“Kamu harus hati-hati sama tetangga. Meski istrimu baru sekali ke sini, tetap aja dia lebih leluasa buat ngobrol sama tetangga.” Mayang menoleh kanan-kiri sebelum keluar dari barisan kursi paling belakang. “Aku lapar, Ca. Kamu udah makan? Kalau belum sekalian pesan makan, gih.” Bicaranya masih berbisik-bisik dan langsung masuk melalui pintu belakang rumah tanpa berani menoleh mana-mana.
“Makannya boleh ditunda? Habis begituan aja ya …. Aku kangen banget. Dari kemarin kebayang terus.”Mayang menepuk lengan Panca. “Baru sehari nggak ketemu. Dan tiap ketemu pasti begituan. Masih kangen aja.”Panca meremas pinggang Mayang yang berbalut rok span sebatas lutut. Kerinduannya pada Mayang memang menggebu-gebu. Sekian tahun terpaksa berpisah dan akhirnya bisa bertemu di satu gedung perkantoran membuat Panca berjanji tak akan melepaskan wanita itu lagi. Baginya Mayang adalah wanita yang sejak dulu harusnya ia lindungi. Banyak perasaan bersalahnya pada Mayang.Panca meletakkan kunci mobil dalam bokor kuningan di sebelah televisi. Satu tangannya yang lain menenteng tas Mayang. “Dari kemarin Indah ngotot mau datang ke sini. Belum aku bolehin.” Ia merangkul Mayang dan membawa wanita itu ke kamar.Mayang mencebik. “Aku nggak mau kamu kayak gitu ke Indah. Semakin kamu menghalangi dia datang, dia pasti bakal semakin ngotot. Aku nggak mau kamu ribut besar. Aku mau ngejaga kamu, Ca.”Panca mencampakkan tas Mayang ke ranjang. “Nggak bakal ribut besar. Indah itu cinta banget sama aku. Dia naksir aku belasan tahun. Dan kamu tahu sendiri kalau aku menikahi Indah semua karena kesalahan kamu juga.” Panca meraih pinggang Mayang dan menekan tubuh mereka. Panca menangkup wajah Mayang dan menatap mata wanita itu lekat-lekat. “Aku selalu cinta kamu, Mayang. Andai kamu dulu nggak menerima perjodohan itu kita pasti udah jadi suami-istri sekarang. Bisa jadi kita udah punya anak banyak. Kamu nggak menyesal ninggalin aku?” Bibir Panca sudah bersentuhan dengan Mayang karena saat itu jarak mereka tak lebih dari sesenti.Mulut Mayang setengah terbuka. Bersiap kalau-kalau Panca melumat bibirnya. Tapi ternyata pria itu sedang mengulur waktu dengan menceritakan masa lalu.Akhirnya Mayang harus mengatakan sesuatu untuk menyudutkan Panca dengan rasa bersalah, “Aku enggak menyesal. Aku jadi tahu sosok Panca itu seperti apa. Dia cuma pria yang merenggut keperawananku dan langsung menikah dengan perawan lainnya sebegitu aku dijodohkan. Kamu nggak pernah ngerasa bersalah? Aku ditinggalkan pria yang baru sebulan menjadi suamiku karena aku nggak perawan lagi. Dan kamu nggak pernah mau repot nyari aku untuk sekedar nanya kenapa aku mau dijodohin.” Mayang membusungkan dada.Panca menyusurkan ujung lidahnya di sepanjang bibir Mayang. “Kita udah bahas ini belasan kali sejak beberapa bulan yang lalu. Sejak aku mengusahakan untuk pindah ke Jakarta biar kita bisa dekat, sejak itu pula kamu harus tahu kalau aku selalu berusaha untuk hubungan kita.” Dengan tangan masih menangkup wajah Mayang, Panca melumat bibir wanita itu dengan rakus. Rakus dan cepat. Sampai ketika ciuman itu usai membuat wajah mereka langsung memerah.Tatapan sayu Mayang menaut ke sepasang mata Panca yang menatapnya tajam. Panca memang tampan dan selalu membuatnya luluh. Meninggalkan Panca bukanlah kemauannya. Ia harus mengiyakan permintaan ibunya karena sebuah janji antar orang tua yang sulit ditampik. Pria itu anak teman akrab ayahnya dan ada setumpuk hutang masa lalu para orang tua yang harus ia tebus. Dan kini, orang tuanya menelan rasa malu yang begitu besar setelah perceraiannya.Ternyata karma itu tidak perlu menunggu lama. Panca; pria yang bertahun-tahun menjalin hubungan dengannya juga menerima perjodohan dan menikahi wanita lain. Sayangnya, Panca tidak mencampakkan istrinya karena tidak perawan. Istri Panca malah hamil anak pertama. Nama istri Panca adalah Indah. Sosok yang sangat ia benci karena mengandung benih pria yang ia cintai. Tapi rasanya tak mungkin terlalu terang-terangan menyatakan kebencian itu. Ia mencoba kembali merebut kepercayaan dengan meyakinkan pria itu bahwa mereka memang diciptakan untuk satu sama lain.Di rumah itu, di kamar Panca dan istrinya, Mayang sudah bercinta puluhan kali bersama mantan kekasihnya itu. Mereka bercinta di hotel hanya ketika istri Panca datang berkunjung.Kadang Mayang pulang setelah menghabiskan minimal dua sesi bercinta bersama Panca. Kadang kalau dua sesi bercinta tak cukup, ia menginap untuk bercinta semalam suntuk di akhir pekan. Mereka berdua pernah terjaga sampai dini hari dengan lutut bergetar. Untuk Panca, hasrat bercinta Mayang selalu ada.“Aku laper,” kata Mayang.Napas Panca sudah memburu dan makan malam bukan menjadi prioritasnya saat itu. Ia kembali menciumi Mayang dengan rakus dan membopong wanita itu ke ranjang. Waktu-waktu yang lalu pun begitu. Mereka selalu membuka pertemuan dengan bercinta. Panca mengabaikan ucapan Mayang soal makan malam. Ia malah membuka kancing kemeja wanita itu dan membenamkan wajahnya di cekungan dada Mayang setelah berhasil melepaskan semua penghalang.Panca menyergap Mayang dengan rakus dan posesif. Tak membiarkan ada waktu dan celah yang tersisa malam itu. Setiap Mayang mengungkap soal masa lalu ia selalu dikepung rasa bersalah. Mayang menjadi seorang janda karenanya. Setiap memikirkan hal itu pun membuat Hasratnya semakin membuncah. Ia menggumuli Mayang bak orang kesetanan. Staminanya tumpah ruah dan tak pernah cukup hanya sekali. Seperti malam itu ia sudah menggenangi Mayang dengan kehangatan pertama kali dan akan melanjutkan untuk kenikmatan kedua yang tak sabar dicecapnya ketika dering telepon mengganggu sesi bercinta itu.“Istri kamu ya?” tanya Mayang. Wajahnya langsung cemberut. Panca sedang berada di atas tubuhnya dan pria itu baru saja akan kembali memulai. “Jawab sekarang, Ca. Kasian kalau Indah harus nunggu.” Padahal dalam hatinya menginginkan Panca terus melanjutkan permainan mereka. Tak disangka Panca langsung melepaskan kelekatan mereka. Membuat ia terhenyak dan spontan mendorong tubuh pria itu. Panca menegakkan diri dan berjalan menjauhi ranjang masih dengan kondisi tak berbusana. Ia melengos dan ikut bangkit dari ranjang untuk masuk ke kamar mandi. Lapar yang tadi hilang kembali datang.“Halo? Ya? Mau ke Jakarta malam ini? Jangan ngaco, deh. Ini udah malam, In. Kamu lagi hamil. Apa, sih? Tiba-tiba keras kepala gitu.”Suara Panca terdengar jelas dari dalam kamar mandi. Mayang menoleh punggung Panca yang sekarang duduk di tepi ranjang masih dengan kondisi yang sama. Pelan-pelan ia menutup pintu kamar mandi dan mulai membersihkan sesuatu yang ditumpahkan Panca dalam tubuhnya. Malam itu ia sepertinya tidak mungkin menginap meski disayangkan karena besok adalah akhir pekan.Mayang sedikit jengkel. Ia memilih satu sikat gigi yang ia tahu siapa pemiliknya.“Aku pulang, ya,” ucap Mayang saat melihat Panca masuk ke kamar mandi dengan lilitan handuk. Sepertinya sudah selesai bertelepon dengan istrinya. Tak tahu apa hasil bertelepon itu.Panca tak menjawab perkataan Mayang. Malah mengangkat wanita itu ke wastafel dan memeluknya erat-erat. “Aku sayang kamu, Yang. Aku cinta.” Panca mengecup lembut leher Mayang dan menyusurkan lidahnya.“Jangan lagi, Ca. Istri kamu sebentar lagi datang. Kamu harus menyiapkan stamina buat dia. Istri kamu pasti kangen disentuh. Bagaimana pun … dia masih punya suami. Beda dengan aku. Aku dicampakkan. Aku adalah wanita yang dicampakkan suaminya hanya dalam waktu satu bulan pernikahan.” Air mata Mayang mulai menetes.Panca kembali menangkup wajah Mayang dan menciumnya. Kali ini tidak tergesa-gesa. Mayang masih terisak dan ia ikut mencecap rasa asinnya. “Jangan nangis …,” kata Panca. “Aku nggak bisa lihat kamu nangis.”“Istri kamu bakal datang, kan? Malam ini? Aku mau pulang.” Mayang berusaha melompat turun dari wastafel. Panca menahannya hanya dengan sedikit tenaga.Mayang sudah membayangkan bahwa Panca akan menghabiskan malam itu bersama istrinya. Ia semakin terisak karena merasa sangat perlu meyakinkan sesuatu.“Setiap kali Indah menelepon hatiku seperti ditusuk-tusuk,” ucap Mayang sedih.Dering ponsel kembali terdengar. Panca mengerling pintu kamar mandi yang sedikit terbuka, lalu melihat air mata sedih mantan kekasihnya.“Sudahlah … abaikan telepon itu. Malam ini dia nggak mungkin datang.” Panca menyusupkan pinggulnya di antara kaki Mayang dan memeluk erat wanita itu.-TBC-"Pokoknya aku mau kita tinggal satu kota lagi. Satu rumah. Suami istri apa yang tinggalnya berjauhan padahal kita bisa mengusahakan tinggal serumah. Mas Panca, kan, bukan pelaut yang pergi berlayar berbulan-bulan. Harusnya Mas senang kita bakal tinggal serumah lagi. Bukannya malah kesal gitu. Kita masih pengantin baru, Mas. Hamil usia empat bulan begini aku kepengin dimanja-manja kayak temanku." Indah bicara di telepon sambil mondar-mandir membuka lemari dan memilih-milih pakaian yang akan dimasukkannya ke koper ukuran kabin. Di seberang telepon suara napas Panca mengembus kasar. "Kamu tuh kapan, sih, percaya dengan yang aku bilang? Kamu kira aku asal ngambil keputusan? Aku baru tiga bulan tugas di kota ini dan itu belum permanen. Belum keluar SK Penempatan Definitif. Belum tetap, In! Kalau kamu udah nyampe sini dan aku dikembalikan lagi gimana? Bolak-balik ke sana kemari itu perlu uang banyak. Aku nggak mau dikit-dikit kita minta orang tua kamu. Mereka sudah habis banyak untuk rumah
Panca menyingkirkan tangan Indah yang sudah menyusup dan menyentuh kelelakiannya. “Apa, sih? Aku bilang aku ngantuk.” “Ngantuknya segimana banget sampai kayak nggak nafsu sama istri. Laki-laki normal harusnya nggak gitu. Disentuh pasti ngaruh. Apalagi udah lama nggak ketemu istri.” Indah tersinggung dengan penolakan Panca. Lagi-lagi air matanya hampir jatuh. Tapi kali itu ia tidak malu lagi menunjukkan kesedihannya di depan Panca. Ia sudah terlampau sering menangis di depan pria itu. Panca duduk dan membetulkan pakaiannya. “Kamu tahu apa, sih, soal capek kerja? Kamu nggak pernah kerja, kan? Lulus dari universitas di luar negeri kamu nggak pernah pakai ijazah kamu buat ngelamar kerja dan makan gaji. Kamu udah nerima privilege sebagai anak tunggal yang mana semua uang orang tua kamu adalah milik kamu. Kita beda. Aku memulai semuanya sendiri dari nol.” Panca berdecak kesal dan wajahnya semakin kesal ketika melihat Indah hampir menangis. “Bisa banget Mas ngomong gitu. Perkara capek ker
Mual muntah di awal kehamilan membuat berat badan Indah hampir tidak mengalami kenaikan. Tubuhnya masih kecil mungil seperti gadis. Acara malam yang sudah ia bayangkan akan menjadi waktu melakukan romantisme pengantin baru menguap begitu saja. Ia membutuhkan pakaian masuk ke club secepatnya.“Ada diskon, kan? Saya lihat di banner depan.” Indah menunjuk banner yang menawarkan potongan harga cukup lumayan. Untuk kebutuhan sehari-hari saja ia masih dijatah Panca, jadi pengeluaran pakaian ke klub tentu tidak masuk dalam perhitungannya.Indah membeli satu dress dengan harga cukup murah. Dress selutut dengan harga yang dulu dengan mudah dibelinya tanpa harus menunggu diskon.‘Mas Panca pulang jam berapa? Malam ini aku kepengin makan bareng.’Sekali lagi Indah memastikan jawaban Panca dengan mengirimkan pesan untuk keempat kalinya. Besar sekali harapannya Panca akan membalas dengan ucapan manis. Nyatanya jauh dari harapan.‘Belum berubah, In. Aku ada acara kantor. Kamu makan sendiri aja. Pok
“Mas Panca! Nggak boleh gini! Bayi kita bisa bahaya. Sakit…ini sakit.” Indah terus mendorong tubuh Panca agar menjauh. Kenyataannya tenaga pria itu jauh lebih kuat. Panca berhasil menurunkan pakaian dalamnya dan menekan bagian bawah tubuh mereka. Indah menangis. “Kamu jahat banget, Mas. Nggak boleh kayak gini. Ini sakit ….” Bukan hanya bagian tubuhnya yang sakit karena sebuah paksaan yang tiba-tiba. Panca baru saja merobek harga dirinya sampai ke bentuk serpihan.Panca menekan tubuhnya dengan paksaan dan gerakan kasar. Meringis dengan napas kasar beraroma alkohol. Mengabaikan rintihan Indah yang berusaha mengatupkan pahanya berkali-kali.“Aku akan mengobati rasa kangen yang kamu sebut-sebut itu.” Panca terus memacu tubuhnya. Indah memang merindukan Panca. Dua bulan terakhir bahkan mereka tidak pernah bicara lagi saat di ranjang. Kalau bukan Indah yang tertidur lebih dulu, maka Panca yang ketiduran. Walau sebelumnya mereka memang tidak terlalu akrab, tapi Indah merasa waktu sebelum t
Tentu saja Indah takut saat tangannya pelan-pelan membuka pengait pagar. Bukan hanya takut akan kemurkaan Panca jika tertangkap basah melakukan kesalahan. Indah takut bahwa hubungannya dengan Panca akan semakin sulit membaik.Indah menelan ludah. Belum apa-apa tangannya sudah basah oleh keringat. Halaman kecil yang gelap membuat Indah lumayan terlindung karena kegelapan. Tak terlampau khawatir dilihat tetangga. Atau jangan-jangan selama ini para tetangga mengenali nyonya rumah yang lain? Dada Indah bergemuruh karena luka hati yang sedang ia dekati.Nyaris tanpa suara Indah memasukkan kunci ke lubang dan memutarnya dengan napas tertahan. Dari luar tadi ia memang sudah menebak kalau lampu ruang tamu tidak dinyalakan. Saking buru-burunya mau bermesraan sampai semua lampu pun tak sempat dinyalakan, pikirnya.Rumah kontrakan itu tidak luas. Walau letaknya berada di dalam komplek cluster cukup bagus, rumah yang disewa Panca kamarnya hanya dua. Mereka menjadikan kamar paling depan tempat mel
Kalau soal kesendirian, Indah sudah sangat berpengalaman. Umurnya baru 13 tahun saat ditinggal mati ibu kandung. Sama sekali belum mengerti bisa sejahat apa realita kehidupan padanya.“Ibu kamu adalah malaikat. Jangan terlalu lama menangis meski kamu sangat cantik sewaktu menangis.”Itu adalah dua baris kalimat yang mengisi ingatan Indah di hari kehilangan ibunya. Selebihnya, kenangan akan sosok wanita yang melahirkannya itu tersimpan dalam potongan-potongan pendek tentang ruang tunggu dan ranjang rumah sakit.Selama setahun Indah banyak menghabiskan waktunya sendirian. Menjalani masa awal remaja dengan banyak bertanya pada guru, teman dan seorang wanita yang kemudian menjadi ibu tirinya. Indah memanggilnya Mama Lina.Mama Lina menjadi sosok kedua yang sangat Indah percaya selain papanya. Wanita yang menikah dalam keadaan gadis dan tidak bisa memiliki anak karena suatu hal. Jadilah sosok Mama Lina menjadi teman Indah. Sosok yang karenanya membuat Indah mengenal Panca.Desingan ingatan
“Apa, Mas?” Indah mengira sering tidur dan bangun dalam jangka waktu pendek-pendek membuat indera pendengarannya menjadi kurang tajam. Walau muak melihat Mayang kembali masuk ke rumahnya, Indah memilih mengabaikan wanita itu dan penasaran apa Panca memang benar-benar mengabaikan haknya sebagai istri.“Aku bawa Mayang ke sini. Kami berdua tidur di kamar sebelah. Setidaknya untuk malam ini.” Panca yang basah kuyup terlihat menggigil dalam remang ruang keluarga. Indah memang sudah mematikan seluruh lampu kecuali lampu kamar dan dapur.“Kalian belum menikah, Mas.”“Aku udah menikahi Mayang secara siri. Tiga minggu yang lalu. Maaf kurasa untuk itu aku nggak perlu izin kamu.” Panca masih menggenggam tangan Mayang yang membisu di sebelahnya.“Tiga minggu yang lalu itu adalah waktu aku melahirkan Alif. Kurasa perempuan ini mengamuk karena kelahiran Alif dia anggap menjadi pengganggu. Dia lalu menangis meratapi nasibnya sampai kamu kasihan dan langsung menikahinya secara siri, kan?” Indah ber-
Panca bingung harus apa lebih dulu. Suara Indah membuat ia mendorong Mayang menjauh dan meraih bantal sofa untuk menutup bagian tubuh yang hasratnya hampir terpenuhi sore itu.“Kamu gila, ya? Nggak bisa ketuk pintu apa?” Kata-kata Panca cukup kasar, tapi tidak dengan sorot matanya yang berpindah dari Alif yang begitu mungil dalam gendongan dan wajah Indah yang sangat tenang.“Kenapa aku harus ketuk pintu kalau seluruh isi rumah ini merupakan hak untuk mataku. Kenapa?” Indah balik bertanya.“Dia makin pintar ngomong sekarang.” Mayang ikut menimpali sambil memasukkan kepala ke dress satin yang ia gunakan untuk tidur kemarin. Dress satin putih dengan tali tipis di bahu. Saking tipisnya bahan dress itu, puting Mayang tergambar jelas. Kulitnya yang eksotis membuat lingkaran puncak itu lebih gelap.Indah membuka mata untuk melihat penampilan Mayang lebih jelas. Begitulah selera Panca, pikirnya. Wanita tinggi langsing bak model. Yang di rumah jarang mengenakan pakaian dalam.“Ada satu resep