Panca menyingkirkan tangan Indah yang sudah menyusup dan menyentuh kelelakiannya. “Apa, sih? Aku bilang aku ngantuk.”
“Ngantuknya segimana banget sampai kayak nggak nafsu sama istri. Laki-laki normal harusnya nggak gitu. Disentuh pasti ngaruh. Apalagi udah lama nggak ketemu istri.” Indah tersinggung dengan penolakan Panca. Lagi-lagi air matanya hampir jatuh. Tapi kali itu ia tidak malu lagi menunjukkan kesedihannya di depan Panca. Ia sudah terlampau sering menangis di depan pria itu.Panca duduk dan membetulkan pakaiannya. “Kamu tahu apa, sih, soal capek kerja? Kamu nggak pernah kerja, kan? Lulus dari universitas di luar negeri kamu nggak pernah pakai ijazah kamu buat ngelamar kerja dan makan gaji. Kamu udah nerima privilege sebagai anak tunggal yang mana semua uang orang tua kamu adalah milik kamu. Kita beda. Aku memulai semuanya sendiri dari nol.” Panca berdecak kesal dan wajahnya semakin kesal ketika melihat Indah hampir menangis.“Bisa banget Mas ngomong gitu. Perkara capek kerja langsung merembet ke mana-mana.” Indah meninggalkan Panca di kamar dan pergi membawa sebuah bantal dan selembar selimut untuk tidur di sofa depan televisi.Seperti kemarin-kemarin. Panca tidak ada niat membujuknya sama sekali. Ia merajuk dan pulih dengan sendirinya saat ia letih saling mendiamkan dengan suami yang baru menikahinya beberapa bulan.Jakarta yang ramai selalu membuat Indah kesepian dengan jarangnya Panca pulang cepat dari kantor. Setiap hari paling cepat pukul sepuluh malam. Dan beberapa hari terakhir Panca bahkan pulang dini hari. Selain jam pulang kerja yang lama, hubungan Indah dan Panca kembali pulih seperti biasa. Sampai ketika suatu pagi perselisihan itu kembali dimulai.“Hari ini aku pulang terlambat, ya. Bos dari pusat kalau datang banyak maunya. Minta dijamu di restoran, mau ngegolf-lah, mancing, bowling, banyak banget pokoknya.”“Mas belum nyebut soal bar. Kemarin aku dapat setruk pembayaran bar di kantong celana Mas Panca.” Indah mengambil napas pelan-pelan. Khawatir kalau ia kembali menangis. Panca akan kembali mengata-ngatainya cengeng. Ketika mengatakan itu pun ia tak berani memandang wajah Panca. Dan seperti yang ia perkirakan, suaminya itu berjalan mendekat dengan santai dan melingkarkan tangan di pinggangnya.“Oh, bar yang di Kemang? Aku bawa tamunya Mister Joe. Aku belum cerita ke kamu, ya?" Panca mengendus bahu Indah dan mendaratkan ciuman kecil di leher wanita itu. “Itu cuma duduk di bar, ngebir dan ngobrol. Aku juga sebenarnya udah bosan. Tapi mau gimana lagi? Tanggung jawab pekerjaan.”Indah memejamkan mata. “Tapi dalam seminggu ini aku selalu makan malam sendirian. Aku enggak ada teman,” ucapnya pelan.Panca memindahkan tangannya dari pinggul ke perut Indah. Mengusap lembut perut wanita itu dan mulai mendaratkan ciuman ke telinganya. “Kamu, kan, udah tahu kalau resiko tinggal di sini bareng aku ya kesepian dan minim fasilitas. Nggak sama dengan di rumah orang tua kamu. Kalau kamu di Bandung aku juga makan sendirian. Jangan keseringan sedih juga. Kasihan yang di dalam sini. Aku enggak mau si kecil ini ngerasain Mama-nya sedih.” Panca mengecup telinga Indah cukup lama dan mengakhirinya dengan gigitan kecil.“Malam ini bakal pulang jam berapa?” Kali ini Indah tak menutupi keinginannya untuk disentuh. Sejak tiba tempo hari dan ditolak mentah-mentah menyentuh suaminya sendiri, ia dan Panca belum ada melakukan hubungan suami-istri. Ia rindu sentuhan Panca.“Enggak lama, tapi kamu jangan tungguin aku. Tidur aja. Ibu hamil harus cukup tidur. Minggu depan jadwal periksa kandungan, kan? Kalau sempat aku bakal temani kamu.”“Bukannya lebih baik kalau kalimatnya, ‘Minggu depan jadwal periksa kandungan dan kita bakal pergi sama-sama.’ Bukan ngomong pakai kata kalau sempat bakal menemani aku. Ini bukan kepentingan aku sendirian. Ini anak kita,” ucap Indah pelan. Ucapan yang walau sudah diusahakan sepelan dan selembut mungkin tapi tetap membuat Panca melepaskan pelukannya.“Kamu sebenarnya mau ngomong apa, sih? Kayanya aku salah terus. Memangnya aku minta kamu ngapain? Kerja? Kamu cuma duduk santai di rumah dan nerima yang aku cari di luar sana. Masih kurang?” Suara Panca meninggi.Indah meletakkan sisir dan memutar tubuh. “Mas Panca … aku ngomong dengan suara pelan. Kenapa harus bersuara sekeras itu? Aku cuma mau negasin kalau periksa kehamilan itu bukan urusanku aja. Tapi urusan kita. Memangnya salah?” Sorot mata Indah teduh memandang pria yang sejak dulu diidam-idamkannya menjadi pasangan hidup.Panca menggeleng. “Enggak salah. Tapi entah kenapa aku selalu merasa kamu enggak percaya kalau aku serius jalani pernikahan ini.”“Tapi Mas memang terlihat enggak serius,” potong Indah.“Terlihat, kan? Kamu ngomong terlihat? Kamu selalu ngomong berdasar dengan apa yang kamu lihat? Kamu nggak mau tahu apa yang aku rasa? Kamu kira apa yang aku rasa sewaktu menyanggupi pernikahan kita? Kamu cuma lihat, kan? Kamu enggak ada mikir. Tiap dikonfrontir jawabannya selalu karena hormon kehamilan. Itu terus. Ck. Sukanya ngerusak suasana pagi.” Panca menyambar ponselnya dari nakas dan keluar dari kamar.“Mas Panca enggak pulang malam. Jam empat itu pagi! Suami mana yang hampir setiap hari pulang pagi padahal istrinya sedang hamil? Kita itu masih pengantin baru, Mas!” Teriakan Indah ditelan pintu yang perlahan menutup.Indah duduk tercenung dengan satu tangan mengusap perut. “Apa memang harus selalu berakhir begini, Nak? Pernikahan kami baru sebentar tapi kenapa rasanya udah lama banget? Kenapa Mama udah ngerasa capek?”Lalu semuanya pasti akan sama seperti kemarin, seperti minggu lalu, atau bahkan sama seperti bulan lalu, Indah dan Panca melalui pagi dalam diam berhari-hari.Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, Indah merasa perdebatan pagi selalu dijadikan alasan bagi Panca atas ketidakpeduliannya.Indah sudah duduk menghadapi sarapannya dan Panca berdiri menunggui mesin printernya yang masih menyala. Setelah meraih lembaran yang diperlukan pria itu bergegas menuju meja makan.“Aku enggak bisa lama-lama.” Panca meletakkan sendok. “Kamu lihat sendiri aku ngerjain sebagian pekerjaan kantor di rumah.” Panca menunjuk seperangkat PC di sudut ruang makan yang memang biasa dipakai. Setelah menyeka sudut mulut, Panca bangkit dari kursi.“Mau pergi sek—” Pertanyaan Indah tidak selesai. Panca melewatinya begitu saja. Kali ini ia tidak mau seperti kemarin. Panca pergi begitu saja tanpa memeluk atau mencium pipinya dan pria itu kembali dini hari. Ia ikut bangkit dan setengah berlari mengejar suaminya. “Mas … jangan gitu. Jangan ngambek terus. Aku belum selesai ngomong kenapa langsung pergi?” Indah berhasil menahan tangan Panca sesaat sebelum pria itu mencapai pintu.“Aku enggak ngambek,” sahut Panca pendek. “Malam ini aku menemani bos besar yang baru nyampe di Jakarta. Kamu jangan tunggu aku. Kayaknya aku bakal pulang terlambat lagi." Panca mengecup dahi Indah dan pergi menuju mobil.Tangan Indah tergenggam di kedua sisi tubuh. Tadinya ia hendak memeluk Panca, tapi urung karena pria itu sangat terburu-buru. Ia hanya sempat melambaikan tangan sebelum kaca mobil pria itu tertutup.Indah masuk dan menghampiri komputer yang tombol powernya menyala meski layarnya sudah padam. Pertanda Panca lupa mematikan komputer itu. Masih sambil berdiri ia meraih kursor dan menggesernya sampai layar itu kembali menyala sendiri. Tangannya dengan cekatan menutup beberapa window yang terbuka. Termasuk email Panca yang masih terbuka.Tadinya Indah tidak ada bermaksud membuka email itu. Tapi sebaris email yang letaknya paling atas dan sudah dibuka menarik perhatiannya. Itu adalah email tagihan kartu kredit. Deretan tagihan itu berisi nama macam-macam restoran dan ….“Hotel?” Indah menggigit bibir.Bertanya pada Panca soal hotel itu pasti akan menimbulkan pertengkaran. Seminggu lebih mengunjungi suaminya jarang sekali mereka berinteraksi dengan hangat. Indah menyingkirkan kemungkinan akan bertanya langsung. Biasanya hotel akan terbuka jika memang perusahaan mengadakan acara di tempatnya secara resmi. Indah memutuskan untuk pergi ke hotel dan bertanya soal event di tanggal-tanggal yang tertera dalam tagihan kartu kredit.Bisa saja semua tagihan itu akan direimburse ke kantor. Suaminya pasti mendahulukan uang pribadinya untuk meng-entertain para atasan yang bersenang-senang di pusat hiburan hotel. Tak ada pikiran buruk sedikit pun untuk Panca. Sampai ketika ia berhadapan dengan resepsionis hotel dan mengecek nama perusahaan di hotel.“Tidak ada acara apa pun atas nama perusahaan ini di hotel kami. Tidak pernah ada kerja sama juga. Tapi seperti yang Ibu tanya tadi, benar bahwa di sini ada SPA dan Karaoke. Letaknya di lantai tujuh. Untuk nama yang tertera di lembaran ini saya tidak bisa memberi informasinya karena data tamu adalah confidential.” Resepsionis mengembalikan lembar tagihan kartu kredit yang ditunjukkan Indah.Indah melihat sebuah banner yang terletak di sebelah lift. Banner itu berisi promosi pertunjukan seorang DJ ternama ibukota. Ia mengambil kertas dari tangan resepsionis. “Acara pertunjukan DJ itu selesainya jam berapa?”“Kita tutup jam dua pagi. Biasanya jam segitu semua tamu baru pulang dan … sebagian menginap di sini.” Resepsionis wanita itu tersenyum pada Indah.“Terima kasih informasinya, Mbak.” Indah berlalu dari resepsionis. Ia perlu mampir ke mall untuk membeli pakaian khusus. Malam nanti sepertinya ia akan masuk menonton pertunjukan DJ itu. Ia teringat bahwa pagi tadi pun Panca mengatakan tidak bisa pulang tepat waktu karena akan meng-entertain tamu kantor yang baru datang dari Rusia. “Semoga aku nggak ketemu kamu, Mas,” gumam Indah.-TBC-Mual muntah di awal kehamilan membuat berat badan Indah hampir tidak mengalami kenaikan. Tubuhnya masih kecil mungil seperti gadis. Acara malam yang sudah ia bayangkan akan menjadi waktu melakukan romantisme pengantin baru menguap begitu saja. Ia membutuhkan pakaian masuk ke club secepatnya.“Ada diskon, kan? Saya lihat di banner depan.” Indah menunjuk banner yang menawarkan potongan harga cukup lumayan. Untuk kebutuhan sehari-hari saja ia masih dijatah Panca, jadi pengeluaran pakaian ke klub tentu tidak masuk dalam perhitungannya.Indah membeli satu dress dengan harga cukup murah. Dress selutut dengan harga yang dulu dengan mudah dibelinya tanpa harus menunggu diskon.‘Mas Panca pulang jam berapa? Malam ini aku kepengin makan bareng.’Sekali lagi Indah memastikan jawaban Panca dengan mengirimkan pesan untuk keempat kalinya. Besar sekali harapannya Panca akan membalas dengan ucapan manis. Nyatanya jauh dari harapan.‘Belum berubah, In. Aku ada acara kantor. Kamu makan sendiri aja. Pok
“Mas Panca! Nggak boleh gini! Bayi kita bisa bahaya. Sakit…ini sakit.” Indah terus mendorong tubuh Panca agar menjauh. Kenyataannya tenaga pria itu jauh lebih kuat. Panca berhasil menurunkan pakaian dalamnya dan menekan bagian bawah tubuh mereka. Indah menangis. “Kamu jahat banget, Mas. Nggak boleh kayak gini. Ini sakit ….” Bukan hanya bagian tubuhnya yang sakit karena sebuah paksaan yang tiba-tiba. Panca baru saja merobek harga dirinya sampai ke bentuk serpihan.Panca menekan tubuhnya dengan paksaan dan gerakan kasar. Meringis dengan napas kasar beraroma alkohol. Mengabaikan rintihan Indah yang berusaha mengatupkan pahanya berkali-kali.“Aku akan mengobati rasa kangen yang kamu sebut-sebut itu.” Panca terus memacu tubuhnya. Indah memang merindukan Panca. Dua bulan terakhir bahkan mereka tidak pernah bicara lagi saat di ranjang. Kalau bukan Indah yang tertidur lebih dulu, maka Panca yang ketiduran. Walau sebelumnya mereka memang tidak terlalu akrab, tapi Indah merasa waktu sebelum t
Tentu saja Indah takut saat tangannya pelan-pelan membuka pengait pagar. Bukan hanya takut akan kemurkaan Panca jika tertangkap basah melakukan kesalahan. Indah takut bahwa hubungannya dengan Panca akan semakin sulit membaik.Indah menelan ludah. Belum apa-apa tangannya sudah basah oleh keringat. Halaman kecil yang gelap membuat Indah lumayan terlindung karena kegelapan. Tak terlampau khawatir dilihat tetangga. Atau jangan-jangan selama ini para tetangga mengenali nyonya rumah yang lain? Dada Indah bergemuruh karena luka hati yang sedang ia dekati.Nyaris tanpa suara Indah memasukkan kunci ke lubang dan memutarnya dengan napas tertahan. Dari luar tadi ia memang sudah menebak kalau lampu ruang tamu tidak dinyalakan. Saking buru-burunya mau bermesraan sampai semua lampu pun tak sempat dinyalakan, pikirnya.Rumah kontrakan itu tidak luas. Walau letaknya berada di dalam komplek cluster cukup bagus, rumah yang disewa Panca kamarnya hanya dua. Mereka menjadikan kamar paling depan tempat mel
Kalau soal kesendirian, Indah sudah sangat berpengalaman. Umurnya baru 13 tahun saat ditinggal mati ibu kandung. Sama sekali belum mengerti bisa sejahat apa realita kehidupan padanya.“Ibu kamu adalah malaikat. Jangan terlalu lama menangis meski kamu sangat cantik sewaktu menangis.”Itu adalah dua baris kalimat yang mengisi ingatan Indah di hari kehilangan ibunya. Selebihnya, kenangan akan sosok wanita yang melahirkannya itu tersimpan dalam potongan-potongan pendek tentang ruang tunggu dan ranjang rumah sakit.Selama setahun Indah banyak menghabiskan waktunya sendirian. Menjalani masa awal remaja dengan banyak bertanya pada guru, teman dan seorang wanita yang kemudian menjadi ibu tirinya. Indah memanggilnya Mama Lina.Mama Lina menjadi sosok kedua yang sangat Indah percaya selain papanya. Wanita yang menikah dalam keadaan gadis dan tidak bisa memiliki anak karena suatu hal. Jadilah sosok Mama Lina menjadi teman Indah. Sosok yang karenanya membuat Indah mengenal Panca.Desingan ingatan
“Apa, Mas?” Indah mengira sering tidur dan bangun dalam jangka waktu pendek-pendek membuat indera pendengarannya menjadi kurang tajam. Walau muak melihat Mayang kembali masuk ke rumahnya, Indah memilih mengabaikan wanita itu dan penasaran apa Panca memang benar-benar mengabaikan haknya sebagai istri.“Aku bawa Mayang ke sini. Kami berdua tidur di kamar sebelah. Setidaknya untuk malam ini.” Panca yang basah kuyup terlihat menggigil dalam remang ruang keluarga. Indah memang sudah mematikan seluruh lampu kecuali lampu kamar dan dapur.“Kalian belum menikah, Mas.”“Aku udah menikahi Mayang secara siri. Tiga minggu yang lalu. Maaf kurasa untuk itu aku nggak perlu izin kamu.” Panca masih menggenggam tangan Mayang yang membisu di sebelahnya.“Tiga minggu yang lalu itu adalah waktu aku melahirkan Alif. Kurasa perempuan ini mengamuk karena kelahiran Alif dia anggap menjadi pengganggu. Dia lalu menangis meratapi nasibnya sampai kamu kasihan dan langsung menikahinya secara siri, kan?” Indah ber-
Panca bingung harus apa lebih dulu. Suara Indah membuat ia mendorong Mayang menjauh dan meraih bantal sofa untuk menutup bagian tubuh yang hasratnya hampir terpenuhi sore itu.“Kamu gila, ya? Nggak bisa ketuk pintu apa?” Kata-kata Panca cukup kasar, tapi tidak dengan sorot matanya yang berpindah dari Alif yang begitu mungil dalam gendongan dan wajah Indah yang sangat tenang.“Kenapa aku harus ketuk pintu kalau seluruh isi rumah ini merupakan hak untuk mataku. Kenapa?” Indah balik bertanya.“Dia makin pintar ngomong sekarang.” Mayang ikut menimpali sambil memasukkan kepala ke dress satin yang ia gunakan untuk tidur kemarin. Dress satin putih dengan tali tipis di bahu. Saking tipisnya bahan dress itu, puting Mayang tergambar jelas. Kulitnya yang eksotis membuat lingkaran puncak itu lebih gelap.Indah membuka mata untuk melihat penampilan Mayang lebih jelas. Begitulah selera Panca, pikirnya. Wanita tinggi langsing bak model. Yang di rumah jarang mengenakan pakaian dalam.“Ada satu resep
“In … Papa tanya, Panca mana?” Pak Hadi memang bisa berjalan normal dan menggandeng Indah ke sofa. Tapi wajah pucatnya tidak tersamarkan. Kondisinya memang belum sehat.“Papa … sebelum nanya Mas Panca, Papa harus lihat Alif dulu.” Indah membuka kain gendong. Bukannya lebih baik melihat bayi gantengnya dulu dibanding menceritakan Panca? Indah merentangkan kain gendong dan mengeluarkan Alif yang mungil dan ganteng.Memang betul perhatian Pak Hadi langsung teralihkan. Sepasang tangannya terulur mengambil Alif dari dekapan Indah. “Namanya Alif Harjasa. Alif berarti awal, pembuka, dan paling penting. Harjasa berarti indah. Sama dengan nama mamanya. Indah pintar ngasih nama.” Perasaannya sebagai seorang ayah tak bisa dibohongi. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada putrinya. Pak Hadi menimang Alif yang diusia hampir sebulan terlihat sangat mungil. “Usia Alif baru sebulan, Indah tinggal di sini aja. Nggak usah bolak-balik ke Jakarta. Di rumah ada Papa, ada Mama juga. Indah bisa mengerjakan yan
Sebelum tiba di ruangan President Director. Ide melamar pekerjaan dengan sangat terburu-buru itu membuat Indah tidak sempat mencari pakaian baru dengan model terkini dan sesuai dengan bentuk tubuhnya yang terbilang masih berisi usai melahirkan. Malam hari sebelum berangkat interview Indah memutuskan akan memakai rok berpotongan A berwarna cokelat yang panjangnya di bawah lutut dan blus satin berwarna krem yang bagian depannya bisa dijalin membentuk pita yang menyamarkan bentuk dadanya. Sandal bertalinya juga masih ada yang bagus. Indah merasa cukup percaya diri mengadu nasib pagi itu. Dan setelah pontang-panting bangun dari pukul empat pagi, Indah berhasil berdandan rapi dan manis untuk kemudian menggendong dan menciumi Alif sebentar sebelum pergi. “Alif…Alif …. Doakan Mama keterima kerja, ya. Pagi ini di rumah sama Bu Anum. Jangan rewel kalau Bu Anum gantiin kantong gantengnya.” Indah mengusap kantong kolostomi Alif yang tertutup selimutnya. “Bu, titip Alif, ya. Doakan saya keterim
Vino bukan sosok penakut. Tapi ia juga belum pernah bertindak terlalu berani. Detik itu ia berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh kebelakang. Ia perlu waktu mencerna dan otak teknisnya yang terbiasa berpikir dengan angka memintanya untuk diam beberapa saat. Ia tidak mau gegabah. Bisa saja ada orang di sekitar sana yang mengenalinya sebagai karyawan SB Industrial Energy.Di antara riuhnya suara orang mengobrol di cafe, Vino menajamkan telinganya untuk mencari beberapa potong kata lain untuk meyakinkan dirinya.“Sore ini harus diusahakan. Lusa wanita itu akan pulang ke Jakarta. Jangan ditunda terlalu lama.” Suara berat seorang wanita kembali berbicara. Membuat Vino menegakkan tubuh seketika.“Bayaranku. Lunasi bayaranku hari ini. Aku nggak mau mengerjakan tugas berat lalu harus mencari kalian ke mana-mana. Aku tau kau pun hanya perantara. Kita di sini cuma kacung, jadi jangan saling menipu.” Balasan suara seorang laki-laki membuat keraguan Vino sirna saat itu.“Aku cuma dikasih
Arsya sedang duduk di ruang makan dengan dua tangan memegang ponsel di meja. Sesekali Arsya mengetik dengan sangat cepat lalu menit kemudian memandang ponsel dengan senyum terkulum. Kadang Arsya tertawa kecil, kadang juga menggigit bibir bawahnya seperti sedang gemas pada sesuatu. Pada pesan terakhir yang ia tersenyum sendu. Lalu dengan sangat pelan nyaris berbisik Arsya mengucapkan, “I love you, Mrs. Subianto.” Arsya sangat tenggelam dengan percakapan melalui pesan pendek bersama Indah siang itu. Sampai-sampai Arsya tidak mendengar sepasang langkah kaki mendekatinya. “Hei, kamu pasti enggak dengar aku datang karena asyik banget bales-balesan chat-nya. Pasti lagi ngobrol sama Indah.” Dean menarik satu kursi tepat di seberang Arsya. Arsya tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Ia tertawa tergelak. “Mas Dean tau aja,” ucap Arsya. “Diterusin aja dulu,” kata Dean, ia ikut mengeluarkan ponselnya. “Oh, sudah selesai kok, Mas. Ada yang mau diobrolin, ya?” Arsya meletakkan ponselnya.
“Kamu hubungi Markus pakai ponsel kamu.” Eric menunjuk tas kecil di pangkuan Tiara. “Oh, oke…oke.” Tiara cepat-cepat merogoh tasnya mengambil ponsel. Ia paham apa yang diminta Eric darinya. “Om di mana? Oh, iya. Masih di sana? Iya nih aku bilang ke Pak Eric. Ditunggu ya Om. Jangan ke mana-mana. Ke dua orang itu juga bilang jangan ke mana-mana.” Tiara lalu menyudahi telepon dan mengangguk memandang Eric. “Kalau tidak ada perubahan kita langsung ke sana.” Eric menginjak pedal gas semakin dalam dan mobil melesat ke tempat yang belakangan mereka setujui untuk bertemu. Mobil meluncur di jalan raya tidak begitu lama. Tiga puluh menit kemudian mobil sudah berkelok-kelok menuju daerah mendekati teluk laut. “Om Markus pasti di sebelah sana.” Tiara cepat-cepat turun tanpa menunggu Eric. Ia sengaja berjalan mendahului karena jantungnya berdebar saat mendengar Eric serius dengan rencananya. Apakah tidak bisa semua berjalan seperti biasa? Kalau smelter SB Industrial Energy diledakkan, kecelaka
Tiara membasahi bibirnya. Pikiran gila yang beberapa hari belakangan menari-nari dalam benaknya seakan terkumpul menjadi satu hari itu. Saat Eric menggunakannya sebagai tempat pelampiasan sesaat, ia bahkan tidak sempat menikmati. Cek tiga ratus juta membuat ia langsung menyanggupi menjadi wanita yang bisa ditiduri Eric kapan pun pria itu mau.Celana jeans biru muda yang membalut pinggul dan pahanya yang terbilang besar. Sejak remaja ia sering dikata-katai bongsor. Ia juga sempat minder dan tak memiliki pacar sampai kuliah. Di tahun akhir jenjang diplomanya, Tiara memiliki pacar untuk pertama kali dan malah kehilangan keperawanannya.Bagi Tiara saat itu, dicintai oleh seorang di luar anggota keluarganya adalah hal yang paling membahagiakan. Meski akhirnya dicampakkan, Tiara tidak cukup belajar. Ia bahkan semakin terobsesi ingin dianggap penting oleh seorang pria, juga ingin dicintai dan dimiliki seutuhnya.Kala itu yang dilihatnya adalah sosok Eric yang baginya sangat tampan. Berkulit
Percakapan Eric dan Tiara tempo hari tidak terputus begitu saja. Tiara yang sedikit gila dan mulai jatuh hati pada Eric malah berbinar-binar saat mendengar pengakuan Om-nya. Sayang pengakuan yang disampaikan Tiara pada Eric tidak berbuah manis. Chief Controller itu dipanggil oleh Eric dan diingatkan akan sesuatu yang membuatnya tak berkutik.Eric sedang duduk di balik meja kerja kamar hotelnya saat Tiara kembali datang dengan omnya. Eric mengacungkan sebuah pulpen dan melemparkannya pada Chief Controller.“Berengsek! Kamu kira dengan bilang tidak bersedia melakukan pekerjaan yang kuminta, kamu bisa lolos begitu saja? Kamu lupa apa yang sudah kamu terima? Kenapa baru sekarang kamu teringat bahwa SB Industrial Energy yang menafkahi keluargamu sampai saat ini? Kenapa sewaktu beli mobil baru kamu lupa itu uang dari mana? Uang itu kamu terima karena kamu mau melaporkan bahwa bahan baku sudah habis dan tungku smelter harus berhenti bekerja. Itu saja, Markus! Kerjamu sedikit dan bayarannya m
Pada waktu yang sama di Jakarta.“Bu, ada telepon dari Sarah.” Laras berbisik dari balik bahu Bu Della.Bu Della tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada sosok Ari Subianto yang baru kembali menempati kamarnya dengan mata terpejam.“Bu, Sarah nunggu Ibu. Biar Ayah diperiksa dokter dulu. Kita ke ruang makan sekarang,” bisik Laras, mengambil alih kursi roda Bu Della dan membawanya keluar kamar.“Pasti ada kekacauan di kantor. Sarah jarang nelepon Ibu kalau bukan karena sesuatu yang penting.” Bu Della memandang Laras yang tidak bereaksi apa pun selain menunjukkan telepon wireless yang sudah di-mute-nya. “Ibu duduk di kursi aja,” sambung Bu Della, berdiri dari kursi roda dan pelan-pelan berpindah ke salah satu kursi makan.“Ngomong dulu,” kata Laras, menunjuk ponsel.Bu Della berdeham pelan. “Halo? Sarah? Kamu jarang menghubungi saya. Biasanya langsung ke Arsya. Kalau nelepon begini malah bikin saya deg-degan. Ada apa? Komisaris itu lagi, ya?”“Maaf sebelumnya kalau saya membuat Ibu
Bukan hanya sekali dua kali Tiara menemani para petinggi mencari hiburan; menghabiskan malam untuk bersenang-senang. Beberapa kali ia bahkan menyanyikan beberapa lagu di tempat karaoke bersama para petinggi perusahaan itu. Tiara memang tidak terlalu cantik, tapi Tiara bertubuh sintal berisi yang sangat disukai para lelaki. Ajakan untuk menghabiskan malam bersama pun tak jarang ia terima. Tapi pikiran Tiara tidak pernah berpikir terlalu jauh. Sampai ketika Eric yang mengajaknya seperti saat itu. Efek yang didapatnya dari pengaruh Eric tidak akan main-main. Semua karyawan perusahaan Eric akan segan padanya. Jadi, tanpa pikir panjang Tiara menuju pintu dan menguncinya. Eric membuatnya penasaran. “Bagus…bagus. Ayo, ke sini. Saya mau kita pemanasan dulu. Pasti pernah melakukan begini, kan?” Eric mengitari meja dan duduk di kursi. Ia bicara sambil melepaskan ikat pinggang dan menurunkan resletingnya. “Saya mau kamu blowjob sekarang. Bibir kamu penuh, pasti rasanya enak. Ayo,” pinta Eric s
Eric Widjaja mengambil beberapa sifat pria dominan pada umumnya. Ia menyukai persaingan dan tidak peduli apakah persaingan itu sehat atau tidak. Ia ingin menang dan tidak suka harga dirinya diobrak-abrik seperti yang dilakukan Arsya padanya. Egonya menuntut pembalasan. Dalam hal dunia lelaki, Eric Widjaja selalu menghindari segala bentuk ikatan. Ia beranggapan kalau teriak dengan seseorang berarti tidak bisa berkembang. Ia memiliki banyak rencana dan menjalin hubungan serius dengan wanita bukan termasuk di antaranya. Sepeninggal Mika keluar dari ruangannya, Eric mendekati Tiara dan membelai paha gadis itu. Ia menyukai Tiara karena gadis itu pemberani. Tiara tahu apa yang diinginkannya dan bersedia berkorban untuk itu. “Kamu yakin laki-laki di saja tidak ada yang curiga dengan pergerakanmu?” Eric meremas bokong Tiara. “Mereka pasti curiga seperti yang Bapak bilang. Tapi mereka nggak tahu mau mulai menyelidiki saya dari mana. Bukannya Bapak bilang hal itu semakin baik karena kita ja
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”