas ranjang. Ingin segera tidur karena lelah yang mendera. Dan tubuh ingin segera meminta haknya, istirahat. Tapi aku juga tak ingin menolak permintaan suamiku. Bukankah surga istri berada di telapak kaki suami? Aku juga tak ingin dilaknat malaikat hanya tak m

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-23
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Kenyataan

    Aku duduk di teras rumah sambil menunggu tukang sayur lewat. Mang Tono nama penjualnya. Dan selalu mangkal di jalan depan rumah."Sayur ... sayur...." teriak Mang Tono memanggil pembeli. Mang Tono mematikan mesin motor tepat di jalan depan rumah.Berdiri sambil mengibaskan topi di udara. Mencari angin untuk menghilangkan rasa gerah di tubuhnya.Melangkahkan kakiku mendekati abang tukang sayur. Di susul ibu-ibu yang lainnya. Ya, karena hanya ini tukang sayur yang lewat di daerah sini. Meski harga tetap lebih murah di pasar.Memilih sayur, aku bingung juga mau memasak apa. Dilema emak-emak bukan hanya karena uang belanja yang kurang. Tapi juga menentukan harus memasak apa?Adakah yang sama? atau mungkin hanya diriku saja."Ibu-ibu, sudah tahu belum berita terpanas." ucap Bu Ambar, ratu gosip di lingkungan kami."Berita apa nih Bu?" sahut Bu Tika."Itu ibu-ibu, Pak Rt punya istri muda.""Yang benar Bu?""Dari mana ibu tahu?"Mereka saling besahutan,aku hanya diam enggan membalas ucapan at

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-23
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Jatah Bulanan Berkurang

    "Besok kalau kamu libur, kita ke rumah ibu ya Mas." pancing ku.Aku ingin melihat bagaimana ekspresinya.Uhuuk... Uhuuk.Mas Wahyu terbantuk hingga kopi yang ada di dalam mulut di keluarkannya."Kamu kenapa Mas?" tanyaku pura-pura."Tidak apa-apa Lan,hanya kopinya terlalu panas." jawabnya gugup. Wajahnya terlihat pucat pasi.Aku tahu kamu sedang berbohong Mas, kopinya tidak terlalu panas. Mungkin kamu kaget karena aku mengajakmu ke rumah ibu. Kamu takut, jika kebohonganmu terbongkar kan?"Pelan-pelan dong Mas, seperti mau ditagih hutang saja." Mas Wahyu terlihat semakin gugup."Apa sih kamu! Aku sudah tidak punya hutang.Hutang Mang Juki sudah dibayar kan."ketusnya."Aku gak bilang Mas Wahyu punya hutang lho, aku cuman bilang Mas seperti ditagih hutang.Bukan punya hutang."kilahku.Sebenarnya hanya ingin mengetes Mas Wahyu. Dan aku rasa dia sedang menyembunyikan sesuatu padaku. Perlahan akan ku cari tahu apa yang kamu sembunyikan padaku."Terserah kamu saja Lan, capek ngomong sama kamu!

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-08
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Pertolongan

    Sudah tiga hari Mas Wahyu tak mau makan di rumah hanya karena lauk seadanya. Dia lebih memilih makan di luar dibandingkan menambah uang belanjaku. Bukankah lebih baik menambah uang belanjaku, sehingga kamu bisa makan enak bersama. Bukan hanya dia saja! Apa dia tidak berpikir tentang kebahagiaan putrinya? Ya Allah, aku tak mengerti dengan pola pikirnya. Apa dia sengaja menyiksa diriku seperti ini? Kurang apa aku selama ini? Menghembuskan nafas perlahan, mengatur emosiku yang sudah di ubun-ubun. Ingin rasanya kumaki lelaki yang telah bersamaku selama tujuh tahun ini. Namun percuma, aku yang akan disalahkan bahkan mungkin tangannya akan mendarat lagi di pipi.Astagfirullah ... Beristighfar dalam hati kalau mengingat kelakuan Mas Wahyu satu tahun ini. Setan apa yang merasuki suamiku. Hingga kini dia begitu tega padaku dan Diana. Melanjutkan kegiatan mencuci piringku,meletakkan piring ke dalam rak. Lalu memasak nasi goreng untukku dan Diana. Sengaja, toh selama tiga hari ini dia tak p

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-09
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Kedatangan Kakak Ipar

    " Wahyu ...!" suara lelaki yang sangat ku kenal. Mas Wahyu menghentikan tangannya yang hendak menamparku. Tak mungkin Mas Wahyu berani menyakitiku di hadapannya. Alhamdulillah. Aku bernafas lega, karena Allah memberiku pertolongan sehingga aku tak merasakan nyeri akibat tamparan Mas Wahyu lagi. Wajah Mas Wahyu langsung pucat pasi melihat Mas Rudi, kakak kandungnya. Ternyata Mas Wahyu masih punya rasa takut juga. Mas Rudi berjalan mendekat, gurat kemarahan tergambar jelas di wajahnya. Matanya, menatap tajam ke arah adik kandungnya itu. Baru kali ini aku melihat Mas Rudi semenakutkan itu. Lelaki yang biasanya bijaksana bisa begitu marah melihat Mas Wahyu hampir menamparku. Sedang Mas Wahyu hanya diam membisu. Dimana sikap semena-menanya tadi? Apakah menguap begitu saja. Nyalinya langsung menciut kala menatap Mas Rudi. "Apa-apaan kamu! Beraninya main tangan pada istri kamu sendiri. Apa ibu pernah mengajarimu berbuat kasar pada wanita?"teriak Mas Rudi. Mas Wahyu masih diam, enggan

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-10
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Kesempatan

    "Benar katamu Lan, lebih baik kita telepon ibu untuk memastikan kebenarannya. Karena satu bulan Mas ditugaskan diluar kota, jadi tak tahu apakah ibu sakit atau tidak." Mas Rudi merogoh ponsel di saku celananya. Dia mengotak-atik benda pipihnya, lalu menempelkannya di telinga kanan.Kutatap Mas Wahyu, wajah angkuhnya kini berubah pucat pasi. Pasti dia takut jika Mas Rudi tahu yang sebenarnya. Sekarang saatnya kamu tunggu hukuman apa yang Mas Rudi berikan padamu."Assalamu'alaikum Bu ...." Suara lembut Mas Rudi kala menyapa ibu dari balik telepon.Beberapa menit Mas Rudi berbicara dengan ibu melalui sambungan telepon. Aku tak terlalu mendengarkan karena berada di dapur untuk membuatkan teh hangat untuk Mas Rudi dan Mbak Yuli.Ada rasa sungkan dan tak enak pada kakak iparku. Seharusnya tamu itu dimuliakan, dibuatkan minuman. Bukan justru disuguhi pertengkaran. Dan harus menjadi penengah di antara kami.Dua cangkir teh hangat telah berada di meja makan. Mas Rudi meminta kami duduk di tem

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-11
  • Bahagia Tanpamu, Mas!    bab 10

    Satu minggu setelah sidang keluarga, Mas Wahyu semakin perhatian padaku. Sikapnya kembali sama seperti saat awal menikah dulu. Lembut dan penuh kasih sayang. Janji untuk menambah uang bulanan pun telah dipenuhi. Ya, meski hanya menambah lima ratus ribu untuk keperluan keluarga. Meski masih pas-pasan tapi tak apalah. Setidaknya suamiku sudah menepati janjinya. Suara mesin jahit memenuhi ruangan. Menciptakan irama tersendiri saat ditangkap indera pendengaran. Aku berkutat dengan kain dan benang dari pagi hingga hampir waktu adzan ashar berkumandang. Alhamdulillah setelah drama rumah tangga tempo hari, kini banyak orang menjahitkan pakaian di tempatku. Aku bahkan tak tahu kenapa bisa seperti ini. Mungkin ini hikmah setelah datangnya ujian dan cobaan padaku. TingSatu pesan masuk di aplikasi berwarna hijau ini. Mengambil benda pipih yang ada di atas meja. Satu pesan Bu Sinta, pelanggan setia yang selalu menjahitkan pakaian di tempatku. [Gamisnya saya ambil besok ya Mbak.][Baik Bu.]

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-11

Bab terbaru

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 6

    Wulan membuka koper untuk mengambil pakaian ganti. Rasa lengket di tubuh membuatnya ingin segera mandi. Namun langkahnya terhenti saat Bagus masuk ke dalam kamar. Lelaki itu berjalan mendekat sambil menatap Wulan tak berkedip. Tatapan itu yang membuat jantung Wulan seketika berdetak dengan kencang. Tubuhnya terasa panas bagai tersengat aliran listrik. "Mas mau aku siapin pakaian ganti?" tanya Wulan sambil mengatur detak jantung yang kian kencang. Rasanya hampir terlepas dari singgasananya. Bagus hanya tersenyum lalu mengambil pakaian yang sudah berada di tangan Wulan. Baju itu diletakkan kembali di atas koper yang sudah dibuka. Mendadak rasa gugup singgah di hati Wulan. Ia tahu betul apa yang diinginkan suaminya. Bagus menuntut Wulan hingga berada di atas ranjang. Pandangan mereka mulai mengunci. Debaran hangat terasa di antara mereka berdua. Hingga akhirnya mereka menikmati indahnya surga dunia. ***Wulan, Bagus dan Diana sudah berdiri di lobi rumah sakit. Sengaja mereka hanya da

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 5

    "Kita mau ke mana, bu?" tanya Diana. "Kita ke rumah ayah. Ayah kangen sama kamu, sayang." "Gak mau! Aku gak mau ketemu ayah!" Diana berlari masuk ke dalam rumah. Wulan dan Bagus saling pandang. Lalu Wulan meletakkan tas di kursi depan. Mengatur nafas yang terasa sesak. Bayangan Diana dipukul kembali menari-nari dalam angan. Dia sadar betul rasa trauma masih bersarang di hati putrinya, meski perlahan terkikis oleh kasih sayang Bagus. "Buar aku saja. Kamu di sini!" Langkah kaki Wulan terhenti mendengar perkataan sang suami. Walau sedikit ragu tapi ia menurut saja. Bagus berjalan cepat menuju kamar Diana yang ada di lantai atas. Perlahan membuka pintu yang tertutup rapat. Gadis kecil Wulan sedang menangis sesegukan di atas ranjang. Kejadian bersama Wahyu kembali berkeliaran di benaknya. Memori kelam yang berusaha ia lupakan. Meski tak bisa sama sekali untuk dihilangkan. Bagus segera duduk tepat di samping anak tirinya. Mengangkat kepala Diana lalu menghapus jejak air mata mengguna

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 4

    Roda kehidupan memang tidak bisa diprediksi. Kemarin sedih sekarang bahagia atau justru sebaliknya. Seperti yang di rasakan Wulan. Penderitaan saat bersama Wahyu kini terganti dengan senyum bahagia. Bagus mampu menjadi suami serta ayah yang baik untuk Wulan dan anak-anaknya. Kini mereka hidup bahagia. Tak pernah ada pertengkaran di rumah tangga mereka. Sedikit cekcok karena perbedaan prinsip adalah hal biasa. "Mau ke mana, sayang?" tanya Bagus saat melihat Wulan sudah duduk di depan meja rias. Gamis soft pink dengan hijab berwarna senada kian menambah aura kecantikannya. Ya, walau tanpa riasan tebal di wajahnya. Wulan menghentikan gerakan tangan lalu menatap Bagus dari pantulan cermin di hadapannya. "Mau ke rumah Mas, pengen lihat laporan minggu ini. Mas mau ikut?""Boleh, tapi jangan ajak anak-anak ya! Sekali-kali jalan berdua," ucap Bagus seraya mengedipkan matanya. Wulan dan Bagus memang tak memiliki waktu banyak untuk berdua. Memiliki tiga anak membuat pasangan suami istri i

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 3

    "Apa ada yang bernama Wulan dan Diana?" Langkah Rudi terhenti mendengar pertanyaan sang dokter.Sri dan Rika pun saling pandang. Mereka sangat terkejut dengan perkataan dokter itu.Dari mana dokter tahu Wulan dan Diana?Pertanyaan yang sama muncul di pikiran keluarga Wahyu. Dari awal mereka menginjakkan kaki di rumah sakit, tak sekalipun menyebut nama mantan istri dan anak Wahyu."Pasien mengigau dan memanggil nama Wulan dan Diana. Apa mereka keluarga pasien?" jawab dokter seperti dapat membaca pikiran mereka.Semua terdiam, bingung harus menjawab apa? Ingin mengatakan iya tapi takut sang dokter bertanya lebih jauh lagi. Di mana istrinya mungkin? Dan itu akan membuka aib Wahyu."Mereka anak dan mantan istrinya, dok," jawab Sri pelan."Kalau bisa mereka diminta ke mari. Siapa tahu pasien akan cepat sembuh saat mereka datang."Sri hanya mengangguk hingga dokter itu kembali masuk ke ruang IGD.Semua terdiam, Rudi yang hendak mengurus administrasi justru diam di tempat. Seakan ada magne

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 2

    Pov Author"Rika!Rika!" Teriak Sri mengejutkan sangat putri. Dengan berlari Rika menuju sumber suara.Rika kebingungan melihat Sri menangis tersedu di samping Wahyu. Apa Wahyu telah meninggal? Pertanyaan itu yang sempat hadir di benar gadis berambut sepunggung itu."Mas Wahyu kenapa, Bu?" tanya Wulan seraya menyentuh pergelangan tangan sang kakak. Dia memastikan apakah Wahyu masih hidup atau sudah meninggal. Masih terasa denyut nadi. Itu tandanya Wahyu belum dipanggil sang Maha Kuasa."Wahyu tidak bangun-bangun Rik. Ibu takut terjadi apa-apa dengannya. Tolong kamu panggilkan Masmu. Minta dia antarkan Wahyu ke rumah sakit." Rika mengangguk lalu segera menuju kamar untuk menelepon Rudi.Sri menangis melihat tubuh Wahyu yang kian kurus. Setelah menelepon Wulan beberapa minggu yang lalu, Wahyu semakin terpuruk. Rasa menyesal tertancap dalam di sanubari lelaki itu. Tak ada lagi semangat untuk sembuh. Dia terpukul mengetahui wanita yang ia cintai sudah memiliki tambatan hati lain."Semanga

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ekstra Part 1

    Pov Wahyu"Ibu! Ibu!" Suara Mbak Yuli terdengar nyaring hingga menghancurkan gendang telinga. "Ibu!" Teriaknya lagi saat ibu tak kunjung menyahut. Kakak iparku itu memang tak memiliki sopan santun. Berteriak di rumah orang pagi-pagi begini. Kalau aku bisa jalan sudah ku tampar dia. Sayang, aku masih mengandalkan uang Mas Rudy untuk biaya berobat. Kalau aku sudah sembuh dia pasti tidak semena-mena kepada kami. Aku memilih diam dan pura-pura tidur saat mendengar teriakan Mbak Yuli. Melawan Mbak Yuli tak akan pernah ada habisnya. Dia selalu bersikap seolah-olah dia paling benar. Sungguh menyebalkan! BRAAKPintu kamar dibuka kasar dari luar. Mbak Yuli menatap nyalang seraya berkacak pinggang di depan pintu. Niat hati pura-pura tidur gagal karena Mbak Yuli lebih dahulu masuk ke kamar. "Ibu tidak ada, mbak. Mungkin sedang ke warung," jawabku asal karena aku tidak tahu ibu ke mana. Dari bangun tidur aku belum keluar kamar. Jangankan untuk keluar, tubuhku saja sudah tak ada tenaganya, l

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Ending

    Aku dan Mas Bagus diam, bingung harus menjawab apa. Kami hanya melihat Bu Handayani tadi setelah memberikan gaji pada karyawan Mas Rohmad. Setelah itu kami berada di rumah. Kami juga tidak mendengar jeritan orang minta tolong. "Saya sudah mencari ke sekitar rumah. Tapi tetap tidak ada." Pak Abdul menjatuhkan bobot di sofa ruang keluarga. Aku dan Mas Bagus berdiri, ingin duduk tapi tidak ada tempat. "Kita lapor polisi saja, Pak. Jangan pegang apa pun. Siapa tahu ini tindakan kriminal." Pak Abdul mengangguk lalu beranjak berdiri. Kami berjalan meninggalkan rumah Pak Abdul menuju mobil Mas Bagus yang masih terparkir di halaman rumah. Mas Bagus segera berlari ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil dan menitipkan anak-anak kepada Bik Lastri. "Sabar, Pak." Pak Abdul mengangguk dengan pandangan lurus ke depan. "Ayo masuk!" ucap Mas Bagus seraya berlari menuju mobil. Aku dan Pak Abdul segera mengekor. Suara mobil berhenti di jalan depan rumah terdengar saat aku hendak membuka pint

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Menjelang Ending

    "Wulan! Akbar!" Sama-sama terdengar suara orang memanggil namaku dan Akbar bergantian. "Mas dengar orang panggil namaku gak?" Mas Bagus diam seraya mempertajam pendengarannya. Tak berapa lama lelaki itu justru tersenyum ke arahku. "Mas juga dengar," ucapnya seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku hanya memperhatikan sikapnya. "Berarti aku gak salah dengar kan, aku keluar dulu, Mas." Aku beranjak berdiri, sambil membungkukkan badan saat melewati Mas Bagus. "Mau ke mana?" Mas Bagus mencekal tangan kananku. Ku hentikan langkah seraya menatap bingung ke arahnya. "Mau ke depan, tadi ada yang manggil, Mas. Katanya Mas Bagus denger!""Mendekat!" Aku mengernyitkan dahi mendengar perintahnya. Ini aku mau melihat tamu tapi justru diminta mendekat. Namun aku tetap saja melakukannya. Entahlah, ucapan Mas Bagus seakan memiliki magnet hingga aku menurut saja. "Yang manggil itu di sini!" Mas Bagus menyentuh dadanya. Seketika wajahku menjadi merah merona. "Ya jadi merah pipinya, sudah s

  • Bahagia Tanpamu, Mas!    Menuai Apa Yang Ditanam

    "Aw ... Sakit!" teriak Handayani saat kakinya menginjak pecahan vas yang berserakan di atas lantai. Kaki tanpa alas mempermudah kaca itu masuk ke dalam kulitnya. Handayani meringis kesakitan. Darah segar keluar dari kaki kanannya. Seketika lantai keramik berwana putih itu berubah warna menjadi merah merona. Handayani berusaha mencabut pecahan kaca yang masuk ke dalam kulitnya. Satu cabutan membuat darah semakin mengalir banyak. Namun rasa sakit itu belum juga reda. Rupanya tidak hanya satu kaca yang masuk. Ada beberapa kaca kecil yang masuk lebih dalam. Mata tua Handayani tak bisa melihat lebih jelas di mana luka itu berada. "Abdul! Abdul!" Teriak Handayani. Handayani lupa jika suaminya sedang pergi. Dia terus saja berteriak. Namun sampai pita suaranya rusak pun Abdul tidak akan mendengar. Lelaki bertubuh tambun itu sedang menjemput tukang urut yang ada di kampung sebelah. Nahas, motor yang dikendarai Abdul mogok di jalan. Lelaki itu harus mencari bengkel yang letaknya lumayan ja

DMCA.com Protection Status