Panca menyingkirkan tangan Indah yang sudah menyusup dan menyentuh kelelakiannya. “Apa, sih? Aku bilang aku ngantuk.”
“Ngantuknya segimana banget sampai kayak nggak nafsu sama istri. Laki-laki normal harusnya nggak gitu. Disentuh pasti ngaruh. Apalagi udah lama nggak ketemu istri.” Indah tersinggung dengan penolakan Panca. Lagi-lagi air matanya hampir jatuh. Tapi kali itu ia tidak malu lagi menunjukkan kesedihannya di depan Panca. Ia sudah terlampau sering menangis di depan pria itu.Panca duduk dan membetulkan pakaiannya. “Kamu tahu apa, sih, soal capek kerja? Kamu nggak pernah kerja, kan? Lulus dari universitas di luar negeri kamu nggak pernah pakai ijazah kamu buat ngelamar kerja dan makan gaji. Kamu udah nerima privilege sebagai anak tunggal yang mana semua uang orang tua kamu adalah milik kamu. Kita beda. Aku memulai semuanya sendiri dari nol.” Panca berdecak kesal dan wajahnya semakin kesal ketika melihat Indah hampir menangis.“Bisa banget Mas ngomong gitu. Perkara capek kerja langsung merembet ke mana-mana.” Indah meninggalkan Panca di kamar dan pergi membawa sebuah bantal dan selembar selimut untuk tidur di sofa depan televisi.Seperti kemarin-kemarin. Panca tidak ada niat membujuknya sama sekali. Ia merajuk dan pulih dengan sendirinya saat ia letih saling mendiamkan dengan suami yang baru menikahinya beberapa bulan.Jakarta yang ramai selalu membuat Indah kesepian dengan jarangnya Panca pulang cepat dari kantor. Setiap hari paling cepat pukul sepuluh malam. Dan beberapa hari terakhir Panca bahkan pulang dini hari. Selain jam pulang kerja yang lama, hubungan Indah dan Panca kembali pulih seperti biasa. Sampai ketika suatu pagi perselisihan itu kembali dimulai.“Hari ini aku pulang terlambat, ya. Bos dari pusat kalau datang banyak maunya. Minta dijamu di restoran, mau ngegolf-lah, mancing, bowling, banyak banget pokoknya.”“Mas belum nyebut soal bar. Kemarin aku dapat setruk pembayaran bar di kantong celana Mas Panca.” Indah mengambil napas pelan-pelan. Khawatir kalau ia kembali menangis. Panca akan kembali mengata-ngatainya cengeng. Ketika mengatakan itu pun ia tak berani memandang wajah Panca. Dan seperti yang ia perkirakan, suaminya itu berjalan mendekat dengan santai dan melingkarkan tangan di pinggangnya.“Oh, bar yang di Kemang? Aku bawa tamunya Mister Joe. Aku belum cerita ke kamu, ya?" Panca mengendus bahu Indah dan mendaratkan ciuman kecil di leher wanita itu. “Itu cuma duduk di bar, ngebir dan ngobrol. Aku juga sebenarnya udah bosan. Tapi mau gimana lagi? Tanggung jawab pekerjaan.”Indah memejamkan mata. “Tapi dalam seminggu ini aku selalu makan malam sendirian. Aku enggak ada teman,” ucapnya pelan.Panca memindahkan tangannya dari pinggul ke perut Indah. Mengusap lembut perut wanita itu dan mulai mendaratkan ciuman ke telinganya. “Kamu, kan, udah tahu kalau resiko tinggal di sini bareng aku ya kesepian dan minim fasilitas. Nggak sama dengan di rumah orang tua kamu. Kalau kamu di Bandung aku juga makan sendirian. Jangan keseringan sedih juga. Kasihan yang di dalam sini. Aku enggak mau si kecil ini ngerasain Mama-nya sedih.” Panca mengecup telinga Indah cukup lama dan mengakhirinya dengan gigitan kecil.“Malam ini bakal pulang jam berapa?” Kali ini Indah tak menutupi keinginannya untuk disentuh. Sejak tiba tempo hari dan ditolak mentah-mentah menyentuh suaminya sendiri, ia dan Panca belum ada melakukan hubungan suami-istri. Ia rindu sentuhan Panca.“Enggak lama, tapi kamu jangan tungguin aku. Tidur aja. Ibu hamil harus cukup tidur. Minggu depan jadwal periksa kandungan, kan? Kalau sempat aku bakal temani kamu.”“Bukannya lebih baik kalau kalimatnya, ‘Minggu depan jadwal periksa kandungan dan kita bakal pergi sama-sama.’ Bukan ngomong pakai kata kalau sempat bakal menemani aku. Ini bukan kepentingan aku sendirian. Ini anak kita,” ucap Indah pelan. Ucapan yang walau sudah diusahakan sepelan dan selembut mungkin tapi tetap membuat Panca melepaskan pelukannya.“Kamu sebenarnya mau ngomong apa, sih? Kayanya aku salah terus. Memangnya aku minta kamu ngapain? Kerja? Kamu cuma duduk santai di rumah dan nerima yang aku cari di luar sana. Masih kurang?” Suara Panca meninggi.Indah meletakkan sisir dan memutar tubuh. “Mas Panca … aku ngomong dengan suara pelan. Kenapa harus bersuara sekeras itu? Aku cuma mau negasin kalau periksa kehamilan itu bukan urusanku aja. Tapi urusan kita. Memangnya salah?” Sorot mata Indah teduh memandang pria yang sejak dulu diidam-idamkannya menjadi pasangan hidup.Panca menggeleng. “Enggak salah. Tapi entah kenapa aku selalu merasa kamu enggak percaya kalau aku serius jalani pernikahan ini.”“Tapi Mas memang terlihat enggak serius,” potong Indah.“Terlihat, kan? Kamu ngomong terlihat? Kamu selalu ngomong berdasar dengan apa yang kamu lihat? Kamu nggak mau tahu apa yang aku rasa? Kamu kira apa yang aku rasa sewaktu menyanggupi pernikahan kita? Kamu cuma lihat, kan? Kamu enggak ada mikir. Tiap dikonfrontir jawabannya selalu karena hormon kehamilan. Itu terus. Ck. Sukanya ngerusak suasana pagi.” Panca menyambar ponselnya dari nakas dan keluar dari kamar.“Mas Panca enggak pulang malam. Jam empat itu pagi! Suami mana yang hampir setiap hari pulang pagi padahal istrinya sedang hamil? Kita itu masih pengantin baru, Mas!” Teriakan Indah ditelan pintu yang perlahan menutup.Indah duduk tercenung dengan satu tangan mengusap perut. “Apa memang harus selalu berakhir begini, Nak? Pernikahan kami baru sebentar tapi kenapa rasanya udah lama banget? Kenapa Mama udah ngerasa capek?”Lalu semuanya pasti akan sama seperti kemarin, seperti minggu lalu, atau bahkan sama seperti bulan lalu, Indah dan Panca melalui pagi dalam diam berhari-hari.Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, Indah merasa perdebatan pagi selalu dijadikan alasan bagi Panca atas ketidakpeduliannya.Indah sudah duduk menghadapi sarapannya dan Panca berdiri menunggui mesin printernya yang masih menyala. Setelah meraih lembaran yang diperlukan pria itu bergegas menuju meja makan.“Aku enggak bisa lama-lama.” Panca meletakkan sendok. “Kamu lihat sendiri aku ngerjain sebagian pekerjaan kantor di rumah.” Panca menunjuk seperangkat PC di sudut ruang makan yang memang biasa dipakai. Setelah menyeka sudut mulut, Panca bangkit dari kursi.“Mau pergi sek—” Pertanyaan Indah tidak selesai. Panca melewatinya begitu saja. Kali ini ia tidak mau seperti kemarin. Panca pergi begitu saja tanpa memeluk atau mencium pipinya dan pria itu kembali dini hari. Ia ikut bangkit dan setengah berlari mengejar suaminya. “Mas … jangan gitu. Jangan ngambek terus. Aku belum selesai ngomong kenapa langsung pergi?” Indah berhasil menahan tangan Panca sesaat sebelum pria itu mencapai pintu.“Aku enggak ngambek,” sahut Panca pendek. “Malam ini aku menemani bos besar yang baru nyampe di Jakarta. Kamu jangan tunggu aku. Kayaknya aku bakal pulang terlambat lagi." Panca mengecup dahi Indah dan pergi menuju mobil.Tangan Indah tergenggam di kedua sisi tubuh. Tadinya ia hendak memeluk Panca, tapi urung karena pria itu sangat terburu-buru. Ia hanya sempat melambaikan tangan sebelum kaca mobil pria itu tertutup.Indah masuk dan menghampiri komputer yang tombol powernya menyala meski layarnya sudah padam. Pertanda Panca lupa mematikan komputer itu. Masih sambil berdiri ia meraih kursor dan menggesernya sampai layar itu kembali menyala sendiri. Tangannya dengan cekatan menutup beberapa window yang terbuka. Termasuk email Panca yang masih terbuka.Tadinya Indah tidak ada bermaksud membuka email itu. Tapi sebaris email yang letaknya paling atas dan sudah dibuka menarik perhatiannya. Itu adalah email tagihan kartu kredit. Deretan tagihan itu berisi nama macam-macam restoran dan ….“Hotel?” Indah menggigit bibir.Bertanya pada Panca soal hotel itu pasti akan menimbulkan pertengkaran. Seminggu lebih mengunjungi suaminya jarang sekali mereka berinteraksi dengan hangat. Indah menyingkirkan kemungkinan akan bertanya langsung. Biasanya hotel akan terbuka jika memang perusahaan mengadakan acara di tempatnya secara resmi. Indah memutuskan untuk pergi ke hotel dan bertanya soal event di tanggal-tanggal yang tertera dalam tagihan kartu kredit.Bisa saja semua tagihan itu akan direimburse ke kantor. Suaminya pasti mendahulukan uang pribadinya untuk meng-entertain para atasan yang bersenang-senang di pusat hiburan hotel. Tak ada pikiran buruk sedikit pun untuk Panca. Sampai ketika ia berhadapan dengan resepsionis hotel dan mengecek nama perusahaan di hotel.“Tidak ada acara apa pun atas nama perusahaan ini di hotel kami. Tidak pernah ada kerja sama juga. Tapi seperti yang Ibu tanya tadi, benar bahwa di sini ada SPA dan Karaoke. Letaknya di lantai tujuh. Untuk nama yang tertera di lembaran ini saya tidak bisa memberi informasinya karena data tamu adalah confidential.” Resepsionis mengembalikan lembar tagihan kartu kredit yang ditunjukkan Indah.Indah melihat sebuah banner yang terletak di sebelah lift. Banner itu berisi promosi pertunjukan seorang DJ ternama ibukota. Ia mengambil kertas dari tangan resepsionis. “Acara pertunjukan DJ itu selesainya jam berapa?”“Kita tutup jam dua pagi. Biasanya jam segitu semua tamu baru pulang dan … sebagian menginap di sini.” Resepsionis wanita itu tersenyum pada Indah.“Terima kasih informasinya, Mbak.” Indah berlalu dari resepsionis. Ia perlu mampir ke mall untuk membeli pakaian khusus. Malam nanti sepertinya ia akan masuk menonton pertunjukan DJ itu. Ia teringat bahwa pagi tadi pun Panca mengatakan tidak bisa pulang tepat waktu karena akan meng-entertain tamu kantor yang baru datang dari Rusia. “Semoga aku nggak ketemu kamu, Mas,” gumam Indah.-TBC-Mual muntah di awal kehamilan membuat berat badan Indah hampir tidak mengalami kenaikan. Tubuhnya masih kecil mungil seperti gadis. Acara malam yang sudah ia bayangkan akan menjadi waktu melakukan romantisme pengantin baru menguap begitu saja. Ia membutuhkan pakaian masuk ke club secepatnya.“Ada diskon, kan? Saya lihat di banner depan.” Indah menunjuk banner yang menawarkan potongan harga cukup lumayan. Untuk kebutuhan sehari-hari saja ia masih dijatah Panca, jadi pengeluaran pakaian ke klub tentu tidak masuk dalam perhitungannya.Indah membeli satu dress dengan harga cukup murah. Dress selutut dengan harga yang dulu dengan mudah dibelinya tanpa harus menunggu diskon.‘Mas Panca pulang jam berapa? Malam ini aku kepengin makan bareng.’Sekali lagi Indah memastikan jawaban Panca dengan mengirimkan pesan untuk keempat kalinya. Besar sekali harapannya Panca akan membalas dengan ucapan manis. Nyatanya jauh dari harapan.‘Belum berubah, In. Aku ada acara kantor. Kamu makan sendiri aja. Pok
“Mas Panca! Nggak boleh gini! Bayi kita bisa bahaya. Sakit…ini sakit.” Indah terus mendorong tubuh Panca agar menjauh. Kenyataannya tenaga pria itu jauh lebih kuat. Panca berhasil menurunkan pakaian dalamnya dan menekan bagian bawah tubuh mereka. Indah menangis. “Kamu jahat banget, Mas. Nggak boleh kayak gini. Ini sakit ….” Bukan hanya bagian tubuhnya yang sakit karena sebuah paksaan yang tiba-tiba. Panca baru saja merobek harga dirinya sampai ke bentuk serpihan.Panca menekan tubuhnya dengan paksaan dan gerakan kasar. Meringis dengan napas kasar beraroma alkohol. Mengabaikan rintihan Indah yang berusaha mengatupkan pahanya berkali-kali.“Aku akan mengobati rasa kangen yang kamu sebut-sebut itu.” Panca terus memacu tubuhnya. Indah memang merindukan Panca. Dua bulan terakhir bahkan mereka tidak pernah bicara lagi saat di ranjang. Kalau bukan Indah yang tertidur lebih dulu, maka Panca yang ketiduran. Walau sebelumnya mereka memang tidak terlalu akrab, tapi Indah merasa waktu sebelum t
Tentu saja Indah takut saat tangannya pelan-pelan membuka pengait pagar. Bukan hanya takut akan kemurkaan Panca jika tertangkap basah melakukan kesalahan. Indah takut bahwa hubungannya dengan Panca akan semakin sulit membaik.Indah menelan ludah. Belum apa-apa tangannya sudah basah oleh keringat. Halaman kecil yang gelap membuat Indah lumayan terlindung karena kegelapan. Tak terlampau khawatir dilihat tetangga. Atau jangan-jangan selama ini para tetangga mengenali nyonya rumah yang lain? Dada Indah bergemuruh karena luka hati yang sedang ia dekati.Nyaris tanpa suara Indah memasukkan kunci ke lubang dan memutarnya dengan napas tertahan. Dari luar tadi ia memang sudah menebak kalau lampu ruang tamu tidak dinyalakan. Saking buru-burunya mau bermesraan sampai semua lampu pun tak sempat dinyalakan, pikirnya.Rumah kontrakan itu tidak luas. Walau letaknya berada di dalam komplek cluster cukup bagus, rumah yang disewa Panca kamarnya hanya dua. Mereka menjadikan kamar paling depan tempat mel
Kalau soal kesendirian, Indah sudah sangat berpengalaman. Umurnya baru 13 tahun saat ditinggal mati ibu kandung. Sama sekali belum mengerti bisa sejahat apa realita kehidupan padanya.“Ibu kamu adalah malaikat. Jangan terlalu lama menangis meski kamu sangat cantik sewaktu menangis.”Itu adalah dua baris kalimat yang mengisi ingatan Indah di hari kehilangan ibunya. Selebihnya, kenangan akan sosok wanita yang melahirkannya itu tersimpan dalam potongan-potongan pendek tentang ruang tunggu dan ranjang rumah sakit.Selama setahun Indah banyak menghabiskan waktunya sendirian. Menjalani masa awal remaja dengan banyak bertanya pada guru, teman dan seorang wanita yang kemudian menjadi ibu tirinya. Indah memanggilnya Mama Lina.Mama Lina menjadi sosok kedua yang sangat Indah percaya selain papanya. Wanita yang menikah dalam keadaan gadis dan tidak bisa memiliki anak karena suatu hal. Jadilah sosok Mama Lina menjadi teman Indah. Sosok yang karenanya membuat Indah mengenal Panca.Desingan ingatan
“Apa, Mas?” Indah mengira sering tidur dan bangun dalam jangka waktu pendek-pendek membuat indera pendengarannya menjadi kurang tajam. Walau muak melihat Mayang kembali masuk ke rumahnya, Indah memilih mengabaikan wanita itu dan penasaran apa Panca memang benar-benar mengabaikan haknya sebagai istri.“Aku bawa Mayang ke sini. Kami berdua tidur di kamar sebelah. Setidaknya untuk malam ini.” Panca yang basah kuyup terlihat menggigil dalam remang ruang keluarga. Indah memang sudah mematikan seluruh lampu kecuali lampu kamar dan dapur.“Kalian belum menikah, Mas.”“Aku udah menikahi Mayang secara siri. Tiga minggu yang lalu. Maaf kurasa untuk itu aku nggak perlu izin kamu.” Panca masih menggenggam tangan Mayang yang membisu di sebelahnya.“Tiga minggu yang lalu itu adalah waktu aku melahirkan Alif. Kurasa perempuan ini mengamuk karena kelahiran Alif dia anggap menjadi pengganggu. Dia lalu menangis meratapi nasibnya sampai kamu kasihan dan langsung menikahinya secara siri, kan?” Indah ber-
Panca bingung harus apa lebih dulu. Suara Indah membuat ia mendorong Mayang menjauh dan meraih bantal sofa untuk menutup bagian tubuh yang hasratnya hampir terpenuhi sore itu.“Kamu gila, ya? Nggak bisa ketuk pintu apa?” Kata-kata Panca cukup kasar, tapi tidak dengan sorot matanya yang berpindah dari Alif yang begitu mungil dalam gendongan dan wajah Indah yang sangat tenang.“Kenapa aku harus ketuk pintu kalau seluruh isi rumah ini merupakan hak untuk mataku. Kenapa?” Indah balik bertanya.“Dia makin pintar ngomong sekarang.” Mayang ikut menimpali sambil memasukkan kepala ke dress satin yang ia gunakan untuk tidur kemarin. Dress satin putih dengan tali tipis di bahu. Saking tipisnya bahan dress itu, puting Mayang tergambar jelas. Kulitnya yang eksotis membuat lingkaran puncak itu lebih gelap.Indah membuka mata untuk melihat penampilan Mayang lebih jelas. Begitulah selera Panca, pikirnya. Wanita tinggi langsing bak model. Yang di rumah jarang mengenakan pakaian dalam.“Ada satu resep
“In … Papa tanya, Panca mana?” Pak Hadi memang bisa berjalan normal dan menggandeng Indah ke sofa. Tapi wajah pucatnya tidak tersamarkan. Kondisinya memang belum sehat.“Papa … sebelum nanya Mas Panca, Papa harus lihat Alif dulu.” Indah membuka kain gendong. Bukannya lebih baik melihat bayi gantengnya dulu dibanding menceritakan Panca? Indah merentangkan kain gendong dan mengeluarkan Alif yang mungil dan ganteng.Memang betul perhatian Pak Hadi langsung teralihkan. Sepasang tangannya terulur mengambil Alif dari dekapan Indah. “Namanya Alif Harjasa. Alif berarti awal, pembuka, dan paling penting. Harjasa berarti indah. Sama dengan nama mamanya. Indah pintar ngasih nama.” Perasaannya sebagai seorang ayah tak bisa dibohongi. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada putrinya. Pak Hadi menimang Alif yang diusia hampir sebulan terlihat sangat mungil. “Usia Alif baru sebulan, Indah tinggal di sini aja. Nggak usah bolak-balik ke Jakarta. Di rumah ada Papa, ada Mama juga. Indah bisa mengerjakan yan
Sebelum tiba di ruangan President Director. Ide melamar pekerjaan dengan sangat terburu-buru itu membuat Indah tidak sempat mencari pakaian baru dengan model terkini dan sesuai dengan bentuk tubuhnya yang terbilang masih berisi usai melahirkan. Malam hari sebelum berangkat interview Indah memutuskan akan memakai rok berpotongan A berwarna cokelat yang panjangnya di bawah lutut dan blus satin berwarna krem yang bagian depannya bisa dijalin membentuk pita yang menyamarkan bentuk dadanya. Sandal bertalinya juga masih ada yang bagus. Indah merasa cukup percaya diri mengadu nasib pagi itu. Dan setelah pontang-panting bangun dari pukul empat pagi, Indah berhasil berdandan rapi dan manis untuk kemudian menggendong dan menciumi Alif sebentar sebelum pergi. “Alif…Alif …. Doakan Mama keterima kerja, ya. Pagi ini di rumah sama Bu Anum. Jangan rewel kalau Bu Anum gantiin kantong gantengnya.” Indah mengusap kantong kolostomi Alif yang tertutup selimutnya. “Bu, titip Alif, ya. Doakan saya keterim