Indah baru beranjak dari sisi Alif saat Laras menyentuh kedua sisi bahunya. Ia menoleh menampakkan wajah kuyunya. “Mbak Laras …,” ucap Indah dengan suara serak.“Alif mau berangkat,” ucap Laras. “Dan di sana … ada yang mau ketemu kamu.” Laras memandang Panca dan Mayang yang muncul di pintu yang membuat perhatian semua orang tertuju pada mereka.“Oh, kenapa mereka datang? Apa Mas Panca sedih Alif meninggal?” Nada suara Indah terdengar tidak yakin.“Masih ada waktu sedikit,” kata Laras mengingatkan. Tanpa diminta Panca melangkah masuk menghampiri Indah. Panca tiba lebih dulu di dekat Alif sedangkan Mayang mendekat dengan raut takut-takut.“Bayi yang kamu sebut idiot dan cacat sudah meninggal, Mayang. Apa kalau sudah begini kamu bisa lebih tenang karena Mas Panca tidak harus menanggung siapa-siapa?” Suara Indah sangat pelan tapi sangat jelas menusuk Mayang yang sontak mengusap perutnya.Mayang membasahi bibirnya. Tangannya mencari-cari tangan Panca seolah mencari pembelaan.“Jangan biki
Arsya sedikit terperangah. Tidak menyangka dengan pertanyaan yang berani ia sampaikan pada sang ayah, juga tidak menyangka kalau ia akan mendapat jawaban selugas itu. “Oh, bukan, ya?” tiba-tiba Arsya merasa bodoh dan gegabah. Juga sedikit malu. Ia meringis. “Apa benar-benar sudah ingat? Memangnya waktu itu kamu mengantar bunga sampai ke mana?” Ari Subianto mengernyit memandang putranya. “Ingat tempat ini atau ingat Indah?” Lalu bertanya lagi tanpa menunggu Arsya menjawab. “Sewaktu berdiri di pagar itu aku lihat pohon beringin. Dari pintu letaknya sebelah kanan. Lalu … aku ingat mendatangi anak perempuan yang sedang nangis dalam pelukan laki-laki. Aku nggak sempat lihat wajah anak perempuan itu, tapi aku ingat bawa bunga. Lalu ….” Arsya menajamkan ingatannya. Lalu ia terhenyak dan membulatkan mata. “Lalu?” ulang Ari Subianto menunggu ingatan Arsya. “Laki-laki yang memeluk Indah itu Almarhum Pak Hadi. Itu sebabnya di rumah sakit Pak Hadi membelalak sewaktu ketemu aku pertama kali. A
Seharian ini seluruh perhatian Indah hanya tertuju untuk bersama Alif. Semakin dekat waktu pemakaman Alif, rasanya waktu yang dimilikinya semakin sempit. Ia tidak mau meninggalkan Alif barang sedetik pun. Ia mengusap pipi, mencium, memeluk dan berbisik banyak hal di telinga bayinya itu. Hilang sudah satu-satunya orang yang paling ia percaya sebagai tempat bercerita. Seiring dengan kulit Alif yang semakin dingin dalam sentuhannya. Tak ada yang tersisa selain pertanyaan soal kapan ia akan dipertemukan lagi dengan bayinya itu? Akankah di kehidupan setelah kematian ia dan Alif bisa berbincang? Akankah ia bisa melihat Alif tumbuh besar dan berbicara. Waktu terasa terhenti seiring dengan airmatanya yang terus mengalir tak terbendung. Kehadiran Panca pun menjadi perusak suasana berkabungnya. Ia ingin Panca dan Mayang lenyap dari tempat itu. Atau adakah seseorang yang bisa membawa pergi dua makhluk itu dari hadapannya? Kemudian Indah mendengar suara Arsya memotong perkataan Panca dan menol
Ucapan Indah memang terdengar sederhana, tapi nyatanya mampu membuat jantung Arsya berdenyut menyakitkan. Rasa tidak nyaman merambati sekujur tubuhnya. Dahinya mengernyit dan sorot matanya terlihat sedih. Kenapa Indah bisa dengan mudah bicara seperti itu? Apakah kehilangan Alif tidak membuat Indah butuh tempat bersandar? Apa Indah tidak butuh pelukannya?Arsya menelan ludah. “Sebelum kita bicara panjang lebar, Abang mau peluk Indah.”Indah menggeleng. “Nggak perlu. Alif udah pergi dan kurasa aku nggak perlu pelukan. Makasih karena ikut mengantar Alif ke sini.”“Bukan Indah yang perlu pelukan, tapi Abang,” ujar Arsya, semakin mendekati Indah yang beringsut ke pintu kamar.Wajah Indah masih sama datarnya. “Abang bersih-bersih dan istirahat di kamar itu. Atau kalau Abang nggak mau istirahat, setelah bersih-bersih Abang bisa langsung pulang ke Jakarta. Aku rasa nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Semuanya selesai….” Arsya mengabaikan ucapan Indah. Kakinya tetap melangkah dan sepasa
Hanya dengan mengulang perkataan Arsya sudah membuat darah Indah berdesir. Apakah itu hanya sekedar ungkapan? Atau itu makna yang sebenarnya? Nyawa baru?“Kita makan sekarang,” kata Arsya lagi, menggamit lengan Indah dan merangkul bahunya.“Bapak tadi ngomong sesuatu yang…maksudnya apa?” Indah merasa telinganya tidak salah dengar. Tapi mengulangi perkataan Arsya membuat hatinya ngilu. Nyawa baru? Apakah artinya ia hamil? Ia bahkan lupa sudah pernah bercinta dengan Arsya. Ia lupa pernah menyanggupi memulai rumah tangga yang sebenarnya bersama pria itu. Kenapa hari-hari bersama Arsya terasa sudah lama sekali berlalu?“Kita makan malam sekarang,” tegas Arsya. Kali ini tidak menunggu jawaban dari Indah. Setidaknya untuk malam itu Indah harus makan. Keinginannya hanya sesederhana itu dalam situasi yang sebenarnya sangat tidak menentu. Hamparan wadah lauk berwarna-warni yang tadi terlihat lucu sekarang terasa biasa saja. Arsya merasa dirinya sedang menanti sebuah rapat yang akan membahas k
“Indah! Apa maksud kamu?” Arsya memotong langkah Indah dan berdiri di depan pintu kamar untuk memblokir langkah.“Kehamilan ini nggak seharusnya. Ini nggak boleh! Nggak boleh!” pekik Indah. “Aku harus ke dokter sekarang. Minggir,” pinta Indah, menatap sepasang mata Arsya yang menyorot dingin padanya.“Tidak ada yang boleh pergi malam ini.” Arsya menahan lengan Indah.“Kalau gitu lepasin tangan saya dan biarkan saya beristirahat. Saya udah makan malam seperti anjuran Bapak.”Arsya mengembuskan napas panjang. Rautnya hampir frustasi. “In … sikap saya yang mana yang membuat kamu ragu? Apa sikap saya yang terlihat selama ini tidak mencerminkan keseriusan saya? Saya tulis sayang kamu dan Alif. Menjebloskan Panca ke penjara tidak ada hubungannya dengan kamu. Dia bersalah dan dia memang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Meski terlepas dari itu saya memang membenci Panca atas sikapnya pada kamu dan Alif. Tidak ada yang mempengaruhi sikap saya ke kamu. Saya memang sayang kamu, cin
“Bu Anum pasti masih capek. Kenapa nggak tiduran di hotel aja? Apa hotelnya kurang nyaman? Saya nggak bisa pesan kamar mahal karena harus berhemat. Untuk ke depannya … kalau Bu Anum masih mau kerja sama saya, sepertinya gaji Bu Anum kembali ke jumlah yang awalnya kita sepakati. Selama ini saya nggak tahu berapa Pak Arsya membayar Bu Anum perbulan. Kalau buat menyamakan jumlahnya … saya nggak bisa.” Indah meringis memandang Bu Anum yang sedang membereskan bawaan mereka.Untuk saat itu Bu Anum merasa dirinya harus menjadi pendengar yang baik buat Indah. Dibayar atau tidak dibayar, Bu Anum sendiri sebenarnya tidak masalah untuk saat itu. Selama ini Arsya sudah memberinya cukup banyak uang di luar gaji bulanan yang ia terima. Anaknya sudah dewasa dan hidup cukup dengan keluarganya. Ia tidak memiliki seseorang yang terdesak membutuhkan bantuannya selain Indah. Ya. Ia merasa bahwa Indah membutuhkan teman bicara.Menyaksikan Indah merawat Alif dan melewati waktu sulit selama ini membuat kedek
Yeni mengerjap. “Ya, Pak?” Merasa telinganya salah mendengar. Sandiwara gila apa lagi ini? Apa tidak cukup Arsya dan Indah membodohinya selama ini? Apa Arsya memang tidak pernah menganggapnya ada hingga pria itu selalu membutuhkan sekretaris tambahan? “Kamu pasti dengar ucapan saya cukup jelas. Saya tunggu Indah di ruangan,” kata Arsya, meninggalkan Indah lebih dulu untuk kembali masuk ke ruangannya. “Tunggu, Pak. Maksudnya serius?” Yeni kembali menyuarakan isi pikiran tanpa memandang tempat. Lagipula itu benar-benar gila. Arsya dan Indah pasti berkenalan di kantor itu. Dan sekarang Arsya mau sekretaris baru? Apa hubungannya dengan Indah kandas begitu saja? Secepat itu? Arsya terhitung masih pengantin baru dan saat itu keluarga kecilnya baru tertimpa musibah. Kenapa Indah mengundurkan diri? Apa keluarga itu sedang tertimpa masalah selain berdukacita? “Asisten sekretaris kompeten dan cantik?” Yeni sedikit tersinggung. Merasa kalau apa yang disebutkan Arsya barusan sudah ada pada di