Mual muntah di awal kehamilan membuat berat badan Indah hampir tidak mengalami kenaikan. Tubuhnya masih kecil mungil seperti gadis. Acara malam yang sudah ia bayangkan akan menjadi waktu melakukan romantisme pengantin baru menguap begitu saja. Ia membutuhkan pakaian masuk ke club secepatnya.
“Ada diskon, kan? Saya lihat di banner depan.” Indah menunjuk banner yang menawarkan potongan harga cukup lumayan. Untuk kebutuhan sehari-hari saja ia masih dijatah Panca, jadi pengeluaran pakaian ke klub tentu tidak masuk dalam perhitungannya.
Indah membeli satu dress dengan harga cukup murah. Dress selutut dengan harga yang dulu dengan mudah dibelinya tanpa harus menunggu diskon.
‘Mas Panca pulang jam berapa? Malam ini aku kepengin makan bareng.’
Sekali lagi Indah memastikan jawaban Panca dengan mengirimkan pesan untuk keempat kalinya. Besar sekali harapannya Panca akan membalas dengan ucapan manis. Nyatanya jauh dari harapan.
‘Belum berubah, In. Aku ada acara kantor. Kamu makan sendiri aja. Pokoknya aku usahakan pulang cepat malam ini meski kayaknya berat.’
Selepas Maghrib dan harusnya ia berbaring meluruskan kaki di ranjang seraya menanti suaminya pulang kerja. Nyatanya kunjungannya ke Jakarta malah berubah menjadi inspeksi dadakan. Indah sudah selesai berdandan dan mengenakan dress yang ia beli. Berdiri di depan cermin lemari dan mengusap perutnya.
“Gimana kalau malam ini Mama menemukan sesuatu yang kita nggak suka? Apa kita bisa memaafkan Papa?” Indah menatap cermin.
Tentu saja batinnya tidak siap. Tapi Indah merasa harus menemukan hal yang begitu disukai Panca di luar rumah. Dalam perjalanan menuju hotel tujuannya Indah menyusun alasan kalau-kalau Panca malah pulang lebih awal dan mendapatinya tidak di rumah.
“Pesan meja untuk berapa orang?” Seorang pria langsung mendatangi Indah sebegitu kakinya tiba di pintu masuk.
Indah pernah beberapa kali pergi ke klub di Singapura zaman ia masih duduk di bangku kuliah. Pengetahuan soal klub di ibukota malah nol. Belum pernah sama sekali.
“Meja untuk dua orang,” kata Indah pada paham pria. Bergidik membayangkan dirinya akan didatangi orang asing kalau duduk seorang diri, Indah memutuskan memesan semuanya untuk dua orang. Ia langsung membalik-balik menu dan memesan minuman yang biasa diminum pria.
“Pacarnya nyusul ya, Mbak? Nggak mau sekalian ambil paket untuk tengah malam? Ada show two in one. Yang bawa pacar biasa suka nonton.”
Sebenarnya Indah tidak mengerti show apa yang ditawarkan pelayan pria itu. Ia mengiyakan tanpa bertanya soal harga. Alhasil dadanya sedikit sesak saat melihat harga show yang dikenakan untuk dua orang. Katanya terbatas dan cuma orang pilihan yang ditawarkan menonton show itu.
“Minumannya saya taruh di sini ya, Mbak. Pacarnya belum datang juga ya?” Pelayan pria menyusun minuman di depan Indah.
Dengan mata yang terus mencari di mana Panca, Indah menjawab acuh tak acuh. “Sebentar lagi pacar saya datang. Minuman saya taruh di situ aja.”
Menuju pukul sepuluh malam Indah merasa dirinya bagai pecundang. Tengah hamil empat bulan dan duduk terkantuk-kantuk di dalam klub yang musiknya memekakkan telinga. Ia meminta maaf berkali-kali pada bayinya.
Menjelang pukul sebelas Indah hampir saja menyerah. Tidak ada penampakan Panca membuatnya sedikit menyesal karena uang yang ia habiskan malam itu dan menyesal karena pikiran buruknya pada sang suami. Namun suara seorang DJ pria yang mengumumkan pertunjukan two in one menarik perhatiannya ke satu sudut gelap yang sejak tadi luput dari pantauannya.
Indah mengenali siluet tubuh seorang pria yang sedang berdiri memeluk pinggang wanita. Sontak ia merasa jantung memukul-mukul dadanya.
“Dan sebagai puncak acara malam ini …. Pertunjukan yang ditunggu setiap malam. Hanya untuk orang-orang pilihan. Buat yang belum memesan show silakan menuju meja kasir atau silakan menuju sisi timur club untuk memisahkannya diri dari pertunjukan yang sebentar lagi dimulai.”
Puluhan kepala yang duduk di ruangan gelap sarat musik dan aroma alkohol riuh bertepuk tangan. Semua melongok ke panggung. Bersorak-sorai menyambut dua penari wanita dan seorang penari pria yang berbusana setengah telanjang. Hanya Indah yang sibuk mengawasi seorang pria yang hampir yakin dikenalnya sebagai Panca.
“Mas Panca …,” gumam Indah dengan mata memanas. Ia memalingkan wajah dari pemandangan yang membuat hatinya bergemuruh. Bergidik memandang pria yang ia cintai menyentuh tubuh wanita lain dengan gerakan yang sangat liar. Panca sangat menikmati meremas pinggul dan bokong wanita di depannya.
Bertahan dengan pertunjukan yang memprovokasi syahwat ditambah sosok Panca yang setengah mabuk menempeli tubuh wanita membuat Indah dengan cepat mual di tempat itu. Ketahanan dirinya mulai runtuh. Ia meninggalkan meja dan berjalan keluar klub.
Di luar, Indah menelepon Panca berkali-kali namun tak ada satu pun panggilannya dijawab. Air mata kesedihan dengan cepat berganti dengan raut emosi. “Berarti selama ini selalu kayak gini. Setiap pulang dini hari beralasan sibuk pasti begini. Kayaknya harus dipanggil ke dalam.” Indah meremas ponsel di tangannya dan melangkah masuk. Langsung menuju sudut tempat di mana tadi Panca berada.
“Gimana, Mbak? Pacarnya sudah datang?” Pelayan yang dari pertama melayani Indah bertanya di dekat pintu masuk. Namun, wanita itu mengabaikannya.
Penglihatan Indah yang buram karena air mata membuatnya tidak melihat orang lain, selain Panca.
“Mas,” panggil Indah pada sosok Panca. Suaranya hilang ditelan hiruk-pikuk musik dan gemuruh suara manusia bersorak untuk penari two in one. Panca masih asyik tertawa dengan satu tangan memeluk pinggang wanita dan tangan lainnya memegang gelas minuman.
Indah mendekat seraya mengusap air matanya. Sosok Panca semakin jelas tapi pria itu membelakanginya. “Mas!” jerit Indah.
Beberapa orang pria di sekitar meja Panca menoleh ke arah Indah bersamaan. Termasuk Panca yang sontak melepaskan wanita yang sedang ia peluk. Indah mulai menangis dengan tangan memegangi perutnya. “Mas Panca …,” panggil Indah.
“Indah! Ngap—Berengsek,” umpat Panca, mendatangi Indah dan menyeret wanita itu keluar. “Rese ya kamu! Ngapain kamu ke sini? Perempuan hamil mana yang masuk klub? Ngapain, sih? Norak!”
Dengan air mata berurai Indah menghempaskan tangan Panca yang menggandengnya. “Berengsek? Rese? Norak? Apa lagi? Suami mana yang nggak pernah ada di rumah tiap istrinya ada di rumah? Siapa perempuan tadi? Siapa?!” Indah tak bisa menahan dirinya untuk tidak menjerit.
Panca membekap mulut Indah karena khawatir pertengkarannya menarik perhatian.
“Lepasin!” pekik Indah, kembali menghempaskan tangan Panca dari mulutnya. “Siapa perempuan tadi? Siapa? Panggil dia keluar atau aku masuk ke dalam!”
“Jangan rese! Di dalam banyak orang kantor. Perempuan tadi bukan siapa-siapa. Cuma orang klub. Dia kerja di sini. Ayo pulang!” Panca memegang pergelangan tangan Indah dan memaksa wanita itu menjauhi pintu masuk klub.
“Berarti Agenda setiap pulang pagi begini terus, kan? Entertain tamu dari luar negeri selalu berakhir dengan bermalam di hotel dengan wanita. Lepasin aku. Aku mau tahu siapa wanita yang Mas pegang-pegang tadi. Mas itu suamiku!” Makeup yang dipoles Indah untuk dandanan malam mulai luruh karena air mata.
Panca berhasil membawa Indah masuk ke lift dan menekan tombol untuk langsung tiba di parkiran basement. “Diam kamu! Bikin malu suami. Otak kamu dangkal dari dulu. Apa yang bisa kamu lakukan untuk mendukung pekerjaan suamimu selain ngambek, nangis atau membuntuti suamimu sampai jam segini? Ini baju baru, kan?” Panca meremas bagian lengan dress yang dikenakan Indah.
“Lepasin.” Indah menepis tangan Panca. Sorot mata Panca yang geram membuat Indah ngeri.
Panca mencengkeram lengan Indah. Kondisi lift yang saat itu tak ada orang lain membuat Panca leluasa bicara. “Ngapain kamu ke sini? Tahu dari mana kamu? Karena kamu kangen aku? Iya? Ayo kita pulang! Ladeni aku sampai kangen kamu hilang!”
“Lepasin! Sakit, Mas!” Indah berusaha melepaskan tangan Panca di lengannya. Tapi tenaganya kalah dengan Panca yang tersulut emosi.
Ketampanan Panca malam itu sirna seiring tingkahnya yang bak orang gila. Menyeret Indah yang terseok-seok mengikuti langkah kakinya menuju mobil.
Panca diam seribu bahasa dan mengemudi seperti orang kesetanan menuju rumah. Mengabaikan tangisan Indah yang ketakutan karena kecepatan mobil membanting tubuhnya ke sana kemari.
“Aku hamil, Mas. Kasihani aku. Aku hamil anak kamu.” Indah sesegukan.
Panca diam saja. Sampai tiba di rumah, pria itu mengangkat lengan Indah dan menyeretnya masuk ke rumah. “Ayo, masuk. Kita langsung ke kamar. Kamu kangen aku, kan? Aku akan meladeni kamu semalam suntuk.”
“Aku kangen. Tapi nggak kayak gini, Mas. Lepas! Aku mau pulang ke Bandung. Mas nggak boleh gini ke aku. Aku bukan perempuan murahan yang Mas temui di klub. Lepasin aku!”
Indah berusaha melepaskan diri dan mendorong tubuh Panca yang berusaha menindihnya. Jeritannya tak berguna karena Panca meraup bibirnya dengan sangat rakus.
“Aku hamil, Mas. Jangan begini ….” Indah mengiba.
“Dari dulu kamu selalu terobsesi kepengin jadi istriku, kan? Dan kamu jauh-jauh datang dari Bandung memang untuk ini, kan?” Panca menjejalkan pinggulnya di antara paha Indah.
-TBC-
“Mas Panca! Nggak boleh gini! Bayi kita bisa bahaya. Sakit…ini sakit.” Indah terus mendorong tubuh Panca agar menjauh. Kenyataannya tenaga pria itu jauh lebih kuat. Panca berhasil menurunkan pakaian dalamnya dan menekan bagian bawah tubuh mereka. Indah menangis. “Kamu jahat banget, Mas. Nggak boleh kayak gini. Ini sakit ….” Bukan hanya bagian tubuhnya yang sakit karena sebuah paksaan yang tiba-tiba. Panca baru saja merobek harga dirinya sampai ke bentuk serpihan.Panca menekan tubuhnya dengan paksaan dan gerakan kasar. Meringis dengan napas kasar beraroma alkohol. Mengabaikan rintihan Indah yang berusaha mengatupkan pahanya berkali-kali.“Aku akan mengobati rasa kangen yang kamu sebut-sebut itu.” Panca terus memacu tubuhnya. Indah memang merindukan Panca. Dua bulan terakhir bahkan mereka tidak pernah bicara lagi saat di ranjang. Kalau bukan Indah yang tertidur lebih dulu, maka Panca yang ketiduran. Walau sebelumnya mereka memang tidak terlalu akrab, tapi Indah merasa waktu sebelum t
Tentu saja Indah takut saat tangannya pelan-pelan membuka pengait pagar. Bukan hanya takut akan kemurkaan Panca jika tertangkap basah melakukan kesalahan. Indah takut bahwa hubungannya dengan Panca akan semakin sulit membaik.Indah menelan ludah. Belum apa-apa tangannya sudah basah oleh keringat. Halaman kecil yang gelap membuat Indah lumayan terlindung karena kegelapan. Tak terlampau khawatir dilihat tetangga. Atau jangan-jangan selama ini para tetangga mengenali nyonya rumah yang lain? Dada Indah bergemuruh karena luka hati yang sedang ia dekati.Nyaris tanpa suara Indah memasukkan kunci ke lubang dan memutarnya dengan napas tertahan. Dari luar tadi ia memang sudah menebak kalau lampu ruang tamu tidak dinyalakan. Saking buru-burunya mau bermesraan sampai semua lampu pun tak sempat dinyalakan, pikirnya.Rumah kontrakan itu tidak luas. Walau letaknya berada di dalam komplek cluster cukup bagus, rumah yang disewa Panca kamarnya hanya dua. Mereka menjadikan kamar paling depan tempat mel
Kalau soal kesendirian, Indah sudah sangat berpengalaman. Umurnya baru 13 tahun saat ditinggal mati ibu kandung. Sama sekali belum mengerti bisa sejahat apa realita kehidupan padanya.“Ibu kamu adalah malaikat. Jangan terlalu lama menangis meski kamu sangat cantik sewaktu menangis.”Itu adalah dua baris kalimat yang mengisi ingatan Indah di hari kehilangan ibunya. Selebihnya, kenangan akan sosok wanita yang melahirkannya itu tersimpan dalam potongan-potongan pendek tentang ruang tunggu dan ranjang rumah sakit.Selama setahun Indah banyak menghabiskan waktunya sendirian. Menjalani masa awal remaja dengan banyak bertanya pada guru, teman dan seorang wanita yang kemudian menjadi ibu tirinya. Indah memanggilnya Mama Lina.Mama Lina menjadi sosok kedua yang sangat Indah percaya selain papanya. Wanita yang menikah dalam keadaan gadis dan tidak bisa memiliki anak karena suatu hal. Jadilah sosok Mama Lina menjadi teman Indah. Sosok yang karenanya membuat Indah mengenal Panca.Desingan ingatan
“Apa, Mas?” Indah mengira sering tidur dan bangun dalam jangka waktu pendek-pendek membuat indera pendengarannya menjadi kurang tajam. Walau muak melihat Mayang kembali masuk ke rumahnya, Indah memilih mengabaikan wanita itu dan penasaran apa Panca memang benar-benar mengabaikan haknya sebagai istri.“Aku bawa Mayang ke sini. Kami berdua tidur di kamar sebelah. Setidaknya untuk malam ini.” Panca yang basah kuyup terlihat menggigil dalam remang ruang keluarga. Indah memang sudah mematikan seluruh lampu kecuali lampu kamar dan dapur.“Kalian belum menikah, Mas.”“Aku udah menikahi Mayang secara siri. Tiga minggu yang lalu. Maaf kurasa untuk itu aku nggak perlu izin kamu.” Panca masih menggenggam tangan Mayang yang membisu di sebelahnya.“Tiga minggu yang lalu itu adalah waktu aku melahirkan Alif. Kurasa perempuan ini mengamuk karena kelahiran Alif dia anggap menjadi pengganggu. Dia lalu menangis meratapi nasibnya sampai kamu kasihan dan langsung menikahinya secara siri, kan?” Indah ber-
Panca bingung harus apa lebih dulu. Suara Indah membuat ia mendorong Mayang menjauh dan meraih bantal sofa untuk menutup bagian tubuh yang hasratnya hampir terpenuhi sore itu.“Kamu gila, ya? Nggak bisa ketuk pintu apa?” Kata-kata Panca cukup kasar, tapi tidak dengan sorot matanya yang berpindah dari Alif yang begitu mungil dalam gendongan dan wajah Indah yang sangat tenang.“Kenapa aku harus ketuk pintu kalau seluruh isi rumah ini merupakan hak untuk mataku. Kenapa?” Indah balik bertanya.“Dia makin pintar ngomong sekarang.” Mayang ikut menimpali sambil memasukkan kepala ke dress satin yang ia gunakan untuk tidur kemarin. Dress satin putih dengan tali tipis di bahu. Saking tipisnya bahan dress itu, puting Mayang tergambar jelas. Kulitnya yang eksotis membuat lingkaran puncak itu lebih gelap.Indah membuka mata untuk melihat penampilan Mayang lebih jelas. Begitulah selera Panca, pikirnya. Wanita tinggi langsing bak model. Yang di rumah jarang mengenakan pakaian dalam.“Ada satu resep
“In … Papa tanya, Panca mana?” Pak Hadi memang bisa berjalan normal dan menggandeng Indah ke sofa. Tapi wajah pucatnya tidak tersamarkan. Kondisinya memang belum sehat.“Papa … sebelum nanya Mas Panca, Papa harus lihat Alif dulu.” Indah membuka kain gendong. Bukannya lebih baik melihat bayi gantengnya dulu dibanding menceritakan Panca? Indah merentangkan kain gendong dan mengeluarkan Alif yang mungil dan ganteng.Memang betul perhatian Pak Hadi langsung teralihkan. Sepasang tangannya terulur mengambil Alif dari dekapan Indah. “Namanya Alif Harjasa. Alif berarti awal, pembuka, dan paling penting. Harjasa berarti indah. Sama dengan nama mamanya. Indah pintar ngasih nama.” Perasaannya sebagai seorang ayah tak bisa dibohongi. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada putrinya. Pak Hadi menimang Alif yang diusia hampir sebulan terlihat sangat mungil. “Usia Alif baru sebulan, Indah tinggal di sini aja. Nggak usah bolak-balik ke Jakarta. Di rumah ada Papa, ada Mama juga. Indah bisa mengerjakan yan
Sebelum tiba di ruangan President Director. Ide melamar pekerjaan dengan sangat terburu-buru itu membuat Indah tidak sempat mencari pakaian baru dengan model terkini dan sesuai dengan bentuk tubuhnya yang terbilang masih berisi usai melahirkan. Malam hari sebelum berangkat interview Indah memutuskan akan memakai rok berpotongan A berwarna cokelat yang panjangnya di bawah lutut dan blus satin berwarna krem yang bagian depannya bisa dijalin membentuk pita yang menyamarkan bentuk dadanya. Sandal bertalinya juga masih ada yang bagus. Indah merasa cukup percaya diri mengadu nasib pagi itu. Dan setelah pontang-panting bangun dari pukul empat pagi, Indah berhasil berdandan rapi dan manis untuk kemudian menggendong dan menciumi Alif sebentar sebelum pergi. “Alif…Alif …. Doakan Mama keterima kerja, ya. Pagi ini di rumah sama Bu Anum. Jangan rewel kalau Bu Anum gantiin kantong gantengnya.” Indah mengusap kantong kolostomi Alif yang tertutup selimutnya. “Bu, titip Alif, ya. Doakan saya keterim
Yeni langsung terdiam memandang punggung Arsya yang menghilang di balik pintu.“Saya permisi ke dalam dulu, Mbak.” Indah mengangguk pada Yeni dan menyusul sang Presdir. Sebelum mendekati meja kerja Arsya, Indah mengetuk pintu dua kali agar pria itu menoleh ke arahnya.“Oh, ya. Kamu ke sini,” pinta Arsya. “Biasanya saya tidak bertanya alasan apa pun yang diberikan bawahan saya untuk sebuah keterlambatan. Macet?” tanya Arsya. Wajahnya masih sama datar seperti kemarin.Indah mengangguk. "Iya, Pak."“Jakarta sudah macet selama puluhan tahun. Kamu nggak bisa pakai alasan itu sekarang. Setiap pagi saya bangun pukul empat untuk tiba di kantor tepat waktu. Bagaimana? Ada alasan lain?” Arsya melipat tangan di depan dada. Mencoba memandang sepasang mata Indah yang sejak tadi menghindari tatapannya.“Bayi saya masuk UGD, Pak,” ucap Indah pelan. “Bayi laki-laki saya, anak pertama saya yang baru berusia satu bulan lebih pagi tadi badannya membiru. Dokter bilang kadar oksigen dalam darahnya menurun