“Kamu harus hati-hati sama tetangga. Meski istrimu baru sekali ke sini, tetap aja dia lebih leluasa buat ngobrol sama tetangga.” Mayang menoleh kanan-kiri sebelum keluar dari barisan kursi paling belakang. “Aku lapar, Ca. Kamu udah makan? Kalau belum sekalian pesan makan, gih.” Bicaranya masih berbisik-bisik dan langsung masuk melalui pintu belakang rumah tanpa berani menoleh mana-mana. “Makannya boleh ditunda? Habis begituan aja ya …. Aku kangen banget. Dari kemarin kebayang terus.” Mayang menepuk lengan Panca. “Baru sehari nggak ketemu. Dan tiap ketemu pasti begituan. Masih kangen aja.” Panca meremas pinggang Mayang yang berbalut rok span sebatas lutut. Kerinduannya pada Mayang memang menggebu-gebu. Sekian tahun terpaksa berpisah dan akhirnya bisa bertemu di satu gedung perkantoran membuat Panca berjanji tak akan melepaskan wanita itu lagi. Baginya Mayang adalah wanita yang sejak dulu harusnya ia lindungi. Banyak perasaan bersalahnya pada Mayang. Panca meletakkan kunci mobil dal
"Pokoknya aku mau kita tinggal satu kota lagi. Satu rumah. Suami istri apa yang tinggalnya berjauhan padahal kita bisa mengusahakan tinggal serumah. Mas Panca, kan, bukan pelaut yang pergi berlayar berbulan-bulan. Harusnya Mas senang kita bakal tinggal serumah lagi. Bukannya malah kesal gitu. Kita masih pengantin baru, Mas. Hamil usia empat bulan begini aku kepengin dimanja-manja kayak temanku." Indah bicara di telepon sambil mondar-mandir membuka lemari dan memilih-milih pakaian yang akan dimasukkannya ke koper ukuran kabin. Di seberang telepon suara napas Panca mengembus kasar. "Kamu tuh kapan, sih, percaya dengan yang aku bilang? Kamu kira aku asal ngambil keputusan? Aku baru tiga bulan tugas di kota ini dan itu belum permanen. Belum keluar SK Penempatan Definitif. Belum tetap, In! Kalau kamu udah nyampe sini dan aku dikembalikan lagi gimana? Bolak-balik ke sana kemari itu perlu uang banyak. Aku nggak mau dikit-dikit kita minta orang tua kamu. Mereka sudah habis banyak untuk rumah
Panca menyingkirkan tangan Indah yang sudah menyusup dan menyentuh kelelakiannya. “Apa, sih? Aku bilang aku ngantuk.” “Ngantuknya segimana banget sampai kayak nggak nafsu sama istri. Laki-laki normal harusnya nggak gitu. Disentuh pasti ngaruh. Apalagi udah lama nggak ketemu istri.” Indah tersinggung dengan penolakan Panca. Lagi-lagi air matanya hampir jatuh. Tapi kali itu ia tidak malu lagi menunjukkan kesedihannya di depan Panca. Ia sudah terlampau sering menangis di depan pria itu. Panca duduk dan membetulkan pakaiannya. “Kamu tahu apa, sih, soal capek kerja? Kamu nggak pernah kerja, kan? Lulus dari universitas di luar negeri kamu nggak pernah pakai ijazah kamu buat ngelamar kerja dan makan gaji. Kamu udah nerima privilege sebagai anak tunggal yang mana semua uang orang tua kamu adalah milik kamu. Kita beda. Aku memulai semuanya sendiri dari nol.” Panca berdecak kesal dan wajahnya semakin kesal ketika melihat Indah hampir menangis. “Bisa banget Mas ngomong gitu. Perkara capek ker
Mual muntah di awal kehamilan membuat berat badan Indah hampir tidak mengalami kenaikan. Tubuhnya masih kecil mungil seperti gadis. Acara malam yang sudah ia bayangkan akan menjadi waktu melakukan romantisme pengantin baru menguap begitu saja. Ia membutuhkan pakaian masuk ke club secepatnya.“Ada diskon, kan? Saya lihat di banner depan.” Indah menunjuk banner yang menawarkan potongan harga cukup lumayan. Untuk kebutuhan sehari-hari saja ia masih dijatah Panca, jadi pengeluaran pakaian ke klub tentu tidak masuk dalam perhitungannya.Indah membeli satu dress dengan harga cukup murah. Dress selutut dengan harga yang dulu dengan mudah dibelinya tanpa harus menunggu diskon.‘Mas Panca pulang jam berapa? Malam ini aku kepengin makan bareng.’Sekali lagi Indah memastikan jawaban Panca dengan mengirimkan pesan untuk keempat kalinya. Besar sekali harapannya Panca akan membalas dengan ucapan manis. Nyatanya jauh dari harapan.‘Belum berubah, In. Aku ada acara kantor. Kamu makan sendiri aja. Pok
“Mas Panca! Nggak boleh gini! Bayi kita bisa bahaya. Sakit…ini sakit.” Indah terus mendorong tubuh Panca agar menjauh. Kenyataannya tenaga pria itu jauh lebih kuat. Panca berhasil menurunkan pakaian dalamnya dan menekan bagian bawah tubuh mereka. Indah menangis. “Kamu jahat banget, Mas. Nggak boleh kayak gini. Ini sakit ….” Bukan hanya bagian tubuhnya yang sakit karena sebuah paksaan yang tiba-tiba. Panca baru saja merobek harga dirinya sampai ke bentuk serpihan.Panca menekan tubuhnya dengan paksaan dan gerakan kasar. Meringis dengan napas kasar beraroma alkohol. Mengabaikan rintihan Indah yang berusaha mengatupkan pahanya berkali-kali.“Aku akan mengobati rasa kangen yang kamu sebut-sebut itu.” Panca terus memacu tubuhnya. Indah memang merindukan Panca. Dua bulan terakhir bahkan mereka tidak pernah bicara lagi saat di ranjang. Kalau bukan Indah yang tertidur lebih dulu, maka Panca yang ketiduran. Walau sebelumnya mereka memang tidak terlalu akrab, tapi Indah merasa waktu sebelum t
Tentu saja Indah takut saat tangannya pelan-pelan membuka pengait pagar. Bukan hanya takut akan kemurkaan Panca jika tertangkap basah melakukan kesalahan. Indah takut bahwa hubungannya dengan Panca akan semakin sulit membaik.Indah menelan ludah. Belum apa-apa tangannya sudah basah oleh keringat. Halaman kecil yang gelap membuat Indah lumayan terlindung karena kegelapan. Tak terlampau khawatir dilihat tetangga. Atau jangan-jangan selama ini para tetangga mengenali nyonya rumah yang lain? Dada Indah bergemuruh karena luka hati yang sedang ia dekati.Nyaris tanpa suara Indah memasukkan kunci ke lubang dan memutarnya dengan napas tertahan. Dari luar tadi ia memang sudah menebak kalau lampu ruang tamu tidak dinyalakan. Saking buru-burunya mau bermesraan sampai semua lampu pun tak sempat dinyalakan, pikirnya.Rumah kontrakan itu tidak luas. Walau letaknya berada di dalam komplek cluster cukup bagus, rumah yang disewa Panca kamarnya hanya dua. Mereka menjadikan kamar paling depan tempat mel
Kalau soal kesendirian, Indah sudah sangat berpengalaman. Umurnya baru 13 tahun saat ditinggal mati ibu kandung. Sama sekali belum mengerti bisa sejahat apa realita kehidupan padanya.“Ibu kamu adalah malaikat. Jangan terlalu lama menangis meski kamu sangat cantik sewaktu menangis.”Itu adalah dua baris kalimat yang mengisi ingatan Indah di hari kehilangan ibunya. Selebihnya, kenangan akan sosok wanita yang melahirkannya itu tersimpan dalam potongan-potongan pendek tentang ruang tunggu dan ranjang rumah sakit.Selama setahun Indah banyak menghabiskan waktunya sendirian. Menjalani masa awal remaja dengan banyak bertanya pada guru, teman dan seorang wanita yang kemudian menjadi ibu tirinya. Indah memanggilnya Mama Lina.Mama Lina menjadi sosok kedua yang sangat Indah percaya selain papanya. Wanita yang menikah dalam keadaan gadis dan tidak bisa memiliki anak karena suatu hal. Jadilah sosok Mama Lina menjadi teman Indah. Sosok yang karenanya membuat Indah mengenal Panca.Desingan ingatan
“Apa, Mas?” Indah mengira sering tidur dan bangun dalam jangka waktu pendek-pendek membuat indera pendengarannya menjadi kurang tajam. Walau muak melihat Mayang kembali masuk ke rumahnya, Indah memilih mengabaikan wanita itu dan penasaran apa Panca memang benar-benar mengabaikan haknya sebagai istri.“Aku bawa Mayang ke sini. Kami berdua tidur di kamar sebelah. Setidaknya untuk malam ini.” Panca yang basah kuyup terlihat menggigil dalam remang ruang keluarga. Indah memang sudah mematikan seluruh lampu kecuali lampu kamar dan dapur.“Kalian belum menikah, Mas.”“Aku udah menikahi Mayang secara siri. Tiga minggu yang lalu. Maaf kurasa untuk itu aku nggak perlu izin kamu.” Panca masih menggenggam tangan Mayang yang membisu di sebelahnya.“Tiga minggu yang lalu itu adalah waktu aku melahirkan Alif. Kurasa perempuan ini mengamuk karena kelahiran Alif dia anggap menjadi pengganggu. Dia lalu menangis meratapi nasibnya sampai kamu kasihan dan langsung menikahinya secara siri, kan?” Indah ber-